Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113955 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hety
"Glaukoma umumnya memiliki karakteristik neuropati optik yang terkait dengan hilangnya fungsi penglihatan. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua dengan prevalensi sebesar 0,46 %. Terapi glaukoma saat ini ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular (TIO). Namun efek samping obat dan hasil terapi yang suboptimal merupakan permasalahan yang menantang. Akupunktur diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan terapi ataupun terapi penunjang untuk glaukoma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek elektroakupunktur (EA) dalam menurunkan TIO dan intensitas nyeri pasien glaukoma absolut atau glaukoma kronik lanjut yang belum atau telah mendapat terapi standar namun TIO masih tinggi.
Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian ini melibatkan 14 pasien glaukoma absolut atau glaukoma kronik lanjut. TIO dan skor Visual Analog Scale (VAS) nyeri dinilai sebelum dan sesudah 1 kali terapi EA.
Hasil penelitian menunjukkan TIO satu jam setelah EA menurun sebesar 6,14 ± 1,90 mmHg dibanding sebelum EA (p <0,05). TIO tiga jam setelah EA menurun sebesar 7,43 ± 1,98 mmHg dibanding sebelum EA (p <0,05). Skor VAS sebelum EA 5.56 ± 1.01 turun menjadi 1.33 ± 1.50 setelah EA (p <0,05).
Kesimpulan penelitian ini bahwa EA mempunyai efek menurunkan TIO dan skor VAS secara signifikan.

Glaucoma generally has characteristic of optic neuropathy associated with loss of visual function. Glaucoma is the second leading cause of blindness with a prevalence of 0.46%. Current glaucoma therapies aimed at lowering the intraocular pressure (IOP). However, the side effects relating to drugs and suboptimal therapeutic outcome remain as challenging problems. Acupuncture is expected to become one of alternative or adjunctive therapies in glaucoma.
This study aimed to determine the effect of electroacupuncture (EA) in lowering IOP and pain intensity among patients with absolute glaucoma or advanced chronic glaucoma who have not or have received standard therapy but still have elevated IOP.
This study used before and after intervention trial design. This study involved fourteen patients with absolute or advanced chronic glaucoma. IOP and the Visual Analog Scale (VAS) score were evaluated before and after the single EA therapy.
The results of this study showed that IOP at one hour after EA decreased by 6.14 ± 1.90 mmHg compared to before EA (p <0.05). IOP at three hours after EA decreased by 7.43 ± 1.98 mmHg compared to before EA (p <0.05). VAS score before EA was 5.56 ± 1.01 and decreased to 1.33 ± 1.50 after EA (p <0.05).
It can be concluded that electroacupuncture had effect in lowering IOP and VAS score significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Mulyawarman
"Tujuan:Membandingkan perubahan,nilai puncak dan rata-rata tekanan intra okular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang terkontrol menggunakan travoprost 0,004 %dengantimolol hydrogel 0,1% padauji provokes iminum air.
Metode: ujieksperimental tersamar tunggal pada 42 pasien GPSTa yang dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Kelompok yang mendapatkan pengobatan dengan Travoprost 0,004% dengan frekuensi sekali/hari, selanjutnya dibandingkan dengan yang mendapatkan Timolol hydrogel 0,1% sekali/hari. Pemeriksaan TIO dilakukan pada evaluasi minggu ke-empat pasca terapi, meliputi TIO baseline sebelum uji provokasi minum air, TIO menit ke-15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, dan 120 pasca uji provokasi minum air.
Hasil:Setelah terapi selama empat minggu, TIO baseline sebelum uji provokasi minum air tidak berbeda bermakna antara kelompok travoprost 0,004% dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,28; uji T tidak berpasangan). Nilai TIO minimal dan maksimal pasca uji provokasi minum air secara signifikan lebih rendah pada kelompok travoprost 0,004% dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,04; p=0,01, uji T tidak berpasangan). Nilai mean TIO pada kelompok travoprost juga didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,02, uji T tidak berpasangan). Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara fluktuasi TIO kelompok travoprost 0,004% dengan timolol hydrogel 0,1% (p=0,15, uji Mann Whitney).
Kesimpulan: Travoprost 0,004% lebihbaikdalammempertahankanTIO dibandingkan dengan Timolol Hydrogel 0,1% pada uji Provokasi Minum Air.

Objective: To evaluate the intraocular pressure (IOP) profile after water drinking test (WDT) in primary open angle glaucoma (POAG) patients who had already treated with travoprost 0,004% eye drop versus timolol hydrogel 0,1%.
Methods: A single-blind experimental study. Fourty two POAG patients were randomly assigned to receive travoprost 0,004% once daily or timolol hydrogel 0,1% once daily. The IOP profiles were evaluated 4-weeks after treatment, including baseline IOP before WDT, IOP 15-, 30-, 45-, 60-, 75-, 90-, 105-, and 120-minutes after WDT.
Results: At 4-week after treatment, travoprost 0,004% and timolol hydrogel 0,1% had equivalent effect on baseline IOP (p=0,28; unpaired t-test). Minimum and maximum IOP after WDT of travoprost 0,004% group were significantly less than timolol hydrogel 0,1% group (p=0,04; p=0,01; unpaired t-test, respectively). Mean IOP of travoprost 0,004% group was lower than hydrogel 0,1% group as well (p=0,02; unpaired t-test). The IOP fluctuation was not different between two groups (p=0,15; Mann Whitney test).
Conclusion: This study suggests that travoprost 0,004% was more likely to maintain IOP after WDT compared to timolol hydrogel 0,1% treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astriviani Widyakusuma
"[ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian suplementasi Mirtogenol terhadap perubahan ketebalan lapisan serabut saraf retina dan lapang pandang pada pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) dengan tekanan intraokular (TIO) terkontrol.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, acak, tersamar ganda. Empat puluh satu pasien dengan GPSTa dengan TIO ≤ 18 mmHg diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo. Perubahan ketebalan RNFL dan MD lapang pandang diperiksa sebelum penelitian, 4 minggu serta 8 minggu setelah pemberian obat. Efek samping pengobatan ditanyakan kepada pasien selama penelitian.
Hasil: Rerata ketebalan RNFL kelompok Mirtogenol mengalami penurunan sebesar -0.70±1.63 μm dari 87.29±19.39 μm di awal penelitian menjadi 86.58±19.43 μm setelah 8 minggu, namun perubahan yang terjadi tidak bermakna secara statistik (p=0.121). Rerata ketebalan RNFL kelompok plasebo mengalami penurunan sebesar -1.74±1.79 μm dari 97.14±17.19 μm di awal penelitian
menjadi 95.40±18.56 μm setelah 8 minggu, perubahan yang terjadi bermakna secara statistik (p< 0.001). Rerata MD lapang pandang kelompok Mirtogenol mengalami peningkatan 0.542±1.93 dB setelah 8 minggu sedangkan rerata MD lapang pandang kelompok plasebo mengalami penurunan sebesar -0.083±1.36 dB setelah 8 minggu. Namun perubahan rerata MD lapang pandang kedua kelompok
tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Selama penelitian tidak didapatkan adanya efek samping.
Kesimpulan: Mirtogenol dapat mempertahankan ketebalan lapisan serabut saraf retina, dan MD lapang pandang pada pemberian Mirtogenol cenderung meningkat.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63 μm from 87.29±19.39 μm before the treatment to 86.58±19.43 μm after 8 weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from 97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083 ± 1.36 dB after 8 weeks of treatment. Hoewever the changes in MD of visual field was not significant (p>0.05). No side effect was found throughout the study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields.;Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal
nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open
angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one
POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either
Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual
fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after
the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63
μm
from
87.29±19.39
μm
before
the
treatment
to
86.58±19.43
μm
after
8
weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The
average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from
97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of
treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of
visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083±1.36
dB
after
8
weeks
of
treatment.
Hoewever
the
changes
in
MD
of
visual
field
was
not
significant
(p>0.05).
No
side effect
was
found throughout
the
study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields., Objective: To evaluate the effect of Mirtogenol towards the changes in retinal
nerve fiber layer (RNFL) thickness and visual field in patients with primary open
angle glaucoma (POAG) with controlled IOP.
Methods: This is a prospective, double blind, randomized study. Forty one
POAG patients with IOP ≤ 18 mmHg were randomly assigned to receive either
Mirtogenol or placebo. Changes in RNFL thickness and mean deviation of visual
fields were evaluated before the treatment, as well as 4 weeks and 8 weeks after
the treatment. Patients were asked for any side effects during the treatment period.
Results: The average RNFL thickness in the Mirtogenol group decreased 0.70±1.63
μm
from
87.29±19.39
μm
before
the
treatment
to
86.58±19.43
μm
after
8
weeks of treatment, however the change was not significant (p=0.121). The
average RNFL thickness in the placebo group decreased -1.74±1.79 μm from
97.14±17.19 μm before the treatment to 95.40±18.56 μm after 8 weeks of
treatment, the change was statistically significant (p< 0.001). The average MD of
visual field in the Mirtogenol group increased 0.542±1.93 dB after 8 weeks of
treatment while the MD of visual field in the placebo group decreased 0.083±1.36
dB
after
8
weeks
of
treatment.
Hoewever
the
changes
in
MD
of
visual
field
was
not
significant
(p>0.05).
No
side effect
was
found throughout
the
study.
Conclusions: Mirtogenol seemed to maintain retinal nerve fiber layer thickness and increased mean deviation of visual fields.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
617.741 SID g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Ratna
"Glaukoma adalah penyebab kebutaan yang ireversibel dengan prevalensi yang kian meningkat. Sebagian besar penderita glaukoma juga mengalami mata kering. Mata kering merupakan efek samping tersering akibat obat tetes mata topikal berpengawet benzalkonium klorida pada penderita glaukoma. Selain itu, glaukoma dan mata kering memiliki faktor risiko yang sama, yaitu usia lanjut dan jenis kelamin wanita. Mata kering pada penderita glaukoma perlu ditangani segera karena menyebabkan ketidaknyamanan, mengurangi kepatuhan berobat, dan menurunkan tingkat keberhasilan terapi. Penanganan mata kering pada penderita glaukoma dapat dilakukan melalui penggunaan obat tanpa pengawet benzalkonium klorida, kombinasi dengan obat yang tidak mengandung pengawet untuk mengurangi paparan, pemberian air mata buatan, dan pembedahan untuk mengurangi kebutuhan obat anti glaukoma topikal.

Glaucoma is a common cause of irreversible blindness with increasing prevalence. Some of glaucoma patients will also experience dry eye. Dry eye is the most frequent side effects related to benzalkonium chloride (BAC)-containing eye drop used for glaucoma patients. In addition, glaucoma and dry eye have shared risk factors that are old age and female. Dry eye among glaucoma patients needs to be treated promptly as it produces discomfort, reduces patients? compliance and decreases success rate of glaucoma therapy. Dry eye symptoms can be treated by applying preservative-free eye drop, giving combination with preservative-free eye drop to reduce BAC exposure, prescribing artificial tear and conducting surgery to minimize or eliminate the need of topical medication."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Supiandi
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0169
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sudardjat Sugiri
"Kebutaan, penurunan fungsi penglihatan dan kesakitan mata telah dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di wilayah Asia Tenggara (WHO). Berdasarkan WHO maka diperkirakan terdapat 12 juta kebutaan dan 60 juta penurunan penglihatan di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri berdasarkan survai morbiditas mata dan kebutaan tahun 1982 yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut prosentase penyebab kebutaan utama ialah :
- katarak 0.70%
- kelainan kornea 0.13%
- penyakit glaukoma 0.10%
- kelainan refraksi 0.06%
- kelainan retina 0.03%
- kelainan nutrisi 0.02%
Banyak macam cara pengobatan penyakit glaukoma baik secara obat-obatan maupun secara operasi. Cara operasi bisa dilakukan dengan membuka aliran akuos dari bilik mata depan ke celah sub konjungtiva pada mata taripa blok pupil, untuk membentuk pengaliran cairan akuos, atau dengan mengurangi pembentukan cairan akuos di badan siliar(3,4,5).
Dari pengalaman klinis dapat terjadi suatu keadaan glaukoma yang berat misalnya glaukoma refrakter atau glaukoma absolut, glaukoma hemaragik atau glaukoma neovaskular, dimana tindakan operasi kurang berhasil. Pada keadaan diatas perlu dipikirkan cara pengobatan yang lebih efektif lain untuk menurunkan tekanan intra okular. Di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, pada glaukoma neovaskular dilakukan tindakan transkleral kriokoagulasi dan transkleral diatermi dengan tujuan mengurangi keadaan iskemia retina/koroid, untuk menurunkan tekanan intra okular.
Sikatrik korioretina terjadi karena kerusakan epitel pigmen retina dan reseptor retina, terjadi penggabungan dari lapisan retina luar ke membrana Bruch, terjadi perubahan jaringan ikat korio-kapiler dan lapisan pembuluh darah koroid dalam, degenerasi dan disorganisasi dari retina sensoris dan sel-sel penyokong (6,8). Keadaan ini dapat terjadi akibat perubahan atau setelah tindakan krioterapi atau diatermi dari pada retina, baik pada perubahan penyakit retina maupun pada terapi glaukoma diatas.
Pada suatu kelainan di retina , dapat di ikuti dengan penurunan tekanan intra okular (T.I.O.) yang moderat, pengurangan aliran humor akuos melalui bilik mata depan, suar ringan di akuos dan peningkatan kadar protein cairan subretinal. Ada 2 hipotesa kemungkinan terjadinya keadaan tersebut. Hipotesa pertama menyatakan bahwa kelainan retina akan menimbulkan inflamasi ringan sistem traktus uvea, disebabkan kegagalan sawar darah-akuos, disertai suar akuos & pengurangan produksi akuos, mengakibatkan peninggian protein cairan sub retinal. Hipotesa kedua mengatakan bahwa terjadi kegagalan ringan sawar darah akuos. Dan juga, produksi akuos tetap normal tetapi terjadi perubahan aliran dari bilik mata belakang kerongga badan kaca, melalui kelainan diretina dan melewati epitel pigmen retina.
Aliran yang tidak lazim ini (misdirected/unconvention al route) dari humor akuos menyebabkan penurunan tekanan intra okular, dan membawa protein dari bilik mata belakang yang akan mengumpui di celah subretinal.
Pembuktian adanya aliran cairan dari badan kaca ke celah retina ini terlihat pada percobaan binatang kera yang disuntikan cairan fluoresin iso tiosianat dextran. Disini terjadi kerusakan intregitas retina sensoris, yang diikuti pengaliran cairan badan kaca ke celah subretinal dan akan di absorpsi pembuluh darah koroid dan menimbulkan penurunan tekanan intra okular."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Yoneva
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang bertujuan
membandingkan TIO antara terapi timolol hydrogel 0,1% (®Cendo Timol hydrogel*)
satu kali sehari dengan timolol tetes 0,5% (®Cendo Timol ED*) dua kali sehari pada
pada glaukoma primer kronis terkontrol. Sebanyak 45 pasien dibagi secara acak
menjadi 2 kelompok. Dilakukan pemeriksaan TIO diurnal menggunakan applanasi
Goldmann pada minggu keempat (pk.07.00±2 jam) dan minggu kedelapan
(pk.12.00±2 jam dan pk.17.00±2 jam). Hasil penelitian ini mendapatkan timolol
hydrogel 0,1% satu kali sehari mempunyai kemampuan mempertahankan TIO setara
dengan timolol tetes 0,5% dua kali sehari.

ABSTRACT
This was a prospective, single blind randomized clinical trial. The purpose of this
study was to compare IOP between the use of timolol hydrogel 0,1% (®Cendo Timol
hydrogel*) once daily and timolol solution 0,5% (®Cendo Timol ED*) two times
daily on controlled chronic primary glaucoma. Forty five patients divided randomly
into two groups. Diurnal IOP measurement was followed using Goldmann
applanation at the fourth week (07.00 AM ± 2 hours) and the eighth week (12.00
noon ± 2 hours and 05.00 PM ± 2 hours). The result of this study was timolol
hydrogel 0,1% once daily have the ability to maintain IOP equal to timolol eyedrop
0,5% twice daily."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Stephanus
"Glaukoma primer merupakan glaukoma yang paling sering muncul, dan trabekulektomi merupakan tatalaksana operatif lini pertamanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan bagaimana trabekulektomi menurunkan tekanan intraokular pada kedua bentuk glaukoma primer dalam jangka waktu antara 1-6 bulan. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang, yaitu dengan mengambil data sekunder dari rekam medik pasien berupa data pra-intervensi dan pasca intervensi dalam waktu yang sama. Intervensi adalah trabekulektomi. Waktu antara pasca trabekulektomi dengan trabekulektomi dilaksanakan minimal 1 bulan dan maksimal 6 bulan. Peneliti mengambil 90 pasien sebagai sampel, 38 di antaranya adalah pasien POAG dan 52 lainnya pasien PACG. Melalui trabekulektomi, penurunan tekanan intraokular pada PACG lebih besar dibandingkan pada POAG. Namun penurunan tekanan intraokular hasil trabekulektomi pada pasien POAG dibandingkan dengan pasien PACG tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Penelitian selanjutnya membutuhkan tekanan intraokular pra-operasi yang cenderung sama untuk mengetahui hasil yang lebih objektif.

Primary glaucoma is the most common form of glaucoma, and trabeculectomy is the first line for operative management for it. This research is intended to find out the comparison between how trabeculectomy lower intraocular pressure in both kinds of primary glaucoma patients within a short period 1 6 months . This research uses cross sectional design by taking secondary data from glaucoma patients rsquo medical record and seeing the intraocular pressure before and after trabeculectomy at the same time. The time between the post operation data and the operation is a month at minimum and six months at most. Researcher took 90 patients as samples, 38 are POAG patients and the other 52 are PACG patients. The result shows that the intraocular pressure lowering effect trabeculectomy in PACG patients is bigger than in POAG patients. The difference of intraocular pressure lowering effect by trabeculectomy among PACG patients is not significant compared to POAG patients. The upcoming research will need the same pra operation intraocular pressure patients to objectify the results more.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian prepost tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre-MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti-glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>