Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171886 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ervita Mediana
"Dalam tatalaksana striktur uretra dibutuhkan adanya evaluasi pasien jangka panjang. Hingga saat ini, hanya terdapat sedikit studi yang mengevaluasi hasil tatalaksana striktur uretra dengan mengombinasikan gejala-gejala yang dialami pasien dengan studi berkemih. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai gejalagejala yang dikeluhkan pasien, kualitas hidup, pancaran berkemih, dan residu pasca berkemih pada pasien yang telah mendapatkan tatalaksana striktur uretra di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang dievaluasi selama lebih dari setahun. Data demografik pasien, jenis pembedahan, skor International Prostate Symptoms Score (IPSS), skor kualitas hidup (QoL), pancaran berkemih (FR), dan residu urin pascaberkemih (PVR) dikumpulkan. Pasien dipantau saat tiga bulan, enam bulan, dan setahun pascaoperasi dengan kuesioner, FR, dan PVR. Dari total 230 pasien striktur uretra, 65 pasien telah memenuhi kriteria dan menyelesaikan pengumpulan data praoperasi dan pascaoperasi. Usia rerata pasien adalah 41.19 ± 20.44 tahun. Tiga puluh tujuh DVIU, 20 end-to-end anastomosis, dan 8 graft urethroplasty dilakukan. Semua pasien yang mendapatkan tatalaksana striktur menunjukkan peningkatan skor IPSS (-22.64, p <0.001), QoL (-3.36, p <0.001), FR (16.72 ml/s, p <0.001), dan PVR (-126.23 ml, p <0.001). Pasien dengan komplians baik menunjukkan perbaikan skor IPSS dan FR yang lebih baik dibandingkan pasien dengan komplians buruk setelah prosedur DVIU. Secara keseluruhan, prosedur bedah terbuka memberikan perbaikan skor IPSS dan FR yang lebih baik dibandingkan prosedur DVIU. Perbedaan ini tampak lebih jelas pada striktur uretra yang panjang (≥ 2 cm) dan berulang. Pada kelompok prosedur bedah terbuka, tindakan end-to-end anastomosis memberikan perbaikan FR lebih baik dibandingkan dengan graft urethroplasty. Pasien yang menjalani tatalaksana striktur uretra mengalami perbaikan yang signifikan, baik dinilai dari gejala-gejala yang dialami maupun studi uroflowmetri. Secara keseluruhan, prosedur bedah terbuka memberikan perbaikan pada skor IPSS dan FR yang lebih baik daripada prosedur DVIU. Pada kelompok prosedur bedah terbuka, end-to-end anastomosis memberikan perbaikan skor IPSS dan FR yang lebih baik dibandingkan dengan graft urethroplasty.

There is a need of long-term evaluation for patients after management of urethral stricture. Up to now, there is a lack of studies which evaluate the outcome by combining patient oriented symptoms and voiding study. This study integrates medium-term results of self-reported symptoms, quality of life, flow rate, and post void residual in patients undergoing urethral stricture management. This was a prospective study to all patients underwent urethral stricture management in Cipto Mangunkusumo hospital which were evaluated over 1 year period. Patient demographics, type of surgery, International Prostate Symptoms Score (IPSS), quality of life (QoL) score, flow rate (FR) and post void residual urine (PVR) were collected for all patients. Patients were followed at 3 months, 6 months and 1 year postoperatively with questionnaires, FR, and PVR. Out of 230 urethral stricture patients, 65 patients were fulfilled the criteria and completed the pre- and postoperative data. Mean patient age was 41.19 ± 20.44 years. Thirty seven DVIU, 20 end-to-end anastomosis, and 8 graft urethroplasties were performed. All patients underwent urethral stricture management showed improvement of IPSS (-22.64, p <0.001), QoL (-3.36, p <0.001), FR (16.72 ml/s, p <0.001) and PVR (-126.23 ml, p <0.001). Compliant patients showed better improvement of IPSS and FR than non compliant patient after DVIU procedure. Overall, open surgery give better improvement of IPSS and FR than DVIU procedure. These differences were more pronounced in recurrent and long (≥ 2 cm) urethral stricture disease. In open surgery group, end to end anastomosis give better improvement in FR compares to graft urethroplasty. Patients undergoing urethral stricture management experienced a significant improvement in self-reported outcomes and functional uroflow studies. Overall, open surgery gives better improvement in FR and IPSS than DVIU procedure. In open surgery group, end-to-end anastomosis give better improvement compares to graft urethroplasty.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Doli Catur Utomo
"Usia pasien dan lokasi striktur uretra penting untuk menentukan sebagian besar penyebab dari striktur uretra. Striktur uretra paling sering timbul pada pars bulbosa. Kashefi et al. dalam penelitiannya menunjukkan bahwa diperkirakan 3,2 striktur uretra per 1000 pasien rawat inap disebabkan oleh trauma oleh kateter. Pada pasien berusia di atas 45 tahun, TURP dan prostatektomi radikal adalah penyebab paling umum dari striktur/kontraktur uretra. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pasien striktur uretra di rumah sakit H. Adam Malik Medan serta penanganan yang dilakukan.Penelitian ini adalah penelitian retrospektif, deskriptif mengenai pasien striktur uretra di Medan, Indonesia. Penelitian dilakukan di rumah sakit H. Adam Malik antara bulan Mei dan Juni 2017, Medan dengan mengumpulkan data dari rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi nama, usia, gejala klinis, lokasi striktur, panjang striktur, dan jenis tindakan yang dilakukan. Data dianalisis menggunakan SPSS 20 mengenai rerata usia, lokasi striktur tersering, rerata panjang striktur, dan jenis tindakan yang digunakan untuk menangani panjang striktur tertentu atau lokasi striktur tertentu. Penyebab striktur paling banyak pada penelitian ini adalah trauma sebanyak 35 pasien dari 60 pasien (58,3%). keluhan tidak dapat BAK menjadi mayoritas penyebab mereka datang ke rumah sakit (46,7%), diikuti dengan BAK sulit ataupun tidak lancar (masing-masing 25%), dan hal yang paling jarang dikeluhkan adalah nyeri saat BAK Penelitian ini menyatakan bahwa karakter pasien striktur uretra di Indonesia tidak berbeda jauh dengan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa urethrotomy(Sachse) lebih banyak digunakan dibandingkan urethroplasty, serupa dengan diluar negeri meskipun urethroplastymemiliki efektifitas yang lebih baik.

The age of the patient and the location of urethral stricture are important for determining most of the causes of urethral stricture. Urethral stricture most often occurs in bulbous pars. Kashefi et al. in their study showed that an estimated 3.2 urethral strictures per 1000 inpatients were caused by trauma by the catheter. In patients over 45 years, TURP and radical prostatectomy are the most common causes of urethral stricture/contracture. This study aims to provide an overview of urethral stricture patients at H. Adam Malik Hospital in Medan as well as the treatment performed. This study is a retrospective, descriptive study of urethral stricture patients in Medan, Indonesia. The study was conducted at H. Adam Malik Hospital between May and June 2017, Medan by collecting data from medical records. Data collected included name, age, clinical symptoms, stricture location, stricture length, and type of action performed. Data were analyzed using SPSS 20 regarding age averages, location of the most common strictures, mean length of strictures, and types of actions used to deal with certain strictures or locations of certain strictures. The most common causes of stricture in this study were trauma in 35 patients from 60 patients (58.3%). BAK complaints cannot be the majority of the reasons they come to the hospital (46.7%), followed by difficult or non-BAC (25% each), and the most rarely complained of is pain when BAK This study states that the patient's character Urethral stricture in Indonesia is not much different from previous studies. This study also shows that urethrotomy (Sachse) is more widely used than urethroplasty, similar to abroad even though urethroplasty has better effectiveness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Firmanto
"

Penanganan striktur uretra merupakan sebuah tantangan dalam bidang urologi karena pilihan prosedur sangat terkait dengan hasil dan angka kekambuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan angka kekambuhan striktur uretra setelah diterapi dengan menggunakan Ho:YAG (holmium laser) dan Optical Internal Urethrotomy (Cold Knife). Luaran yang dinilai pada penelitian ini adalah rekurensi striktur uretra. Insiden dari rekurensi striktur uretra dievaluasi pada kedua kelompok penelitian yaitu kelompok holmium laser dan dan kelompok optical internal urethrotomy. Data pada penelitian ini diolah sebagai data dikotomi. Untuk menghitung data dikotomi, penelitian ini menggunakan risk ratio (RR) dan uji I2 untuk menilai heterogenitas data. Pada penelitian ini, analisis statistik dilakukan menggunakan Review Manager 5.1. Berdasarkan studi-studi yang ditelaah, didapatkan jumlah sampel sebanyak 191 pasien dengan striktur uretra. Jumlah pasien yang menjalani prosedur holmium laser adalah 91 orang dan 100 orang menjalani prosedur optical internal urethrotomy. Angka kejadian rekurensi striktur uretra dalam rentang waktu 6 bulan pada kedua kelompok dinilai pada seluruh studi. Tidak terdapat perbedaan insiden rekurensi striktur uretra dalam periode 6 bulan secara signifikan antara kedua kelompok penelitian (RR=1.19, 95% CI 0.29–4.91). Dari temuan yang didapatkan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan insiden rekurensi striktur uretra secara signifikan antara prosedur holmium laser dan prosedur optical internal urethrotomy (Cold Knife). Sehingga, kedua prosedur dinilai sebagai pilihan terapi yang aman dan efektif untuk tatalaksana striktur uretra.

 


Management of urethral stricture is a challenge in urology because the choice of procedure is closely related to the outcome and the recurrence rate. The aim of this study was to compared the recurrence of urethral strictures after treated using Ho:YAG (holmium laser) and Optical Internal Urethrotomy (Cold Knife). The outcome measure in this study was the recurrence of urethral strictures. The recurrence incidence of urethral stricture is evaluated from the entire study group of holmium laser and optical internal urethrotomy. The data of this study were processed as dichotomy data. To calculate the dichotomy data, this study are using the risk ratio (RR) and test I2 for assessed the heterogeneity. In this study, statistical analysis was performed using Review Manager 5.1 Based on the relevant literatures, the numbers of samples obtained are 191 patients with urethral stricture. Total patients that treated with Holmium Laser were 91 patients and 100 patients were treated with Optical Internal Urethrotomy. The incident rate of urethral stricture recurrence within six months was assessed from all studies in both groups. There is no significant difference statistically between both groups on the incidence of urethral stricture recurrence within six months (RR=1.19, 95% CI 0.29–4.91). Our findings concluded that no significant difference in incidence of urethral stricture recurrence between the Holmium Laser procedure and Optical Internal Urethrotomy (Cold Knife) procedure. Thus, both procedures are safe and effective for the management of urethral strictures.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Rika Maharani
"ABSTRAK
TUJUAN: Mengetahui perubahan skor kualitas hidup pasien POP pasca tatalaksana pembedahan vagina dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 Di RSCMdan RSFLATAR BELAKANG: Prolaps organ panggul menjadi perhatian utama dalam masalah kesehatan wanita pada semua umur yang sering dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup dan menyebabkan gangguan pada kandung kemih, saluran cerna dan disfungsi seksual. Terapinya ialah konservatif dan pembedahan dengan tujuan terapi menghilangkan keluhan untuk mengembalikan kualitas hidup pasiennya sehingga pasien dapat melakukan aktifitas. Tujuan penelitian ini untuk melihat perubahan skor kualitas hidup pasien POP pasca tatalaksana pembedahan vagina dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 Di RSCMdan RSF.DESAIN DAN METODE: Desain studi kohort prospektif, dilakukan di RSCM dan RSF periode Juli 2015 hingga Oktober 2016. Subjek dilakukan follow-up penilaian kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi bulan ketiga dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 versi Indonesia. Data disajikan secara analisis deskriptif.HASIL: Pada penelitian ini didapatkan 25 sampel penelitian dan tidak ada yang di drop out. Hasil penelitian menunjukkan pasien yang diterapi dengan pembedahan vagina juga terdapat pengurangan skoring kualitas hidup yang bermakna dengan nilai

ABSTRACT
OBJECTIVE To determine changes in the quality of life in POP patients after underwent vaginal surgery using PFDI 20 and PFIQ 7 questionnaires at RSCM And RSF.BACKGROUND Pelvic organ prolapse is a major concern in women 39 s health issues at all ages and often associated with reduced quality of life and can cause bladder, gastrointestinal and sexual dysfunction. The treatments are conservative and surgical therapy aiming to eliminate complaints to improve the quality of life of the patient. Therefore, the patients can perform their daily activities. The aim of this study is to evaluate changes in the quality of life scores in POP patients after vaginal surgery using PFDI 20 and PFIQ 7 questionnaires at RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo And RSF.DESIGN AND METHODS prospective cohort study, carried out in RSCM and RSF period July 2015 to October 2016. Subject to do follow up assessment of the quality of life before and after the third month of therapy using questionnaires PFDI 20 and PFIQ 7 version of Indonesia. Data presented descriptive analysis.RESULTS In this study, 25 samples were obtained and none dropped out. The results showed significant score reduction in the quality of life in patients treated with vaginal surgery with p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Hasan
"Latar Belakang. Striktur bilier ditemukan pada 70-90% kasus keganasan pankreatobilier dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada stadium lanjut yang unresectable. Pada stadium tersebut, tata laksana paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperbaiki kesintasan. Tata laksana paliaitf yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan sten bilier perendoskopik dan operasi pintas saluran bilier. Sehingga, perlu diketahui perbedaan kesintasan satu tahun pasien dengan striktur bilier maligna yang mendapatkan terapi paliatif dengan prosedur biliodigestive double bypass dan pemasangan sten bilier perendoskopik di RSCM. Tujuan. Mengetahui perbedaankesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien striktur bilier maligna distal yang menjalani prosedur pemasangan sten perendoskopik atau prosedur double bypass di RSCM pada periode 1 Januari 2015 – 31 Desember 2019 dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien menjalani prosedur tersebut. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang dinilai dapat menjadi faktor perancu.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 119 subjek pada kelompok sten endoskopik dan 39 subjek pada kelompok double bypass. Pada pengamatan kesintasan satu tahun, didapatkan median kesintasan 93 hari pada kelompok sten endoskopik dan 140 hari pada kelompok double bypass [HR 0,871 (IK95% 0,551-1,377; p = 0,551)]. Tidak ditemukan perbedaan kurva kesintasan pada kedua kelompok. Pada analisis multivariat, didapatkan Charlson Comorbidity Index, usia, dan bilirubin adalah variabel perancu.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier perendoskopik. Usia, CCI 34, dan kadar bilirubin merupakan faktor perancu terhadap kesintasan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.

Background. Biliary strictures are observed in 70-90% of cases of pancreatic malignancy and cause high morbidity and mortality, especially in advanced, unresectable stage. At this stage, palliative management aims to improve the patient's quality of life and survival. Palliative management can be done is by placing an endoscopic biliary stent and biliary tract bypass surgery. Thus, it is necessary to know the one-year survival of patients with malignant biliary stricture who received palliative therapy with billio-digestive double bypass procedures and perendoscopic biliary stent placement in RSCM. Objective. To determine the survival between patients with distal malignant biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
Methods. This is a restrospective cohort study with the subjects being patients with distal malignant biliary strictures who underwent endoscopic stenting procedures or double bypass procedures at RSCM in the period 1 January 2015 – 31 December 2019 and was observed for one year since the patient underwent the procedure. Survival was done using the Kaplan-Meier method and followed by multivariate analysis using the cox regression test.
Result. We collected 119 subjects in the endoscopic stent group and 39 subjects in the double bypass group. After one year, median survival was 93 days in the endoscopic stent group and 140 days in the double bypass group [HR 0,871 (95%CI 0,551-1,377; p = 0,551)]. In multivariate analysis, it was found that Charlson Comorbidity Index, age, and bilirubin were confounding variables.
Conclusion. There was no difference in survival between patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent procedure. Age, CCI 4, and bilirubin levels were confounding factors for survival among patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Wahyudi
"Strktur uretra adalah kelainan berupa penyempitan lumen uretra akibat terbentuknya jaringan parut (scar) yang melibatkan epitel dan jaringan erektil korpus spongiosum. Proses patofisiologi terjadinya kelainan ini belum sepenuhnya diketahui. Di antara berbagai faktor yang terlibat, diferensiasi miofibroblas merupakan salah satu faktor kunci.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diferensiasi miofibroblas pada proses terjadinya striktur uretra di tingkat selular dan melihat hubungan antara growth factor dan komposisi kolagen dengan diferensiasi miofibroblas.
Penelitian ini adalah studi eksperimental pada kelinci New Zealand jantan dewasa yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok model penyembuhan uretra normal dan model striktur uretra.Dua kelinci pada masing-masing kelompok dilakukan eutanasia pada hari ke-2, 7, 14, 21, 30, 60, dan 90. Dilakukan pemeriksaan adanya sumbatan uretra dengan sondase bougie 8 F, pemeriksaan CRP serum darah, pemeriksaan hematoksilin-eosin, trichrome Masson, picrosirius red, TUNEL, dan RT PCR untuk melihat ekspresi gen α-SMA, TGF β, dan b-FGF. Dari hasil penelitian dijumpai adanya perbedaan dalam apoptosis miofibroblas, komposisi kolagen I/total, kadar TGF β dan b-FGF antara kedua kelompok. Terdapat korelasi positif sedang antara apoptosis miofibroblas dengan ekspresi gen TGF β dan korelasi positif lemah antara apoptosis miofibroblas dan komposisi kolagen tipe I/ kolagen total.

Urethral stricture is a narrowing urethral lumen due to scar formation involving epithel and corpus spongiosum erectile tissue. Pathophysiology process of this abnormality is not fully understood. Among various factors involved, myofibroblast differentiation is a key factor. The purpose of this study is to investigate the process of myofibroblast differentiation on urethral stricture formation process at cellular level and observe the correlation between growth factors and collagen composition with myofibroblast.
The study was an experimental study in adult male New Zealand rabbits, divided into two groups, namely the normal urethral healing model and urethral stricture model. Euthanasia was performed in two rabbits of each group on days 2, 7, 14, 30, 60, and 90. Urethral stricture was confirmed by bougie. Several laboratory examination were done, including CRP blood serum, haematoxylin eosin, trichrome Masson, picrosirius red, TUNEL and RT PCR to look at gene expression of α- SMA, TGF β, b-FGF, dan EGF. The study found a difference in apoptosis myofibroblast, composition of collagen type I/total, TGF β and b-FGF levels between the two groups. There was also a positive moderate correlation between TGF β gene expression and myofibroblast apoptosis proportion and a positive weak correlation collagen type I/ total composition and myofibroblast apoptosis proportion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Cansius Prihadi
"Latar Belakang : Striktur uretra adalah kelainan berupa penyempitan lumen uretra akibat terbentuknya jaringan parut yang melibatkan epitel dan jaringan erektil korpus spongiosum. Patofisiologi kelainan ini belum sepenuhnya diketahui. Degradasi matriks ekstraselular diduga berperan penting dalam terjadinya striktur uretra. Matriks metaloproteinase (MMP-1), Tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP-1) dan Transforming growth factor (TGF-β) berperan pada degradasi matriks ekstraselular. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran MMP-1, TIMP-1, rasio TIMP- 1/MMP-1 dan TGF-β pada fase remodeling striktur uretra dan hubungannya dengan kolagen total dan kolagen tipe-I.
Metode : Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci New Zealand jantan dewasa yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kelinci yang dilakukan insisi mukosa dan elektrokoagulasi untuk menimbulkan striktur uretra (Kelompok kelinci striktur uretra) dan kelompok kelinci kontrol. Dilakukan pengamatan dan eutanasia pada empat kelinci pada masing-masing kelompok pada hari ke-7, 14, 21, 28, dan 56. Dilakukan pemeriksaan adanya hambatan pada uretra dengan kateter no 8F selanjutnya dilakukan pemeriksaan hematoksilin-eosin untuk melihat gambaran histopatologi, pemeriksaan Trichrome-Masson untuk melihat kolagen total, pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat kolagen tipe-I. Pemeriksaan ELISA untuk mengukur kadar MMP-1, TIMP-1dan TGF-β. Rasio MMP-1/TIMP-1 dihitung dengan membagi kadar MMP-1 dengan kadar TIMP-1. Persentase kolagen total dan persentase kolagen tipe-1 dihitung dengan menggunakan program image J 1,46q. Uji statistik dengan General Linear Model.
Hasil: Pada kelompok striktur uretra didapatkan kadar MMP-1 yang lebih rendah, TIMP-1 yang lebih tinggi, rasio MMP-1/TIMP-1 yang lebih rendah, dan TGF-β yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat korelasi positif kuat antara kadar TGF-β dengan persentase kolagen total (r = 0,617, p: 0,004) dan korelasi lemah antara kadar MMP-1 dengan persentase kolagen total (r = 0,561, p: 0,010).
Simpulan: Striktur uretra tidak hanya disebabkan oleh dekomposisi kolagen tetapi juga oleh ketidakseimbangan degradasi matriks ekstraselular yang ditandai oleh menurunnya MMP-1, meningkatnya TIMP-1 dan menurunnya rasio MMP-1/TIMP-1.

Background: Urethral stricture is a narrowing of urethral lumen due to scar formation involving epithelium and corpus spongiosum. The pathophysiology process of this abnormality is not fully understood. Extracellular matrix degradation supposed to play an important role as the etiology of urethral stricture. Matrix metalloprotein (MMP-1), Tissue inhibitor of metalloprotein (TIMP-1) and Transforming growth factor-β (TGF-β) are involved in matrix extraselular degradation. The purpose of this study was to investigate the role of MMP-1, TIMP-1, MMP-1/TIMP-1 rasio and TGF-β at remodeling phase of urethral stricture and their correlations to total collagen and collagen type I.
Metode: This study was an experimental study in adult male New Zealand rabbits, divided into two groups, namely the urethral stricture group and the control group. Euthanasia was performed in four rabbits of each group on days 7, 14, 21, 28, and 56. Urethral stricture was confirmed by urethral catether no 8F. Several laboratory examination were done, including haematoxylin-eosin, trichrome-masson, immune- histochemistry and ELISA to determine levels of MMP-1, TIMP-1, TGF-β, MMP- 1/TIMP-1 rasio, total collagen and collagen type-1. Percentage of total collagen and collagen type I were counted with image J 1.46q programme. General linear model was used for statistical analysis
Results : This study found level of MMP-1 was lower, TIMP-1 was higher, MMP-1/ TIMP-1 rasio was lower, and TGF-β was higher in the urethral stricture group compared with control. There was a strong positif correlation between TGF-β level and total collagen percentage (r = 0.617; p = 0.004) and weak positive correlation between MMP-1 level with total collagen percentage (r = 0.561; p = 0.010).
Conclusions : Urethral stricture is not only caused by collagen decomposition but also by imbalance of extracellular matrix degradation which is marked by decreased MMP-1 level and MMP-1/TIMP-1 rasio, increased TIMP-1 level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Astuti
"Pelayanan kefarmasian dirumah sakit menjadi salah satu pelayanan kesehatan. Pelayanan farmasi klinik berupa pelayanan secara langsung oleh seorang apoteker dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan terjadinya efek samping karena suatu obat. Salah satu dari kegiatan farmasi klinik yang sering dilakukan diantaranya pemantauan terapi obat. Kegiatan pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dengan tujuan keberhasilan maupun kegagalan terapi dapat diketahui. Strikture uretra berupa penyempitan uretra karena adanya luka atau jaringan parut yang mempengaruhi pengeluaran air kecil (obstruktif voiding dyfungcions) dengan konsekuensi yang akan berpotensi serius pada kandung kemih. Makalah ini akan membahas pemantauan terapi obat pada pasien strikture uretra dengan komplikasi penyakit lainnya di rumah sakit daerah tarakan. Data dianalisis berdasarkan rekam medis, instruksi harian pasien berupa catatan perkembangan pasien, catatan pemberian obat pasien, hasil pemeriksaan laboratorium dan radiology. Hasil dari pemantauan terapi obat pasien menunjukkan bahwa obat yang diterima telah sesuai dengan penyakit pasien tetapi terdapat masalah terkait obat diantara nya kontraindikasi, interaksi minor, dan tidak tepatnya dosis dengan literatur yang diperoleh.

Pharmaceutical services in hospitals are one of the health services. Clinical pharmacy services are in the form of direct services by a pharmacist in order to improve therapeutic outcomes and minimize the occurrence of side effects due to a drug. One of the clinical pharmacy activities that is often carried out includes monitoring drug therapy. Drug therapy monitoring activities must be carried out continuously with the aim of success or failure of therapy can be known. Urethral stricture is a narrowing of the urethra due to injury or scarring that affects urinary output (obstructive voiding dyfungcions) with potentially serious consequences for the bladder. This paper will discuss the monitoring of drug therapy in patients with urethral stricture with complications of other diseases in the Tarakan Regional Hospital. Data were analyzed based on medical records, daily patient instructions in the form of patient progress notes, patient drug administration records, laboratory and radiology examination results.  The results of monitoring the patient's drug therapy showed that the drugs received were in accordance with the patient's disease but there were drug-related problems including contraindications, minor interactions, and inappropriate doses with the literature obtained.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Violine Martalia
"atar belakang: Prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia terus meningkat, khususnya pada lansia. Namun, penyakit Parkinson seringkali hanya dikaitkan dengan gangguan motoriknya saja, gangguan non-motoriknya sering diabaikan. Padahal, gangguan non-motorik dapat memengaruhi kualitas hidup. Salah satu gangguan non-motorik yang sering terjadi adalah gangguan tidur. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Mei sampai September 2022. Instrumen yang digunakan merupakan kuesioner dengan teknik consecutive sampling yaitu 31 pasien penyakit Parkinson. Uji univariat digunakan untuk melihat distribusi prevalensi penyakit Parkinson, uji Chi Square untuk menilai hubungan antarvariabel, dan uji Fisher’s exact untuk menilai hubungan status depresi dengan gangguan tidur. Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa 61.3% subjek memiliki gangguan tidur berdasarkan PSQI dan 35.5% memiliki EDS berdasarkan ESS. Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor depresi dengan gangguan tidur berdasarkan PSQI dan ESS. Status depresi memengaruhi bermakna kejadian EDS dengan mayoritas pasien depresi ringan. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi dan klinis.

Introduction: The prevalence of Parkinson's disease in Indonesia is increasing, especially in elderly. However, Parkinson's disease is often only associated with motor disorders, non-motor disorders are often neglected even though it can also affect quality of life. One of the non-motor disorders that often occurs is sleep disorders. Therefore, this study aims to provide an overview of sleep disorders in Parkinson's disease patients and factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May to September 2022. The instrument used was questionnaires with a consecutive sampling technique, namely 31 Parkinson's disease patients. Univariate test was used to see the distribution of Parkinson's disease, Chi Square test to assess the relationship between variables, and Fisher's exact test to assess the relationship between depression status and sleep disorders. Result: Statistical analysis showed that 61.3% subjects experienced sleep disorders (PSQI) and 35.5% experienced EDS (ESS). The relationship between depression and sleep disorders based on PSQI and ESS is significant. Depressive status is associated with EDS with the majority being mild depression. Conclusion: Sleep disorders in Parkinson's disease patients at dr. Cipto Mangunkusumo is influenced by sociodemographic and clinical factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Kurniati
"Penelitian dengan rancangan pre-post test mengambil subyek dengan riwayat hiperkolesterolemia (yang satu tahun lalu mendapat konseling gizi sebanyak lima kali selama enam minggu). Pada subyek dilakukan wawancara satu kali mengenai asupan status gizi ; nutrisi dan aktivitas fisik, pemeriksaan status gizi (IMT, lingkar pinggang) serta kadar kolesterol LDL serum. Data yang didapat dibandingkan dengan data subyek satu tahun yang lalu. Wawancara asupan nutrisi menggunakan metode food recall 1 x 24 jam dan zat gizi yang dinilai meliputi kalori, protein, karbohidrat, lemak, kolesterol, serat dan fitosterol. Uji statistik yang digunakan adalah uji t berpasangan jika data berdistribusi normal dan Wilcoxon, jika data berdistribusi tidak normal. Tingkat kemaknaan yang digunakan p < 0, 05. 0,26 g menjadi 0,21 ± 0,18 g. Aktivitas fisikjuga meningkat. Dari rata-rata 7, 15 ± 1, 30 menjadi 8, 11 ± 1, 0. Peningkatan total indeks aktivitas fisik ini diduga menyebabkan menjadi tidak signifikan peningkatan nilai rerata IMT,yaitu dari rata-rata 26, 21 ± 4, 34 kg/m menjadi 26, 57± 4, 56 kg/m. Sedangkan pada lingkar pinggang terjadi peningkatan yang bermakna dari rata-rata 85, 37 ± 7, 61 em menjadi 89, 16 ± 6, 68 em. Peningkatan asupan kalori, lemak dan kolesterol menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol LDL subyek penelitian sebesar 7,31 %. Dari rata-rata 151, 53 ± 24,81 mg/dl, menjadi 160,45 ± 27, 01 mg/dl. Tapi peningkatan ini tidak signifikan.

Pre-post test design study to subjects with history of hypercholesterolemia. Subjects was exposed to nutrition counseling for six weeks a year ago. The subject was interviewed one time concerning nutrition intake and physical activity, examination to nutritional status and serum cholesterol LDL JeveL The result is comparing to the subject data one year ago. Interview of nutrient intake using 1x24 hours food recall method, and the nutrient which are significant but increase in carbohydrate> protein, fat, cholesterol and fiber were significant. Phitosteroi is decrease significantly from median 0,26 g to 0.21 ± 0.18 g. Unexpected increase occurred in subjects' total index of physical activity. From average of7.!5 ± 1.30 to 8.11 ± 1.0. This increase in physical activity total index assumed to have been the cause of ineensement IMT average rate to be insignificant, that is from average of26.21 ± 4.34 kg/m to 26.57 ± 4.56 kg!m While on subjects'waist circumference, there was significant increase from average 85.37 ± 7.61 em to 89.16 ± 6.68 em. The increase in calorie, fat, and cholesterol intakes have caused an increase in subjects' LDL cholesterol level 7.21 % from average 15!.53 ± 24.81 mg/d1 to 160.45 ± 27.01 mg/dl. But this increase was not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T29136
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>