Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145831 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diana Susanto
"Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) adalah salah satu efek samping penggunaan heparin, yang dicurigai bila terdapat penurunan trombosit ≥50% pada hari ke-5 sampai ke-10 pascaheparinisasi dan dapat disertai komplikasi tromboemboli. Mekanisme HIT melibatkan pembentukan antibodi terhadap kompleks PF4-heparin (anti-PF4). Pemeriksaan diagnostik HIT terdiri dari uji fungsional dan immunoassay. Pemeriksaan immunoassay, yang mendeteksi anti- PF4 dengan metode ELISA memiliki sensitivitas tinggi dan paling sering digunakan untuk deteksi HIT. Angka kejadian HIT sangat bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kejadian HIT dan proporsi pasien yang memiliki anti-PF4 pada pemberian terapi heparin di RSCM. Penelitian ini melibatkan 120 pasien rawat inap yang mendapat drip heparin atas indikasi profilaksis atau pengobatan, dengan dosis minimal 10.000 U/24 jam. Pasien yang memenuhi kriteria masukan dan tolakan dilakukan pencatatan data usia, jenis kelamin, diagnosis klinis, riwayat pemakaian heparin 3 bulan terakhir, dan dosis heparin yang dipakai. Pada hari ke-7 dan ke-10 pascaheparinisasi (H7 dan H10) dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hitung trombosit dan anti-PF4. Diagnosis HIT didasarkan atas penurunan hitung trombosit ≥50% pada H7 atau H10 yang disertai adanya antibodi anti-PF4.
Hasil uji ketelitian within-run dan uji ketepatan pemeriksaan anti-PF4 mendapatkan CV 7,73% dan penyimpangan (d) 2,5-17,4%. Pada 19 dari 120 subjek (15,8%) ditemukan anti-PF4, tetapi kejadian HIT tidak ditemukan. Berdasarkan klasifikasi risiko terjadinya HIT menurut American College of Chest Physician (ACCP), terdapat 46/120 subjek (38,3%) berisiko rendah, 65/120 subjek (54,2%) berisiko tinggi, 8/120 subjek (6,7%) berisiko sangat tinggi, dan 1 orang tidak terklasifikasi. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara temuan anti-PF4 dengan penurunan trombosit ≥50% (p=0,588). Hal ini diduga karena kurangnya jumlah subjek penelitian yang diperlukan. Antibodi anti-PF4 lebih sering ditemukan pada subjek perempuan dan dengan riwayat heparinisasi.
Proporsi ditemukannya anti-PF4 berturut-turut lebih banyak pada pasien pascabedah vaskular dan ortopedi, trombosis arteri dan vena, kemudian pasien medis yang mendapat profilaksis heparin. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi anti-PF4 positif pada subjek dengan atau tanpa riwayat heparinisasi (p=0,293), perbedaan dosis heparin (p=0,141), dan populasi risiko HIT rendah, tinggi, dan sangat tinggi (p=0,662). Empat dari 19 subjek yang memiliki anti-PF4 positif mengalami penurunan trombosit 20-46% pada H7 dan H10.

Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) is an adverse effect of heparin, that suspected when platelet count fall ≥50% in 5 to 10 days following heparin initiation and may be accompanied with thromboembolic complications. Mechanism of HIT is mediated by the formation of PF4-heparin complex antibody. There are 2 kind of diagnostic test for HIT, functional assay and immunoassay. Immunoassays, that detect anti-PF4 antibody using ELISA method, have high sensitivity and considered the most frequent assay for detecting HIT. The incidence of HIT varies due to many factors.
The aim of this research is to find the proportion of HIT events and also the proportion of anti-PF4-heparin antibody positive in patients with full-dose heparin in Cipto Mangunkusumo hospital. One hundred and twenty participants, who were our hospital in-patients given heparin infusion with minimal dose of 10.000U/24 h for profilactic or treatment indication, participated in this research. Patients met the inclusion and exclusion criteria were noted for age, gender, clinical diagnosis, heparin exposure in the last 3 months, and heparin dose. On day 7 and 10 after heparin initiation, blood sample were collected for platelet count and anti-PF4 antibody assay. Diagnosis of HIT was based on platelet count fall ≥50% on day 7 or 10 after heparin initiation accompanied with anti-PF4 antibody in the circulation.
Within run precision and accuracy tests for anti-PF4 assay showed a CV of 7,73% and deviations of -2,5 – 17%. Nineteen of 120 subjects (15,8%) had anti-PF4 antibodies, but HIT was not found. Based on the risk classification of HIT from American College of Chest Physician (ACCP), 46 subjects (38,3%) categorized as low risk to HIT, 65 (54,2%) high risk, 8 (6,7%) very high risk, and 1 as unclassified. Statistics showed there was no significant relationship between anti-PF4 antibodies in the circulation with platelet count fall of ≥50% (p=0,588). This was probably due to inadequate sample size for this study. Anti-PF4 antibodies were detected more frequent in females and subjects with past heparin exposure.
The proportion of positive anti-PF4 antibodies were highest in postoperative vascular or orthopedic surgery patients, followed by arterial or venous thrombosis patients, then medical patients using profilactic dose of heparin. There were no significant difference of positive anti-PF4 antibodies in subjects with vs without past heparin exposure (p=0,293), in subjects using 10.000U/24h vs >10.000U/24h heparin dose (p=0,141), and in subjects with low vs high vs very high risk of HIT (p=0,662). Four of 19 subjects having anti-PF4 antibodies had platelet count fall 20-46% on day 7 and day 10.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdeni Arifin
"Latar belakang : Trombosis dikenal sebagai dasar patogenesis oklusi vena
retina (OVR). Adanya trombosis vena retina dapat diketahui dari funduskopi dan
angiografi fluoresin. Selain itu, adanya gangguan hemostatik ditunjukkan oleh
penurunan kadar protrombin didalam plasma dan nilai intemational normalized
ratio (INR). Prinsip penatalaksanaan pada OVR adalah memperbaiki sirkulasi
darah dengan cara mencegah pembentukan trombus dan meningkatkan
fibrinolisis. LMWH subkutan sebagai antikoagulan mempunyai peranan pad a
kedua cara tersebut, sedangkan Warfarin hanya mampu mencegah koagulasi
material-material darah yang akan terjadi. Tujuan : untuk menilai efektivitas
terapi LMWH terhadap perbaikan abnormalitas vaskular penderita oklusi vena
retina (OVR). Bahan dan cara : Penelitian ini merupakan uji klinis prospektif.
secara random. Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok penerima LMWH
subkutan untuk 10 hari dan tumpang tindih dengan warfarin pada hari ke delapan
serta kelompok penerima menerima warfarin sejak hari pertama lerapi.
Pemeriksaan hemostatik dan angiografi fluoresin dilakukan pad a kedua
kelompok. Efektivitas terapi dinilai pada hari ke 19 dengan Survival analysi~ dan
Cox regression. Hasil : Efektivitas terapi LMWH ditemukan 11 kali lebih baik dari
warfarin dengan 95% CI bermakna. Kesimpulan : Terapi LMWH menunjukkan
peranan didalam mencegah koagulasi dan meningkatkan fibrinolisis pada OVR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandry Meriyanti
"Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik pejamu terhadap infeksi. Respons inflamasi dimediasi oleh sitokin yang akan dilepaskan ke sirkulasi. Pelepasan sitokin akan menyebabkan terjadinya aktivasi koagulasi melalui peningkatan ekspresi tissue factor (TF) dan penurunan inhibitor alamiah, serta penurunan fibrinolisis. Tissue factor (TF) merupakan inisiator penting pada proses koagulasi, yang diekspresikan di sirkulasi darah oleh monosit aktif. Aktivasi TF selain menyebabkan aktivasi koagulasi juga dapat memodulasi inflamasi pada pasien sepsis berat. Heparin selain sebagai antikoagulan, berperan sebagai antiinflamasi. Berdasarkan fungsi heparin sebagai antiinflamasi dan peranan TF dalam inflamasi, ingin diteliti apakah pemberian heparin dapat menurunkan aktivitas TF yang diekspresikan monosit pada keadaan inflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas TF monosit pada orang sehat dan pasien sepsis berat dan perbedaan aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dengan pemberian heparin in vitro dibandingkan dengan kelompok tanpa heparin.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan sampel 10 orang pasien sepsis berat dan 5 orang sehat. Darah sitrat dipisahkan sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cell/ PBMC) dengan teknik Ficoll-Paque, dan isolat monosit diperoleh dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolat monosit dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama langsung diperiksa aktivitas TF, kelompok kedua diinkubasi 6 jam dengan heparin 0.1 IU, dan kelompok ketiga diinkubasi 6 jam tanpa heparin. Isolat monosit kemudian dibuat lisat sel dan supernatan diukur aktivitas TF (Actichrome TF).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dibandingkan orang sehat (p=0.002). Aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat yang mendapat heparin 0.1 IU berbeda bermakna setelah jam ke-6 dibandingkan tanpa heparin (p=0.003).

Sepsis is a host systemic inflammatory response to infection. Inflammatory response is mediated by cytokines released into circulation. Cytokine leads to coagulation activation by elevating tissue factor (TF) expression, reducing natural inhibitors, and impeding fibrinolysis. TF is an important initiator in coagulation process, expressed in blood circulation by active monocytes. TF activates coagulation and modulates inflammation in severe septic patients. Heparin acts as anticoagulant and antiinflammatory agent. Based on heparin as antiinflammatory agent and role of TF in inflammation, heparin can decrease TF activity expressed on monocyte in inflammation.
This study aims to find the difference between monocyte TF activities in healthy people and severe septic patients, and also between monocyte TF activities in severe septic patients receiving heparin in vitro and without heparin group.
This study is a laboratory experiment using 10 samples from severe septic patients and 5 healthy samples. Peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) are separated from citrate blood using Ficoll-Paque technique. Monocyte isolation is performed using Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Monocyte isolate is divided into three groups, first group is measured for TF activity directly, second group is incubated 6 hours with heparin 0.1 IU, and third group is incubated without heparin. Cell lysate is processed from monocyte isolate and supernatant is measured for activity TF (Actichrome TF).
The result shows a significant difference between monocyte TF activity in severe septic patients compared to healthy people (p = 0.002). Monocyte TF activity in severe septic patients with heparin 0.1 IU/mL in the 6th hour is also significantly different than without heparin group (p = 0.003).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The aim of this volume is to summarise the developments that have led to the current status of both heparins as drugs and the field of heparin research, with a focus on the particularly rapid progress that has been made over the past three decades. Individual sections are dedicated to the nature of heparin as a biological molecule, the current approaches and techniques that are used to ensure the safety and reliability of heparin as a medicine, the clinical pharmacology of heparin as an anticoagulant drug, effects and potential applications of heparin aside of those involving haemostasis and, finally, the nature and potential uses of heparin-like materials from both natural and synthetic sources."
Berlin: Springer, 2012
e20401539
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Kamila Rahmadini
"Penyakit akibat infeksi corona virus jenis baru yang disebut COVID-19 telah diumumkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Penyakit ini selain utamanya menyerang sistem pernapasan juga menyebabkan komplikasi lain seperti koagulopati. Untuk mencegah koagulopati yang terjadi pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit diberikan antikoagulan profilakis berupa heparin subkutan. Salah satu respon fisiologi tidak diinginkan yang terjadi akibat pemberian intervensi ini adalah pembentukan hematoma di area penyuntikan. Hal tersebut memberikan tantangan bagi perawat untuk meminimalisir kejadian pembentukan hematoma pasca pemnerian heparin subkutan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah penyuntikkan berpindah searah jarum jam heparin subkutan dapat menurunkan insiden hematoma. Paper melaporkan sebuah kasus pada seorang laki-laki 57 tahun pasien positif COVID-19 yang dirawat di ruang rawat inap isolasi COVID-19 dan mendapat terapi heparin secara rutin selama 5 hari. Injeksi dilakukan di tiga area berbeda yaitu lengan kanan, lengan kiri dan perut. Hasil menunjukan tidak ditemukan pembentukan hematoma di tiga area injeksi heparin tersebut.

The disease caused by infection with a new type of corona virus called COVID-19 has been announced by the World Health Organization (WHO). This disease in addition to primarily attacking the respiratory system also causes other complications such as coagulopathy. To prevent coagulopathy that occurs, patients with COVID-19 who are hospitalized are given prophylactic anticoagulants in the form of subcutaneous heparin. One of the undesirable physiological responses that occur as a result of this intervention is the formation of a hematoma in the injection area. This poses a challenge for nurses to minimize the incidence of hematoma formation after subcutaneous heparin administration. This study aimed to see whether clockwise injection of subcutaneous heparin can reduce the incidence of hematoma. Paper reports a case of a 57-year-old man who was a positive COVID-19 patient who was treated in the COVID-19 isolation ward and received routine heparin therapy for 5 days. The injections are performed in three different areas, namely the right arm, left arm and abdomen. The results showed that no hematoma formation was found in the three heparin injection areas. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yusuf
"Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) merupakan salah satu masalah dengan angka mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Sebanyak 60% kasus DVT tidak memiliki gejala. Seiring bertambahnya usia, insiden DVT akan terus meningkat. Sekitar 1 dari 100.000 orang tiap tahunnya akan menderita DVT dibawah usia 50 tahun dan meningkat menjadi 1000 dari 100.000 per tahun di usia 85 tahun. Pada satu pertiga kasus bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT. Terdapat kenaikan kadar fibrinogen maupun d-dimer pada pasien dengan keganasan.Penelitian ini bertujuan menganalisa dan membandingkan kadar fibrinogen, d-dimer dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT dengan keganasan dan non keganasan.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah terapi pada pasien DVT sedangan variabel terikatnya adalah kadar D-dimer, fibrinogen dan aPTT terapeutik. Analisa statistic menggunakan SPSS versi 20, nilai p<0.05 menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik.
Hasil: 63 pasien masuk dalam penelitian, didapatkan pasien DVT dengan keganasan sebanyak 33 pasien (52,4%) dan pasien DVT non keganasan sebanyak 30 pasien (47,6%). Kadar fibrinogen, D-dimer awal dan akhir pada pasien DVT dengan keganasan memiliki kadar yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan DVT non keganasan (p<0,001). Terdapat perbedaan signifikan pada penurunan D-dimer pasien DVT dengan keganasan dibandingakan dengan pasien DVT non kegananasan. Dosis heparin awal pasien DVT dengan keganasan memiliki nilai tidak bermakna dibandingkan dengan DVT non keganasan (p>0,001). Dosis heparin terapeutik pada pasien DVT dengan keganasan bermakna signifikan lebih tinggi dibandingkan DVT non keganasan (p<0,001).
Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar fibrinogen, d-dimer awal dan akhir yang bermakna antara pasien DVT keganasan dengan pasien DVT non keganasan. Terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan D-dimer pasien DVT dengan keganasan dan DVT non keganasan. Ditemukan perbedaan bermakna pada dosis heparin terapeutik pasien DVT dengan keganasan dan DVT non keganasan.

Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a problem with short-term mortality and long-term morbidity. As many as 60% of DVT cases have no symptoms. With age, the incidence of DVT will continue to increase. About 1 in 100,000 people each year will suffer from DVT under the age of 50 years and this increases to 1000 from 100,000 per year at the age of 85 years. In one third of cases it manifests as a pulmonary embolism, while in the other two thirds only a DVT is present. There is an increase in the levels of fibrinogen and d-dimer in patients with malignancy. This study aims to analyze and compare the levels of fibrinogen, d-dimer and therapeutic doses of heparin in malignant and non-malignant DVT patients.
Method: This study is a retrospective cohort using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is therapy in DVT patients while the dependent variable is the level of D-dimer, fibrinogen and therapeutic aPTT. Statistical analysis using SPSS version 20, p value <0.05 indicates that there is a statistically significant relationship.
Results: 63 patients were included in the study, 33 patients with malignant DVT were found (52.4%) and 30 patients with non-malignant DVT (47.6%). The initial levels of fibrinogen in patient with malignant DVT were significantly higher than those of non malignant DVT (p<0.05). The final levels of fibrinogen in patient with malignant DVT were significant higher than those of non malignant DVT (p<0,05).There was significant higher of D-dimer initial levels beetween patient with malignant DVT and patient with non malignant DVT (p<0,05). There was significant higher of D-dimer final levels beetween patient with malignant DVT and patient with non malignant DVT (p<0,05). There was a significant difference in the decrease of d-dimer levels between DVT patients with malignancy compared to non-malignant DVT patients who were given heparin therapy. The initial heparin dose in patients with malignant DVT had no significant value compared to non malignant DVT (p>0.001). The therapeutic dose of heparin in patients with malignant DVT was significantly higher than that of non malignant DVT (p<0.001).
Conclusion: There was a significant difference in the levels of fibrinogen and D- dimer initial and final which was significant between malignant DVT patients and non-malignant DVT patients. There is a significant difference in the decrease in D-dimer in patients with malignant DVT and non-malignant DVT. A significant difference was found in the therapeutic dose of heparin in patients with malignant DVT and non-malignant DVT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Rizky Adriani
"Pendahuluan: Deep Vein Thrombosis (DVT) memiliki kecenderungan terus meningkat dengan koinsidensi mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. COVID-19 dapat menyebabkan hypercoagulable state dan menjadi predisposisi terjadinya DVT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin teraupetik berdasarkan kadar APTT dengan adanya COVID-19 pada pasien DVT. Metode: Desain penelitian komparatif dan kohort prospektif digunakan untuk membandingkan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik antara pasien COVID-19 dan non COVID-19 yang menderita DVT di RSPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret 2020 – Maret 2022. Penegakan diagnosis DVT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi dan/atau computed tomography angiography (CTA) fase vena. Data variabel utama dan lainnya diperoleh dari rekam medis pasien. Uji T independen atau Mann-Whitney digunakan untuk menganalisis perbedaan nilai variabel antara kedua kelompok. Hasil: Dari total 253 sampel, tidak terdapat perbedaan karakterisitik awal antara kelompok DVT COVID-19 (n=44) dan DVT non COVID-19 (n=209), kecuali pada parameter Wells Score. Kelompok DVT COVID-19 memiliki kadar Fibrinogen, D-Dimer, dan aPTT yang lebih tinggi daripada kelompok DVT non COVID-19, baik sebelum terapi maupun sesudah terapi heparanisasi (semua nilai p =0,000). Pada akhir pengamatan, didapatkan dosis heparin terapeutik pada kelompok DVT COVID-19 lebih tinggi dibanding pada kelompok DVT non COVID-19 (30,00 (20,00-40,00)x103 U vs. 25,00 (20,00-35,00)x103 U, p=0,000). Kesimpulan: Kadar fibriongen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT yang menderita COVID-19 lebih tinggi dibandingkan pada pasien DVT yang tidak menderita COVID-19. Inisiasi pemberian dosis heparin terapeutik dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien DVT dengan komorbid COVID-19 dan dipandu oleh hasil pemeriksaan biomarker koagulasi darah.

Introduction: Deep Vein Thrombosis (DVT) has an increasing trend with a coincidence of short-term mortality and long-term morbidity. COVID-19 can cause a hypercoagulable state and predispose to DVT. This study aims to analyze the relationship between fibrinogen levels, D-Dimer, and therapeutic heparin doses based on APTT levels in the presence of COVID-19 in DVT patients. Methods: A comparative study design and a prospective cohort were used to compare levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic heparin doses between COVID-19 and non-COVID-19 patients suffering from DVT at Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2020 – March 2022. Diagnosis of DVT was performed by ultrasound examination and/or computed tomography angiography (CTA) venous phase. The primary variable data and others were obtained from the patient's medical record. An Independent T-test or Mann-Whitney was used to analyze the differences in variable values between the two groups. Results: Of 253 samples, there was no difference in initial characteristics between the DVT COVID-19 (n=44) and non-COVID-19 DVT groups (n=209), except for the Wells Score parameter. The COVID-19 DVT group had higher levels of fibrinogen, D-Dimer, and aPTT than the non-COVID-19 DVT group, both before and after heparinization therapy (all p-values = 0.000). At the end of the follow-up period, the therapeutic dose of heparin in the COVID-19 DVT group was higher than in the non-COVID-19 DVT group (30.00 (20.00-40.00)x103 U vs. 25.00 (20.00-35.00)x103 U, p-value=0.000). Conclusion: The levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic doses of heparin in DVT patients who have COVID-19 are higher than in DVT patients who do not have COVID-19. Initiation of a higher therapeutic dose of heparin can be considered in DVT patients with comorbid COVID-19 and guided by the results of blood coagulation biomarkers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Feline Husen
"Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol.

Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fadjri AS
"Adesi dan agregasi pletelet serta pembentukan trombin merupakan rangkaian proses pembentukan trombus yang mendasari sindrom koroner akut (SKA). Oleh karena itu terapi utama SKA adalah heparin dan anti agregasi platelet, disamping obat anti iskemia. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin LMWH) memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik jika dibandingkan dengan heparin tak terfraksinasi (unfractionated heparin / UFH). Dari berbagai jenis LMWH, hanya enoxaparine yang memperlihatkan keuntungan jika dibandingkan dengan UFH dalam mencegah kematian, infark miokard dan angina berulang pada SKA. Manfaat tersebut mungkin bukan hanya disebabkan oleh efeknya terhadap pembentukan trombin tetapi juga oleh pengaruhnya terhadap adesi dan agregasi platelet melalui interaksi dengan faktor von Willebrand (vWF). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek UFH dan enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF pada akhir terapi dan 48 jam setelah penghentian terapi pada penderita APTS atau IMA non-Q. Pada penelitian ini nilai vWF diperiksa dengan menggunakan teknik double antibody sandwich ELISA Penelitian dilakukan terhadap 37 subyek yang terdiri dari 19 subyek yang diterapi UFH dengan target APTT 1,5 - 2 x kontrol dan 18 subyek diterapi enoxaparine 1 mg/kg BB subkutan, 2 x sehari. Dilakukan pemeriksaan nilai vWF pada awal terapi (vWF1), akhir terapi (vWF2) dan 48 jam setelah penghentian terapi (vWF3). Terdapat efek penekanan. terhadap peningkatan nilai vWF hingga saat penghentian terapi secara bermakna oleh enoxaparine (192,1 ± 57,5 % menjadi 172,8 ± 63,0 %, rerata lama terapi 4,8 ± 1,0 hari, p=0,23), tetapi tidak demikian halnya dengan UFH (165,4 ±42,1 % menjadi 216,1 ±66,5 % rerata lama terapi 52,0 hari, p= 0,009). Terdapat perbedaan bermakna peningkatan nilai vWF pada awal hingga saat penghentian terapi (A vWF2-1) antara kedua kelompok tersebut (p =0,01). Dengan menggunakan data yang dapat dilengkapi hingga pemeriksaan nilai vWF 48 jam setelah penghentian terapi (UFH n=9 dan Enoxaparine n-13) masih dijumpai efek penekanan oleh enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF. Efek tersebut tidak dijumpai pada subyek yang diterapi dengan UFH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>