Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tambunan, Sahat
"Skripsi ini membahas kewenangan Pengujian Peraturan daerah oleh pemerintah dan lembaga peradilan. Dualisme yang terjadi di Indonesia akibat ketidaktegasan peraturan yang mengatur kewenangan Pengujian Peraturan Daerah. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan Pasal 145 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman yang menyatakan Kewenangan dari lembaga Eksekutif dan Yudikatif tersebut.
Akibat hukum dari pengujian terhadap Perda oleh Pemerintah adalah berupa pembatalan Perda sementara akibat hukum dari pengujian Perda oleh Mahkamah Agung apabila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).

This thesis discusses the test applicable local authority by the Government and the judiciary, the Dualism that occur in Indonesia as a result of the tegasannya regulations governing authority Regulatory Testing area. As set forth in the provisions of article 145, paragraph (2) of law No. 32 of 2004 Concerning Regional Governments, as well as the provisions of article 145, paragraph (5) of law No. 32 of 2004 Concerning Regional Governments and Law Number 48 in 2009 About justice. Stating the powers of the Executive and the Judiciary.
Legal consequences of testing against the Government is a Perda cancellation of temporary legal effect from the Perda testing Change by the Supreme Court when a Perda who petitioned against the legislation above the Supreme Court granted the petition and ordered local governments along with the DPRD to unplug the longest Change within 90 days. Against the cancellation perda issued by the supreme court review may not be submitted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Sonia Ivana
"Nama : SONIA IVANA BARUSNPM : 160 693 4613Program Studi : Ilmu Hukum-Hukum KenegaraanJudul : ldquo;Kewenangan Pembatalan Peratuan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri sebagai Executive Control terhadap Pemerintah Daerah rdquo; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri dengan instrumen berupa Peraturan Menteri, diberikan kewenangan untuk membatalakan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, adanya dualisme pandangan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan perda juga memunculkan persoalan tersendiri. Belumselesai perdebatan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan peraturan daerah, Putusan Mahkamah MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2016 yang telah mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah perda menibulkan permasalahan baru seputar eksistensi lembaga eksekutif pusat dalam hal membatalkan suatu peraturan daerah. Penulisan ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data-data skunder sebagai sumber datanya dan bersifat presfiktif yakni untuk memberikan saran penyelesaian terhadap topik yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada dasarnya, penggunaan peraturan menteri untuk membatalakan peraturan daerah kurang tepat, hal itu dikarenakan Menteri dengan Pemerintah Daerah tidak memiliki hubungan secara struktural, meskipun secara hiearki pearaturan menteri bisa saja berada diatas pearturan daerah, sehingga penggunaan instrumen hukum berupa Peraturan Presiden dianggap sebagai solusi paling ideal seperti yang digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, Putusan MK yang kini menghilangkan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah, dianggap perlu dikaji lebih lanjut. Pasalnya, secara tidak langsung MK sudah menghilangkan kewenangan pusat eksekutif untuk melakukan kontrol terhadap daerahnya, padahal Indonesia adalah negara kesatuan dimana campur tangan pemerintah pusat kepada daerahnya adalah hal yang wajar dan bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi. Kata Kunci : Kewenangan, Peraturan Daerah, executive control

Name SONIA IVANA BARUSNPM 160 693 4613Study Program Ilmu Hukum Hukum KenegaraanTitle ldquo Regional Regulation Annulment by Minister Of Internal Affairs as Executive Control for Regional Government rdquo Law of Republic Indonesia Number 23 of 2014 about Regional government state that Minister of Internal Affairs with Ministerial Regulation, have an authority for annuling Regional regulation which is contradict higer rule of law provisions, public interest and or decency. Meanwhile, the duality of views about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation creates contentions. Beside the contention about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation, verdict of Constitutional Court number 137 PUU XIII 2015 and number 56 PUU XIII 2016 which has been revoked Minister of Internal Affairs authority for annul Regional regulation caused problem about the existance of executive in terms of annuling Regional regulation.This researchis in the form of juridical normative which is used secondary data as the resources and prespective point of view with the intention of providing solution towards the topic.The result of this research shows, basicly, the utilization of Ministerial Regulation for annul Regional regulation is not proper, because the Minister and Regional government are not related in a structural scheme, in despite of, Ministerial Regulation maybe higher than Regional regulation, with the result of that the most ideal solution is to use Presidential Regulation as in Law No. 32 of 2004.Moreover, verdict of Constitutional Court which is revoked the authority of Minister of Internal Affairs for annul Regional regulation, need to be reviewed. Because of that verdict, Contitutional Court undirectly revoked the authority of executive for controlling its region, considering Indonesia is an unitary state the central government intervention to the region is reasonable and not violating the constitution. Key Words Authority, Regional regulation, Executive Control"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Monawati Sukma
"ABSTRAK
Dibentuknya DPD merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yang fungsi dan kewenangannya telah diatur di dalam UUD NRI 1945. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD tahun 2018, Pada Pasal 249 ayat (1) huruf J DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Hal ini kemudian menjadi problematika ketika DPD sebagai lembaga legislatif, harus melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah, yang berlaku dalam lingkungan daerah. Penelitian ini dilakukan guna menemukan jawaban atas permasalahan mengenai kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda tepat atau tidak, serta bagaimana lingkup kewenangan dalam pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan
Perda yang dilakukan oleh DPD. Ditinjau dari kedudukan dan kemampuannya, tidak tepat bila DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Meskipun demikian, DPD telah merumuskan ketentuan yang mengatur mengenai lingkup dan mekanisme pelaksanaan kewenangan tersebut. Lingkup dalam melakukan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan DPD adalah berbentuk rekomendasi. Rekomendasi ini selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden, bukan kepada daerah yang bersangkutan. Seharusnya dalam merumuskan suatu kebijakan, lembaga legislatif harus benarbenar memahami isi dan makna dari suatu produk hukum yang akan dibentuk, agar tidak menjadi masalah ketika produk hukum tersebut diterapkan. Selain itu, kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda yang diatur dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J ini dilakukan judicial review
karena kewenangan ini tidak tepat diberikan kepada DPD.

ABSTRACT
The establishment of DPD is solution to solve problems of central and regional
governments, whose functions and authorities have been regulated in the
Constitution of Indonesia Republic of 1945. However, after the enactment of the
Law regulating the MPR, DPR, DPD and DPRD in 2018, Article 249 section (1)
letter J DPD is given the authority to carry out monitoring and evaluation of the
Raperda and Perda. This then becomes a problem when the DPD, as a legislative
x
institution, must supervise regional legal products, which apply in the regional
environment. This research was conducted to find answers to problems regarding
the DPD's authority to monitor and evaluate the draft regional regulation and
regional regulation whether it is appropriate or not, as well as how the scope of
authority in monitoring and evaluating the draft regional regulations and
regional regulation conducted by the DPD. Judging from its position and
capacity, it would not be right for the DPD to be given the authority to monitor
and evaluate the Raperda and Perda. Nonetheless, the DPD has formulated
provisions regulating the scope and mechanisms for exercising this authority. The
scope of monitoring and evaluation carried out by the DPD is in the form of
recommendations. These recommendations will then be submitted to the DPR and
the President, not to the regions concerned. In formulating a policy, the
legislative institution should really understand the content and meaning of a legal
product to be formed, so that it does not become a problem when the legal
product is applied. In addition, the DPD's authority to monitor and evaluate the
draft regional regulations and regional regulation as stipulated in Article 249
section (1) letter J is subject to a judicial review because this authority is not
properly assigned to the DPD."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Galih Pratiwi
"Terdapat ketidakjelasan pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan melalui harmonisai, evaluasi dan/atau fasilitasi. Secara sifat dan tujuan pengawasan tersebut merupakan hal yang sama sehingga dalam pelaksanaannya dapat menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi tidak efektif. Penelitian yuridis normatif ini, dilakukan dengan pendekatan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum yang menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan peraturan daerah. Hasil penelitian menunjukan, terdapat dualisme rezim pengaturan mengenai pembentukan Perda serta terdapat perbedaan kekuatan mengikat dari harmonisai dengan evaluasi/fasilitasi yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi kurang efektif dan efisien. Selain itu, permasalahan terkait sumber daya Perancang juga menyebabkan rancangan Perda yang disusun masih memiliki kualitas yang rendah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan Perda sebaiknya dilakukan dengan penguatan pengawassan yang bersifat preventif. Oleh karena itu, untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan regulasi yang mengatur mengenai pembentukan Perda, khususnya terkait pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat. Penegasan peran Perancang, serta peningkatan kemampuan Perancang juga menjadi hal strategis terciptanya Perda yang harmonis

There is vagueness in the division of authority over the central government's supervision of the regional regulation's formation through harmonization, evaluation, or facilitation. The similarity of the authority's nature and purpose causes ineffectiveness. This normative juridical research analyzes the synchronization between regulations about the formation of regional law. The study discovered that there is a dualism of the regulatory regime regarding the formation of Regional Regulations. It also has found differences in the law binding power of harmonization and evaluation/facilitation causes ineffective and inefficient supervision. Besides that, problems of Perancang's resources also causing the draft of regional regulations to still have low quality. Strengthening preventive control by the central government can create harmonious regional regulations that are in line with higher laws and regulations is the best form of supervision to be carried out for now. So there, it is necessary to refine the regulations about the formation of regional regulations, particularly related to the division of supervisory authority of the central government. The participation of legal drafter (Perancang) and an ability enhancement of legal drafter is also a strategic matter to create a harmonious regional regulation"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T55244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Galih Pratiwi
"Terdapat ketidakjelasan pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan melalui harmonisai, evaluasi dan/atau fasilitasi. Secara sifat dan tujuan pengawasan tersebut merupakan hal yang sama sehingga dalam pelaksanaannya dapat menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi tidak efektif. Penelitian yuridis normatif ini, dilakukan dengan pendekatan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum yang menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan peraturan daerah. Hasil penelitian menunjukan, terdapat dualisme rezim pengaturan mengenai pembentukan Perda serta terdapat perbedaan kekuatan mengikat dari harmonisai dengan evaluasi/fasilitasi yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi kurang efektif dan efisien. Selain itu, permasalahan terkait sumber daya Perancang juga menyebabkan rancangan Perda yang disusun masih memiliki kualitas yang rendah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan Perda sebaiknya dilakukan dengan penguatan pengawassan yang bersifat preventif. Oleh karena itu, untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan regulasi yang mengatur mengenai pembentukan Perda, khususnya terkait pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat. Penegasan peran Perancang, serta peningkatan kemampuan Perancang juga menjadi hal strategis terciptanya Perda yang harmonis.

There is vagueness in the division of authority over the central government's supervision of the regional regulation's formation through harmonization, evaluation, or facilitation. The similarity of the authority's nature and purpose causes ineffectiveness. This normative juridical research analyzes the synchronization between regulations about the formation of regional law. The study discovered that there is a dualism of the regulatory regime regarding the formation of Regional Regulations. It also has found differences in the law binding power of harmonization and evaluation/facilitation causes ineffective and inefficient supervision. Besides that, problems of Perancang's resources also causing the draft of regional regulations to still have low quality. Strengthening preventive control by the central government can create harmonious regional regulations that are in line with higher laws and regulations is the best form of supervision to be carried out for now. So there, it is necessary to refine the regulations about the formation of regional regulations, particularly related to the division of supervisory authority of the central government. The participation of legal drafter (Perancang) and an ability enhancement of legal drafter is also a strategic matter to create a harmonious regional regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Susandi
"Pembentukan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak dapat dilepaskan dari konteks negara kesatuan republik Indonesia, sehingga peran pemerintah pusat dalam mengontrol dan mengendalikan kebijakan daerah sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tertuang dalam peraturan daerah. Tesis ini membahas mengenai urgensi dan kewenangan sinkronisasi rancangan peraturan daerah oleh pemerintah pusat sekaligus merumuskan mekanisme sinkronisasi yang lebih efektif dan sesuai dengan konteks negara kesatuan yang menerapkan otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat urgensi yang tinggi dalam pelaksanaan sinkronisasi rancangan peraturan daerah sehingga perlu adanya penyesuaian atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yang ada sebagai payung hukum dilakukannya sinkronisasi tersebut. Di samping itu, dari sisi instansi yang tepat dalam melakukan sinkronisasi, menurut penulis adalah instansi Kementerian Hukum dan HAM karena beberapa alasan yaitu, tugas fungsi Kementerian Hukum dan HAM adalah di bidang hukum peraturan perundang-undangan dan pembinaan hukum secara nasional, memiliki sumber daya manusia yang mencukupi baik dari sisi kuantitas dan kualitas, memiliki lembaga/instansi vertikal di semua daerah di Indonesia, pimpinan instansi vertikal di daerah diangkat dari hasil open bidding bukan dari proses politik sehingga lebih profesional.

The formation of local regulations by the local government can not be separated from the context of the united republic of Indonesia, so the role of the central government in controlling the regional policy is very necessary in the implementation of local government as stated in local regulations. This thesis discusses the urgency and authority to synchronize regional regulation drafts by the central government and formulating a more effective synchronization mechanism and in accordance with the context of a unitary state that implements regional autonomy. The research method used in this research is normative research method.
The results of this study indicate that there is a high urgency in the implementation of the synchronization of the draft local regulations so that there needs to be adjustments or changes to existing legislation as a legal norm of the synchronization. In addition, in terms of the appropriate agencies in synchronizing, according to the author is the Ministry of Justice and Human Rights for several reasons namely the duties of the functions of the Ministry of Justice and Human Rights is in the field of law legislation and national law development, has a source sufficient human power in terms of quantity and quality, have vertical institutions in all regions in Indonesia, the head of vertical institutions appointed from the open bidding results not from the political process so more professional.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50324
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Tanujaya
"Pegawai negeri adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri,atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai negeri yang dibahas dalam tulisan ini adalah pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah. Disiplin pegawai negeri adalah kesanggupan pegawai negeri sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak dipatuhi akan dijatuhi hukuman disiplin. Peraturan tentang disiplin pegawai negeri dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tahun 1950 dan pada tahun 1952 Peraturan Pemerintah ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan. Peraturan Pemerintah Tahun 1952 bertahan sampai akhir tahun 1980, dan pada Agustus tahun 1980, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sejak kejatuhan Soeharto diakhir tahun 1998, muncul desakan untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memiliki peran dalam lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Beberapa alasan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, diantaranya adalah: dalam kurun waktu 29 (dua puluh sembilan) tahun telah banyak perubahan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Tidak ada klasifikasi kewajiban dan larangan yang dikaitkan dengan jenis hukuman disiplin, sehingga tidak tampak adanya hubungan antara pelanggaran dan jenis hukuman, pengaturan mengenai ketidak hadiran masih terlalu longgar. Pada juni tahun 2010, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS, beberapa kelebihan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pengaturan tentang ketentuan masuk kerja yang lebih ketat, adanya klasifikasi yang jelas antara pelanggaran dengan sanksi hukuman disiplin yang diterima, adanya sanksi hukuman bagi pejabat yang tidak menjatuhkan hukuman disiplin, dan mengenal hitungan kumulatif untuk masalah ketidakhadiran. Dengan keberadaaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, diharapkan pegawai negeri sipil lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat.

Civil servants is every Republic of Indonesia citizens who have met specified requirement, appointed by authority official and assigned in a one of government position or another state duty, and be paid based on valid legislation regulation. Civil servants discussed in this final task are central and regional ones. Discipline of civil servants is an ability of civil servants to obey obligation and avoid prohibition which had been determined in legislation regulation and/or service regulation, disobedience will get discipline punishment. Regulation about discipline of civil servants began by publishing government regulation year 1950 and on 1952 it stopped and changed by government regulation year 1952 about function punishment. Government regulation year 1952 lasted up to end of 1980, and on August 1980 government established Government Regulation Year 1980 About Civil Servants Discipline Regulation. Since collapsing of Soeharto era by the end of 1980, it appeared enforcement to conduct bureaucracy reformation. Bureaucracy reformation has its role in establishing of Government Regulation No. 53 Year 2010 about Civil Servants Discipline. Some reasons of Government Regulation No 30 Year 1980 revocation, are: in 29 (twenty nine) years era had been many changes of legislation regulation in officialdom field, there were not classification of obligation and prohibition related to type of discipline of punishment, so there is not relationship between infraction and type of punishment, absence regulation were too slight. On June 2010, it appeared Government Regulation No 53 year 2010 about Discipline of Civil Servants, several superiors of it are regulation about work provision is stricter, clear classification between infraction and received discipline sanction, and has accumulative counting regards to absence. By the presence of Government Regulation No. 53 year 2010, it is expected that civil servants are more seriously in implementing their service function for public.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S307
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Isnah Ayu Annisa
"ABSTRACT
Peraturan Daerah oleh beberapa pihak seringkali, disebut sebagai undang-undang di tingkat daerah. Bahkan beberapa ahli dalam pendapatnya terkait konsep peraturan daerah kerap menyamakan dengan undang-undang. Hal ini kemudian menjadi kurang tepat apabila dilihat dalam berbagai teori hukum administrasi negara. Penelitian ini dibuat untuk membandingkan konsep undang-undang dan peraturan daerah yang ditinjau dari penetapan undang-undang tentang APBN yang pengaturannya dimuat pada Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ketentuan penetapan peraturan daerah tentang APBD yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan yuridis normatif yang mengkaji rumusan masalah dari sudut pandang peraturan perundang-undangan dan dikaitkan dengan teori-teori hukum administrasi negara.

ABSTRACT
Regional regulation by some people is often recognized as local law local act . Moreover, some experts on their thoughts related to regional regulation expressed similar opinions regarding the concept of national law compared to regional regulation. However those opinions are not exactly accurate, especially if seen from various administrative law theories. This research is made to analyze the differences between national law and regional regulation based from the making of law about state budget based on article 23 of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia and the making of local regulation about local government budget based on National Law Number 23 of 2014 about Local Government. The method used in this research is juridical normative literature method which analyze the problems based on the regulatory and administrative law theories."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Kurnia Hayati
"ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji kebijakan politik pemerintah terhadap perluasan kewenangan peradilan agama di Indonesia pada tahun 1989-2006, khususnya dari kewenangan terbatas di bidang hukum keluarga hingga meliputi hukum ekonomi. Sejak era kolonial hingga awal Orde Baru, peradilan agama mengalami banyak kendala yang disebabkan oleh sistem hukum yang berlaku, hubungan pemerintah dan kelompok Islam, dan kondisi politik. Tetapi dalam perkembangannya, tingginya kesadaran hukum masyarakat Islam melahirkan urgensi terhadap eksistensi peradilan agama dan formalisasi kewenangannya. Hal ini diakomodasi pemerintah yang melahirkan peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama dalam sistem hukum nasional. Metode yang digunakan adalah metode sejarah. Pertama, penulis mengumpulkan sumber berupa arsip pemerintah, surat kabar sezaman, peraturan perundang-undangan, buku, dan jurnal. Selanjutnya, sumber-sumber tersebut diverifikasi kedalam sumber primer dan sekunder. Setelah itu, penulis melakukan interpretasi terhadap sumber. Langkah terakhir adalah merekonstruksi hasil penelitian dengan analisis politik hukum dan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa eksistensi peradilan agama dan kewenangannya tidak terlepas dari kepentingan politik pemerintah dan kesadaran hukum umat Islam. Perluasan kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah merupakan bentuk adaptasi pemerintah terhadap perkembangan dan kontribusi perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah terhadap perekonomian negara setelah krisis moneter pada akhir era Orde Baru.Skripsi ini mengkaji kebijakan politik pemerintah terhadap perluasan kewenangan peradilan agama di Indonesia pada tahun 1989-2006, khususnya dari kewenangan terbatas di bidang hukum keluarga hingga meliputi hukum ekonomi. Sejak era kolonial hingga awal Orde Baru, peradilan agama mengalami banyak kendala yang disebabkan oleh sistem hukum yang berlaku, hubungan pemerintah dan kelompok Islam, dan kondisi politik. Tetapi dalam perkembangannya, tingginya kesadaran hukum masyarakat Islam melahirkan urgensi terhadap eksistensi peradilan agama dan formalisasi kewenangannya. Hal ini diakomodasi pemerintah yang melahirkan peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama dalam sistem hukum nasional. Metode yang digunakan adalah metode sejarah. Pertama, penulis mengumpulkan sumber berupa arsip pemerintah, surat kabar sezaman, peraturan perundang-undangan, buku, dan jurnal. Selanjutnya, sumber-sumber tersebut diverifikasi kedalam sumber primer dan sekunder. Setelah itu, penulis melakukan interpretasi terhadap sumber. Langkah terakhir adalah merekonstruksi hasil penelitian dengan analisis politik hukum dan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa eksistensi peradilan agama dan kewenangannya tidak terlepas dari kepentingan politik pemerintah dan kesadaran hukum umat Islam. Perluasan kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah merupakan bentuk adaptasi pemerintah terhadap perkembangan dan kontribusi perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah terhadap perekonomian negara setelah krisis moneter pada akhir era Orde Baru.

ABSTRACT
This undergraduate thesis eamines the governments policy of expanding the religious judiciary competence in Indonesia from 1989 until 2006, especially from limited competence in the field of family law and expand to economic law. From the colonial era to early of New Order, religious judiciary experienced many obstacles caused by national legal system, government and Islamic groups relations, and political condition. However, in the next period, heightened legal awareness of Muslims courage an urgency to the existence of religious courts and formalization of its absolute competences. It was accommodated by between government which created law supremacy about religious judiciary in the national legal system. The method used is historical method. First, author collected resources of government archives, newspaper, law supremacy, books, and journals. Then, the sources were verified into primary and secondary sources and compared to each oher. After that, the sources were interpreted based on author rsquo s perspective. Finally, author reconstruct the results with legal political and statute approach. Based on research, it is concluded that the existence and competence of religious judiciary was inseparable from political interests of government and legal awareness of Muslim society. The expansion of jurisdiction in the field of sharia economic influenced by adjustment of government in Reformation era to the rapid development and contribution of syariah banking and financial institutions to the state after monetary crisis in the end of New Order reign."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.

The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>