Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53979 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"At the present dimension of Indonesia crises mor or less relate to the lack of values in the daily life of Indonesian citizen.Character education was ignored...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrikus Kota Njuma
"In Thomas Aquinas’ view, every human being by nature is directed towards goodness. The goodness as the form of being (ens) is inside the human self. According to Thomas, human goodness is a participation in the highest goodness, namely, God, and thus every human being desires the perfection of the goodness by directing his or herself towards God. This natural tendency (appetitus naturalis) proves that human is directed towards an ‘end’. This goodness appears externally in the human action, and as an external action it is named actus humanus, which manifests the moral aspect of a human being. A person who actualises the goodness in his or her external action affirms his or her essence to the highest goodness. Goodness in morality depends on God as the supreme criterion of morality. It is good if it nears God and is evil if it moves away."
Bandung: Department of Philosophy, 2021
105 MEL 37:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soeparno
Jakarta: Markas Besar ABRI, Lembaga Pertahanan Nasional , 1992
370.114 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
ATA 15(1-2) 2012
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Praktik perkawinan anak selain bersumber dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan yaitu dibenarkan oleh Undang-Undagn nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, juga bersumber dari norma lain seperti agama, budaya, dan dimensi lain yang belum teradvokasi secara signifikan. Dengan adanya keputusan MK menolak revisinya harapan perbuahan perilaku sosial melalui perubahan UU perkawinan sepertinya makin jauh dari harapan. Anak-anak perempuan dalam pernikahan anak rentan hal berikut; rentan menjadi korban perceraian sepihak ; rentan menjadi korban kekerasan seksual dan pedophilia ; rentan menjadi korban KDRT ; rentan pendidikan formal terputus dan membatasi akses ke dunia kerja. Diperlukan advokasi sistemik untuk mengatasi kerentanan anak-anak dalam pernikahan anak."
360 JP 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Afry adi Chandra
"ABSTRACT
Penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika (Ferdinand D.Saussure) ini bertujuan untuk meninjau aspek moral yang terdapat dalam lirik lagu campursari karya musisi Jawa timur. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi pun cara berpikir masyarakat, saat ini banyak bermunculan lagu campursari karya beberapa seniman lokal Jaa Timur yang krisis akan moral. Karya tersebut lebih mengangkat sisi seksualitas, sikap melawan tataran norma dalam masyarakat (perselingkuhan), poligami, pengangguran, membuka aib seseorang, maupun merendahkan martabat orang lain."
Surakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, 2017
805 HSB 1:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rosilia Novianti
"[Indera pembau merupakan salah satu panca indera yang dimiliki manusia, dan sama dengan indera yang lainnya, pembau memiliki peran yang juga signifikan dalam kehidupan kita. Sayangnya, estetika sebagai ilmu pengetahuan inderawi didominasi oleh visual dan audio. Pembau, pengecap dan peraba cenderung diabaikan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena hirarki panca indera yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dimana ada peringkat indera yang lebih tinggi dan rendah yang terkait dengan moralitas. Indera pembau dianggap sebagai indera yang rendah bersama pengecap dan pembau, ketiganya dianggap bersifat ketubuhan semata. Pada era kontemporer, para filsuf mulai memberi perhatian pada masalah lower sense. Salah satunya adalah Frank Sibley, yang melihat bahwa indera pembau dapat digunakan dalam apresiasi estetik. Objek bau yang dibahas bersifat abstract sense, yaitu terlepas dari masalah konsumsi karena yang dibahas adalah bau itu sendiri bukan substansinya. Sibley juga membuat distingsi particular and generic serta single and mixed yang menggambarkan bahwa bau memiliki kompleksitas yang berpotensi untuk dieksplorasi namun terhalang oleh masalah bahasa, sehingga Sibley menawarkan cara berfikir metafora menuju deskripsi yang langsung terhadap bau. Ia melihat bau memiliki nilai-nilai estetis yang harus dipertimbangkan dalam estetika., Sense of smell is one of human senses, and equal with other senses. It also has significant role in our life. Unfortunately, aesthetics as sensory science has dominated by visual and audio. Sense of smell, taste, and touch tended to be neglected. Possibly, it caused by hierarchy of senses that exist since Ancient Greek ages. They create rank about higher and lower senses related to morality. Sense of smell resides in lower rank, along with sense of taste and touch. They considered to be mere bodyness. In contemporary, philosophers give attention to lower sense problem. One of them is Frank Sibley. He argues that sense of smell applicable to aesthetic appreciation. He describes object of smell in abstract sense level. It means it is not about consumption problem anymore but about the smell itself, separated from the substance. Sibley also creates distinction about particular and generic and single and mixed to describe that smell has complexity and potency to explored more but limited by language, therefore Sibley offers metaphor to direct description. He argues that smell has aesthetic values that considerable in aesthetics.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S60548
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhri Wibisono
"Dalam era digital, media sosial dan budaya populer memainkan peran signifikan dalam pembentukan persepsi realitas, sering kali menghasilkan hiperrealitas di mana informasi yang dimanipulasi menciptakan ilusi tentang dunia. Film Faust (2011) yang disutradarai oleh Alexander Sokurov mengilustrasikan konsep konstruksi ilusi dan hiperrealitas melalui karakter Mauricius (Mephistopheles) yang memanipulasi persepsi karakter Heinrich Faust mengenai realitas (Freedman, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana konstruksi ilusi yang ditunjukkan melalui karakter Mauricius dalam film Faust menggambarkan dan mengkritik fenomena hiperrealitas yang serupa dengan penyebaran berita hoaks di masyarakat modern, khususnya di Jerman. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan semiotika berdasarkan teori hiperrealitas Jean Baudrillard yang menyoroti teknik sinematografi seperti penggunaan lensa melengkung, pencahayaan unik, dan gambaran perspektif terdistorsi yang menciptakan suatu suasana yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ilusi sihir yang digunakan oleh Mauricius mengarahkan Faust ke dalam dunia hiperrealitas, menggambarkan bagaimana manipulasi dapat memengaruhi moralitas dan persepsi realitas. Film ini juga memberikan kritik terhadap fenomena hiperrealitas dalam masyarakat modern, di mana informasi yang dimanipulasi dapat memengaruhi pandangan dan tindakan publik.
In the digital age, social media and popular culture significantly shape perceptions of reality, often generating hyperreality where manipulated information creates illusions about the world. Alexander Sokurov's Faust (2011) vividly illustrates the concept of illusory construction and hyperrealism through the character of Mauricius (Mephistopheles), who manipulates Heinrich Faust's perception of reality (Freedman, 2013). This study aims to analyze how Mauricius' construction of illusion in the film critiques the phenomenon of hyperreality, akin to the spread of fake news in contemporary society, particularly in Germany. Employing a qualitative methodology with a semiotic approach grounded in Jean Baudrillard's theory of hyperrealism, the study focuses on cinematic techniques such as the use of curved lenses, unique lighting, and distorted perspective imagery to create a surreal atmosphere and blur the line between reality and illusion. The analysis reveals that the magical illusions employed by Mauricius lead Faust into a hyperreal world, demonstrating how manipulation can impact morality and perceptions of reality. The film also critiques the phenomenon of hyperreality in modern society, where manipulated information can influence public views and actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>