Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64791 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ariningsih
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pajanan rendah xylene dapat menyebabkan gangguan neurotoksik. Upaya untuk pencegahan dampak neurotoksik tersebut antara lain deteksi gejala dini neurotoksik. Penelitian tentang pajanan rendah xylene dalam jangka waktu lama pada pekerja di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan pajanan rendah xylene dengan terjadinya gejala dini neurotoksik. Metode. Desain cross sectional, dilakukan pada 97 orang pekerja terpajan xylene. Tingkat pajanan xylene ditentukan dengan metode semikuantitatif. Menggunakan data sekunder pemeriksaan kesehatan berkala pekerja dan hasil pengisian kuesioner Swedish Q16. Hasil. Prevalensi gejala dini neurotoksik didapatkan pada 19,6% pekerja dengan pajanan rendah xylene dalam jangka waktu lama. Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pajanan (exposure rating) xylene dengan terjadinya gejala dini neurotoksik (p = 0,036). Faktor umur, status gizi, masa kerja, kebiasaan merokok, minum kopi dan alkohol, serta penggunaan APD tidak berhubungan bermakna dengan gejala dini neurotoksik. Kesimpulan. Pajanan rendah xylene berhubungan dengan terjadinya gejala dini neurotoksi

ABSTRACT
Background. Low exposure of xylene can cause neurotoxic disorders. Early detection by using Swedish Q16 questionnaire can help prevent neurotoxic effects. There has only been a few study on long-term, low xylene exposure in Indonesian workers. The aim of this study is to investigate the relationship between low xylene exposure and early neurotoxic symptoms. Method. The cross-sectional study was carried out on 97 workers exposed to xylene. The exposure level was determined with semiquantitative methods, using secondary data from annual medical check-up from workers and Swedish Q 16 questionnaires. Results. Early neurotoxic symptoms prevalence were found in 19.6% workers who are exposed to low level of xylene in long term. There is a significant relationship between xylene exposure rating (ER) with early neurotoxic symptom (p=0.036). Other factors, including age, nutritional status, period of employment , smoking, alcohol and coffee consumption, and the use of PPE was not significantly associated with early symptom of neurotoxicity. Conclusion. Low xylene exposure is associated with early symptom of neurotoxic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukardi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas Pajanan Penanganan Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3)
Benzene dan xylene pada Divisi Industrial Chemical Specialties PT Clariant
Indonesia. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pajanan Benzene dan
xylene serta untuk mengetahui upaya pengendalian yang sudah dilakukan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Data
dikumpulkan dengan membagikan kuesioner terbuka dan melakukan pengukuran
langsung dengan metode personal active sampling untuk mengetahui kadar
Benzene dan xylene di tempat kerja . Hasil penelitian menyarankan bahwa
karyawan perlu meningkatkan kesadaran dalam menggunakan alat pelindung diri
pada saat bersinggungan dengan bahan kimia B3. Perusahaan perlu melakukan
review terhadap PPE management khususnya respirator. Perusahaan juga perlu
meningkatkan program preventive maintenance terhadap sarana dan prasarana
yang terkait dengan penanganan bahan kimia Benzene dan xylene.

ABSTRACT
The focus of this study is the exposure assessment of handling Dangerous Goods
benzene and xylene in Industrial Chemical Specialties Department at PT
ABCIndonesia. The purpose of this study is to analyze the exposure of benzene
and xylene also to evaluate the control programs of dangerous chemical exposure.
This study is a qualitative research with descriptive interpretive. The data were
collected by open questionnaires and environment monitoring by personal
sampling method to ensure the level of air quality. From the results, the
researcher suggests that workers need to increase awareness regarding personal
protective equipment used especially when handling dangerous goods chemicals.
Company also has to improve management of personal protective equipment
which involved all workers who contact with dangerous chemicals. Company also
has to improve preventive maintenance programs to equipments related with
handling benzene and xylene"
2016
T46248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qodri Febrilian Erahman
"Xilena dapat disintesis melalui reaksi katalisis alkilasi toluena dengan metanol. Xilena berguna dalam sintesis asam terepthalat yaitu sebagai bahan dasar pembentuk polyester, dan dapat juga digunakan sebagai pelarut pada industri. Penelitian ini melakukan uji katalitik reaksi alkilasi toluena dengan metanol yang dicampurkan pada komposisi azeotrop yaitu pada fraksi toluena 0,134 dengan menggunakan 3 gr katalis zeolit H-ZSM-5 dan 1 gr ??-Al2O3-TiO2. Kombinasi kedua katalis ini berperan dalam reaksi alkilasi dimana katalis ??-Al2O3-TiO2 berfungsi untuk katalisis reaksi dehidrasi metanol menjadi dimetil eter (DME) sedangkan H-ZSM-5 berperan dalam proses alkilasi yang merupakan reaksi substitusi nukleofilik. Sintesis zeolit Na-ZSM-5 dilakukan pada kondisi hydrothermal pada suhu 200oC selama 120 jam dengan menggunakan TPA-Br sebagai zat pengarah, sedangkan sintesis katalis ??-Al2O3-TiO2 dilakukan dengan metode kopresipitasi dimana TiO2 dicampurkan dengan larutan Al2(SO4)3 sebelum terbentuk gel boehmite pada penambahan NH4OH.
Hasil keduanya dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X dan FTIR, selain itu dilakukan pula uji keasaman katalis dengan adsorpsi ammonia. Uji katalitik dilakukan dengan memvariasikan suhu katalisis ,yaitu pada 260°C, 280°C, dan 300°C, memakai reaktor berdiameter 1,5 cm, dan mencampurkan toluena dan metanol pada labu reaksi dengan suhu 65oC, kemudian hasil yang didapatkan ditampung dan dianalisis dengan kromatografi gas (GC) dan GCMS. Produk hasil reaksi pada tiap suhu katalis menghasilkan 2 fasa, yakni cairan yang tidak bercampur, kemudian dengan analisis GC dapat diketahui fasa bagian atas merupakan fasa non-polar (fraksi xilena), sedangkan fasa bagian bawah adalah campuran air dan metanol, hasil analisis lebih lanjut dengan GCMS dilakukan hanya pada fasa non polar (fraksi xilena). Hasil yang diperoleh pada uji katalitik mengandung berbagai macam senyawa organik diantaranya : xilena, 1,2,4,-trimetil benzene, 1,2,3,4,-tetrametil benzene, etilbenzen, sikloheksana, dll, dengan % konversi terbaik didapatkan pada suhu katalis 300oC yaitu, sebesar 51,95%. Produk xilena yang dihasilkan paling banyak adalah pada suhu katalis 300°C dengan % distribusi produk sebesar 21,62%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haikal Muhammad Ariq Andrianto
"Laboratorium Migas merupakan tempat kerja untuk melakukan pengujian, penelitian, dan pengembangan minyak mentah, produk sampingan, hingga produk jadi menggunakan peralatan dan bahan yang ada. Laboratorium memiliki banyak bahaya di dalamnya, tak terkecuali dengan bahaya kimia seperti benzene, toluene dan xylene (BTX). Oleh karena itu, diperlukan kajian risiko kesehatan di Laboratorium Migas untuk mengetahui seberapa besar tingkat risiko BTX terhadap pekerja laboratorium. Kajian risiko kesehatan ini akan mengacu pada CHRA DOSH Malaysia (2018) dimana data yang didapatkan dianalisis menggunakan IHSTAT. Kajian risiko kesehatan dilakukan menyesuaikan dengan SEG yang sudah ditentukan, yaitu unit Crude & Product Classification, unit Facility & Quality, unit Fuel, unit Analytical & Gas, serta unit Petrochemical. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa terdapat tingkat risiko yang tinggi pada pajanan benzene melalui rute inhalasi serta rute dermal terhadap unit Fuel. Sementara itu, pajanan xylene dan toluene berada pada tingkat risiko yang rendah untuk rute pajanan inhalasi serta berada pada tingkat pajanan moderat pada rute pajanan dermal. Dari hasil penelitian terkait tingkat risiko keseharan pada pajanan benzene, toluene, dan xylene, diperlukan peningkatan kesadaran pekerja untuk menggunakan APD tambahan serta peningkatan sistem ventilasi di tempat kerja.

The Oil and Gas Laboratory is a workplace for conducting testing, research and development on crude oil, by-products and finished products using existing equipment and materials. Laboratories have many dangers in them, including chemical hazards such as benzene, toluene and xylene (BTX). Therefore, it is necessary to study health risks in oil and gas laboratories to find out how big the risk level of BTX is to laboratory workers. This health risk study will refer to CHRA DOSH Malaysia (2018) where the data obtained was analyzed using IHSTAT. Health risk studies are carried out in accordance with the SEGs that have been determined, namely the Crude & Product Classification unit, Facility & Quality unit, Fuel unit, Analytical & Gas unit, and Petrochemical unit. The results of the study show that there is a high level of risk of exposure to benzene via the inhalation route and the dermal route on Fuel units. Meanwhile, exposure to xylene and toluene is at a low risk level for the inhalation exposure route and at a moderate exposure level for the dermal exposure route. From the results of research regarding the level of health risk from exposure to benzene, toluene and xylene, it is necessary to increase worker awareness to use additional PPE and improve the ventilation system in the workplace."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lelitasari
"Latar belakang : Terpajan pelarut organik merupakan kejadian sehari-hari yang dialami oleh banyak pekerja. Pelarut organik banyak digunakan dalam proses pembuatan alas kaki disektor formal maupun informal. Menurut beberapa penelitian beberapa jenis pelarut organik mempunyai sifat neurotoksik sehingga perlu deteksi gejala-gejala tersebut yang mungkin timbul pada para pekerja. Kuesioner Swedish Q16 adalah kuesioner deteksi dini yang paling sering digunakan untuk penupisan pekerja yang terpajan pelarut organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gejala neurotoksik akibat pajanan pelarut organik menggunakan Kuesioner Swedish Q16, serta mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi seperti : umur, pendidikan, masa kerja, status gizi, pemakaian APD, kebiasaan minum alkohol, merokok, cuci tangan, makan minum di tempat kerja dan hasil pemantauan kadar pelarut organik di lingkungan,kerja.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan subyek penelitian 138 orang pekerja alas kaki di sektor informal Ciomas Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung, sedangkan lingkungan kerja dilakukan dengan pengukuranpersonal sampling dan hasilnya diperiksa menggunakan teknik Gas Chromatography. Gejala neurotoksik dideteksi menggunakan kuesioner Swedish Q16. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September-Oktaber 2006. Hasilnya diolah menggunakan program statistik SPSS 11,5.
Hasil : Hasil identifikasi lem didapatkan lem kuning mengandung : toluen (45,3%), benzen (5,18%) dan metil etil keton (18,68%), lem putih mengandung : toluen (41,31%), benzen (3,52%) dan aseton (19,24%). Kadar toluen di lingkungan kerja rata-rata 1,12 ppm, tertinggi 2,48 ppm dan terendah 0,33 ppm. Keluhan terbanyak kesemutan (62,3%), sakit kepala (62,3%), mudah Ietih (56,5%). Prevalensi gejala neurotoksik pads subyek penelitian sebesar 55,8%. Pada analisis bivariat faktor umur, masa kerja dan IMT memiliki hubungan bermakna terhadap terjadinya gejala neurotoksik. Setelah dilakukan analisis multivariat didapatkan umur < 28 tahun memiliki risiko 6 kali lipat untuk mengalami gejala neurotoksik. (p = 0,000; OR = 6,235). Penieriksaan finger tapping test dilakukan secara sub sampling pada 53 subyek dan dipemleh basil tidak normal pada tangan kanan 47,2% dan tangan kiri 43,3%.
Kesimpulan : Prevalensi gejala neurotoksik pada pekerja industri alas kaki sektor informal , Ciomas , Bogor yang terpajan pelarut organik sebesar 55,8%. Faktor umur berhubungan dengan terjadinya gejala neurotoksik (OR = 6,235 ; p = 0,000).

Background : Exposured by organic solvent is form of occurrence day by day for many workers. Organic solvent is used in many process on footwear manufacture both formal and informal sector. According to several studies , many organic solvent has neurotoxic char tcterisl it:, so need to early detection for symptoms that influences to workers. The Swedish Q16 is a questionnaire that often use for workers screening from exposured by organic solvent. The goal of this study is to identification of glue, prevalence neurotoxic symptoms cause by organic solvent exposure, with Swedish Q16 Questionnaire, and to know factors of influences as : age, education, working periode, body mass index, using of PPE, drink of alcohol, washing hand, smoking, eat and drink at workplace and organic solvent level in workplace.
Method : The design of this study was cross sectionai,and the total number of sample were 138 footwear workers. Data collecting was conducted to interview, direct monitoring and measuring personal sampling at workplace which checking by Gas Chromatography technique. Neurotoxic symptoms detected by Swedish Q16 Quetionnaire. Data collecting was done on September-October 2006. All data research result processing by Statistic Program SPSS version 11.5.
Result : Identification of glue has result that content of yellow glue are toluene (45,3%), benzene (5,18%) dan metyl etyl ketone (18,68%), white glue content are : toluene (41,31%), benzene (3,52%) dan acetone (19,24%). Degree of toluene at workplace was average 1,12 ppm, and range 2,48 ppm to 0,33 ppm. Highest complaint from subject are : tingling ((62,3%), headache (62,3%), fatigue (56,5%). Study's subject neurotoxic symptoms prevalence was 55,8%. On bivariate analysis, age factor, work periode, body mass index, have related to neurotoxic symptoms outcome. On multivariate analysis be found that age < 28 years have risk six time to experience with neurotoxie symptoms, (p0,000; OR = 6,235). Examination on finger tapping test to be done as sub sampling on 53 subject and the result is unnormally on right hand 47,2% and left hand 43,3%.
Conclutions : Prevalence of neurotoxicity symptoms in informal sector footwear workers at Ciomas Bogor was 55,8%. Age factor was related to the neurotoxic symptoms (OR = 6,235 ; p = 0,000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusran Ampulembang
"Latar Belakang. Lebih dari 750 bahan kimia dan beberapa kelompok senyawa kimia termasuk pelarut organik diduga bersifat neurotoksik. Namun pada umumnya bahan kimia tersebut belum pernah dilakukan tes untuk menilai efek neurotoksik yang ditimbulkan. Pelarut organik seperti MEK digunakan secara luas pada industri alas kaki yang pada umumnya bersifat padat karya, sehingga jumlah pekerja yang terpajan juga sangat besar. Pelarut organik dapat mengakibatkan ensefaloti toksik kronik pada pekerja yang terpajan berlebihan. Oleh karena keluhan subyektif mungkin mengindikasikan suatu ensefalopati maka deteksi dini sangatlah penting. Kuesioner Swedish Q16 adalah kuesioner deteksi dini yang paling sering digunakan untuk skrining pekerja yang terpajan pelarut organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gejala dini neurotoksik akibat terpajan pelarut organik metil etil keton, serta pengaruh faktor umur, jenis kelamin, pendidikan , masa kerja, status gizi, pemakaian APD, kebiasaan minum alkohol, minum kopi, merokok, kadar pajanan tempat kerja, serta hasil pemantauan biologis terhadap timbutnya gejala dini neurotoksik.
Metode. Penelitian ini menggunakan disain penelitian cross-sectional dengan jumlah subyek penelitian 123 orang pekerja pada sebuah kelompok perusahaan sepatu. Pengukuran pajanan dilakukan dengan personal sampling dan pemantauan biologis. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2003 sampai Januari 2004. Hasilnya diolah menggunakan program statistik SPSS 11,5.
Hasil dan Kesimpulan. Prevalensi gejala dini neurotoksik pada pekerja yang terpapar pelarut organik metil etil keton sebesar 52%, jika prevalensi didasarkan alas kadar pajanan MEK lingkungan kerja, maka pekerja yang terpajan tinggi prevalensinya sebesar 72,1%, sedangkan yang terpajan rendah 41,3%. Secara statistik yang menunjukkan hubungan bermakna dengan timbulnya gejala dini neurotoksik adalah kadar MEK lingkungan kerja (OR 3,68; p 0,001; 95% CI 1,65 - 8,20), basil pemantauan biologik pads urine (OR 4,17; p 0,000; 95% CI 1,87 - 9,29) dan faktor umur (OR 4,07; p 0,001; 95% CI 1,78 - 9,30).

The Correlation Between Metil Etil Keton Exposure And Early Symptoms Of Neurotoxicity Among Footwear Factory Workers (Based On Swedish Q16 Questionnaire)Back Ground. More than 750 chemicals and several classes of chemical compound including organic solvent are suspected to be neurotoxic, but majority of chemicals are never been tested for neurotoxic properties. Organic solvent such as MEK are widely use in footwear industry. Footwear manufacturing is a labour intensive industry, as a result large group of workers are exposed. Organic solvent can cause a chronic toxic encephalopathy in overexposed workers. Because subjective complaint may indicate an encephalopathy, early recognition is important. Swedish Q16 questionnaire is the most commonly used for screening workers who are exposed to organic solvent . The aim of the study was to examine the effect of exposure to MEK on the prevalence of complaints. Further objective were to analyse the influences of sex, education, alcohol consumption, smoking habits, caffeinated beverage, nutriotional status, PPE, length of service, MEK concentration, and Bio-monitoring result.
Method. In a cross sectional study, 123 workers with occupational exposure to MEK were interviewed by means of Swedish Q16 questionnaire. Exposure estimation was made by personal sampling and biological monitoring. Data collecting was conducted from December 2003 to January 2004. The statistical analysis was performed with SPSS 11,5 statistical software.
Result and conclusions. Prevalence of workers with early symptoms of neurotoxicity was 52%. Age (OR 4,07; p 0,001; 95% CI 1,78 - 9,30), Exposure level of MEK (OR 3,68; p 0,001; 95% CI 1,65 - 8,20), and result of biomonitoring (OR 4,17; p 0,000; 95% CI 1,87 - 9,29) showed statistical significant influence on the early symptoms of neurotoxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Dwi Rahmah
"To analyze the relationship between exposure to xylene as organic solvents and neurotoxic symptoms as affect of xylene exposure between paint manufacture workers. Fourty-five male workers completed a symptom questionnaire 18 Germany version. Fourteen workers underwent the positive neurotoxic symptoms from the questionnaire results. In chi-square tests, confounding variables for working period, smoking habits, exercise habits, duration of xylene exposure, usage of respiratory protection, and historical disease were found a not significant relation with the symptoms of neurotoxic with affect of xylene exposure. The relation between level of exposure and age factor, in both correlation and linier regression analysis were poor relation with the symptoms of neurotoxic with affect of xylene exposure.
The results suggest that a symptom and some behavioral changes shows the neurotoxic effects to low levels of xylene exposure. However, no consistent pattern was observed in regard to the effects of xylene exposure on neurobehavioral dysfunction, in regards with the confounding factors that studied.

Untuk menganalisis hubungan antara pajanan xylene sebagai pelarut organik dan gejala neurotoksik yang diakibatkan pajanan xylene pada pekerja pembuatan cat di PT. X tahun 2012. Empat puluh lima pekerja laki-laki menyelesaikan kuesioner Q18 versi Jerman. Empat belas pekerja mengalami gejala neurotoksik positif dari hasil kuesioner. Dalam uji chi-square, variabel confounding untuk masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, lama pajanan per minggu, penggunaan perlindungan pernapasan, dan riwayat penyakit ditemukan tidak berhubungan signifikan dengan gejala neurotoksik akibat pajanan xylene. Hubungan antara tingkat pajanan xylene dan faktor usia, baik lewat uji korelasi dan analisis regresi linier menunjukkan hubungan yang lemah dengan gejala neurotoksik akibat pajanan xylene.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala neurotoksik dan beberapa perubahan perilaku terjadi pada pajanan xylene tingkat rendah. Namun, tidak ada gambaran yang menunjukkan pola yang linier yang diamati sehubungan dengan efek pajanan xylene pada gangguan neurobehavioral, berkaitan dengan faktor-faktor pengganggu yang dipelajari."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31282
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ridcho Andrian Am
"Bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam proses pembuatan alas kaki adalahpenggunaan bahan perekat dan cat yang mengandung pelarut xilena. Apabila terpajanxilena, maka akan berakibat pada gangguan sistem saraf pusat. Tingkat pajanan xilenayang telah diterima oleh tubuh dapat dilihat melalui kadar Asam Metil Hipurat AMH dalam urin. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat risikodan peranan pajanan inhalasi xilena terhadap gangguan kesehatan. Penelitian inimenggunakan rancangan potong lintang. Lokasi penelitian berada di tiga bengkel alaskaki di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan dilakukan pada bulan September ndash;Oktober 2017. Adapun sampel penelitian terdiri dari pekerja sebanyak 40 orang; danlingkungan yaitu xilena di 9 titik pengukuran. Sampel pekerja diambil informasimengenai karakteristik, pola aktivitas, kadar AMH dalam urin, dan gejala neurotoksik.Seluruh informasi diambil pada saat jam kerja berlangsung melalui wawancara. Khususurin, diambil pada saat jam kerja berakhir dan dianalisis dengan UPLC MS/MS.Selanjutnya, pengukuran xilena dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas.Kemudian, tingkat risiko RQ pajanan xilena dianalisis dengan menggunakanpendekatan ARKL. Analisis hubungan antar variabel menggunakan uji t independen konsentrasi xilena dengan gejala neurotoksik dan kadar AMH dengan gejalaneurotoksik dan regresi linier sederhana konsentrasi xilena dengan kadar AMH . Darihasil penelitian, konsentrasi xilena di seluruh bengkel adalah 3,58E-03 mg/m3 median dengan konsentrasi tertinggi di titik sampel 6 3,16E-02 mg/m3 dengan kadar AMHdalam urin seluruh pekerja adalah sebesar 1,00E-04 g/g kreatinin median dan lebihdari setengah 57,5 pekerja negatif gejala neurotoksik. Berdasarkan perhitungannilai RQ, seluruh pekerja tidak terdapat risiko RQ le;1 terhadap pajanan xilena. Batasmaksimum konsentrasi xilena yang direkomendasikan batas maksimum adalah selama25 tahun ke depan sebesar 0,2593 mg/m3 laki ndash; laki dan 0,30182 mg/m3 perempuan .Untuk hasil uji, secara statistik tidak terdapat hubungan antara konsentrasi xilena danAMH p = 0,511 , konsentrasi xilena pada pekerja dengan positif-negatif gejalaneurotoksik p = 0,969 , serta kadar AMH pada pekerja dengan positif-negatif gejalaneurotoksik.

The use of adhesives and paints containing xylenes play important rule in footwearmanufacturing. Xylene exposure can affect the central nervous system such assymptoms of headache, fatigue, short term memory disorders, time response disorders,numerical ability disorders, equilibrium and balance changes. To determine the levelof exposure can be conducted by measuring the levels of methylhippuric acids MHA in urine. The aim of this study was to describe the risk of xylenes exposure to workers 39 health. This study used cross sectional design and conducted in three footwearworkshops in Ciomas, Bogor Regency in September October 2017. The study sampleconsisted of 40 workers and 9 point measurements of xylenes in indoor air. For workersamples, information concerning characteristics, activity patterns, and neurotoxicsymptoms were taken during working hours through interviews. Especially, urine MHA was taken at the end of work hours and analyzed with UPLC MS MS.Furthermore, xylenes measurements were carried out using gas chromatography. Then,the risk level RQ of xylenes exposure was analyzed using ARKL approach. For theanalysis of relationships among variables using independent t test xylenes withneurotoxic symptoms and MHA levels with neurotoxic symptoms and simple linearregression xylenes with MHA levels . From the results, the concentration of xylenesin the workshops was 3.58E 03 mg m3 median with the highest concentration atsample point 6 3.16E 02 mg m3 . MHA in the urine of all workers were 0.000100 g gof creatinine median and more than half 57.5 of workers had negative neurotoxicsymptoms. All workers have no risk to health RQ le 1 and recommended maximumlimit of xylenes concentration over the next 25 years of 0.2593 mg m3 male and0.30182 mg m3 female. From the statistical results, there was no statisticallysignificant relationship between xylenes concentration and MHA p 0,511 , xylenesin workers with positive and negative neurotoxic symptoms p 0.969 , and MHAlevels in workers with positive and negative neurotoxic symptoms."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniawati
"LATAR BELAKANG. Prolaps organ panggul menimbulkan keluhan kelemahan dasar panggul yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita. Prolaps organ urogenital dialami oleh 30-50 wanita yang berusia 20-59 tahun. Penanganan yang tepat dan dini untuk mengatasi gangguan tersebut menjadi salah satu upaya efektif. Untuk dapat melakukan penanganan dini maka diperlukan pengenalan awal terhadap penilaian prolaps organ panggul dengan keluhan minimal pada pasien. Sebelumnya studi yang dilakukan pada 296 wanita usia diatas 40 tahun, didapatkan penurunan vagina 0,5 cm di bawah himen dapat memprediksi secara akurat gejala penonjolan atau penurunan organ. Di Indonesia belum terdapat penelitian mengenai ambang batas prolaps organ panggul yang dapat memperkirakan munculnya keluhan kelemahan dasar panggul. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan ambang batas timbulnya keluhan kelemahan dasar panggul, diketahuinya prevalensi kasus POP di RSCM dan diketahuinya sensitifitas dan spesifisitas kuesioner PFDI-20 dalam menilai keluhan POP. METODE. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang. Data diambil dari pemeriksaan langsung POP-Q dan wawancara kuesioner PFDI-20 . Dilakukan di Poli ginekologi dan uroginekologi RSCM sejak bulan Juli 2017 hingga November 2017. HASIL. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa dari 385 orang subyek penelitian didapat 13 mengalami prolaps organ panggul dengan proporsi masing-masing 11.2 mengalami prolaps uteri, 12.3 sistokel, dan 11.7 mengalami rektokel. Uji validitas dengan Pearson test dan reliabilitas dari kuesioner PFDI-20 menunjukan hasil valid dan reliabel. Penurunan sejauh 2.5 cm diatas himen yaitu prolapse derajat 1 sudah bisa menimbulkan keluhan penurunan organ panggul. Sedangkan untuk komponen keluhan pada kuesioner didapat PDFI-16 AUC 0.828 ndash; 0.860, IK 95 dan PFDI-19 AUC 0.831 - 0.854, IK 95 yaitu keluhan sulit menahan kemih dan sulit berkemih dianggap sebagai keluhan penurunan organ panggul yang lebih dini dirasakan oleh subyek penelitian. KESIMPULAN. Kuesioner PFDI-20 dapat digunakan sebagai skrining keluhan prolaps organ panggul. Ambang batas prolaps organ panggul yaitu jarak 2,5 cm diatas himen didalam vagina mulai menunjukkan adanya keluhan. Kata Kunci. Prolaps organ panggul, prolaps uteri, sistokel, rektokel.

BACKGROUND. Prolaps of pelvic organs lead to complaints of pelvic floor weakness that may affect a woman 39;s quality of life. Urogenital organ prolapse is experienced by 30-50 of women aged 20-59 years. Proper treatment and early diagnosis of these disorders become one of effective efforts. To be able to perform early treatment is required early recognition of the assessment of pelvic organ prolapse with minimal complaints in patients. Previous studies conducted on 296 women over the age of 40 years, resulted a 0.5 cm vaginal protruded under the hymen can accurately predict symptoms of protrusion or prolapse of pelvic organ. In Indonesia there has been no research on pelvic organ prolapse thresholds that can estimate complaints of pelvic floor weakness. This study is aim to reveal of pelvic organ prolapse thresholds that can estimate complains of pelvic floor weakness, the prevalence of POP cases in RSCM and the sensitivity and specificity of PFDI-20 questionnare in assessing POP complaints. METHOD. This study is a cross sectional study. Data was taken from direct examination POP-Q and interview PFDI-20 questionnaire . Performed in the Gynecology and Urogynecology outpatient clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2017 to November 2017 RESULTS. From 385 subjects, 13 had pelvic organ prolapse with proportion of 11.2 having uterine prolapse, 12.3 cystocele, and 11.7 had rectocele. Validity test with Pearson test and reliability of PFDI-20 questionnaire showed valid and reliable results. A decrease of 2.5 cm above the hymen ie 1st degree of prolapse can lead to early complaints of pelvic organ descent. As for the complaint component of the questionnaire revealed that PDFI-16 AUC 0.828 - 0.860, 95 IK and PFDI-19 AUC 0.831 - 0.854, 95 IK , that is difficult to resist urinary complaints and difficult in micturition, is considered an early complaint of pelvic organ felt by subjects. CONCLUSION. The PFDI-20 questionnaire can be used as a screening for pelvic organ prolapse complaints. The pelvic organ pelvic prolapse threshold of 2.5 cm above the hymen inside the vagina begins to show a complaint. Keywords. Pelvic organ prolapse, uterine prolapse, cystocele, rectocele"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prananda Darmobaroto A
"ABSTRAK
Latar Belakang: Telah terjadi peningkatan prevalensi pengguna rokok listrik di Indonesia dalam setahun terakhir. Rokok listrik digunakan oleh berbagai kelompok dan usia. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kecanduan nikotin menggunakan kuesioner Fagerstorm dan dampak penggunaannya. rokok listrik di saluran pernapasan. Metode: Penelitian dilakukan oleh menggunakan studi cross-sectional analitik observasional. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 993 responden yang dipilih dengan metode random sampling. Hubungan antar variabel dianalisis dengan uji Chi Square bivariat. Hasil: Berdasarkan Uji Chi Square, ada perbedaan yang signifikan dalam status gizi perokok dengan ketergantungan listrik ringan dan ketergantungan berat menggunakan kuesioner Fagerstorm (p = 0,122). Gejala sering dikeluhkan menggunakan e-rokok termasuk hit tenggorokan. Diskusi: Ketergantungan yang paling parah dari pengguna rokok elektrik memiliki status gizi yang lebih rendah. Merokok elektrik dapat digunakan sebagai pengontrol untuk menambah berat badan dalam menghentikan kebiasaan merokok. Dampak penggunaan e-rokok pada kesehatan tubuh termasuk peradangan saluran udara, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit neurovaskular, disregulasi lipid, disfungsi hati, dan keganasan.

ABSTRACT
Background: There has been an increase in the prevalence of electric cigarette users in Indonesia in the past year. Electric cigarettes are used by various groups and ages. Objective: The purpose of this study was to determine the relationship between nutritional status and nicotine addiction using the Fagerstorm questionnaire and the impact of its use. electric cigarette in the respiratory tract. Method: The study was conducted by using an observational analytic cross-sectional study. The sample used in this study was 993 respondents selected by the random sampling method. Relationships between variables were analyzed with the Chi Square bivariate test. Results: Based on the Chi Square Test, there were significant differences in the nutritional status of smokers with mild electrical dependency and heavy dependence using the Fagerstorm questionnaire (p = 0.122). Symptoms are often complained of using e-cigarettes including throat hits. Discussion: The most severe dependence of e-cigarette users has lower nutritional status. Electric smoking can be used as a controller to gain weight in stopping smoking. The impact of using e-cigarettes on body health includes inflammation of the airways, increasing the risk of cardiovascular disease, neurovascular disease, lipid dysregulation, liver dysfunction, and malignancy."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>