Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arvianto Rahmat Nugroho
"Status gizi kurang masih merupakan permasalahan serius pada anak di Indonesia. Salah satu dampaknya adalah terjadi stunting. Stunting adalah gangguan pertumbuhan linier. Prevalensi stunting yang diukur menggunakan indikator tinggi badan menurut usia (TB/U) pada anak usia pra sekolah (4-6 tahun) di Indonesia mencapai 35,7%. Faktor yang dapat menyebabkan stunting adalah terjadinya malnutrisi kronik. Malnutrisi dapat terjadi karena kurangnya asupan makronutrien maupun mikronutrien. Salah satu kebutuhan mikronutrien yang harus dipenuhi adalah asupan zink. Zink berperan dalam memproduksi hormon pertumbuhan, sehingga kekurangan zink dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Penelitian ini ingin mencari korelasi antara asupan zink dengan indikator TB/U pada anak usia 5-6 tahun di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional dengan menggunakan data sekunder yang didapatkan melalui pengukuran antropometri dan food frequency questionaire dari sebuah penelitian di beberapa RW di Jalan Kimia pada tahun 2011. Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 37,1% subyek penelitian dengan asupan zink kurang dan sebanyak 18,6% mengalami stunting. Tidak ditemukan adanya korelasi antara asupan zink dengan indikator TB/U.

Low nutritional status is still a major problem for children in Indonesia. Low nutritional status could lead to stunting in children. Stunting is a linear growth problem. The prevalence of stunting, measured by height for age indicator, in pre-school children (age 4-6 years) in Indonesia is 35.7%. One of the factor that can cause stunting is chronic malnutrition. Low intake of macronutrient or micronutrient can cause malnutrition in children. Zinc is one of the important micronutrient essential for children. Zinc have a role in producing growth hormones. Inadequate intake of zinc possibly could lead to stunting.
The goal of this research is to find a correlation between zinc intake and height for age indicator in children aged 5-6 years in Jakarta. This research used a cross-sectional method, using secondary data that contains anthropometric measurements and food frequency questionaire data from a research conducted in several RW‟s on Jalan Kimia in 2011. The results showed that 37.1% of the research subject have inadequate zinc intake and 18.6% is stunted. No correlation is found between zinc intake and height for age indicator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Moses Hanky J.T.
"Stunting adalah suatu keadaan dimana tinggi badan seorang anak terhadap umurnya (TB/U) berada dibawah persentil lima kurva pertumbuhan WHO atau CDC. Terjadinya stunting dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor asupan nutrisi. Energi atau kalori merupakan salah satu makronutrien yang berperan penting untuk mencukupi kebutuhan aktivitas vital tubuh, aktivitas sehari-hari, dan pertumbuhan jaringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara asupan kalori dengan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) khususnya pada anak usia 5-6 tahun. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan sampel sebanyak 70 sampel yang merupakan data sekunder dari penelitian primer yang dilakukan pada anak berusia 5-6 tahun di beberapa RW di Jalan Kimia, Jakarta Pusat pada bulan Mei 2011. Data asupan kalori didapatkan dengan menggunakan metode food frequency questionnaire. Pengolahan data dilakukan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji Spearman's dengan software SPSS versi 20 Mac OSX. Dari penelitian didapatkan sebanyak 15.7 % subjek mengalami stunting dan lebih dari 50 % subjek tidak mencapai Angka Kecukupan Energi harian. Namun, tidak ditemukan korelasi bermakna antara asupan kalori dan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) (p=0.402). Dapat disimpulkan bahwa belum dapat dibuktikan adanya korelasi antara asupan kalori dan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U).

Stunting is defined as a condition where the length per age of child is below fifth percentile of the standardized international growth curve from WHO or CDC. Many factors contribute to stunting, including nutrition. Energy or calorie is one of the macronutrients needed for vital activities of the human body, daily activities and tissue growth. This research is being held to find out the correlation between calorie intake and the height/age indicator, specifically in children in 5 to 6 years of age. This is a cross sectional research with 70 samples gathered from secondary data by the primary research done to several children 5-6 years in Jalan Kimia, Central Jakarta in May 2011. The calorie intake data is acquired using the food frequency questionnaire. The data is analyzed using Kolmogorov-Smirnov and Spearman's test in SPSS for Mac OSX version 20 software. It is found that 15.7 % of the subjects are stunted and more than 50 % of the subject didn't meet the national minimum daily energy intake. Therefore, no correlation is found between calorie intake and height/age indicator value of the subjects (p=0.402). It is concluded that there is no correlation found between calorie intake and height/age indicator value in this."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Cathleen
"Stunting merupakan masalah kesehatan global yang dimiliki oleh 150,8 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Anak stunting diindikasikan dengan tinggi badan menurut usia di bawah minus dua deviasi standar dari World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. Jika terjadi dalam 1000 hari kehidupan pertama seorang anak, stunting cenderung bersifat irreversible, dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan, mulai dari penurunan kemampuan kognitif, peningkatan risiko atas penyakit metabolik, dan penurunan pendapatan dan kesejahteraan hidup di masa depan. Korelasi vitamin D dan kalsium masih terhadap stunting masih kurang dieksplorasi, padahal beberapa studi menunjukkan dampak positif melalui fungsi mineralisasi tulang dan insulin-like growth factor axis. Dengan begitu, penelitian ini dilakukan untuk mencari korelasi antara asupan kalsium dan vitamin D terhadap indikator stunting (HAZ) pada anak usia 6-24 bulan sebagai usia yang telah mendapatkan MPASI, dan di Jakarta Timur sebagai wilayah dengan prevalensi stunting kedua tertinggi di antara wilayah DKI Jakarta lainnya. Metode: Metode yang digunakan adalah metode potong lintang, dengan total 62 sampel, yaitu anak usia 6-24 bulan yang bertempat tinggal di Jakarta Timur dan mengikuti penelitian Departemen Gizi FKUI 2014, sesuai kriteria inklusi tanpa kriteria eksklusi, kemudian terpilih melalui simple random sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 for Mac. Hasil: Hasil yang ditemukan adalah anak usia 12-24 bulan berhubungan positif dan signifikan secara statistik terhadap asupan kalsium kurang dari AKG (OR= 16,611; p<0,001). Sebaran asupan vitamin D dan status stunting berdasarkan seluruh karakteristik subjek tidak memiliki hubungan signifikan secara statistik. Sementara itu, asupan kalsium dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,324; p=0,005; p<0,01), begitu pula dengan asupan vitamin D dan HAZ berkorelasi positif dan searah (r=0,279; p=0,014, p<0,05). Hubungan status asupan kalsium dan vitamin D terhadap status stunting tidak bersifat signifikan secara statistik, namun penting secara klinis. Pembahasan: Usia 12-24 bulan lebih berisiko untuk memiliki asupan kalsium yang lebih rendah karena frekuensi minum ASI yang semakin berkurang tidak diimbangi dengan asupan gizi MPASI. Korelasi signifikan antara asupan kalsium dan asupan vitamin D terhadap HAZ mendukung studi sebelumnya bahwa kalsium dan vitamin D dapat meningkatkan konsentrasi IGF-1 plasma, dan bahwa kalsium dan vitamin D bekerja berdampingan.

Stunting is a global health issue, with approximately 150.8 million children are affected worldwide, including Indonesia. Children with stunting are indicated with a Height-for-Age Z Score of less than-2 standard deviation based the World Health Organization (WHO) Child Growth Standards median. If it occurs in the first 1000 days of life, stunting tends to be irreversible and cause impaired development, from cognitive impairment and increased risk of metabolic diseases, to lower income and welfare in the future. Correlation between vitamin D and calcium intake towards stunting have yet to be explored thoroughly even though several studies suggest their positive impacts through bone mineralisation and insulin-like growth factor axis. Thus, this research is done in order to discover the correlation between calcium and vitamin D toward stunting indicators (HAZ) on children aged 6-24 months, as they are currently given complementary foods, and located in East Jakarta, which has the second highest stunting prevalence compared to other regions in DKI Jakarta. Method: This study uses a cross-sectional method with a total of 62 samples, which are children aged 6-24 months that live in East Jakarta and took part in FKUI's Nutrition Department's Research in 2014, passing inclusion criterias without exclusion criterias, then selected through simple random sampling. Data processing and analysis are conducted with SPSS 20 for Mac software. Results: Results have found children age 12-24 months significantly and positively correlated with calcium intake less then AKG (OR=16.611; p<0.001). Vitamin D intake and stunting status distribution based on all subject characteristics are statistically insignificant On the other hand, calcium intake and HAZ have a positive and unidirectional correlation of (r=0.324; p=0.005; p<0.01), similar with vitamin D intake and HAZ with a positive and unidirectional correlation (r=0.279; p=0.014, p<0.05). Meanwhile, relationships of calcium and vitamin D intake status towards stunting status are not statistically significant, however clinically important. Discussion: Age group 12-24 months has higher risk to have lower calcium intake because reduced breastfeeding frequency is not balanced with adequate complementary food. Significant correlation between calcium and vitamin D intake towards stunting indicator supports the theory where calcium and vitamin D increases plasma IGF-1 concentration, and that both calcium and vitamin D works side-by-side.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darrin Ananda Nugraha
"Latar belakang: Tingginya angka kegemukan pada anak di DKI Jakarta dapat menggambarkan angka kebugaran fisik yang rendah pada anak. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan asupan energi yang cukup berpengaruh positif terhadap kekuatan genggaman tangan sebagai indikator kebugaran tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran tubuh pada anak.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran fisik pada anak usia 7-12 tahun di DKI Jakarta pada tahun 2019.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitan potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian SEANUTS II Indonesia. Terdapat 67 sampel yang terpilih secara acak. Kekuatan genggaman tangan yang diukur dengan dinamometer telah terbukti akurat untuk menggambarkan kebugaran tubuh manusia. Aktivitas fisik diukur menggunakan kuisioer PAQ-C, sedangkan asupan energi diukur menggunakan kuesioner asupan 24 jam. Data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman dengan batas kemaknaan p<0,05.
Hasil: Rata- rata asupan energi adalah 1430,01 ± 539,82 kcal/hari, dan rata-rata skor aktivitas fisik adalah 2,26 ± 0,65. Sedangkan, median kebugaran fisik adalah 10,6 (5-22,7) Kg. Secara statistik tidak ditemukan korelasi yang bermakna, baik antara aktivitas fisik dengan kebugaran fisik (p=0,638 r=-0,07) serta antara asupan energi dengan kebugaran fisik (p=0,572 r=-0,058).
Simpulan: Tidak ditemukan korelasi antara aktivitas fisik dan asupan energi dengan kebugaran fisik anak usia 7-12 tahun di DKI Jakarta.

Background: The high rate of obesity in children in DKI Jakarta can describe the low level of physical fitness in children. Research shows that adequate physical activity and energy intake have a positive effect on handgrip strength as an indicator of body fitness. This study was conducted to determine the correlation between physical activity and energy intake with physical fitness in children.
Aim: To find out the correlation physical activity and energy intake with physical fitness in children aged 7-12 at Jakarta year 2019.
Methods: This is a cross-sectional study using secondary data from SEANUTS II research in Indonesia. There are 67 samples selected by random sampling. The use of a dynamometer to measure handgrip strength has been shown to accurately describe the level of physical fitness in the human body. Physical activity was measured using the PAQ-C questionnaire, while energy intake was measured using a 24-hour food recall questionnaire. Data were analyzed using Spearman correlation methods with cut- off p-value <0.05.
Results: The average of energy intake and physical activity score is 1430.01 ± 539.82 kcal/day and 2.26 ± 0.65 respectively. Meanwhile, the median physical fitness was 10.6 (5-22.7) Kg. Statistically, there is no significant correlation between physical activity and physical fitness (p=0.638 r=-0.07), and also between energy intake and physical fitness (p=0.572 r=-0.058).
Conclusion: There is no correlation between physical activity and energy intake with the physical fitness of children aged 7-12 years in DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anin Ika Rosa
"Seng merupakan mikronutrien yang penting dalam masa pertumbuhan anak dan untuk menjaga daya tahan tubuh pada masa pandemi ini. Seng tidak memiliki cadangan yang besar yang dapat menyimpan atau mengeluarkan seng sesuai dengan kebutuhan, sehingga seng menjadi penting untuk diperhatikan kecukupannya. Kekurangan seng lebih mungkin terjadi selama masa kanak-kanak, ketika kebutuhan harian seng lebih tinggi. Defisiensi seng dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga dapat berdampak pada status gizi dan pertumbuhan. Kadar seng rambut dapat menggambarkan status seng secara kronis, lebih stabil, dan lebih sesuai digunakan pada anak karena kurang invasive. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut anak usia 2-3 tahun. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data subjek dilakukan di Kelurahan Kampung Melayu (n=70) dan dilakukan pemeriksaan kadar seng rambut. Dari penelitian ini didapatkan median asupan seng adalah 6 (1,2-22,5) mg/hari dan sebanyak 20% anak memiliki asupan seng yang kurang. sedangkan nilai median kadar seng rambut adalah 132 (30-451) μg/g dan sebanyak 17,1% anak memiliki kadar seng rambut dibawah nilai normal. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif sangat lemah antara asupan seng dengan kadar seng rambut, namun secara statistik tidak bermakna (r=-0,077, p=0,528). Sedangkan untuk faktor faktor yang berhubungan, didapatkan hasil korelasi positif lemah bermakna antara nilai VAS nafsu makan dan kadar seng rambut (r=0,247, p=0,039). Sebagai kesimpulan, asupan seng pada anak usia 2-3 tahun tidak berkorelasi dengan kadar seng rambut, dan faktor yang berhubungan dengan kadar seng rambut adalah nilai VAS nafsu makan

Zinc is an important micronutrient in the growth period of children and to maintain the immune system during this pandemic. Zinc does not have a large reserve that can store or release zinc as needed, so it is important to pay attention to its adequacy. Zinc deficiency is more likely during childhood, when daily zinc requirements are higher. Zinc deficiency can cause loss of appetite, which can have an impact on nutritional status and growth. Hair zinc levels can describe chronic zinc status, are more stable, and are more suitable for use in children because they are less invasive. The purpose of this study was to determine the correlation of zinc intake with hair zinc levels of children aged 2-3 years. This study used a cross-sectional design. Subject data collection was carried out in Kampung Melayu Sub-district (n=70) and hair zinc levels were examined. From this study, it was found that the median intake of zinc was 6 (1.2-22.5) mg/day and as many as 20% of children had insufficient zinc intake. while the median hair zinc level was 132 (30-451) g/g and 17.1% of children had hair zinc levels below the normal value. The results of the analysis showed a very weak negative correlation between zinc intake and hair zinc levels, but not statistically significant (r=-0.077, p=0.528). For the associated factors, there was a significant weak positive correlation between VAS appetite value and hair zinc levels (r=0.247, p=0.039). In conclusion, zinc intake in children aged 2-3 years did not have a correlation with hair zinc levels, and factor associated to hair zinc levels was VAS appetite value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Saffanah Elvireina
"Latar Belakang: Asupan susu telah direkomendasikan untuk berkontribusi pada pertumbuhan anak di banyak negara, namun hubungan antara asupan susu dan hasil antropometri pada anak di Jakarta belum dipahami secara jelas. Tujuannya untuk mendeskripsikan anak usia 12-36 bulan yang mengkonsumsi produk susu di Jakarta dan mengetahui apakah konsumsi produk susu berhubungan dengan skor WAZ. Metode: Penelitian cross sectional ini berdasarkan data sekunder yang diambil dari anak usia 6-36 bulan September-Oktober 2020. Partisipan penelitian ini adalah anak usia 12- 36 bulan (n=145). Paparan berupa frekuensi konsumsi produk susu dalam hari/minggu dan jenis asupan susu yang dikonsumsi dengan SQ-FFQ. Hasil utamanya adalah skor WAZ. Karakteristik responden adalah jenis kelamin, berat lahir, riwayat ASI eksklusif, pendidikan orang tua, dan pendapatan keluarga. Uji T-Independent digunakan untuk mengetahui hubungan antara asupan susu dan skor WAZ. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada skor WAZ anak usia 1 sampai 3 tahun dengan asupan susu lebih dari 7 hari/minggu dibandingkan dengan anak dengan asupan susu kurang dari 7 hari/minggu (p=0,029). Selain itu, anak dengan jenis kelamin Wanita (p=0,007), memiliki riwayat ASI eksklusif (p=0,006), dan yang mengonsumsi mentega (p=0,013) memiliki skor WAZ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mengonsumsi. Kesimpulan: Frekuensi konsumsi susu berhubungan dengan skor WAZ pada anak usia 1-3 tahun.

Background: Dairy intake has been recommended to contribute to child growth in many countries, but the relationship between dairy intake and anthropometric results among children in Jakarta is not clearly understood. The aim is to describe children aged 12-36 months who consume dairy products in Jakarta and determine whether consumption of dairy products is associated with the WAZ score. Method: This cross-sectional research is based on secondary data which taken from children aged 6-36 in September-October 2020. Participants of this study were children aged 12-36 months or 1 to 3 years old (n=145). The exposure was frequency consumption of dairy products in days/week and types of dairy intake taken with SQ-FFQ. The main outcome was the WAZ score. The respondents’ characteristics were gender, birth weight, history of exclusive breastfeeding, parents' education, and family income. T-Independent test is used to determine the relationship between dairy intake and WAZ score. Results: There was a significant difference in WAZ score of children aged 1 to 3 years with dairy intake more than 7 days/week compared with those with dairy intake less than 7 days/week (p=0.029). On top of that, children with female gender (p=0.007), have a history of exclusive breastfeeding (p=0.006), and who consumed butter (p=0.013) have higher WAZ score compared with children who did not consume. Conclusion: Frequency of dairy intake consumption is related to WAZ scores in children aged 1-3 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Menganti Harum Putrinata
"Kegemukan dan obesitas pada anak sekolah dasar usia 7-12 tahun di Indonesia masih tinggi dari waktu ke waktu dan serat pangan terbukti memiliki fungsi baik pada tubuh dengan cara mengontrol berat badan serta mencegah penyakit tidak menular. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik subjek, menentukan serat pangan harian subjek, mengetahui skor persentil IMT menurut umur subjek, dan menganalisis hubungan antara serat pangan dengan skor persentil IMT menurut umur sebagai tujuan utama. Subyek yang terpilih sebanyak 153 orang yang mengikuti penelitian SEANUTS II melalui simple random sampling. Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder melalui metode cross sectional. Korelasi antara asupan serat pangan terhadap skor persentil IMT menurut umur diharapkan untuk terjadi, sehingga kegemukan, obesitas, dan penyakit tidak menular dapat dicegah pada usia mendatang, akan tetapi faktor lain juga dianalisis terhadap skor persentil IMT untuk usia. Faktor lain terdiri dari umur, jenis kelamin, skor aktivitas fisik, asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak), dan energi. Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan uji korelasi one-tailed spearman dengan nilai signifikansi p < 0.05 untuk analisis bivariat, dilanjutkan ke analisis multivariat dengan p < 0.2. Uji Mann-Whitney juga digunakan untuk membandingkan variabel kategorik dan numerik dalam analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara asupan serat makanan dan skor persentil BMI-untuk-usia pada anak SD usia 7-12 tahun, namun asupan karbohidrat dan jenis kelamin subjek menunjukkan korelasi terhadap skor persentil IMT-untuk-usia pada anak.

Overweight and obesity in elementary school children aged 7-12 years in Indonesia still remain high from time to time and dietary fiber is proven to have positive functions by controlling weight and preventing non-communicable diseases. The purpose of this study is to describe characteristics of selected subjects, determining daily dietary fiber of subjects, knowing the BMI-for-age percentile score of subjects, and analyzing the correlation between dietary fiber and BMI-for-age percentile score as the main objective. The selected subjects were 153 children who participated in the SEANUTS II study through simple-random sampling. The study used secondary data analysis through a cross sectional method. A correlation between dietary fiber intake towards BMI-for-age percentile score is expected so that overweight, obese, and further non-communicable diseases can be prevented in future time, however other factors are also analysed for BMI- for-age percentile score. Other factors include age, gender, physical activity score, macronutrients intake (carbohydrate, protein, fat), and energy. Statistical analysis used one-tailed Spearman correlation test with significance value p < 0.05 for bivariate analysis, proceeding to multivariate analysis using p < 0.2. Mann-Whitney test is also used to compare categoric and numeric variables in bivariate analysis. Our research shows no correlation between dietary fiber intake and BMI-for-age percentile score in elementary children aged 7-12 years, however carbohydrate intake and gender of subjects showed a significance towards BMI-for-age percentile score. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Putri Permata
"Latar Belakang: Prevalensi stunting yang tinggi di Indonesia. Sementara itu, belum banyak penelitian yang menilai keragaman, frekuensi dan asupan gizi terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur dengan membandingkan pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan asupan gizi, frekuensi dan keragaman pangan terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur pada anak pada pedesaan dan perkotaan. Metode: Penelitian ini menggunakan studi cross sectional, menggunakan data sekunder
dari Departemen Ilmu Gizi FKUI. Sebanyak 223 anak pra sekolah, 113 anak di kota Jakarta Pusat dan 110 anak di desa Sujung, Banten diukur tinggi badan serta dinilai asupan makanannya. Lalu data diolah menggunakan Nutrisurvey dan WHO Anthro. Untuk menganalis hubungannya dengan nilai z score tinggi badan menurut umur menggunakan program SPSS. Hasil: Hasil yang didapatkan dari korelasi asupan gizi (energi), keragaman dan frekuensi pangan pada anak terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur di Jakarta adalah 0.004, 0.119, 0.280; Banten <0.001, 0.761, 0.044; dan keseluruhan <0.001, <0.001, 0.001. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara asupan gizi (energi) terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur yang bermakna pada kedua kelompok dan secara keseluruhan. Terdapat korelasi antara keragaman pangan terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur yang bermakna secara keseluruhan. Terdapat korelasi antara frekuensi pangan terhadap nilai z score tinggi badan menurut umur yang bermakna di pedesaan dan secara keseluruhan.
Background: The prevalence of stunting is high in Indonesia. Meanwhile, there are not many studies that measure diversity, frequency and nutrient intake on height z scores by age with rural and urban comparisons in Indonesia. Objective: This research was done to assess the relationship of nutritional intake, frequency and diversity of food on the z score of height according to age in children in rural and urban areas. Methods: This study uses a cross sectional study, using secondary data from the Department of Nutrition Science FKUI. A total of 223 children, 113 children in the city of Central Jakarta and 110 children the village of Sujung, Banten, measured height and assessed food intake. Then the data is processed using Nutrisurvey and WHO Anthro. To analyze the relationship with height z scores according to age using the SPSS program. Results: The results obtained from the correlation of nutritional intake (energy), diversity and frequency of food in children in Jakarta are 0.004, 0.119, 0.280; Banten <0.001,
0.761, 0.044; and overall <0.001, <0.001, 0.001. Conclusion: There is a significant correlation between nutritional intake (energy) and the
height for age z score in both groups and as a whole. There is a significant correlation between food diversity and the height for age z score in overall. There is a significant correlation between food frequency and the height for age z score in village and overall."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livia Kurniati Saputra
"Inflamasi derajat rendah diduga terlibat dalam patogenesis penyakit kronis yang
terjadi secara global. Salah satu penanda inflamasi yang kerap digunakan adalah
high sensitivity C-reactive protein (hsCRP). Asupan serat pangan yang lebih rendah
diduga berperan terhadap kadar hsCRP serum, akan tetapi hasil penelitian
sebelumnya masih bervariasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara
asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum pada pekerja sedentari usia 19-49
tahun di Jakarta Timur, Indonesia. Studi ini merupakan studi potong lintang pada
58 pekerja sedentari yang dilaksanakan pada Bulan Agustus hingga Oktober 2020.
Data dasar dikumpulkan memakai kuesioner. Asupan makanan dicatat dengan 3-
day food record dan dilakukan pengukuran antropometri untuk mengetahui indeks
massa tubuh (IMT) dan ukuran lingkar pinggang. Pemeriksaan hsCRP serum
memakai metode imunoturbidimetri. Analisis untuk menilai korelasi antara asupan
serat pangan dan kadar hsCRP serum dilakukan menggunakan uji Spearman jika
nilai p<0,05 dianggap bermakna. Mayoritas subjek adalah perempuan, tidak
merokok, dengan aktivitas fisik kurang dan memiliki status gizi normal serta tidak
obesitas abdominal. Berdasarkan data asupan makanan didapatkan asupan energi,
karbohidrat total, dan serat pangan total berada dibawah rekomendasi AKG. Hanya
asupan lemak total yang sesuai dengan rekomendasi AKG. Asupan serat pangan
total didapatkan sebesar 7,45 g/hari. Nilai hsCRP serum masih dalam batasan
normal, yaitu sebesar 0,4 mg/L. Pada analisis bivariat tidak didapatkan korelasi
antara asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum (r=0,003, p=0,981). Hasil
penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara asupan serat pangan
dengan kadar hsCRP serum, namun diketahui asupan serat pangan masih sangat
rendah sehingga perlu dilakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan asupan
serat pangan pada pekerja sedentari.

Low grade inflammation has previously been linked to the global development of
chronic disease. High sensitivity C-reactive protein (hsCRP) is commonly used to
detect inflammation. Low dietary fiber intake was hypothesized to have an effect
on serum hsCRP concentration. To this day, studies on the relationship between
dietary fiber and serum hsCRP have shown inconclusive result. In this study, we
aimed to find a correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP on
sedentary worker age 19-49 years old at East Jakarta, Indonesia. This was a cross
sectional study on 58 sedentary workers. This study was conducted in August-
October 2020. Subject’s characteristics was obtained using a questionnaire. Dietary
assessment was conducted using 3-day food record. Anthropometic measurements
included body mass index (BMI) and waist circumference. Serum hsCRP
concentrations were measured using immune turbidimetry. Spearman test was used
to determine correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP, with
p<0,05 being significant. Subjects were mostly female, non-smoker, with
inadequate physical activity. A majority of subjects had normal BMI and waist
circumference. Dietary assessment showed subject has inadequate intake of energy,
carbohydrate, and dietary fiber. Only fat intake was adequate in the present study.
Total dietary fiber intake was 7,45 g/day. Median value of serum hsCRP was 0,4
mg/L. There was no correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP
(r=0,003, p=0,981). However, this study found that dietary fiber intake was very
low. Thus, education on increasing dietary fiber intake is necessary for sedentary
workers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nindiana Pertiwi
"Pada masa kehamilan, terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan janin dan perubahan fisiologis tubuh ibu. Kurangnya asupan gizi pada masa kehamilan dapat menyebabkan malnutrisi dan masalah kesehatan pada ibu dan janin. Kalsium merupakan salah satu mikronutrien yang berperan penting dalam mempertahankan kepadatan tulang ibu dan pertumbuhan tulang dan gigi bayi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara kadar kalsium darah dengan asupan kalsium harian khususnya pada ibu hamil trimester pertama. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel berjumlah 62 yang merupakan data sekunder dari penelitian primer yang dilakukan pada ibu hamil trimester pertama di beberapa rumah sakit di Jakarta. Data asupan diperoleh dengan menggunakan food frequency questionnaire, sedangkan kadar kalsium darah diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan flame atomic absorption spectrophotometry (AAS). Data diolah melalui uji Kolmogorov-Smirnov dan uji Spearman dengan software SPSS versi 22 Mac OS X. Dari penelitian didapatkan sebanyak 93,5% subjek memiliki kadar kalsium normal dan sebagian besar (91,9%) subjek tidak mencapai angka kecukupan kalsium harian. Tidak didapatkan korelasi antara kadar kalsium darah dengan asupan kalsium ibu hamil trimester pertama (p=0,803). Dibutuhkan penelitian yang lebih komprehensif terkait faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar kalsium darah ibu hamil trimester pertama.

During pregnancy, the needs for most nutrients are increased to meet the demands of growing fetal and physiologic changes of the mother. Nutrient deficiency in pregnancy causes malnutrition and several problems of maternal and fetal health. Calcium is needed for maintaining bone density of mother and fetal development of bone and teeth. This research helps to find out the correlation between blood calcium level and daily calcium intake in first trimester pregnant women. This is a cross sectional research with 62 samples gathered from secondary data by the primary research done to pregnant women in several hospitals in Jakarta. The data of calcium intake is acquired from food frequency questionnaire, while blood calcium level is acquired from cilinical laboratory measurement by using flame atomic absorption spectrophotometry (AAS). The data is analyzed using Kolmogorov-Smirnov and Spearman’s test in SPSS for Mac OS X version 22 software. It is found that 93,5% of the subjects have normal blood calcium level, but 91,9 % of them do not meet the minimum requirement of daily calcium intake. There is no correlation between blood calcium level and daily calcium intake (p=0.803). More comprehensive studies associated to other factors determining blood calcium level are needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>