Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adlina Annisa
"ABSTRAK
Kepastian hukum dapat diartikan sebagai perlindungan hukum. Artinya, tiap masyarakat yang melakukan perbuatan yang sesuai dengan hukum yang berlaku akan mendapat perlindungan apabila haknya diganggu. Salah satu perbuatan hukum yang amat rawan dengan terjadinya sengketa adalah masalah harta bersama dalam perkawinan, yang biasanya bermasalah saat terjadi perceraian, terutama bila harta bersama berbentuk hak atas tanah dan berhubungan dengan pihak ketiga sebagai pembeli. Karena terkadang pembeli-lah yang akan mengalami kerugian akibat sengketa tersebut, penelitian ini akan berusaha menemukan bentuk perlindungan bagi pembeli harta bersama berupa hak atas tanah yang disengketakan tersebut dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 2301 K/Pdt/2007, yang kasusnya sesuai dengan uraian tersebut di atas. Penelitian ini akan berbentuk yuridis normatif, dengan tipologi penelitian deskriptif-preskriptif. Jenis data yang digunakan, terdiri dari Bahan Hukum Primer, Sekunder dan Tersier, yang akan didapat dengan cara studi dokumen dan wawancara dengan nara sumber yang berkaitan. Dan dalam menganalisis, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Inti dari objek penelitian ini adalah terjadinya jual beli atas tanah harta bersama milik pasangan suami istri yang telah bercerai, yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak istri. Kemudian hak atas tanah tersebut dibebankan Hak Tanggungan oleh pemilik barunya, yang ternyata lalai menjalankan kewajibannya, sehingga Pemegang Hak Tanggungan bermaksud melelang tanah tersebut. Pada saat pengumuman lelang, pihak (mantan) istri mengajukan gugatannya. Majelis Hakim memenangkan gugatan pihak istri dengan mengembalikan status tanah tersebut menjadi harta bersama. Sebagai perlindungan hukum, pemilik baru hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan serta merta kepada pihak suami/penjual, yang akan menghasilkan putusan serta merta, sehingga pembeli mendapat ganti rugi berupa pengembalian uang sejumlah yang dibayarnya dulu. Walaupun menurut penulis Majelis Hakim dapat memberikan putusan yang lebih menguntungkan semua pihak, dengan penggunaan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mengharuskan pihak suami membayar ganti rugi kepada pihak mantan istri sebesar setengah dari harga yang diterimanya saat ia menjual hak atas tanah tersebut.

ABSTRACT
Legal certainty can be interpreted as law protection. This means, each society which does an action in accordance with the prevailing law will be protected when its rights disturbed. One of the legal act that are particularly vulnerable to dispute is a matter of joint matrimonial property, which is usually troubled when there is a divorced, especially when the joint matrimonial property shaped land rights and associated with third parties as a buyer. Because sometimes the buyer who will suffer losses due to the dispute, this research will attempt to find a form of protection for the joint matrimonial property buyers shaped as land rights which be disputed and analyzing The Supreme Court Verdict Number 2301 K/Pdt/2007, which has case appropriate with the description above. This research will be shaped as Juridical Normative, with the Descriptive-Prescriptive research typology. The kind of data used, consisting of a Primary Law, Secondary and Tertiary, that will be obtained by the study of documents and interviews with informants related. And in analyzing, the writer uses the method of qualitative analysis. The core of the object of this research is the purchase of land which are joint matrimonial property belongs to a married couple who have divorced, which carried out without the knowledge and approval of the wife. Then the land rights are charged with Priority Security Rights/Mortgage by its new owner, who apparently negligent to fulfill her obligations, so the Priority Security Rights/Mortgage holder intends to auction off the land. At the time of announcement of the auction the (ex) wife filed the lawsuit. The Panel of Judges won the lawsuit of the wife by restoring the status of the land became the joint matrimonial property. For the legal protection, the new owner of the land could file a necessarily suit to the husband/sellers, which will produce the necessarily verdict, so the buyers receive a compensation a refund as much as she spent before. Altough by the writer, The Panel of Judges can made a decision which more beneficial to all parties, with using the provisions of Article 1365 of Kitab Undang-undang Hukum Perdata (The Code of Civil Law), which requiring the husband to pay a compensation to his ex-wife for half of the price he received when he sold the rights of the land before."
2013
T35300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trinata Santri
"ABSTRAK
Perjanjian utang piutang merupakan suatu perjanjian dimana seseorang menyerahkan uang dan pihak yang lain berkewajiban untuk mengembalikannya. Pihak yang menyerahkan uang tersebut berhak untuk meminta kembali uangnya kepada pihak yang lain guna untuk memenuhi prestasi yang harus dilakukan oleh pihak si berutang. Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat tersebut akan mengikat setiap benda milik si berutang untuk dijadikan jaminan pelunasan utang. Jaminan terhadap perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak meliputi harta bawaan suami istri serta harta campur suami istri yang didapat selama perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 35 (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Pasal 1318 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, apabila salah satu pihak dalam perjanjian meninggal dunia sebelum menunaikan prestasinya, maka perjanjian tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk menyelesaikan penunaian prestasi orang yang meninggal. Dengan demikian, timbul permasalahan tentang harta yang dijadikan jaminan pelunasan utang, apakah harta bawaan istri dapat dijadikan jaminan pelunasan utang suami dan dapat diletakan sita jaminan oleh pengadilan, dan apabila salah satu pihak dalam perjanjian meninggal sebelum menunaikan prestasinya, apakah ahli waris diharuskan membayar utang beserta dengan bunga dan kerugiannya? Dalam meneliti permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian hukum normatif. Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa harta bawaan istri tidak dapat dijadikan jaminan pelunasan utang suami dan tidak dapat diletakkan sita jaminan sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Perkawinan. Berdasarkan pada Pasal 175 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung Republik Indonesia juga memutuskan bahwa ahli waris bertanggungjawab hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan Pewaris. Pelaksanaan terhadap perjanjian utang piutang yang terdapat dalam masyarakat, diharapkan lebih memperhatikan peraturan-peraturan yang ada, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, serta memperhatikan apakah harta bawaan/pribadi masing-masing suami istri atau harta persatuan/campuran yang menjadi jaminan.

ABSTRAK
The agreement of the debit and credit is an agreement where someone handed over his money and the other side has an obligation to return him. The side that handed over this money has the right to ask again for his money from the other side to fill the achievement that must be carried out by the side that owned the money. According to the Article 1131 of Civil Code, the agreement that was made will tie every each property object of the owned money to be made off the paying guarantee of the debt. The guarantee towards the agreement cover the husband and wife's dowry as well as the mixed wealth along the marriage. This is accordance with the Article 35 (1) Number Regulation 1 in 1974 about the Marriage. According to the Article 1318 of Civil Code, if one of the side agreement died before fulfilling his achievement, then this agreement could be bequeathed to his heir to complete the achievement of the person who died. Therefore, emerged the problem about the wealth that was made the paying off guarantee of the debt, could the wife's dowry be made the paying off guarantee of the husband's debt and could be despised seized the guarantee by the court, and if one of the sides in the agreement died before fulfilling his achievement, was his heir required to pay the debt along with the interest and his loss? In researching this problem, I used the normative legal research. The Republic of Indonesia Supreme Court decided that the wife's dowry could not be paying off guarantee of her husband's debt and could not be placed seized the guarantee in accordance with the Article 35 (2) jo 36 (2) Marriage regulation. Based on the Article 175 (2) of the Compilation of the Islam Law, the Republic of Indonesia Supreme Court also decided that the responsibility of his heir was only limited in the value of the Heir of the legacy wealth. The Implementation toward the agreement of the debit and credit that is receive in the community, is hope more pay attention to the available regulation, that is the civil code, and as well as pay attention to whether dowry the husband and wife or the association wealth that become the guarantee.
"
2007
T19104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Sofia
"Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua bagian yaitu harta bersama dan harta pribadi. Apabila terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, baik oleh suami maupun istri, maka ia haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Tidak terdapat ketentuan lebih rinci yang mengatur sejauh apa persetujuan pasangan harus disyaratkan. Tidak adanya ketentuan tersebut membuat praktik yang dilakukan oleh notaris terkadang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan transaksi yang membutuhkan persetujuan pasangan dan mana yang dianggap tidak perlu membutuhkan persetujuan, khususnya mengenai transaksi yang tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas harta bersama. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat akta sewa menyewa terhadap objek yang merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangan, dengan studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111/K/Pdt/2018. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 36 UU 1/1974, hakim mensyaratkan adanya persetujuan pasangan bagi suami atau istri yang ingin menyewakan harta bersamanya berupa tanah dan bangunan kepada pihak lain. Persetujuan pasangan ini tetap diperlukan walaupun transaksi tersebut tidak disertai dengan beralihnya kepemilikan harta bersama tersebut. Apabila akta sewa menyewa dibuat tanpa disertai dengan persetujuan pasangan, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 sehingga akta perjanjian sewa menjadi batal demi hukum dan notaris yang membuat akta tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berupa pembayaran ganti rugi.

Marital property is divided into joint assets and seperate assets. The definition of joint assets is refered to an asset acquired during the course of a marriage. The consequences as the joint assets, both husband and wife who bring the joint assets as the object of any transaction are obliged to obtain the consent of their spouse as regulated under Article 36 paragraph (1) Law Number 1 Year 1974 regarding Marital Law (“Law 1/1974”). However, there is no definitif regulation which specifically explain to what extend the spousal consent is required. The absent of such regulation resulting different practices by notaries. As the result, we can find for a similar transaction, one notary required a spousal consent while another notary does not. In accordance to those background, the writer makes this research with the aim is to find the legality of deed of lease upon marital property which executed without spousal consent and the responsibility of the notary who made the deed (Case Study: Verdict of Supreme Court Number: 1111/K/Pdt/2018). In this study, the author uses the normative juridical research method using secondary data. Based on the results of the study, the judge required a spousal consent for lease transaction of land and bulding under joint assets conducted by husband or wife. This spousal consent is still required even though there are no transfer ownership in such transaction. In the event that the deed was executed without spousal consent, the deed is become null and void due to the breach of Article 36 paragraph (1) Law 1/1974 and the notary who made the deed may be responsible for indemnity payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Astuti
"Skripsi ini membahas mengenai persetujuan suami atau istri dalam pembebanan jaminan Hak Tanggungan terhadap harta bersama, di mana yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimana ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mengaturnya dan bagaimana akibat hukumnya jika persetujuan suami atau istri tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dan tipe penelitian deskriptif-analitis. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas atas perjanjian kedua belah pihak. Namun, ternyata dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terdapat perbedaan pertimbangan hukum atas hal tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa ternyata dalam praktik peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, dalam putusan-putusannya memungkinkan bahwa persetujuan suami atau istri dapat dianggap ada jika utang yang dibuat adalah untuk kepentingan keluarga.

This undergraduate thesis describes about the spouse consent to encumber collateral mortgage on marital community of property, in which the main issues in this research is how the statutory provisions, in this case the Law No. 1 of 1974 about Marriage, set it up and how the legal consequences if the spouse consent is not fulfilled. This research is legal research, which uses a form of juridical- normative research and a type of descriptive-analytics research. Based on Article 36 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 stated that regarding marital community of property, husband or wife can act upon the agreement of both parties. However, it turns out in the Decisions of the Supreme Court that there are different legal considerations on the matter. This research finds out that in judicial practice, in this case the District Court, the High Court, and the Supreme Court, there are the Court Decisions which states that the spouse consent is possible to be considered exist if the debt is made for the family interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephany Marisa Endianita
"Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa mempermasalahkan darimana harta tersebut berasal. Jika salah satu pihak ingin mengalihkan harta bersama maka hams mendapat persetujuan dari pasangannya. Hal ini tidak menjadi masalah apabila perkawinan berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk suatu mmah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam kenyataanya perkawinan terkadang tidak berjalan dengan baik sehingga berakhir dengan perceraian. Salah satu akibat dari perceraian yang sering menjadi masalah adalah mengenai pembagian harta bersama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan akibat hukum dari harta bersama yang tidak dibagi apabila setelah terjadi perceraian salah satu pihak mengalihkan harta bersama tersebut pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2301 KlPdtJ2007 dan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 552IPdt.G/2013lPn.Dps. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku yang berkaitan dengan perkawinan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dalam hal terjadi perceraian mengenai harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku pada saat suami istri melangsungkan perkawinan. Jika pembagian harta bersama diajukan ke pengadilan maka Majelis Hakim yang memutus perkara mendasarkan pertimbangan hukumnya pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia karena dalam UU No. 111974 maupun peraturan pelaksanaannya tidak mengatur lebih lanjut mengenai pembagian harta bersama. Akibat dari harta bersama yang tidak dibagi setelah terjadi perceraian dan harta bersama tersebut dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasangannya maka hakim diberikan kewenangan untuk dapat memberikan putusan yang waj ar dan adil.

Marital property is everything earned or acquired by either spouse during marriage regardless of who paid for it. Property jointly owned by husband and wife cannot be diverted nor sold by one without the consent of the other. In this case, marital property would not be a problem at the beginning because the purpose of getting married is to live happily and the love that each other and to the almighty god. But in the event that the marriage has come to an end, the problems after that is who owns what during the marriage.
The objective of this research is to dig deeper about the regulations of marital property in Law Nomor 1 of 1974 concerning Marriage and the consequential damages if the marital property is not properly divided or diverting the status of the property (analyzing Decision of Mahkamah Agung Nomor 2301K1Pdtl2007 and Decision Court Of Denpasar Nomor 552IPdt.G/2013lPn.Dps. This research is using a yuridis normative research method using secondary data, data for this research were collected and obtained by looking through regulations and books about marriage.
On the basis of the result of this research, it can be concluded that if the marriage ends in divorce, the problems about marital property should be solved according to the laws where the marriage took place. However, if either spouse file for marital property distribution the court will decide and considerate, based on the Supreme Court of Republic of Indonesia Juresprudence. Because neither in Law Nomor 1 of 1974 concerning Marriage nor the implementing regulations states on how the marital property should be divided. Therefore, the judge is given the authority to give a fair and acceptable verdict concerning the marital property due to divorce and diverted to other parties without the consent of the other.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramandyo Yudha Pratama
"Permasalahan dalam perkara gugatan ini Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. dimulai ketika Tergugat tidak melaksanakan Akta Kesepakatan Bersama antara Tergugat dan Penggugat yang akhirnya berujung pada ditemukannya alat-alat bukti formil yang justru semakin melemahkan posisi Tergugat dalam persidangan atas gugatan dari Penggugat. Dan kesemuanya ini bermula atas pembagian harta bersama antara Penggugat dan Tergugat yang dilaksanakan secara mandiri atas kesepakatan masing-masing pihak, yang pada akhirnya ternyata ditemukan bukti-bukti formil yang menjadikan akta kesepakatan bersama tersebut harus dan patut batal demi hukum.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah metode penelitian kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif dan bersumber dari data sekunder, yakni berupa studi dokumen. Berdasarkan kuat dan solidnya pembuktian formil yang yang dipaparkan oleh Pihak Penggugat terkait harta yang sepatutnya termasuk dalam harta bawaan dari Penggugat, serta ketidakabsahan Akta Kesepakatan Bersama Nomor 19 tertanggal 24 Oktober 2012 antara Penggugat dan Tergugat maka wajar dan patut ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkaranya memutuskan seperti yang terlampir dalam Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel.
Dan, berdasarkan paparan yang Penulis telah jelaskan dalam sub Bab 4 Skripsi ini, maka putusan Majelis Hakim terhadap gugatan atas harta benda perkawinan pasca perceraian Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang kesimpulan Penulis ini diperkuat oleh Putusan Nomor 2898 K/Pdt/2015 di tingkat kasasi terkait perkara a quo terlampir.

Issues regarding this lawsuit Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel began when the defendant didn rsquo t fulfill the agreement between Defendant and Plaintiff which lead to discovery of illegal evidence brought before the court of law. Agreement on divorce property between Defendant and Plaintiff which was consensually, yet to be found illegal and supposed to be null and void.
The method of research that was used in this thesis based on literature study which cathegorised as normative juridical and sourced by data sekunder. Based on solid formal evidence brought by the Plaintiff, regarding which property that was initally belong to the Plaintiff before the marriage, and also the illegality of the agreement on the divorce properties Agreement Number 19 dated on October 24th 2012 between Plaintiff and Defendant hence should be accorded fair and proper when Panel of Judges of South Jakarta Distric Court decided as what is in Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel.
All and all, based on Author judgements which has written in sub Bab 4 of this thesis, the Court Decision regarding Lawsuit on Divorce Properties Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel. has already accorded with National Law of Indonesia on marriage related issue, which strengthen by Court Decision No. 2898 K Pdt 2015 of Indonesian Supreme Court regarding this matter attached.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Dwi Iriyanti
"Tesis ini mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan yang diperjualbelikan setelah terjadinya perceraian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor 14/Pid.B/2019/PN.PML. Adapun permasalahan yang diangkat adalah akibat hukum atas jual beli harta bersama dimana salah satu pihak tidak memberikan persetujuan dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh PPAT. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penelusuran data sekunder dari berbagai dokumen sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa bilamana salah satu pihak tidak mengetahui dan memberikan persetujuan atas jual beli harta bersama maka jual beli tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi unsur obyektif yaitu sebab yang halal. Hal tersebut dikarenakan persetujuan pasangan bersifat mutlak dalam pelaksanaan jual beli atas harta bersama. Dalam jual beli harta bersama setelah terjadinya perceraian peran penting tidak hanya berupa persetujuan dari mantan pasangan suami istri tetapi juga perlunya sikap kehati-hatian dari PPAT yakni PPAT harus hadir dan memastikan bahwa pihak yang bertandatangan adalah pihak yang berwenang. Akibat dari ketidakhati-hatian PPAT menyebabkan kerugian. Selain itu PPAT juga harus bertanggungjawab dan terancam sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018
This thesis about marital properties obtained during marriages which are traded after the divorce based on the Decision of Pemalang District Court Number 14/Pid.B/2019/PN.PML. The problem raised is the legal consequences of the sale and purchase of marital properties in which one party does not give consent and responsibility that must be borne by the Land Deed Making Officer (PPAT). The research method used is normatif juridical with secondary data retrieval from various primary, secondary and tertiary legal source document. The approach used is qualitative with descriptive analytical research type. The result of the study stated that if one of the parties does not know and give approval for the sale of marital assets the sale and purchase will be null and void by law because it does not fulfill the objective element which is halal cause. That is because the consent of the spouse is absolute in the conduct of buying and selling of joint marital properties. In the sale and purchase of marital properties after the divorce the important rule is not only in the form of approval from a former husband and wife but also the need for prudence from the PPAT that is the PPAT must be present and ensure that the signatory is an authorized party. As a result of carelessness PPAT causes losses. Because PPAT must also be responsible and threatened administrative sanction as Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 2 of 2018"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukti Hidayat
"Perkawinan, merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sah akan menimbulkan akibat Perkawinan. Salah satunya akibat Perkaiwnan terhadap harta benda. Akibat perkawinan terhadap harta benda diatur di dalam KUHPerdata yang mengatur percampuran harta. Pada saat ini harta benda perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang mengatur adanya harta bawaan dan harta bersama. Setelah terjadi perceraian, harta bersama dibagi menurut hukum para pihak. Sepanjang belum ada putusan Pengadilan mengenai pembagian harta bersama, maka suami istri tidak berhak melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri. Dalam hal suami atau sitri telah meninggal dunia dan telah terjadi perceraian, namun belum ada pembagian harta bersama, maka suami atau istri harus meminta persetujuan ahli waris untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama. Jika tidak, maka perbuatan hukum tersebut dapat batal demi hukum dan suami atau istri tersebut dapat digugat perbuatan melawan hukum. Hal ini yang terjadi dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 96/K/Pdt/2016 dimana istri telah menjual harta bersama yang dimiliki bersama dengan suaminya yang telah meninggal dunia (Pewaris). Dalam kasus tersebut istri telah menjual obyek harta bersama berupa tanah tanpa persetujuan ahli waris lain. Dalam hal ini istri memang berhak atas harta bersama tersebut, namun dalam hal ini belum ada putusan Pengadilan Negeri terkait pembagian harta bersama. Namun, walupun isteri masih berhak atas obyek harta bersama tersebut, obyek tersebut merupakan harta peninggalan yang diwariskan kepada ahli warisnya. Jadi perbuatan menjual tanah tersebut tanpa persetujuan ahli waris lain dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan jual beli batal demi hukum. Metode penulisan yang dipakai adalah normative dengan tipologi eskplanatoris.

Marriage, an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife which is to form a happy family and eternal based on God. Legal marriage would lead to a result of marriage. One of them is a result to marriage property. As a result of marrige property set out in the Civil Code that regulates marital property. At this time, the regulation against marriage property has been regulated in the regulation of marriage that governs their personal property and marital property. After the divorce, marital property is divided according to the law of the parties. Throughout there has been no court decision on the division of marital property, the husband and wife are not entitled to take legal actions against the marital property without the consent of the husband or wife. In the case of a husband or wife had died and there has been a divorce, but there is no division of marital property, the husband or wife must seek approval heirs to take legal actions against the marital property. If not, then legal action can be null and void and the husband or wife may be sued a tort. This happened in the case of Decision No. 96 / K / Pdt / 2016 in which, the wife has been selling property that is owned jointly with her husband who had died (Heir). In such cases the wife had to sell an object of common property such as land without the consent of other heirs. In this case the wife is entitled due to the marital property, but in this case there has been no decision of the District Court related to the division of marital property .. However, even though the wife was still entitled to the marital property of the object, the object is a legacy bequeathed to his heir. So the act of selling the land without the consent of other heirs can be categorized as an act against the law and selling can be null and void. Writing method used is normative with explanatory typology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Yanto
"Skripsi ini membahas mengenai Gugatan atas Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Th. 1974. Menurut KUHPerdata dengan perkawinan terjadi percampuran harta secara bulat, kecuali adanya perjanjian perkawinan. Harta bersama menurut KUHPerdata termasuk aktiva dan passiva. Apabila terjadi perceraian harta bersama dibagi dua antara suami-isteri. Isteri mempunyai hak eksklusif untuk melepaskan hak atas harta bersama. Menurut UU No. 1 Th. 1974 harta bersama adalah harta yang diperoleh selama dalam proses perkawinan. Apabila terjadi perceraian harta bersama dibagi menurut hukum masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. UU No. 1 Th. 1974 tidak mengatur detil mengenai harta perkawinan dan mengenai mekanisme pelepasan hak atas harta bersama tidak diatur, ini berbeda dengan KUHPerdata. Skripsi ini juga menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Bogor No. 73/Pdt/G/2003/PN.Bgr.

This thesis discusses The Join Property lawsuit Due to Divorce According to The Book of the Civil Law and Act Number 1 of 1974 on Marriage. According to The Book of Law Civil Law by mixing marital property occurs as a whole, unless the marriage covenant. Matrimonial property according to The Book of Law Civil Law including assets and liabilities. In case of divorce joint property divided between husband and wife. Wife has the exclusive right to release the right to join property. According to Act Number. 1 of 1974 on Marriage join property is property acquired during the marriage process. In case of divorce join property is divided according to their respective laws, namely the religious law, customary law and other laws. Act Number 1 of 1974 did not set up details about the marital property and mechanism of waiver of join property is not set, this is different from The Book of Civil Law. This thesis also analyzes The Bogor District Court Decision No.73/Pdt/G/2003/PN.Bgr."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1320
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fanni Dwi Abriyanti
"ABSTRAK
Seringkali PPAT tidak cermat dalam memeriksa
keaslian dokumen setiap membuat akta, sehingga akta
yang telah dibuat oleh PPAT dapat, keadaan inilah
yang membuat penulis tertarik untuk membahas
mengenai hibah terhadap harta bersama, karena dalam
kasus ini, akta hibah PPAT dibatalkan karena tidak
mendapat persetujuan isteri, dikarenakan obyek hibah
adalah harta bersama. Permasalahan yang diangkat
dalam kasus ini, mengenai konsekuensi terhadap hibah
harta bersama yang tidak mendapat persetujuan
isteri, pengadilan yang berwenang mengadili dan
memutus perkara serta pertanggungjawaban terhadap
PPAT yang lalai sehingga mengakibatkan akta hibah
dibatalkan. Untuk menjawab permasalahan hukum dalam
kasus tersebut, maka dilakukan penelitian
kepustakaan yang bersifat deskriptif analitis untuk
menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam
praktek pelaksanaannya berkenaan dengan permasalahan
yang ada. Dari analisa terhadap putusan Perkara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3634
K/PDT/1999 tersebut dapat diketahui bahwa
perbuatan hibah oleh suami terhadap harta bersama
tanpa disertai dengan persetujuan dari isteri
mengakibatkan akta hibah tersebut menjadi cacat
hukum dan dapat dimintakan pembatalan akta hibah
oleh pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang untuk memutus perkara hibah menurut Pasal
50 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang
peradilan Agama. PPAT yang terbukti lalai dapat
dikenakan sanksi pelanggaran ringan yang ada dalam
PP No. 37 Tahun 1998."
2007
T38054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>