Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202730 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmat Cahyanur
"Latar Belakang : Adenoma hipofisis merupakan tumor intrakranial yang berasal dari jaringan hipofisis anterior. Manifestasi klinis yang ditimbulkan terkait dengan pendesakan massa dan gangguan sekresi hormon. Salah satu gangguan hormonal yang ditimbulkan adalah hipotiroidisme sekunder. Hipotiroidisme sekunder terkait dengan penurunan kualitas hidup serta peningkatan risiko kardiovaskular.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hipotiroidisme sekunder dan gambaran klinis pasien adenoma hipofisis.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang. Data diambil dari rekam medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu tahun 2007-2012. Data demografis pasien (usia, jenis kelamin), karakteristik klinis, jenis adenoma, data radiologis, serta hasil pemeriksaan hormon (T4 bebas dan TSH) dievaluasi pada peneltian ini.
Hasil : Selama kurun waktu 2007-2012 terdapat 63 pasien adenoma hipofisis di RSCM. Sebanyak 45 pasien memiliki data yang lengkap dan diikutsertakan sebagai subyek pada penelitian ini. Sebagian besar subyek adalah wanita (62,2%). Keluhan utama subyek adalah gangguan penglihatan (55,6%). Gejala atau tanda yang sering ditemukan adalah sakit kepala (86,7%), gangguan penglihatan (77,8%). Pada subyek wanita manifestasi yang pertama kali muncul adalah gangguan penglihatan dan gangguan fungsi seksual (39,3% dan 32,1%). Usia gejala pertama kali muncul lebih muda pada kelompok adenoma fungsional dibandingkan non fungsional (32,9 vs. 40,6). Hampir seluruh kasus yang ditemukan adalah makroadenoma (97,8%). Proporsi subyek yang mengalami hipotiroidisme sekunder adalah 40%. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan dan gangguan ereksi.
Simpulan : Gangguan penglihatan adalah keluhan utama yang sering ditemukan. Pada subyek wanita, keluhan gangguan fungsi seksual bersama dengan gangguan penglihatan adalah manifestasi yang pertama kali muncul. Proporsi hipotiroidisme sekunder pada penelitian ini adalah 40,0 %. Subyek dengan hipotiroidisme sekunder lebih banyak mengeluhkan gangguan penglihatan, gangguan ereksi.

Background : Pituitary adenoma is intracranial neoplasm that arise from anterior pituitary tissue. Clinical manifestations are caused by mass effect and hormonal secretion disorder. One of the hormonal disorder is secondary hypothyroidism. Secondary hypothyroidism is related with increased cardiovascular morbidity and decreased quality of life.
Objectives: This study described the proportion of secondary hypothyroidism and and clinical features of pituitary adenoma patients.
Methods: This study was a cross sectional study. Data were collected from medical record in Cipto Mangunkusumo Hospital, from 2007 to 2012. Demographic data (age, gender), clinical characteristic, radiological result, adenoma type, and hormonal evaluation (free T4 and TSH) were evaluated.
Result : During 2007-2012 there were 63 patients with pituitary adenoma in Cipto Mangunkusumo Hospital.There were 43 patientswho fulfilled the study criteria. Majority of patients were female (62,2%). Visual disturbance was the most common presenting symptom (55,6%). Headache and visual disturbance were symptoms that commonly found, respectively (86,7% and 77,8%). Female subjects suffered visual disturbance and sexual dysfunction as their first occured symptoms, 39,3% and 32,1% respectively. Age at first symptom was younger in the subjects with functional adenoma compared non functional (32,9 vs. 40,6). Almost all cases were macroadenoma (97,8%). Secondary Hypothyroidism proportionin this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had higher frequencies of visual distrubance and erectile dysfunction.
Summary : Visual disturbance is most common presenting symptom. Female subjects tend to had visual disturbance and sexual dysfunction as their first symptom. Secondary Hypothyroidism proportion in this study was 40 %. Subjects with secondary hypothyroidism had larger tumor diameter. Visual disturbance and erectile dysfunction commonly found in subjects with secondary hypothyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, M. Deni
"Latar Belakang: Adenoma hipofisis adalah kumpulan dari berbagai jenis tumor yang ditemukan di kelenjar hipofisis, yang dapat menyebabkan kompresi nervus optikus, sehingga menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan akibat efek penekanan massa tumor. Tindakan operasi transfenoid pada adenoma hipofisis bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan dekompresi massa tumor dengan harapan memperbaiki atau mempertahankan fungsi nervus optikus.
Tujuan: Menilai luaran fungsi penglihatan (tajam penglihatan dan lapang penglihatan) pada pasien adenoma hipofisis serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien-pasien adenoma hipofisis yang telah dioperasi transfenoid dari tahun 2012-2014. Fungsi penglihatan pasien (visus, visual impairment scale, dan lapang penglihatan) sebelum dan sesudah operasi transfenoid diambil dari rekam medik pasien.
Hasil: Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan nilai visual impairment scale (VIS). Sebanyak delapan sampel (57,1%) mengalami perbaikan dan sebanyak enam pasien (42,9%) tidak mengalami perbaikan visus. Setelah dilakukan tindakan pembedahan untuk mengangkat adenoma hipofisis dengan pendekatan transfenoid, sebagian besar pasien (57,1%) mengalami perbaikan fungsi penglihatan baik dengan metode pemeriksaan visus maupun VIS. Usia, jenis kelamin, waktu onset sampai berobat, waktu berobat sampai operasi, waktu onset sampai operasi, atau volume operasi tidak berhubungan dengan luaran fungsi penglihatan pasien.
Kesimpulan: Operasi transfenoid pada adenoma hipofisis dapat memberikan perbaikan fungsi penglihatan pada sebagian besar pasien adenoma hipofisis.

Background: Pituitary adenoma is a collection of various type tumors found in the pituitary gland, which can lead to compression of the optic nerve, causing a decrease in visual acuity and field of vision due to the suppressive effect of the tumor mass. Transphenoidal surgery on pituitary adenoma aims to diagnose and decompression of the tumor mass in order to improve or preserve optic nerve function.
Purpose: Evaluate the visual function outcomes (visual acuity and field of vision) in patients with pituitary adenoma and the factors that influence these outcomes.
Method: A cross-sectional study on patients who had transphenoidal surgery of pituitary adenoma from 2012 - 2014. The patient’s visual functions (visual acuity, visual impairment scale, and field of vision) were evaluated before and after transphenoidal surgery. The data were taken from the patient’s medical record.
Result: A total of eight patients (57.1%) showed improvement and six patients (42.9%) didn’t show improvement of visual impairment scale (VIS). A total of eight pstients (57.1%) showed improvement, and as many as six patients (42.9%) did not show vision improvement. After transphenoidal surgery, most patients (57.1%) had improved their visual functions not only by Snellen chart visual acuity test, but also by VIS score. Age, gender, time of onset to treatment, treatment time until surgery, time of onset to surgery, tumor volume before surgery were not related to the patient's visual function outcomes.
Conclusion: Transphenoidal surgery of pituitary adenoma can provide visual function improvement in most patients with pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Sari
"Adenoma hipofisis merupakan salah satu tumor primer intrakranial tersering yang sebagian dapat bersifat agresif dengan risiko rekurensi/regrowth yang lebih tinggi sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup pasien. Identifikasi awal adenoma hipofisis yang agresif dapat membantu menentukan strategi tatalaksana dan follow-up untuk mencegah terjadinya rekurensi/regrowth. Penilaian aktivitas proliferasi dengan ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis diharapkan dapat memprediksi terjadinya rekurensi/regrowth. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis yang mengalami rekurensi/regrowth dan yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan desain potong lintang. Sampel berupa kasus adenoma hipofisis di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2016-2020. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia Ki-67 dan penilaian persentase sel tumor yang terpulas positif. Analisis statistik dilakukan dengan uji komparatif numerik di antara dua kelompok tersebut. Nilai titik potong untuk prediksi rekurensi/regrowth ditentukan dengan analisis kurva receiving operator characteristic. Didapatkan 46 kasus adenoma hipofisis yang terdiri atas 23 kasus dengan rekurensi/regrowth dan 23 kasus tanpa rekurensi/regrowth. Rerata ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi/regrowth lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. (1,58% vs 0,88%, p=0,003). Nilai titik potong untuk yang direkomendasikan untuk prediksi rekurensi/regrowth sebesar 1,37%. Ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi berhubungan dengan rekurensi/regrowth pada adenoma hipofisis.

Pituitary adenoma is one of the most common primary intracranial tumor that some can behave aggresively with higher reccurrence/regrowth risk and have bad impact to patient’s quality of life. Early identification of aggressive pituitary adenoma can help for deciding aggressive treatment strategies and strict follow-up to prevent recurrence/regrowth. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence/regrowth. This study aims to evaluate Ki-67 expression in pituitary adenoma with recurrence/regrowth and without recurrence/regrowth. This is an analytic retrospective study with cross sectional study design including specimens diagnosed as pituitary adenoma recorded in archives of Anatomical Pathology Departement FMUI/CMH from 2016-2020. Ki-67 immunostaining was conducted and Ki-67 expression in percentage was evaluated. Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Cut-off point to predict recurrence/regrowth was determined using receiving operator charasteristic curve analysis. Forty-six cases were selected, consisted of 23 cases with recurrence/regrowth and 23 cases without recurrence/regrowth. There was higher expression of Ki-67 in adenoma with recurrence/regrowth than adenoma without recurrence/regrowth (1,58% vs 0,88%, p=0,03). Recommended cut off value to predict recurrence/regrowth in this study was 1,37%. Higher Ki-67 expression was associated with recurrence/regrowth in pituitary adenoma."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hellena Deli
"Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah ini merupakan karya akhir ners spesialis. Analisis praktik residensi ini bertujuan memberikan gambaran pelaksanaan praktik resiensi, terutama pengelolaan berbagai kasus neurologi. Analisis ini terdiri dari kasus kelolaan utama menggunakan pendekatan model adaptasi Roy, penerapan evidence based nursing (EBN) dan proyek inovasi. Kasus kelolaan utama pada laporan ini adalah adenoma hipofisis. Pada kasus kelolaan diagnosa keperawatan diantaranya gangguan mobilitas fisik, Risiko ketidak efektifan perfusi serebral teratasi, dan pada 30 kasus resume diagnose terbanyak yaitu penurunan kapasitas adaptif intrakranial dan nyeri akut. Penerapan EBN yang dilakukan pada praktik residensi ini adalah tentang early removal catheter pada pasien paska kraniotomi, dan terbukti dapat menurunkan length of stay pasien paska kraniotomi. Pada praktik residensi ini residen juga menerapkan proyek inovasi dalam meningkatkan pengetahuan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pembedahan spinal, hasil penerapan inovasi ini menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan perawat terkait asuhan keperawatan perioperative pada pasien pembedahan spinal. Banyak manfaat yang didapatkan dari praktik residensi yang telah dilakukan diantaranya latihan critical thinking dalam mengelola kasus sulit, melatih kemampuan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, menerapkan asuhan keperawatan berbasis bukti. Perawat neurosains dapat menerapkan EBN dalam setiap intervensi keperawatan yang dilakukan, melatih kemampuan berfikir kritis dan kemampuan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lainnya, sehingga kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan semakin meningkat.

This analysis of medical surgical nursing residency practice is the final work of specialist nurses. This residency practice analysis aims to provide an overview of the practice of residency, especially the management of various neurological cases. This analysis consists of the main managed cases using Roy's adaptation model approach, the application of evidence-based nursing (EBN), and the innovation project. In cases managed, nursing diagnoses included impaired physical mobility, the risk of ineffective cerebral perfusion was resolved, and in 30 cases the most resumed diagnoses were decreased intrakranial adaptive capacity and acute pain. The application of EBN in this residency practice is about early catheter removal in post-craniotomy patients and has been shown to reduce the length of stay of post-craniotomy patients. In this residency practice, the resident also implemented an innovation project in increasing the knowledge of nurses to perform nursing care for patients with spinal surgery, the results of the application of this innovation showed an increase in nurses' knowledge regarding perioperative nursing care for spinal surgery patients. Many benefits have been obtained from the residency practice that has been carried out including critical thinking exercises in managing difficult cases, training in collaboration skills with other health teams, and implementation of evidence-based nursing care. It is expected for nurses, especially neuroscience nurses using EBN in every nursing intervention carried out, and practice critical thinking skills and collaboration skills with other health teams, so that patient satisfaction with nursing services will increase."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Subekti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Saika Faradila
"

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pertumbuhan Rhizopus azygosporus UICC 539 pada medium Potato Sucrose Agar (PSA) pada berbagai suhu dan kemampuan dalam mendegradasi tributirin 1% (v/v) dan 2% (v/v) pada berbagai suhu. Blok agar (diameter 6 mm) mengandung R. azygosporus UICC 539 2x106 CFU/mL pada medium PSA umur 5 hari di suhu 30°C digunakan untuk uji pertumbuhan dan kemampuan degradasi tributirin 1% (v/v) dan 2% (v/v). Suhu pengujian pertumbuhan yaitu 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60°C pada PSA selama 5 hari. Pengujian kemampuan R. azygosporus UICC 539 mendegradasi tributirin dilakukan pada medium tributyrin agar selama 3 hari dan 5 hari.  Medium tributyrin agar tanpa biakan digunakan sebagai kontrol. Hasil pengujian menunjukkan pertumbuhan R. azygosporus UICC 539 pada medium PSA ditandai dengan adanya miselium berwarna putih kecokelatan, bentuk dan tekstur filamen serta sporulasi. Rhizopus azygosporus UICC 539 dapat tumbuh pada suhu 30, 35, 40, 45, dan 50°C tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 55°C dan 60°C. Degradasi tributirin ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni, dan dinyatakan dengan nilai enzymatic index (EI), yaitu R/r dengan R adalah diameter zona bening dan r adalah diameter koloni. Adanya zona bening mengindikasikan aktivitas lipolitik pada medium tributirin. Rhizopus azygosporus UICC 539 dapat mendegradasi tributirin 1% dan 2% di suhu 30, 35, 40, 45, dan 50°C. Nilai EI tertinggi yaitu sebesar 4,17 pada konsentrasi 1% suhu 50°C pada inkubasi hari ke-5. 


This study aims to detect the growth temperature of Rhizopus azygosporus UICC 539 on Potato Sucrose Agar (PSA) and the ability of R. azygosporus UICC 539 to degrade 1% (v/v) and 2% (v/v) tributyrin at various temperatures. Agar blocks (6 mm diameter) which contained R. azygosporus UICC 539 at 2x106 CFU/mL from 5-days old in PSA at 30°C were used for growth temperature test and tributyrin degradation assay. Growth temperature test was carried out on PSA at 30, 35, 40, 45, 50, 55, and 60°C for 5 days. Tributyrin degradation assay was carried out on 1% and 2% tributyrin agar for 3 days and 5 days. Tributyrin agar without culture was used as a control. Rhizopus azygosporus UICC 539 showed growth on PSA by the presence of brownish white mycelium, filamentous shape, wooly texture, and sporulation. The growth temperature of R. azygosporus UICC 539 was 30, 35, 40, 45, and 50°C but the fungus was not able to grow at 55°C and 60°C. Tributyrin degradation was shown by the presence of clear zones around the colony. The tributyrin degrading ability was calculated using enzymatic index (EI): R/r, R was the diameter of the clear zone and r was the diameter of the colony. Rhizopus azygosporus UICC 539 degraded 1% and 2% tributyrin at 30, 35, 40, 45, and 50°C. Clear zone indicated lipolytic activity by R. azygosporus UICC 539. The highest EI value was 4.17 at 1% tributyrin at 50°C on day-5.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reki Setiawan
"Berdasarkan pengalaman Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), pasien datang berobat dengan durasi keluhan yang beragam untuk suatu diagnosis adenoma hipofisis. Sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional, semua pasien adenoma hipofisis yang datang ke institusi kami merupakan pasien rujukan dari dokter spesialis mata, spesialis saraf, maupun dokter spesialis bedah saraf dari institusi lain. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan keluhan visus, lapang pandang, dan keluhan-keluhan lain yang diakibatkan oleh gangguan hormonal. Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara durasi keluhan dengan luaran klinis dengan hasil yang signifikan. Pada penelitian ini akan dicari hubungan antara durasi, yang dihitung mulai dari awal keluhan sampai dilakukan tindakan operasi, dengan luaran visus dan lapang pandang pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid.
Penelitian ini merupakan penelitian restrospektif pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan tindakan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid antara tahun 2015-2017. Seluruh operasi dilakukan oleh spesialis bedah saraf di RSCM. Semua pasien pada penelitian ini mengalami penurunan visus dan penyempitan lapang pandang. Durasi antara onset sampai dengan dilakukan tindakan operasi dihitung dalam satuan bulan. Dilakukan pemeriksaan visus dan lapang pandang 1 hari sebelum operasi dan dalam 1 sampai 2 bulan pasca operasi. Penelitian ini juga menghitung volume tumor, presentase tumor yang diambil, dan perluasan tumor, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak.
Tujuh puluh satu pasien dengan keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang dengan median usia 42 tahun (20-77 tahun). Terdapat 36 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 35 pasien perempuan. Median durasi mulai dari onset sampai dilakukan tindakan operasi untuk keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang adalah sama yaitu 12 bulan (1-108 bulan). Tedapat perbaikan visus pasca operasi pada 50 pasien (40,5%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi adalah 11 bulan (p=0,58). Pada pasien keluhan penyempitan lapang pandang didapatkan perbaikan klinis pada 48 pasien (67.6%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan adalah 12 bulan (p=0.01).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi dengan luaran klinis lapang pandang. Perbaikan lapang pandang didapatkan pada pasien yang memiliki durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi sampai dengan 12 bulan.

Based on the experience of the Department of Neurosurgery, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital (FMUI-Cipto Mangunkusumo Hospital), patients came seeking treatment with varying duration of complaints for a diagnosis of pituitary adenoma. As a national referral center hospital, all pituitary adenoma patients who came to our institution were referred from ophthalmologists, neurologists, and neurosurgeons from other institutions. Pituitary adenomas can cause decrease of visual acuity (VA), narrowing visual field (VF), and other complaints caused by hormonal disorders.1 Several studies have showed that the duration of complaints were related significantly with clinical outcomes.2,3,4,5,6
In this study, we investigated the relationship between duration, which is calculated from the time of symptoms first appeared to the time of surgery, and outcome (visual field and visual acuity) in pituitary adenoma patients who underwent surgery via transnasal-transsphenoidal approach.
This study used retrospective design on pituitary adenoma patients who was performed surgery via transnasal-transsphenoidal approach between 2015-2017. All surgeries were performed by neurosurgeons at RSCM. All patients in this study experienced decreased VA and narrowing of the VF. The duration between symptoms’ onset and surgery was calculated in months. VA and VF examinations were performed 1 day before surgery and within 1 to 2 months postoperatively. This study also calculated the volume of tumor, the percentage of tumor removal, and the extent of tumor, but statistical tests cannot be carried out on these parameters because more samples are needed.
There were 71 patients with decreased visual acuity and narrowed visual field, consisted of 36 male and 35 female patients, with a median age of 42 years (20-77 years). The median length of duration of onset for both symptoms is the same, which was 12 months (1-108 months).
Fifty patients (40.5%) had improved VA postoperatively, with median duration of onset was 11 months (p = 0.58). Clinical improvement in VF was experienced in 48 patients (67.6%), in which the median duration of onset was 12 months (p = 0.01)
There was a statistically significant relationship between the duration of onset and the VF outcomes. Improvements in the VF were found in patients who underwent surgery up to 12 months after the time of onset.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashitah ShikhMaidin
"This paper aims to review some highlights on the effects of environmental stresses on the non-human primate population, particularly, climate change and food limitation that may have resulted in their poor reproductive performance. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) lists more than a third of the world’s primates as critically endangered or vulnerable. Non-human primates, which are the closest biological relatives of humans, are threatened with extinction from human activities and environmental stress. Deforestation is the main problem that intercalates with climate change. Either, indirectly or directly, those extinction factors could interrupt the physiological basis of reproduction among non-human primates. Researches on other species showed that high ambient temperature causing heat stress had harmed there productive performance by interfering with the hypothalamic-pituitary-gonadal axis. Therefore, the survival, conservation and sustainability of nonhuman primates growing in captivity and in the wild, require more works and researches to be done"
Bogor: Seameo Biotrop, 2021
634.6 BIO 28:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Ali Alamudi
"Latar Belakang: Hemofilia A adalah gangguan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor VIII (FVIII). Scientific and Standardization Committee (SSC), pada tahun 2021, mengeluarkan nomenklatur baru yang membagi perempuan menjadi lima kategori: hemofilia ringan, sedang, berat, serta pembawa sifat simptomatik dan asimptomatik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proporsi pasien dan pembawa sifat hemofilia A perempuan di RSCM, serta manifestasi dan derajat keparahan menggunakan kuesioner International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT).
Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan di RSCM selama Agustus-September 2024. Subjek penelitian adalah kerabat perempuan dari pasien hemofilia A berusia ≤18 tahun. Pemeriksaan FVIII dilakukan. Kuesioner ISTH-BAT yang telah diterjemahkan digunakan sebagai alat skrining untuk mengevaluasi manifestasi perdarahan.
Hasil: Berdasarkan 74 subjek yang diteliti, 5 orang terdiagnosis hemofilia A, terdiri dari 4 hemofilia ringan dan 1 hemofilia berat. 69 subjek yang diidentifikasi sebagai pembawa sifat, 62 orang merupakan pembawa sifat asimptomatik, sementara 7 orang adalah pembawa sifat simptomatik. Manifestasi perdarahan pada pasien hemofilia A perempuan bervariasi antara kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak, manifestasi paling umum adalah memar pada kulit, sedangkan pada kelompok dewasa, menoragia menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan. Pada pembawa sifat simptomatik, baik anak maupun dewasa, manifestasi perdarahan yang dominan adalah memar pada kulit dan menoragia. Skor ISTH-BAT pembawa sifat asimptomatik, simptomatik, dan pasien hemofilia berturut-turut adalah 0,83 ± 1,7; 6,2 ± 1,2 dan 3,25 ± 2,9.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi pasien hemofilia A perempuan di RSCM masih relatif rendah, dengan sebagian besar pembawa sifat bersifat asimptomatik. Manifestasi perdarahan tersering pada pasien dan pembawa sifat simptomatik hemofilia A perempuan adalah menoragia dan memar pada kulit.

Background: Hemophilia A is a hereditary bleeding disorder caused by factor VIII (FVIII) deficiency. In 2021, the Scientific and Standardization Committee (SSC) introduced a new nomenclature categorizing women into five groups: mild, moderate, and severe hemophilia, as well as symptomatic and asymptomatic carriers. This study aimed to identify the proportion of female patients and carriers of hemophilia A at RSCM, along with their manifestations and severity levels, using the International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT) questionnaire.
Methods: A cross-sectional analytical study was conducted at RSCM from August to September 2024. The study subjects were female relatives of hemophilia A patients aged ≤18 years. FVIII levels were measured, and the translated ISTH-BAT questionnaire was used as a screening tool to evaluate bleeding manifestations.
Results: Among the 74 subjects studied, 5 were diagnosed with hemophilia A, comprising 4 cases of mild hemophilia and 1 case of severe hemophilia. Of the 69 subjects identified as carriers, 62 were asymptomatic carriers, while 7 were symptomatic carriers. Bleeding manifestations in female hemophilia A patients varied between children and adults. In children, the most common manifestation was skin bruising, whereas in adults, menorrhagia was the most frequently observed manifestation. Among symptomatic carriers, both children and adults predominantly experienced skin bruising and menorrhagia. The ISTH-BAT scores for asymptomatic carriers, symptomatic carriers, and hemophilia patients were 0.83 ± 1.7, 6.2 ± 1.2, and 3.25 ± 2.9, respectively.
Conclusion: Results of this study indicate that the proportion of female hemophilia A patients at RSCM remains relatively low, with the majority of carriers being asymptomatic. The most common bleeding manifestations in symptomatic female hemophilia A patients and carriers are menorrhagia and skin bruising.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Dewi Anggraini
"Osteogenesis imperfekta (OI) merupakan adalah penyakit genetik kelainan jaringan ikat berupa kerapuhan tulang dan fraktur berulang tanpa adanya trauma yang signifikan. Terdapat berbagai karakteristik klinis yang khas untuk mendiagnosis OI. Terapi bisfosfonat merupakan terapi utama pada OI yang bermanfaat untuk menurunkan insiden patah tulang agar tercapai kualitas hidup yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik klinis dan luaran terapi bisfosfonat pada pasien anak dengan OI di RSCM. Penelitian ini dilakukan secara potong lintang terhadap 71 pasien OI berusia 0-18 tahun di RSCM pada 16-22 November 2020. Data diambil melalui kuesioner daring yang diisi oleh orangtua atau wali. Karakteristik klinis OI mencakup sklera biru (83%) dan patah tulang pada 69 (97%) pasien dengan lokasi paling banyak di tulang femur (66,2%). Hanya terdapat 18 subyek yang sudah melakukan pemeriksaan pendengaran dengan 4 (22%) diantaranya terdapat gangguan pendengaran. Klasifikasi klinis OI paling banyak adalah tipe berat (57%). Enam puluh lima subyek mengalami patahtulang di usia kurang dari 6 tahun termasuk intrauterin dan perinatal. Sebanyak 95,8% subyek mendapatkan terapi bisfosfonat dan hampir seluruhnya diberikan rutin setiap 6 bulan. Terdapat penurunan median kejadian patah tulang sebelum terapi bisfosfonat sebanyak 3,5 kejadian/tahun menjadi satu kejadian/tahun setelah terapi bisfosfonat. Terapi bisfosfonat dapat menurunkan angka kejadian patah tulang setiap tahun.

Osteogenesis imperfecta (OI) is a genetic disorder of connective tissue causing bone fragility and fractures in the absence of significant trauma. There are many typical clinical features of OI. Bisphosphonate therapy is the main therapy which significantly decreases fracture rate for better quality of life. This study was aimed to observe the clinical features and outcomes of bisphosphonate therapy in pediatric OI patients. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) in the period of November 16th-22nd 2020. There were 71 patients aged 0-18 years old included for study analysis. Data were obtained from online questionnaire which was filled by their parents or guardians. The clinical features observed were blue sclera (83%) and fractures which occurred in 69 (97%) patients with the most common location was femur (66.2%). There were only 18 patients who underwent hearing examination and 4 of them (22%) had hearing problem. Most patients had severe OI classification (57%). Sixty-five patients had first fracture when their age <6 years old, including intrauterine and perinatal fractures. A total of 95.8% patients had received bisphosphonate therapy and almost all of patients had received treatment every 6 month. There was a decrease in the number of fractures from 3.5 events/year (before bisphosphonate therapy) to 1 event/year after bisphosphonate therapy. The outcome of bisphosphonate therapy was significant in terms of fracture incidence reduction. Bisphosphonate therapy was able to reduce fracture incidence per year."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>