Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172174 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmat Hidayat
"Penelitian etnoekologi dan etnobotani Masyarakat Melayu dilakukan di Dusun Mengkadai Sarolangun, Jambi. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat lokasi dusun yang dekat dengan ibukota kabupaten sehingga memengaruhi gaya hidup masyarakat. Tujuan penelitian ini ialah untuk memahami hubungan antara masyarakat Dusun Mengkadai dengan lanskap mereka, juga pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan. Penelitian ini mencakup persepsi, pemanfaatan, dan sistem pengelolaan lanskap oleh masyarakat Melayu, juga dinamika lanskap di Dusun Mengkadai. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan adaptasi lingkungan masyarakat Melayu, dinamika lanskap, pengetahuan tentang tumbuhan, dan valuasi pemanfaatan tumbuhan. Metode penelitian diadaptasi dari Multidisiplinary Landscape Assessment (MLA). Hasil penelitian menunjukkan klasifikasi lokal atas lanskap dan keanekaragaman tumbuhan di dalamnya. Masyarakat mengklasifikasikan lanskap ke dalam 12 satuan lanskap, yaitu dusun/laman (66 spesies), umo, sawah (35 spesies), kebun para (33 spesies), kebun kelapo sawit (35 spesies), kebun tanaman mudo (14 spesies), jerami (49 spesies), beluka (46 spesies), beluka tuo (65 spesies), batang ayik (17 spesies), imbo inum (64 spesies), dan imbo larangan (131 spesies). Dinamika lanskap di Dusun Mengkadai berkaitan dengan aktivitas manusia dalam mengekstraksi spesies-spesies penting dan perluasan perkebunan karet dan kelapa sawit. Terkait dengan pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan, ada 80 spesies penting dari 295 spesies tumbuhan yang ditemukan di Dusun Mengkadai, yang digunakan untuk bahan makanan (LUVI = 6%), bahan konstruksi berat (LUVI = 6,5%), bahan konstruksi ringan (LUVI = 5%), bahan obat- obatan (LUVI = 5,5%), bahan teknologi lokal dan seni (LUVI = 5,5%), tali-temali (LUVI = 3%), bahan hiasan/ritual/adat (LUVI = 5,5% ), sumber penghasilan (LUVI = 8%), bahan pewarna (LUVI = 3%), dan kayu bakar (LUVI = 3,5%). Bagaimanapun, perluasan perkebunan monokultur telah menurunkan keanekaragaman tumbuhan, serta pengetahuan dan pemanfaatannya.

Ethnoecology and Ethnobotany of Malay Society are studied in Dusun Mengkadai Sarolangun, Jambi. This study is very important because the easer access to the urban that influence people’s lifestyles. The objectives of this study is to understand the relationship between Dusun Mengkadai society and their landscape, and also their knowledge and utilization of plant. This study covers perception, utilization and management system of landscape by Malay society, also dynamics of landscape in Dusun Mengkadai. This study is expected to describe the environmental adaptation of Malay society, dynamics of landscape, knowledge of plant, and valuation of plant utilization. The methods of this study is adapted from Multidisiplinary Landscape Assessment (MLA). The result of this study showed the local classification of the landscape and plant diversity in Dusun Mengkadai. The society have classified the landscape in twelve units, included dusun/laman (66 species), umo, sawah (35 species), kebun para (33 species), kebun kelapo sawit (35 species), kebun tanaman mudo (14 species), jerami (49 species), beluka (46 species), beluka tuo (65 species), batang ayik (17 species), imbo inum (64 species), and imbo larangan (131 species). Landscape dynamics in Dusun Mengkadai is related to human activities in harvested important species and expansion of rubber and palm oil plantations. Related to the knowledge and utilization of plant, there are 80 significant species from 295 species of plants acquired in Dusun Mengkadai, which are used for foods (LUVI= 6%), heavy construction (LUVI= 6.5%), lightweight construction (LUVI= 5%), medicinal plant (LUVI= 5.5%), local technology and art (LUVI= 5.5%), rigging (LUVI= 3%), ornament/ritual/tradition (LUVI= 5.5%), revenue (LUVI= 8%), dyes (LUVI= 3%), and firewood (LUVI= 3.5%). After all, expansion of monoculture plantation has reduced plant diversity and also plant knowledge and utilization.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T34593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eisya Hanina Hidayati
"Tradisi lisan seringkali menjadi sarana penting dalam menyimpan dan meneruskan pengetahuan ekologi dan biologi masyarakat lokal, termasuk pemahaman tentang pemanfaatan hewan dan tumbuhan lokal. Tatangar Banjar merupakan tradisi lisan yang mengandung beragam pengetahuan lokal dan pandangan masyarakat Banjar dalam bentuk pertanda-pertanda. Banyak spesies tumbuhan dan hewan lokal telah terdokumentasi sebagai pertanda Tatangar, namun dokumentasi pengetahuan lisan tersebut masih minim, dan penelitian etnobiologi yang mendalam belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian eksplorasi terhadap tumbuhan dan hewan yang berperan sebagai Tatangar dilaksanakan selama 10 bulan, dari Februari hingga November 2023, di Desa Mandiangin Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara semi-struktural terhadap 3 informan kunci, dengan total 32 responden dari berbagai kelompok generasi. Data etnobotani yang terkandung dalam Tatangar dianalisis menggunakan Use Value (UV) dan Index of Cultural Significance (ICS). Sementara itu, data etnozoologi yang termuat dalam Tatangar juga dianalisis dengan Use Value (UV) dan Cultural Significance Index (CSI). Masyarakat Banjar di Desa Mandiangin Barat menggunakan 35 spesies tumbuhan dari 20 famili dan 28 genus serta 40 spesies hewan dari 10 kelas dan 24 ordo sebagai pertanda Tatangar. Pengetahuan etnobiologi yang dikodekan dalam tradisi lisan tersebut mencakup pemanfaatan spesies sebagai indikator cuaca dan iklim, indikator ekologis yang juga meliputi asosiasinya dengan spesies lain, mitigasi bencana alam, serta simbolisme kepercayaan masyarakat Banjar. Meski banyak spesies tumbuhan dan hewan yang disebutkan memiliki nilai kegunaan dan indeks kepentingan budaya yang tinggi selain peran mereka sebagai Tatangar, sebagian besar hewan memiliki nilai UV dan CSI yang rendah karena digunakan hanya sebagai pertanda Tatangar, tanpa pemanfaatan lain. Beberapa spesies tumbuhan dan hewan yang disebutkan juga merupakan spesies yang dilindungi serta masuk dalam daftar merah IUCN dan Apendiks CITES. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan dan hewan yang berperan sebagai Tatangar memiliki nilai simbolik penting bagi masyarakat maupun dalam ekosistem dan dapat menjadi upaya mempromosikan kesadaran ekologis dan pengelolaan keanekaragaman hayati lokal di Kalimantan Selatan.

Oral traditions often serve as vital repositories and conduits for passing on ecological and biological knowledge within local communities, encompassing insights into the utilization of local plants and animals. Tatangar Banjar is an oral tradition embodying diverse local knowledge and perspectives of the Banjar community in the form of omens or signs. Despite many local plant and animal species being documented as Tatangar signs, documentation of this oral knowledge remains limited, and in-depth ethnobiological research has not been previously undertaken. Exploratory research into the plants and animals that play a role as Tatangar signs was conducted over 10 months, from February to November 2023, in Mandiangin Barat Village, Banjar Regency, South Kalimantan. Data collection involved observational studies and semi-structured interviews with three key informants, totaling 32 respondents from various generational groups. Etnobotanical data within Tatangar were analyzed using Use Value (UV) and Index of Cultural Significance (ICS). Concurrently, etnozoological data within Tatangar were also analyzed using Use Value (UV) and Cultural Significance Index (CSI). The Banjar community in Mandiangin Barat utilized 35 plant species from 20 families and 28 genera, alongside 40 animal species from 10 classes and 24 orders, as Tatangar signs. The ethnobiological knowledge encoded within this oral tradition encompasses the utilization of species as indicators of weather and climate, ecological indicators including their associations with other species, natural disaster mitigation, and symbolism in Banjar community beliefs. While many mentioned plant and animal species hold significant utility and cultural importance beyond their roles as Tatangar signs, most animals have low UV and CSI values as they are solely used as Tatangar indicators without additional utilization. Some of the mentioned plant and animal species are also protected and listed in the IUCN Red List and CITES Appendices. These findings highlight the important symbolic value of plants and animals serving as Tatangar signs within both the community and ecosystem, serving as a means to promote ecological awareness and the management of local biodiversity in South Kalimantan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Putri Agustina
"ABSTRAK
Pekarangan adalah salah satu lanskap khas pedesaan, yang memiliki berbagai fungsi krusial. Pekarangan juga merupakan tempat konservasi berbagai sumberdaya hayati lokal. Pekarangan di Kecamatan Pujon telah mulai di kelola kembali sejak adanya kegiatan wisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi penyusun pekarangan di Kecamatan Pujon dan juga mendokumentasikan pengetahuan lokal mengenai manfaatnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-November 2018. Sebanyak 90 pekarangan telah dijadikan sampel. Terdiri dari 30 pekarangan di dekat sungai, 30 pekarangan di dekat akses jalan dan 30 pekarangan di dekat hutan. Pekarangan tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori ukuran yaitu besar, sedang dan kecil. Data diambil menggunakan wawancara terstruktur dan semi terstruktur terhadap pemilik pekarangan. Data dianalisis secara kualitatif dengan statistika deskriptif untuk menggambarkan pengetahuan lokal masyarakat. Data tumbuhan dianalisis dengan menghitung Nilai Indeks Penting (INP), Indeks Shannon-Wiener, Indeks kesamaan dan ketidaksamaan. Data pengetahuan lokal dianalisis dengan menghitung nilai kepentingan lokal (Local Users Value Index, LUVI) dan nilai kultural (Index of Cultural Significance, ICS). Terdapat 5 lanskap di Kecamatan Pujon yaitu sawah, tanah tetelan, tegalan, pekarangan dan hutan. Pekarangan merupakan lanskap terpenting keempat dari kelima lanskap tersebut. Terdapat 13 kategori guna tanaman pada pekarangan di Kecamatan Pujon. Tiga belas kategori guna tersebut adalah pangan (PDM=13,3), sayuran (PDM=11,6), bumbu (PDM=9,4), buah (PDM=8,6), minuman (PDM=8,1), obat (PDM=7,9), pakan ternak (PDM=7,7), ornamental (PDM=7,6), papan (PDM=7,1), ritual (PDM=6,5), pagar (PDM=5,3), pewarna (PDM=4,6) dan tanaman pengganggu (2,3). Pekarangan di dekat sungai memiliki nilai INP paling tinggi, diikuti oleh pekarangan di dekat hutan dan pekarangan di dekat jalan. Berdasarkan Indeks Shannon-Wiener, keanekaragaman jenis tanaman pada pekarangan di Kecamatan Pujon termasuk ke dalam kategori sedang-tinggi. Indeks kesamaan antara pekarangan berdasarkan ukurannya, lebih kecil dari pada indeks ketidaksamannya. Sebanyak 39 tanaman yang terdiri dari 3 tanaman penting dalam masing-masing kategori telah dihitung nilai kulturalnya. Bagi masyarakat di Kecamatan Pujon tanaman yang memiliki nilai ICS tinggi adalah klopo (Cocos nucifera) (ICS=53,42) dan gedang (Musa x paradisiata) (ICS=45,83). Pekarangan di Kecamatan Pujon memiliki berbagai jenis tanaman yang berguna bagi pemiliknya. Pekarangan juga memberikan ecosystem services terhadap lingkungan disekitarnya.

ABSTRACT
Home garden is one of the rural traditional landscapes, which has various crucial functions. Home garden also a place to conserve various local resources. Home garden in Pujon Sub-district has begun to be managed again since the existence of tourism activities. This research was conducted in April-November 2019. In total 90 home gardens were sampled. It consists of 30 home gardens near the river, 30 home gardens near the road access and 30 home gardens near the forest. These home garden grouped into three categories there are large, medium and small sizes. Data was taken using structured and semi-structured interviews with the home garden owner. Data were analyzed qualitatively with descriptive statistics to analyze local knowledge. Vegetation data were analyze by calculating Important Value Index (IVI), Shannon-Wiener indeks, simillarity and dissimilarity index. Local knowledge data were analyzed by calculating Index Cultural Significance (ICS), and Local User Value Index (LUVI). There are 5 landcapes in Pujon Sub-district there are, sawah, tanah tetelan, tegalan, home garden and forests. Home garden is the fourth important lanskap in Pujon Sub-district. There are 13 categories of plants used in the home garden in Pujon Sub-district. There are food (PDM = 13.3), vegetables (PDM = 11.6), spices and herbs (PDM = 9.4), fruit (PDM = 8.6), beverages (PDM = 8.1), medicinal plant (PDM = 7.9), fodder (PDM = 7.7), ornamental (PDM = 7.6), home material (PDM = 7.1), ritual and spiritual (PDM = 6.5), fence (PDM = 5.3), natural coloring for foods (PDM = 4.6) and weeds and grasses (2,3). Home garden near the river have hightest IVI, followed by home garden near the forest and home garden near the road. Based on Shannon-Wiener Index, the flora diversity of home garden In Pujon Subdistrict are medium-rich. Simillarity index between home garden based on their sizes, are smallest than the dissimilarity index. In total 39 plants have analyzed using ICS, its consist of 3 plant from each categories. For the people in Pujon Sub-district, the plants that have high ICS were klopo (Cocos nucifera) (ICS = 53.42) and gedang (Musa x paradisiata) (ICS = 45.83). Home garden in Pujon Subdistrict consist of many plant species that have important role for the owner. Home garden also provide ecosystem services for the environtment.
"
2019
T53766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Hasymi Mahmudah
"ABSTRAK
Penelitian dilakukan di Dusun Mengkadai Desa Temenggung Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, Jambi. Penelitian bertujuan untuk mengungkap pemanfaatan tumbuhan berguna di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM) dalam kehidupan sehari-hari menurut perspektif lokal. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober -- Desember 2012. Metode yang digunakan ialah PEA (Participatory Ethnobotanical Appraisal) yang terdiri dari wawancara semi terstruktur, observasi partisipatif dan FGD (Focus Group Discussion). Untuk mengetahui nilai kepentingan spesies tumbuhan setiap kategori pemanfaatan berdasarkan perspektif masyarakat dilakukan analisis LUVI sementara itu untuk mengetahui sistem budaya masyarakat lokal terkait dengan pemanfaatan spesies tumbuhan dianalisis dengan ICS. Hasil penelitian mencatat, tumbuhan berguna di HAIM yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan nilai LUVI-nya ialah untuk konstruksi berat 69 spesies (LUVI = 0,22), bahan makanan 32 spesies (LUVI =0,11), bahan obat-obatan 29 spesies (LUVI = 0,10), bahan konstruksi ringan 61 spesies (LUVI = 0,10), bahan teknologi lokal dan seni 43 spesies (LUVI = 0,9), bahan hiasan/adat/ritual 12 spesies (LUVI = 0,09), bahan tali temali 11 spesies (LUVI = 0,9), bahan kayu bakar 17 spesies (LUVI = 0,08),sumber penghasilan 3 spesies (LUVI =0,07) dan bahan pewarna 1 spesies (LUVI =0,05). Artocarpus elasticus mendapat nilai ICS tertinggi yaitu 56, yang dimanfaatkan untuk bahan makanan, bahan konstruksi ringan, bahan teknologi lokal dan seni, serta bahan tali-temali."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Hermawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi pohon hutan pamah
dan struktur tegakannya di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM). Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode jalur yang dikombinasikan dengan
metode petak. Pengamatan dilakukan pada cuplikan yang berjumlah 100 petak
masing-masing berukuran 10 m x 10 m sehingga luas total petak 1 hektare, yang
disebar secara sistematis pada beberapa jalur. Berdasarkan hasil penelititan
didapat pohon sejumlah 96 spesies 34 famili dari 681 individu pohon. Famili
yang mempunyai keanekaragaman jenis terbanyak adalah Euphorbiaceae,
Moraceae, Annonaceae , Lauraceae , Dipterocarpacea dan Myrtaceae dengan
Nilai Kepentingan (NK) yang paling tinggi yaitu Sloetia elongata. Hutan Adat
imbo Mengkadai termasuk kawasan hutan pamah yang di dalamnya terdapat
sebaran pohon Artocarpus. Genus Artocarpus merupakan pohon yang banyak
menghasilkan buah dan mempunyai berbagai manfaat. Hasil inventaris genus
Artocarpus di HAIM didapat tujuh spesies Artocarpus yaitu A. integer, A.
rigidus, A. nitidus, A. anisophyllus, A. odoratissimus. A. elasticus dan A. cf.
vrieseanus. Jumlah spesies yang kerapatannya tinggi yaitu A. rigidus (15 pohon),
dan yang terendah A. cf. vriseanus (2 pohon). Untuk melihat pola sebaran
Artocarpus menggunakan Indeks Morista, hasil analisis menunjukkan setiap
spesies berbeda. Pola sebaran berkelompok terdapat pada A. rigidus, pola sebaran
acak terdapat pada A. integer dan A. anisophyllus, pola sebaran teratur terdapat
pada A. odoratissima, A. elasticus, A. nitidus dan A. cf vriseanus. Hasil
perhitungan Nilai Kepentingan (NK) tertinggi terdapat pada A. rigidus tingkat
pohon (NK=84,9) belta (NK=84,4) yang terendah A. cf vrieseanus tingkat pohon
(NK=13,6) tingkat belta (NK=13,5). Regenerasi yang bagus terdapat pada A.
nitidus dan A. rigidus di mana kerapatan tingkat belta dan pohon perbandingannya
tidak jauh berbeda. Pada masa akan datang spesies A. nitidus dan A. rigidus
mempunyai peluang terbesar untuk dapat bertahan di tegakan HAIM.
ABSTRACT
This study aims to determine the composition of tree lowland forest and structure
of the its standing in Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM). The study was
conducted by using the transect method combined with the plot method.
Observations were made on samples totaling 100 plots each measuring 10 m x 10
m constituting total area of 1 hectare, which were distributed systematically. The
tree inventory recorded 96 species of 34 families and 681individuals. Families
that have the highest species diversity are Euphorbiaceae, Moraceae,
Annonaceae, Lauraceae, Dipterocarpacea and Myrtaceae. Sloetiea elongata has
the highest Important Value (IV). Hutan Adat Imbo Mengkadai is a lowland
forest area. Containing Artocarpus species are trees that produce a lot of fruits and
many other benefits. Inventory results obtained Seven species. Artocarpus were
recorded namely A. integer, A. rigidus, A. nitidus, A. anisophyllus, A.
odoratissimus. A. elasticus and A. cf vriseanus. The species with highest density
is, A. rigidus (15 trees), and the lowest A. cf vrieseanus (2 trees). The distribution
pattern of Artocarpus using Morista index, showed. Clustered distribution pattern
in A. rigidus, random distribution pattern in A. integer and A. anisophyllus,
regular distribution pattern in A. odoratissima, A. elasticus, A. nitidus and A. cf
vrieseanus. Species with highest Importance Value (IV) was A. rigidus at tree
level (IV = 84.9) sapling (IV = 84.4) is the lowest tree level was A. cf vrieseanus
(IV = 13.6) and at sapling level (IV = 13.5). Good regeneration occurred in A.
nitidus and A. rigidus where sapling and tree densities were comparably not much
different. In the future A. nitidus and A. rigidus will survive in the HAIM."
2013
T35348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elviqar
"Analisis vegetasi dan studi regenerasi di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM), Desa Temenggung, Kabupaten Sarolangun, Provinsi jambi dilakukan pada bulan Oktober - Desember 2012. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode petak 1 hektare. Inventarisasi spesies-spesies pohon dilakukan dengan 100 petak yang masing-masing berukuran 10x10 m. Hasil inventaris pohon diameter ≥ 10 cm tercatat 79 spesies, dari 765 individu pohon dengan total luas bidang dasar 44,85 m2. Tercatat pula untuk tingkat belta sebanyak 82 spesies, dari 1404 individu dengan total luas bidang dasar 7,70 m2. Pada tingkat semai sebanyak 64 spesies, dari 797 individu dengan total luas bidang dasar 0,02 m2. Kepindis putih (Sloetia elongata) mendominasi pada tingkat pohon, yang diikuti oleh Kelat merah (Ctenolophon parvifolius) dengan nilai kepentingan (NK) berturut - turut 28, 97% dan 19,68%. Analisis sebaran spesies terdapat 21 spesies umumnya terdapat di hutan sekunder dan 75 spesies umumnya terdapat di hutan primer. Seluruh pohon yang terdapat di HAIM adalah tumbuhan asli yang tumbuh secara alami, dan beberapa di antaranya termasuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh hukum di Indonesia. Di antara 10 spesies utama S. elongata, Baccaurea javanica dan C. parvifolius merupakan spesies memiliki jumlah belta dan semai yang tinggi. Pohon Kepindis putih (S. elongata) merupakan spesies dengan jumlah kerapatan tinggi pada tingkat pohon dan pada belta sebaliknya pada tingkat semai menurun. Hal tersebut menunjukkan mungkin suatu saat nanti S. elongata akan berkurang di kawasan hutan adat dan digantikan oleh spesies lain, seperti B. javanica yang jumlahnya menjadi lebih dominan. Keadaan struktur dan komposisi flora HAIM yang sedang mengalami suksesi dapat menuju hutan klimaks jika kawasan tidak terganggu. Sebanyak 78 spesies atau 81,25% dari total keseluruhan spesies pohon yang tercatat mengalami regenerasi dalam kawasan. Di masa depan HAIM akan didominasi oleh spesies pohon hutan primer seperti Ctenolophon parvifolius dan spesies-spesies dari famili Dipterocarpaceae, dengan pohon induk saat ini tersebar di seluruh kawasan HAIM.

Vegetation analysis and tree regeneration study in the Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM), Temenggung Village, Sarolangun Regency, Jambi Province was conducted from October until December 2012. A tree species enumeration was carried out in a one-hectare plot. A total of 765 trees (diameter at breast high, dbh ≥ 10 cm) with total basal area of 44,85 m2 comprising 96 species were recorded. The sapling species recorded were 82, consisting of 1404 individuals, with a total basal area of 7,70 m2 while for the seedlings 797 individuals with a total basal area of 0.02 m2were recorded, representing 64 species. Kepindis putih (Sloetia elongata) and Kelat merah (Ctenolophon parvifolius) were dominant with the Importance Values of 28,97% and 19,68% respectively. The presence of S. elongata, C. parvifolius, Shorea spp., Pimelodendron griffithianum, among others , indicated that the forest was a regenerating natural forest leading to the primary forest. Among the 96 species recorded, 21 species were trees commonly found in secondary forests and 75 species of trees the primary forest. All tress in the forest are native plant that grows naturally, some of which are included in the category of rare and protected by the laws of Indonesia. Among the 10 prevalent species, S. elongata, Baccaurea javanica, and C. parvifolius contained the highest number of sapling and seedling. The Kepindis putih tree S. elongata, which was the species with highest in the sapling stage and contained high density in seedling stages may initially grow readily in the forest, but it will be eventually replaced as the dominant by other primary forest species, such as Ctenolophon parvifolius and Shorea spp. In term of structure and floristic composition, the forest at HAIM is undergoing succession leading to the climax forest if undisturbed. A total of 78 species (81,25%) have been regenerating in the plot. In the future the forest will be dominated by primary forest species, whose parent trees are currently scattered throughout the forest of HAIM."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T34605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nikmatullah
"Etnoekologi dan Etnobotani Tumbuhan Obat pada Masyarakat Baduy-Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Telah dilakukan kajian pengetahuan pemanfaatan lanskap dan pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Baduy-Dalam. Tujuan penelitian ini mengungkapkan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang tersebar pada berbagai lanskap yang sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy-Dalam. Penelitian telah dilaksanakan pada September 2017 sampai Januari 2018. Pengambilan data menggunakan pendekatan emik dan etik melalui wawancara semi terstruktur close ended, open ended, observasi partisipatif, Focus Group Discussion FGD, analisis vegetasi dan jelajah bebas. Wawancara dilakukan pada 3 informan kunci dan 108 responden umum. Data dianalisis secara kualitatif dengan statistika deskriptif untuk menggambarkan pengetahuan lokal masyarakat dan kuantitatif dianalisis dengan menghitung nilai kultural Index of Cultural Significance, ICS, dan nilai kepentingan lokal Local User Value Index, LUVI. Berdasarkan hasil penelitian, Baduy-Dalam mengenal 7 unit lanskap, yaitu Leuweng lembur Pemukiman, Cai sungai, Huma ladang, Jami bekas ladang ditinggalkan 1 tahun, Rheuma bekas ladang ditinggalkan 3 tahun, Rheuma kolot bekas ladang ditinggalkan 7 tahun, dan Leuweng kolot hutan lindung. Lansekap yang dianggap paling penting ialah leuweung lembur pemukiman dengan nilai rata-rata kepentingan 28.8. Pada 7 lanskap ditemukan 98 spesies tumbuhan obat yang memiliki 46 kegunaan, terdiri dari 91 genus dan 46 famili. Famili terbanyak ialah Asteraceae dan Zingiberaceae. Nilai ICS dan LUVI tumbuhan obat tertinggi di Cibeo dimiliki oleh Cocos nucifera ICS=24, LUVI=2.25 untuk laki-laki muda, Cocos nucifera ICS=24 dan Kaempferia galanga LUVI=1.91 untuk laki-laki dewasa, Kaempferia galanga ICS=16 dan Cocos nucifera LUVI=1.95 untuk laki-laki tua, Psidium guajava ICS=24, LUVI=2.15 untuk perempuan muda, K. galanga dan Z. cassumunar ICS=12 dan Zingiber cassumunar LUVI=1.63 untuk perempuan dewasa, Pterocarpus indicus, Kaempferia galanga, Dinochloa scandens, Gigantochloa apus, Zingiber officinale, dan Crassocephalum crepidioides ICS=9 dan Cyrtandra pendula LUVI=1.57 untuk perempuan tua. Adapun Nilai ICS dan LUVI tumbuhan obat tertinggi di Cikeusik dimiliki oleh Cocos nucifera ICS=18, LUVI=2 untuk laki-laki muda, Cocos nucifera ICS=24 dan Cassia alata LUVI=1.35 untuk laki-laki dewasa, Cassia alata, Ageratum conyzoides, Cyrtandra pendula, Kaempferia galanga, Abrus precatorius, Mikania cordata ICS=9 dan Bridelia monoica LUVI=1.65 untuk laki-laki tua, Cocos nucifera ICS=24, LUVI=1.35 untuk perempuan muda, Kaempferia galanga ICS=12 dan Bridelia monoica LUVI=1.06 untuk perempuan dewasa, dan Gigantochloa apus, Blumea balsamifera ICS=12 dan Cassia alata LUVI=1.01 untuk perempuan tua.

Ethnoecology and Ethnobotany of Medicinal Plants in Baduy Dalam Society Kanekes Village, Leuwidamar District, Lebak Regency, Banten.A study of utilization of landscape and medicinal plants has been undertaken in Baduy Dalam society. The purpose of this study is to reveals the diversity of medicinal plant species scattered in various landscapes that have been known and utilized by Baduy Dalam society. The study has been conducted from September 2017 to January 2018. Data was collected through semi structured close ended, open ended, participatory observation, focus group discussion FGD interviews, vegetation analysis and free roaming interviews. Interviews were conducted from 3 key informants and 108 general respondents. Data were analyzed qualitatively by descriptive statistics to describe local knowledges society and quantitative analyzed by calculating of Index of Cultural Significance ICS, and local user 39 s value Index LUVI. Based on research results, Baduy Dalam society recognizes 7 landscape units, namely Leuweung lembur residential area, Cai river, Huma field, Jami one year abandoned field, Rheuma three years abandoned field, Rheuma kolot seven years abandoned field, and Leuweung kolot protected forest. Leuweung lembur residential area considered the most important landscape which it has average of importance value of 28.8. It has been found 98 species of medicinal plants which is have 46 usefulness. It consists of 91 genera and 46 families. The most of families are Asteraceae and Zingiberaceae. The highest of ICS and LUVI values in Cibeo, category of young male chosen C. nucifera ICS 24, LUVI 2.25, category of adult male Cocos nucifera ICS 24 and Kaempferia galanga LUVI 1.91, category of old male Kaempferia galanga ICS 16 and Cocos nucifera LUVI 1.95, Psidium guajava category of young female chosen ICS 24, LUVI 2.15, category of adult female Kaempferia galanga and Zingiber cassumunar ICS 12 and Zingiber cassumunar LUVI 1.63, and category old female Pterocarpus indicus, Kaempferia galanga, Dinochloa scandens, Gigantochloa apus, Zingiber officinale, and Crassocephalum crepidioides ICS 9 and Cassia pendula LUVI 1.57. The highest of ICS and LUVI values in Cikeusik category young male chosen Cocos nucifera ICS 18, LUVI 2, category of adult male Cocos nucifera ICS 24 and Cassia alata LUVI 1.35, category of old male Cocos alata, Ageratum conyzoides, Cyrtandra. pendula, aempferia. galanga, Abrus precatorius, Mikania cordata ICS 9 and Bridelia monoica LUVI 1.65, category of young female Cocos nucifera ICS 24, LUVI 1.35, category of adult female Kaempferia galanga ICS 12 and Bridelia monoica LUVI 1.06 and category of old female Gigantochloa apus, Blume balsamifera ICS 12 and Cassia alata LUVI 1.01."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2018
T49831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wika Mardhiyah
"Pengembangan manfaat tumbuhan obat dimulai dengan mengumpulkan informasi dari pengetahuan lokal yang dimiliki berbagai etnis. Salah satu etnis yang unik di Indonesia adalah etnis Minangkabau yang berasal dari Nagari Tuo Pariangan karena memiliki sistem matrilineal. Berdasarkan survey pendahuluan diketahui bahwa sebagian besar tumbuhan obat di Nagari Tuo Pariangan dibudidayakan di pekarangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat mengenai tumbuhan obat dan potensi pekarangan sebagai kawasan konservasi. Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan pada bulan Januari sampai September 2019. Pengambilan data etnobotani dilakukan dengan wawancara semiterstruktur pada 7 orang informan kunci dan 46 orang responden umum. Pengambilan data etnoekologi pekarangan dilakukan dengan analisis vegetasi pada 30 buah rumah. Data etnobotani diolah dengan menghitung Use Value (UV), Index of Cultural Significance (ICS), dan Relative Frequency of Citation (RFC). Data etnoekologi diolah dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman (H), Indeks Kemerataan (e), dan Kekayaan Spesies (DMg). Analisis data dilakukan secara statistika deskriptif. Masyarakat memanfaatkan 139 spesies tumbuhan obat yang tergolong ke dalam 110 genus dan 59 famili. Tumbuhan obat digunakan untuk mengobati 73 jenis penyakit yang dikelompokkan menjadi 10 kategori. Curcuma longa, Kalanchoe laciniata, Zingiber officinale, dan Orthosiphon aristatus merupakan tumbuhan obat dengan UV, ICS, dan RFC yang tinggi. Sebagian besar tumbuhan obat menurut masyarakat memiliki UV, ICS, dan RFC yang termasuk ke dalam kategori rendah sehingga perlu dikonservasi. Masyarakat menanam 197 sepesies tanaman di pekarangan, termasuk ke dalam 148 genus dan 67 famili. Jumlah spesies tanaman terbanyak ditemukan di pekarangan Jorong Pariangan (117 spesies), sementara persentase tanaman obat tertinggi ditemukan di pekarangan Jorong Guguak (65,6%). Indeks keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan spesies tanaman obat di pekarangan yang tergolong tinggi membuktikan bahwa masyarakat Nagari Tuo Pariangan menanam cukup banyak spesies tanaman obat. Pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi tanaman obat.

Development of the benefits of medicinal plants begins with gathering information from local knowledge held by various ethnic groups. One of the unique ethnic groups in Indonesia is the Minangkabau ethnic originating from Nagari Tuo Pariangan because it has matrilineal system. Based on preliminary surveys it is known that most of the medicinal plants in Nagari Tuo Pariangan are cultivated in the yard. The purpose of this study is to examine the traditional knowledge of community about medicinal plants and the potential of yard as a conservation area. The research was conducted for nine months from January to September 2019. The collection of ethnobotanical data was carried out by semistructured interviews with 7 key informants and 46 general respondents. Ethnoecological data was collected by analyzing vegetation in 30 houses. Ethnobotanical data was processed by calculating the Use Value (UV), Index of Cultural Significance (ICS), and Relative Frequency of Citation (RFC), while ethnoecological data is processed by calculating the Importance Value Index (INP), Diversity Index (H), Evenness Index (e), and Species Richness (DMg). Data analysis was performed by descriptive statistics. The community utilizes 139 species of medicinal plants belonging to 110 genera and 59 families. Medicinal plants are used to treat 73 types of diseases which are grouped into 10 categories. Curcuma longa, Kalanchoe laciniata, Zingiber officinale, and Orthosiphon aristatus are medicinal plants with high UV, ICS, and RFC. Most of the medicinal plants according to the community have UV, ICS, and RFC which are included in the low category, so it needs to be conserved. The community planted 197 species in the yard, including 148 genera and 67 families. The highest number of plant species was found in Jorong Pariangan (117 species), while the highest percentage of medicinal plants was found in Jorong Guguak (65.6%). Index of diversity, evenness, and richness of medicinal plants in the yard which are classified as high prove that Nagari Tuo Pariangan community plant quite a number of medicinal plants. The yard can be used as conservation area for medicinal plants.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T54887
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Anggun Sari
"
ABSTRACT
The research was held from December 2010 up to February 2011 in Kerinci District, Jambi Province. The data collecting was doing by interview, direct observation, participation, and vegetation analysis in the field. The result shows that local community group the unit of land use in their area into 10, those are sawah or sawauh (rice fields), batang ayik or bati ayay (rivers), dusun or neghiw (villages), pelak or kandaw or cuguk (fields of vegetables and annual crops around the village), ladang pnanam mudo (annuals and vegetables crops fields), ladang pnanam tuo (complex agroforestry fields), bluka mudo (young secondary forest), bluka tuo (old secondary forest), imbo adat or imbew adaik (customary forest), and imbo lengang or imbew suwaw or imbo gano (primary forest). The people take multiple use strategy in using land and resources around them to complete their daily needs. Dual economy system makes them able to deal with the differences of ecological, social economy, cultural conditions, and the pressure of population growth. The social activity concerned with environmental antrophisation creates heterogeneity of ecosystem with the differences of floristic compositions and structures"
2011
T28561
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Pradana Putra
"Penelitian terbaru di wilayah Sumatra berhasil menemukan gambar cadas pada beberapa gua dan ceruk di
wilayah karst Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi. Pada wilayah ini gambar cadas bermotif manusia cukup banyak
ditemukan dalam bentuk dan gaya yang beragam. Penelitian ini membahas variasi motif manusia yang ditemukan
pada sembilan gua di Situs Bukit Bulan melalui analisis atribut-atribut yang melekat. Selanjutnya, motif manusia
dibandingkan dengan motif sejenis dari situs-situs di Sumatra Barat dan Lembah Lenggong, Malaysia. Perbandingan
tersebut dilakukan atas pertimbangan kedekatan lokasi dan latar belakang budaya pada ketiga wilayah tersebut. Selain
itu, bentuk dan warna motif juga relatif serupa, sehingga memunculkan dugaan bahwa kronologi gambar cadas dengan
motif spesifik berupa manusia berasal dari masa yang sama. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan mengenai variasi
bentuk dan karakteristik penggambaran motif manusia di Situs Bukit Bulan, termasuk kronologi relatifnya, sehingga
dapat diletakkan dalam konteks kebudayaan gambar cadas di Indonesia

Recent research in Sumatra has succeeded in finding rock art in several caves and niches in the Bukit Bulan
karst area, Sarolangun, Jambi. In this region, rock art with human motifs is present in many shapes and styles. This
research discusses the variation of human motifs found in nine caves at the Bukit Bulan region through an analysis of
the inherent attributes. Furthermore, the human motif were compared with similar motifs from West Sumatra and
Lenggong Valley, Malaysia. The comparisons are made based on the consideration of the proximity of the locations
and cultural backgrounds. In addition, the shape and color of the motifs of these three regions are relatively similar,
leading to the supposition that the chronology of rock art with specific motifs of humans comes from the same period.
This research resulted in conclusions about the shape variation and characteristics of human motifs representation at
the Bukit Bulan Region, including relative chronology, to associate their context in Indonesian rock art
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>