Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145667 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gabriel Fajar Sasmita Aji
""Dunia Baru" mendekonststruksi paradigma dari para penjelajah Eropa yang datang ke Karibia, dan ini merupakan ideologi dari para poskolonialis Karibia. Omeros, sebuah epik karya Derek Walcott, dan The Enigma of Arrival, sebuah novel otobiografi karya VS Naipaul, mengangkatnya sebagai upaya membangun identitas dan kontestasi melawan hegemoni kolonial. Masing-masing menerapkan strategi dalam mengadaptasi pandangan-pandangan Eropa sebagai salah satu elemen fiksinya. Namun demikian, keduanya ternyata mengusung berbagai makna ambivalen demi makna-makna yang hendak dikemukakan dalam kaitannya dengan poskolonialitas Karibia. Bagaimana masing-masing mengetengahkan makna-makna dekonstruktif tersebut merupakan fokus dari disertasi ini. Juga, dipaparkan di sini analisis terhadap masing-masing perspektif dalam mengangkat ideologi tersebut.
Pendekatan yang digunakan ialah poskolonial, dan sebagai kajian sastra metodologi yang diterapkan ialah analisis tekstual. Pemahaman dan interpretasi secara kualitatif terhadap teks-teks merupakan hal yang utama dalam mengerjakan kajian di sini. Karena pada dasarnya sastra Karibia ada dalam ranah atau konteks poskolonial, beberapa teks penting lainnya dibahas demi keperluan pembahasan permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam korpus penelitian, Omeros dan The Enigma of Arrival. Dalam hal ini sumbangan pikiran dari Stuart Hall tentang identitas kultural menjadi landasan penting bagi pembahasan berbagai fenomena yang terjadi di Karibia, di samping juga teoriteori mendasar mengenai poskolonialisme itu sendiri.
Akhirnya, beberapa temuan sebagai hasil kajian penelitian disertasi ini. Pertama, strategi adaptasi terhadap pandangan Eropa oleh Omeros diterjemahkan ke dalam ide tentang Eden Baru, dan The Enigma of Arrival mengungkapkannya dalam Kebun Jack. Keduanya menjadi representasi cara baru dalam membangun identitas, yang menekankan masa depan karena masa lalu hanya menjadi mitos yang mengganggu dan sekadar memenuhi memori. Kedua, ada beberapa aspek yang dimiliki Eden Baru dan Kebun Jack, yakni perubahan, perbedaan, dan masa depan. Ketiga, bagi Omeros cara menghadapi masa depan ialah berani dan bijak mengadaptasi pandangan Eropa untuk disesuaikan dengan kondisi lokal. Bagi The Enigma of Arrival cara menghadapi masa depan ialah berdiri sejajar dengan dunia Eropa sehingga inferioritas warisan masa lalu tidak menghambat kemajuan.

"New World" is to deconstruct the paradigm owned by the European explorers of Caribbean. It is the ideology of Caribbean postcolonialists. Omeros, by Derek Walcott, and The Enigma of Arrival, by VS Naipaul, mounted it as an establishment of identity and contestation against the colonial hegemony. Each underwent a strategy, especially in adapting European views as one of its fictious elements. However, they provided ambivalent meanings in order to bring their own messages due to Caribbean post coloniality. How each of them deconstructed those views is the focus of this dissertation. It also analysed the perspective of each in uplifting the ideology.
The approach applied was postcolonial and as a literary study the methodology of this dissertation was textual analysis. Qualitatively understanding and interpreting the texts were the main conduct to undergo the study. Since the Caribbean literature belongs to the realm of postcolonial context, several important texts were worth discussing in order to analyze the problems found in the main corpus of study, Omeros and The Enigma of Arrival. Stuart Hall's notions on cultural identity was an important basis in providing any concepts dealing the Caribbean phenomena, besides also several significant theories about postcolonialism.
Finally, there are some findings in the dissertation. First, the strategy of adapting European views in Omeros provided a notion of New Eden and in The Enigma of Arrival a notion of "Jack’s Garden." Both represented a new way of establishing identity, in which the emphasis was mainly on the future life because the past stood as the myth which burdened with only memories. Secondly, some aspects of both New Eden and Jack’s Garden were change, difference, and future. Thirdly, for Omeros the way of facing the future was by adapting it into the local conducts, and not by imitating European views. Meanwhile, for The Enigma of Arrival the way of facing the future was to stand as high as Europe in order to abolish inferiority given by the past.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1934
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjati Djajanegara
"Dari telaah dalam Bab IV dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. Pertama-tama, tokoh-tokoh wanita Lewis cenderung memilih peran wanita tradisional. Mereka pada umumnya memilih perkawinan sebagai karier, daripada bekerja di luar untuk mencari nafkah. Kecuali Sharon Falconer, empat tokoh menjadi istri, ibu, serta ibu rumah tangga. Bahkan Myra dan Carol, yang pernah mem_peroleh pendidikan tinggi pun memilih untuk menjadi is_tri. Padahamenjelang akhir abad yang lalu dan pada dasawarsal-dasawarsa awal abad ini banyak wanita terpelajar wani_ta tersebut menunjukkan kecenderungan wanita Amerika pa-da umumnya dalam dasawarsa 1920, sesuai dengan laporan"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
D1810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Noor
"Penelitian mengenai penggunaan kata sapaan bahasa Inggris Amerika ini dilakukan dengan tujuan (1) memerikan penggunaan kata sapaan; (2) memerikan tindak ilokusioner yang terdapat dalam kata sapaan. Drama yang dipergunakan adalah sebuah black drama. Data yang diperoleh penulis analisis dengan menggunakan teori tutur sapa dari Brown dan Ford, Brown dan Gilman, dan Susan M. Ervin-Tripp. Untuk menganalisis tindak ilokusioner, penulis menggunakan teori tindak ilokusioner yang diajukan oleh J.L. Austin. Analisis data menunjukkan bahwa bila seseorang ingin menyapa kawan bicaranya, ia mengikuti aturan tutur sapa dan norma-norma sosial yang berlaku. Bila terjadi pelanggaran, pada umumnya pelanggaran itu bersifat disengaja karena ada maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai pelaku pembicaraan. Makna yang terkandung dalam penggunaan kata sapaan yang menyimpang dari aturan tutor sapa dan norma-norma sosial ini dapat diketahui dengan melihat konteks pada saat pembicaraan berlangsung."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
S13962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leiden: Leiden University Press, 2022
325.3 LIV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"This study focuses on treatment of landfill leachate in column experiments by immobilized trametes versicolor on polyurethane foam, collected from nonthaburi landfill site, thailand...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Fajar Sasmita Aji
"Tesis ini menyajikan fenomena munculnya sekelompok masyarakat imigran yang muncul sebagai "masyarakat baru" dalam kategori masyarakat pascakolonial. Pada umumnya masyarakat pascakolonial merupakan representasi dari Dunia Ketiga, namun VS. Naipaul lewat karya-karyanya mengungkapkan bahwa telah muncul pula kelompok masyarakat pascakolonial yang masuk dalam kategori Dunia Kelima. Pemisahan kategori ini terjadi karena identitas yang mereka sandang memang berbeda, bahkan dalam representasinya masyarakat imigran menunjukkan upaya resistensi justru terhadap identitas kultural nenek moyang, yang merupakan masyarakat dari kategori Dunia Ketiga. Di samping upaya resistensi, masyarakat baru ini pun merepresentasikan diri pula lewat upaya rekonstruksi demi berdiri sejajar dengan mereka yang ada dalam kelompok bangsa kolonial. Lewat dua karya VS Naipaul, An Area Of Darkness dan A Way In The World, tesis ini mengkaji upaya-upaya resistensi dan rekonstruksi yang telah dijalani masyarakat imigran tersebut untuk muncul sebagai "masyarakat baru".
Bahwa figur sang pengarang sendiri, VS Naipaul, sebagai seorang imigran keturunan India menjadikan kajian persoalan masyarakat imigran dilihat dalam perspektif "suara imigran" daripada perspektif mengenai imigran. Novel pertama, An Area Of Darkness, merupakan kampus guna mengkaji secara mendalam upaya masyarakat keturunan imigran dalam berproses menuju suatu hibriditas bagi identitasnya. Di sini sang pengarang mencoba mengetengahkan suatu realitas yang terjadi pada masyarakat imigran yang telah tercerabut dari tanah leluhurnya, teristimewa secara kultural.
Ketercerabutan ini telah menciptakan kondisi teralienasi baik dengan budaya nenek moyang maupun dengan orang-orang yang masih memiliki budaya tersebut sebagai identitas kulturalnya. Kondisi teralienasi ini hanya salah satu aspek saja yang mengantar mereka pada sikap penolakan atau resistensi terhadap budaya nenek moyangnya. Aspek yang lain ialah stereotip masyarakat Timur (East) yang merupakan representasi akan keterbelakangan dan "masa lampau". Aspek kedua ini sangat penting bagi masyarakat imigran untuk melakukan upaya resistensi pula terhadap dominasi kolonial, sehingga mereka tidak lagi berada dalam bayang-bayang masyarakat yang dikuasai oleh kolonial.
Dalam novel kedua, A Way In The World, VS Naipaul kembali menegaskan pentingnya upaya rekonstruksi sebagai proses untuk bangkit dan melepaskan diri dari inferioritas karena dominasi kolonial. Rekonstruksi ini dapat diamati lewat beberapa proses, misalnya proses memutus hubungan dengan "nenek moyang", proses membuat sejarah sendiri bersama-sama dengan kelompok imigran dari etnik lain, dan juga proses memperluas wawasan dengan dunia luar dalam kerangka melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik demi masa depan bangsa. Upaya rekonstruksi ini memang melampaui proses yang panjang dan waktu yang juga lama karena tujuan utamanya ialah melahirkan bagi mereka suatu identitas yang pasti. Bahwa identitas yang mereka bentuk merupakan proses dialog baik dengan identitas kultural nenek moyang maupun kolonial membuktikan upaya mereka untuk memiliki posisi mereka sendiri, khususnya dalam merepresentasikan diri di tengah-tengah bangsa yang lain.
Muncul pula berbagai kecurigaan tentang fenomena ini, karena seolah-olah masyarakat ini merupakan bentukan masyarakat kolonial yang bermaksud melestarikan hegemoninya setelah dekade dekolonialisme. Namun demikian, identitas yang dilahirkan oleh masyarakat imigran ini, yakni suatu hibriditas, dapat menunjukkan salah satu kelebihannya dalam menghadapi budaya kolonial.
Budaya kolonial bukanlah "hantu" yang harus ditakuti, karena sikap yang demikian justru bakal melanggengkan hegemoninya. Budaya kolonial bukanlah musuh, melainkan sesama untuk bersama-sama melakukan dialog bagi kemajuan masa depan. Hibriditas identitas merupakan upaya untuk menihilkan superioritas kolonialisme. Maka, demikianlah mereka lahir sebagai fenomena baru dalam kajian masyarakat pascakolonial."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11240
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Byrne, Jeffrey James
"Mecca of Revolution examines the history of anticolonial internationalism, or Third Worldism, through the prism of Algerias decolonization and the international relations of independent Algeria. It argues that the Third World movement evolved from a subversive transnational phenomenon in the late-colonial era into a diplomatic collaboration among postcolonial elites to exalt state sovereignty and national authority. Its examination of international affairs places equal, or even greater, emphasis on South-South relations than the more typical North-South perspective. New evidence from the archives of Algeria, Yugoslavia, and numerous other countries demystifies the Third Worldist phenomenon. The book looks past the rhetoric of Bandung, nonalignment, and Afro-Asianism to analyze the nascent geopolitics of postcolonial Africa, the Middle East, and the Southern Hemisphere as a whole. Refuting the notion that the Third World project ended in failure, Mecca of Revolution reveals the development of a Third Worldist normative framework that shapes global affairs in the early twenty-first century, its import felt in matters as diverse as the Arab Spring revolutions, nuclear proliferation, and global trade negotiations. It also argues that the most important effect of the Cold War in the Southern Hemisphere was to push the process of decolonization toward its eventual state-centric outcome. In that regard, the Algerian case shows that the industrialized worlds new methods of political mobilization (such as Wilsonian diplomacy and Marxist-Leninist revolution) were much more influential in the postcolonial world than were the underlying ideologies that informed those methods.
"
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470176
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Kharistiyanti
"Bahasa dalam proses nation-building dan dekolonisasi sebuah bangsa merupakan aspek yang sangat penting, karena bahasa dapat mempengaruhi aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Tulisan ini fokus pada kajian mengenai pengaruh bahasa terhadap proses nation-building dalam kaitannya dengan dekolonisasi
Timor-Leste sebagai sebuah bangsa. Kompleksitas sejarah menyebabkan masyarakat Timor-Leste terbagi menjadi beberapa kelompok generasi dengan penguasaan bahasa yang berbeda. Berangkat dari praktik berbahasa sehari-hari yang dibedakan menjadi ranah formal dan nonformal, diketahui bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam
pembentukan identitas bangsa. Tuntutan untuk menguasai setidaknya empat bahasa: Tetum, Portugis, Inggris, dan Indonesia memiliki konsekuensi dan membuat bahasa kemudian menjadi tantangan bagi proses nation-building dan dekolonisasi Timor-Leste. Pendidikan selalu menjadi salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk mengonstruksi identitas masyarakatnya dan bahasa adalah alat yang mendukungnya. Namun, hal yang seringkali luput dari perhatian adalah bahwa praktik berbahasa pada ranah formal dan nonformal sama sekali berbeda. Artinya, kekuatan dan kontrol terhadap proses nation-building dan dekolonisasi juga berbeda.
Language is a crucial aspect in the process of nation-building and decolonization of a nation by means of its power to influence other aspects, such as economic, politic, culture, and education. This paper focuses on the influence of language towards the nation-building process in the decolonization of Timor-Leste as a nation. The consequences of historical complexity construct several generation groups of Timorese with distinct language proficiency. Drawing from language practice in everyday life which is distinguished to formal and nonformal sphere, known that language has a significant role in the formation of national identity. The demand to be proficient at the
very least in four language: Tetum, Portuguese, English, and Indonesian leads to the consequences and language subsequently becomes the challenge for nation-building and decolonization process of Timor-Leste. Education has always been used by the state to construct national identity and language is an instrument to promote the process.
However, the discrepancy between formal and nonformal sphere of practicing language usually unrecognize. By which it means, the power and control towards the process is also distinctive."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burnell, Peter J.
Boluder, Colorado: Westview Press, 1986
338.9 BUR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Parker, Jason C.
"During the cold war, the superpowers endeavored to win hearts and minds through what came to be called public diplomacy. Many of the target audiences were on the front lines in Europe. But other, larger ones resided in areas outside Europe, in the throes of decolonization and poverty. Among these lands, for all the drama of war, intervention, and revolution, the majority experienced the cold war as public diplomacy, as a media war for their allegiance rather than as a violent war for their lives. In these areas, superpower public diplomacy encountered issues of race, empire, poverty, and decolonization, all in flux as they intersected with the cold war, and with long-running anti-imperialist currents. The challenge to US public diplomacy was acute, as the image of the United States was inseparable from Jim Crow and from Washingtons European alliances. Yet the greater consequence of these campaigns was not for American diplomacy, but rather for postwar international history, when the non-European world responded to this media war by joining it. Newly independent voices launched public diplomacy campaigns of their own, making for a crowded field. In addition to validating the strategic importance of public diplomacy, this proliferation of voices articulated a different vision. Reappropriating the space left between the poles of the superpower conflict, this global conversation formulated the Third World project around a nucleus of nonalignment, development, and anticolonial racial solidarity. The Global South response to the Cold War thereby helped to coalesce the third world as a transnational imagined community."
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470023
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>