Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130901 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Kinanti
"Tren merupakan hal yang selalu berlangsung di kehidupan masyarakat Indonesia terutama anak muda, salah satunya tren musik. Salah satu musik yang digemari adalah musik indie, yang berlawanan dengan musik mainstream dan dengan jumlah penggemar yang lebih sedikit. Fokus yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah memahami cara pandang kelompok indie. Penulis ingin mengetahui cara dari kelompok indie untuk tetap dapat menjalankan kehidupan sosialnya.
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami cara pandang kelompok indie terhadap musik mainstream, yang didapat dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan. Kriteria penetapan informan adalah penikmat musik indie, berusia 17-21 tahun, laki-laki dan perempuan, tinggal di Jakarta. Hasilnya adalah cara pandang kelompok indie terhadap tren musik mainstream terbentuk dari konsep diri dan hasil sosialisasi dengan keluarga.

Trend always become a topic in Indonesia, especially for the youth. One of those is the music trend. People’s music preferences are not always the same, and there is one music called indie, which is the opposite of mainstream music and with fewer listener. Focus of this writing is indie listener group’s perspective. Writer aims to know how the indie listener group survived and what are their reasons and attitude for being an indie.
Objective of this writing is to know indie listener group’s perspective towards mainstream music, using interview method with some specific and qualified informants. The criterias of informant are indie music listener, 17-21 years old, male and female, live in Jakarta. The result is perspective of indie group towards mainstream music trend formed by their self concept and socialization with family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yusufa Islam Armyando
"Kemajuan teknologi membawa perubahan dalam industri musik, baik dari sisi konsumen dan produsen. Konsumen kini memiliki akses terhadap musik yang sangat luas dengan layanan on-demand music streaming yang turut membentuk perilaku mereka. Produsen juga dapat memproduksi musik lebih mudah dengan bantuan digital audio workstation. Kemudahan yang dibawa oleh transformasi digital ini memungkinkan musisi independen untuk mencapai pasar yang semakin tersegmentasi. Penggemar dari kelompok musik pun akan muncul dan berkemungkinan besar untuk membentuk brand community mereka masing-masing. Perwujudan brand community tersebut dapat ditemui dalam skena musik indie di Indonesia, dalam hal ini adalah Kelelawar sebagai brand community penyuka kelompok musik .Feast. Penelitian ini mengungkap proses pembentukan brand community “Kelelawar” dan praktik mereka sebagai brand community. Praktik ini meliput ritual moshing, pembelian mechandise, berkumpul bersama, sampai pembuatan konten media sosial.

Technological advancement bring a change into the music industry. That applies on consumer and producer side. Consumers nowadays have a wide access into music with help of on-demand music streaming services. The producers also could produce music easier with the help of digital audio workstation. The easiness that bought with the digital transformation enable independent musician to reach more segmented market. The fans of those music groups will emerge and could make their own brand community. The embodiment of that brand community can be found on Indonesia’s indie music scene. This research take Kelelawar as that embodiment as .Feast’s brand community. This research uncover the building process of “Kelelawar” brand community and their practices as a brand community. The practices includes moshing ritual, merchandise buying, get together, until making social media content.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.

The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.
The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan Prayoga
"Tesis ini membahas tenlang studi strukturasi lerhadap musik indie di Jakarta. Secara khusus, penelitian ini melihat struktur dominasi induslri musik major label dan bagaimana produksi/rcproduksi sistem nilai pada musik indie tersebut_ Pcnclilian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma konstruktivis kritis. Dengan menggunakan pendekatan sosiokulluml, penelitian ini memakai teori strukturasi Anthony Giddens. Hasil penelitian menemukan bahwa sistem nilai yang dibangun oleh musik indie merupakan suatu relasi oposisi terhadap sistem nilai musik major label. Sistem nilai pamungkas milik musik indie yang tidak dapat disentuh oleh kapitalis adalah free culture."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33844
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Razan Syarif
"Penelitian ini berfokus pada promosi musik musisi indie pada masa pandemi Covid-19, dimana para musisi indie harus menyesuaikan strategi promosi mereka dengan menggunakan media digital sebagai platform utama aktivitas promosi. Penelitian terdahulu menunjukan bahwa pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan masyarakat dalam menciptakan, mendengarkan, dan menghadiri aktivitas yang berkaitan dengan musik. Tujuan dari penelitian ini merupakan untuk mengetahui bagaimana musisi indie mengimplementasikan transmedia storytelling untuk mempromosikan musik mereka, maka studi ini akan dilakukan untuk melakukan investigasi terhadap cara musisi indie mengubah cara mempromosikan musik mereka pada masa pandemi Covid-19 dengan tujuan untuk melakukan penyesuaian terhadap storytelling mereka. Data akan dikumpulkan melalui analisis konten dari jurnal akademik relevan yang membahas promosi musik indie pada masa pandemi Covid-19. Penemuan utama dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa musisi indie mengalihkan platform promosi musik mereka menuju media digital, hal tersebut memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dengan para penonton. Secara keseluruhan, musisi indie melakukan penyesuaian dalam penerapan transmedia storytelling untuk mempromosikan musik mereka selama pandemi Covid-19. Akibat pandemi Covid-19, musisi independen terpaksa untuk menggunakan channel media digital untuk menyebarkan materi promosi yang dapat membantu mereka mencapai target penonton yang ditentukan.

This paper focuses on indie musicians, in music promotion during the COVID-19 pandemic, which makes indie musicians adjust their promotion strategy and utilize digital media as the platform for all of their music promotion activities. Previous research shows COVID-19 pandemic changed people's behavior on create, listen, and attend music activities. This research aims to know how indie musicians implement transmedia storytelling to promote their music during the COVID-19 pandemic. This study seeks to investigate how independent musicians changed their promotion tactics during the COVID-19 pandemic in order to adjust their storytelling. The data are collected through content analysis from relevant academic journals that discuss indie music promotion during the COVID-19 pandemic. The main findings show that indie musician switches their promotion platform to digital media to promote their music, which also allows them to interact with the audience. Overall, indie musicians adjust how they employ transmedia storytelling to promote their music throughout the COVID-19 pandemic. Due to the pandemic, independent musicians are compelled to use digital media channels to share marketing materials that will help them reach their target audience."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Derisa Rasi Makara
"Tesis ini membahas tentang peranan agregator musik dalam struktur industri musik di indonesia dalam konteks agregator musik ini sebagai agen perubahan strukturasi industri musik dalam hal pendistribusian dan promosi konten musik di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi bagi para musisi indie. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada 2 faktor utama yang mempengaruhi perubahan industri musik Indonesia. Yang pertama adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju. Dan yang kedua adalah berkembangnya musik Indie (Sidestream). Agregator musik muncul sebagai platfrom bisnis yang fokus mendistribusikan lagu ke toko musik digital di seluruh dunia. Agregator musik berperan sebagai pengganti label rekaman yang kerap kali menjadi sandungan bagi para musisi untuk memasarkan karyanya. Agregator musik melalui toko digital maupun streaming musik dianggap mampu menjawab tantangan era digital dalam hal distribusi dan promosi karya musik. Terlebih, agregator musik dianggap mampu mewadahi karya-karya musisi baru atau musisi indie yang seringkali mengalami kesulitan luar biasa untuk memperkenalkan karya musiknya.

This tesis discusses about the role of Music Aggregator in structur change of music industry in Indonesia in the context that music aggregator is as an agent to change music industry in term of music distribution and promotion content in the growing information and communication technology era for indie musicians. The thesis applies qualitative design with case study design. The study concluded that two main factor which affect of Indonesia music industry change. The first factor is the rapid growth of information and communication technology. The second factor is the rise of Indie Music (Sidestream). Music Aggregator becames a business platform that focuses on distributing songs to digital music stores all around the world. Music Aggregator contributes as subtitutive record label that alwasy hampers all musician to market their creation. Music Aggregator through digital music store or streaming music platform is able to answer the challenges of digital era in the term of music content distribution and promotion. Music aggregator can collect creations of new musicians or indie musicians who often experience extraordinary diffuculty to introduce their creations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Khairunnisa
"Bagian 1
Analisis Situasi
Perkembangan musik indie di Indonesia sedang mencapai titik puncak kreativitasnya. Namun sayangnya media tidak memberikan ruang yang cukup untuk musik indie. Padahal sebagian besar pendengar radio membutuhkan informasi mengenai musik indie. Dengan adanya program “Indie Go”, diharapkan kebutuhan akan informasi para pendengar bisa terjawab dan menularkan kreativitas, semangat, dan referensi musik berkualitas.
Bagian 2
Manfaat dan Tujuan Pengembangan Prototipe
Manfaat sosial: meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai musik kepada pendengar, menambah referensi, inspirasi serta kreativitas kepada pendengar Manfaat bagi stasiun radio: Memperkuat citra radio yang mendukung musik non-mainstream, menarik pendengar dan pengiklan.
Tujuan sosial: memenuhi kebutuhan pendengar mengenai musik indie, menginspirasi dan mendorong pendengar untuk berkarya, dan membuka wawasan bagi mendengar.
Tujuan ekonomi: mendatangkan pengiklan dan sponsor yang akhirnya mendatangkan keuntungan bagi stasiun radio.
Bagian 3
Prototipe yang Dikembangkan
Program ini bernama “Indie Go” dan berformat air magazine. Program ini akan mengangkat album, single, fenomena, konser, dan lifestyle yang sedang berkembang di dunia musik indie. Disiarkan setiap hari Rabu pukul 19.00-19.30 dengan target pendengar remaja dan dewasa muda usia 15-25 tahun, di Jabodetabek dengan SES ABC+.
Bagian 4
Evaluasi
Pre-test dilakukan dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan dua kelompok yang masing-masing beranggotakan enam orang. Pre-test dilakukan sebulan sebelum program “Indie Go” disiarkan. Sedangkan evaluasi dilakukan sebulan setelah program “Indie Go” disiarkan dengan metode telesurvei dan melihat respon pendengar dari berbagai media.
Bagian 5
Anggaran
Jumlah Anggaran Pembuatan prototipe: Rp 198.000
Jumlah biaya produksi 13 episode: Rp 10.010.000
Prakiraan pendapatan per episode (tanpa sponsor): 42.640.000
Jumlah anggaran pre-test: Rp 1.080.000
Jumlah anggaran evaluasi: Rp 1.800.000

Part 1
Situation Analysis
The development of indie music in Indonesia is attaining its peak point of creativity. Unfortunately, the mass media nowadays has not given enough space to indie music, while most of the radio listeners need information about it. “Indie Go” program is expected to meet audience needs of indie music information, as well as to spread the creativity, spirit, and reference of qualified music.
Part 2
Benefits and Objectives of Developing Prototype
Social benefits: to increase the listeners’ insight and knowledge about music, also to add reference, inspiration, and creativity to the listeners. Benefits for the Radio Station: to strengthen the station image that is supporting non-mainstream music, as well as to attract more listeners and advertisers.
Social objectives: to fulfill the listeners’ needs of indie music, as well as to inspire and encourage them to create something, also to broaden listeners’ insight about music.
Economic objectives: to gain more advertisers and sponsors that eventually will give more profit back to the station.
Part 3
The Developing Prototype
This program named by “Indie Go” and has air magazine format. “Indie Go” picks various themes such as album, single, concert, lifestyle, and other phenomenon that is currently growing in indie music world. The program will be aired every Wednesday at 19.00 to 19.30 in Trax FM. Its primary target listeners are teenagers and young adult whose age between 15-25 years old, located in Jabodetabek with SES ABC+.
Part 4
Evaluation
Pretest will be conducted by doing Focus Group Discussion (FGD) to two groups consist of six members of each group. It will be conducted one month before the “Indie Go” program being aired. While the evaluation will be conducted one month after the program being aired by using tele-survey method, as well as seeing listeners’ response from various media.
Part 5
Budgeting
Total Prototype Production Budget: Rp 198.000
Total Production Cost (13 episodes): Rp 10.010.000
Net Income Estimation per Episode (without sponsor): Rp 42.460.000
Total Pretest Budget: Rp 1.080.000
Total Evaluation Budget: Rp 1.800.000
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Indira Kuswoayuning
"Melalui kemunculan beragam layanan music streaming seperti Apple Music, Spotify, Joox dan semacamnya, masyarakat dimudahkan dalam mengakses musik digital sebab layanan-layanan tersebut menawarkan opsi layanan yang gratis maupun berbayar. Namun, keberadaan layanan music streaming tidak serta merta dapat diakses oleh seluruh masyarakat sebab masih adanya kesenjangan digital yang dialami kelompok-kelompok tertentu. Dalam melihat fenomena konsumsi layanan music streaming, studi-studi sebelumnya banyak memfokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam menggunakan layanan tersebut. Oleh karena itu artikel ini mencoba melengkapi studi-studi sebelumnya dengan membahas dari aspek akses terhadap layanan music streaming dan selera musik kaum muda yang merupakan kelompok paling terpapar oleh teknologi dan internet. Temuan hasil studi ini memperlihatkan bahwa kesenjangan digital dalam akses terhadap layanan music streaming berkontribusi terhadap pembentukan selera musik kaum muda. Artikel ini menggunakan metode kualitatif berupa wawancara mendalam terhadap kaum muda yang merupakan pengguna layanan music streaming dan kaum muda yang tidak pernah menggunakan layanan tersebut.

Through the emergence of a variety of streaming music services such as Apple Music, Spotify, Joox and the like, it becomes easier to access digital music as those services offer free and paid service options. However, the presence of music streaming services is not necessarily accessible to the whole community because digital inequality is still being experienced by certain social groups. In looking at the phenomenon of the consumption of music streaming services, previous studies have focused heavily on the factors that influence a person in using the service. This article therefore attempts to complement previous studies by addressing access to music streaming services and musical taste of the youth as the most exposed group to technology and the internet. The result of this study shows that digital inequality in the use of music streaming services contributes to musical taste of the youth. This article uses qualitative methods of in-depth interviews of young people who are users of music streaming services and young people who have never used the service.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hesilia Astri
"Industri musik Indonesia saat ini sangat berkembang pesat. Musisi~musisi dan band-band baru bermuneulan mewamai belantika musik Indonesia. Padahal jika kita mclihat I0 tahun ke belakang, lagu-lagu barat masih menguasai pasar musik Nasional. Namun keadaan sekarang berubah dimana saat ini musik Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Industri musik negeri kita tidak lagi didominasi oleh musisi yang itu-itu saja, saat ini banyak sekali musisi dan band-band baru yang ikut bersaing merebut hati para pendengar dengan menciptakan lagu-lagu yang sesuai dengan keinginan pasar.
Fenomena yang terjadi di industri musik Indonesia ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik dari industri musik sendiri, para musisi, pengamat bahkan para pendengar musik. Perkembangan yang pesat ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Terlebih dengan bermunculannya musisi dan band-band yang membawakan lagu-lagu yang bernuansa pop melayu dan mendayu-dayu clengan Iirik yang sangat lugas dan apa adanya. Puitis sudah tidak diminati Iagi oleh para musisi dan band-band baru ini. Notasi lagu pun sangat ringan dengan penggunaan kunci-kunci yang sederhana. Scbagian orang menganggap bahwa ini adalah kernunduran musik Indonesia, namun sebagian lagi menganggap bahwa ini adalah variasi bermusik, musik bersitat universal sehingga apapun warna musiknya itu sah-sah saja selama ilu diminati.
Namun bagaimanakah proses hingga akhirnya musik pop melayu dan mendayu berhasil mendominasi pasar musik Indonesia saat ini dan berhasil menelurkan banyak musisi dan band-band yang ikut memeriahkan kancah musik Indonesia?, make. penelitian ini mengangkat tentang fenomena dalam Industri musik Indonesia. Bagaimana musik-musik pop melayu, bertema ringan dan mendayu-dayu dapat menjadi raja di hati masyarakat negeri, padahal kontroversi yang ditimbulkan pun tidak sedikit. Ujung tombak dari keberhasilan musisi dan band-band tentu tidak terlepas dari proses publikasi dan promosi yang diterapkan. Dengan promosi yang gencar maka masyarakat dapat mengetahui lagu-lagu yang saat ini bam dinlis dan dapat dengan cepat akrab di telinga pendengar. Faktor yang paling penting adalah media massa yang menyebarkan lagu-lagu tersebut kepada pemirsa. Dcnganjangkauan yang luas di masyarakat dan frekuensi pemutaran yang berulang-ulang akan mernbangun awareness masyarakat akan lagu-lagu baru yang kemudian mcmbentuk selera masyarakat dan menciptakan trend. Dari sinilah popularitas sang musisi dan band-band terbentuk, basil akhimya adalah peningkatan penjualan terhadap produk musik dan mcmbuka peluang lebih besar dalam dunia entertainment.

Today musics industries in Indonesia are rapidly developed. Newly-formed bands and musicians showed to flourish the world’s of Indonesian musics. Whereas. back to 10 years ago, westem songs were controlled the market of national musics. However, the time has changed where Indonesian music has become the master in its own territory. The industry of our domestic musics are no longer dominated by common musicians, currently there are a vast majority of new bands and musicians that tightly competing for their audiences in producing marketable and reasonable songs.
The current phenomenon in Indonesian music industry has been paid huge attention by music industry itselfi musicians, observers and even music listeners. This highly rapid development is causing pros and cons in the population. Moreover, with emerging of musicians and bands on slow and Pop-Malay musics with simple and to the point lyrics. Poetical is no longer interested by new bands and musicians. Song notation is very light with using simple keys. Partly, people think that this is a setback for Indonesian musics, however, the remaining are thinks that this is a variety of musics, music as a universal language, and it is very acceptable that this kind of music is intriguing.
However, what is the process for slow and Pop-Malay musics can dominating current Indonesian musics and has succeeded to produce many musicians and bands to enliven Indonesian music industry ? So, this study is to review the phenomenon in Indonesian music industry. How can slow, Pop-Malay musics become the king in the heart of Indonesian people, whereas there are so many controversies in this kind of musics.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33890
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>