Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142305 dokumen yang sesuai dengan query
cover
DIPLU 4:2(2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Priambodo
"Berakhirnya kerjasama Indonesia dan Australia dalam Regional Cooperation Agreement (RCA) yang telah dibangun sejak tahun 2000 memunculkan permasalahan baru bagi kelompok Pengungsi dan Pencari Suaka yang berada di Indonesia. Kajian ini menganalisa latar belakang serta dinamika berakhirnya perjanjian bilateral penanganan pegungsi dan pencari suaka di Indonesia. Dengan mengadopsi teori neo-classical realism sebagai kerangka analisis terhadap variabel data dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi berakhirnya kerjasama Regional Cooperation Agreement (RCA) dilatar belakangi oleh terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 125 tahun 2016 disajikan sebagai faktor sistemik yang memunculkan reaksi penilaian domestik Australia sebagai intervening variables yang mencakup persepsi pemimpin, budaya strategis, hubungan negara masyarakat, dan struktur negara dan politik domestik.

The end of the cooperation between Indonesia and Australia in the Regional Cooperation Agreement (RCA), which has been built since 2000, has created new problems for groups of refugees and asylum seekers who have been displaced in Indonesia. This study analyzes the background and dynamics of the termination of the bilateral agreement on handling refugees and asylum seekers in Indonesia. By adopting the theory of neoclassical realism as a framework for analyzing the data variables in this study, the factors that influenced the termination of the Regional Cooperation Agreement (RCA) were motivated by the isuued of Presidential Decree of the Republic of Indonesia No. 125 of 2016 as systemic factor which triggered Australia domestic assesment presented as an intervening variable which includes the perception of leaders, cultural strategies, public relations, and the structure of the state and domestic politics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Heryadi
"[ABSTRAK
Penelitian ini adalah mengenai dampak kebijakan pemerintah Australia memulangkan kembali pencari suaka yang akan masuk ke negaranya terhadap Indonesia. Dalam penelitian ini dianalisis akibat yang ditimbulkan dari kebijakan Operasi Kedaulatan Perbatasan yang dijalankan oleh Pemerintahan Australia dibawah pimpinan Perdana Menteri Tonny Abbot dimana dengan kebijakan tersebut menimbulkan banyaknya pencari suaka yang ada di Indonesia salah satunya bermukim di kawasan Cisarua Bogor dan menimbulkan permasalahan tersendiri dengan keberadaan mereka di kawasan Cisarua Bogor.

ABSTRACT
This research is about the impact of the Australian government's policy of refoulement of asylum seekers who would enter their country Against Indonesia. In this study analyzed the impact of operation sovereign borders policy run by the Australian Government under the leadership of Prime Minister Tony Abbott. The Inpact is raises the number of asylum seekers in Indonesia and living in Cisarua Bogor and caused its own problems with their presence in Cisarua Bogor.;This research is about the impact of the Australian government's policy of refoulement of asylum seekers who would enter their country Against Indonesia. In this study analyzed the impact of operation sovereign borders policy run by the Australian Government under the leadership of Prime Minister Tony Abbott. The Inpact is raises the number of asylum seekers in Indonesia and living in Cisarua Bogor and caused its own problems with their presence in Cisarua Bogor., This research is about the impact of the Australian government's policy of refoulement of asylum seekers who would enter their country Against Indonesia. In this study analyzed the impact of operation sovereign borders policy run by the Australian Government under the leadership of Prime Minister Tony Abbott. The Inpact is raises the number of asylum seekers in Indonesia and living in Cisarua Bogor and caused its own problems with their presence in Cisarua Bogor.]"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama
menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini
mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau
perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas
peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara
agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hakhaknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who
wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and
asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a
negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners
with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special
provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased
thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic
marriage certificate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dina Amalia
"ABSTRAK
Setelah Perang Dingin berakhir, karakter tata kelola perlindungan pengungsi
secara global berubah. Pengungsi lebih dilihat sebagai ancaman dan direspon
dengan kebijakan yang restriktif oleh negara-negara tujuan. Berangkat dari
kesenjangan literatur mengenai isu migrasi dari perspektif negara transit,
penelitian ini menelaah wacana perlindungan pengungsi yang bergulir di kalangan
aktor-aktor kunci dengan agensi yang dapat memengaruhi dinamika tata kelola
yang berlangsung. Penelitian ini menemukan adanya kontestasi wacana dengan
narasi-narasi yang didominasi aktor-aktor tertentu. Narasi tersebut adalah tentang
istilah transit sebagai metafora dan mengarah pada preferensi perlindungan
pengungsi yang sauvinistik. Wacana perlindungan pengungsi yang membuat
penanganan pengungsi mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan ini kemudian terkait
dengan kelanggengan power aktor negara sebagai aktor sentral dalam tata kelola
yang berlangsung.

ABSTRACT
In the post-Cold War era, global governance on refugee protection has changed.
Refugee is merely seen as a threat and responded by restrictive policies in
destination countries. Starting from literature gap on migration from transit
country perspective, this research seeks to analyze how discourse on refugee
protection evolves among key actors whose agency could influence ongoing
governance on this issue in Indonesia. This research finds that discourse
contestation takes place along with dominated narrations from certain actors.
Those narrations are about transit term as a metaphor and tendency to take
chauvinistic form of protection as preference. This discourse on refugee protection
that makes refugee management neglect humanity values is related to state actor?s
hegemony as central actor in this global governance"
2016
S64427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Melisa
"ABSTRAK
Negara Australia merupakan salah satu negara tujuan para pencari suaka di dunia. Dikarenakan kesulitan yang dihadapi pencari suaka ketika meninggalkan negaranya contoh negaranya dalam keadaan perang, dan lain-lain, kebanyakan diantara mereka tidak memiliki dokumen sehingga harus menempuh jalur laut secara ilegal demi mencapai negara Australia. Pada Juli 2013, dengan terpilihnya Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri Australia, kebijakan baru penanganan pencari suaka diterapkan melalui kerja sama bilateral dengan Papua Nugini yang disebut dengan Regional Resettlement Arrangement 2013. Yang pada dasarnya bahwa semua orang yang menuju Australia secara ilegal termasuk pencari suaka akan dikirim dan diproses klaim suakanya di Papua Nugini. Disamping sebagai bentuk penolakan terhadap pencari suaka, kebijakan ini juga dianggap tidak mempertimbangkan pemenuhan hak-hak pencari suaka di Papua Nugini mengingat negara tersebut bukanlah negara yang memiliki kapasitas yang memadai dan pengalaman yang cukup untuk menangani pencari suaka. Sehingga permasalahan hukum timbul dan diteliti dalam tesis ini yaitu apakah kebijakan ini sesuai dengan hukum internasional dan bagaimana dampak yang ditimbulkannya terhadap negara-negara di Asia Tenggara sebagai jalur lintas dan juga dihubungkan dengan tanggung jawab kolektif penanganan pencari suaka oleh negara tujuan suaka, negara lintas suaka, dan negara asal pencari suaka.
Adapun metodologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode induktif dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah konvensi internasional, dan berbagai instrumen hukum lainnya yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kebijakan imigrasi Australia dalam pengiriman pencari suaka ke Papua Nugini bertentangan dengan prinsip non-refoulment dan memberikan dampak buruk bagi negara-negara Asia Tenggara. Akan tetapi dikaitkan dengan konsep tanggung jawab dan kedaulatan negara, Australia sebagai entitas negara memiliki hak dan kapasitas dalam menetapkan segala kebijakan internalnya. Sehingga sebagai saran hasil analisis, penulis memberikan alternatif yaitu untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini dan menyarankan penanganan secara kolektif oleh seluruh pihak terkait yaitu Australia sebagai negara tujuan suaka, negara asal pencari suaka, negara transit, serta UNHCR dan IOM sebagai inter-governmental organizations.

ABSTRACT
Australia is one of the asylum seekers?s destinations in the world. Due to the difficulties faced by the asylum seekers prior they fled their country of origin for instance the country is at war, etc, most of them do not have the proper documents to travel legally but ilegally by sea. In July 2013, as Kevin Rudd has been elected as Australian Prime Minister, the new policy in the processing of asylum seekers also has recently implemented by the Government of Australia and the Government of Papua New Guinea which then called as Regional Resettlement Arrangement 2013. The policy itself basically says that the persons including asylum seekers travel irregularly by sea to Australia are entitled to be transferred and assessed in Papua New Guinea. In addition to a refusal action of the access to asylum seekers, the policy also does not consider the human rights aspect of asylum seekers in Papua New Guinea as the host country, which in the other side; Papua New Guinea is not a quite stable with sufficient capacity and adequate experiences country to meet the needs of asylum seekers. Here, the writer raises the following legal questions; whether this Australian Immigration policy is accordance with the international law and how it impacts the South East countries as the countries of transit and if it is linked to the collective responsibility by the country of asylum, country of transit, and country of origin of the asylum seekers.
The selected methodology of writing the thesis is inductive methodology with the appropriate legal approach. The approach is done by conducting the research of a number international convention, and some other relevant legal instruments.
The result of the analysis comes up with the answers that Australian Immigration policy in transferring asylum seekers to Papua New Guinea is breach of the non-refoulment principle and it truly impacts the South East Country region in the negative effects. However, linked to the state responsibility and sovereignity, Australia as an independent entity has its own competence and capacity to freely determine its national policy. Therefore, as an advise of the research outcome, the writer gives the alternative way which is to immediately evaluate the policy and proposes the collective responsibility concept by all the parties such Australia as the country asylum, country of origin, country of transit, UNHCR, and IOM as the relevant inter-governmental organizations.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angky Banggaditya
"Skripsi ini pada dasarnya membahas mengenai kerjasama negara sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam penanganan serta perlindungan pengungsi yang datang ke wilayah suatu negara secara masal ditinjau dari sudut pandang hukum internasional. Konsep kerjasama yang kemudian dikenal sebagai konsep burden sharing ini berakar dari prinsip kerjasama serta solidaritas internasional yang berkembang sebagai suatu prinsip yang disetujui oleh negara-negara dan sebagai suatu prinsip hukum yang dikenal secara umum di dunia. Pertanyaan mendasar tulisan ini adalah bagaimana konsep tersebut berlaku dalam hukum internasional dan bagaimana penerapannya oleh Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Penulis ini berujung pada suatu hasil bahwa konsep burden sharing ini merupakan konsep yang masih berkembang sehingga tidak ada acuan rigid dalam penerapannya. Maka dari itu, mekanisme penerapannya di berbagai belahan dunia berbeda-beda namun dengan tujuan utama yang sama yaitu berbagi beban secara adil. Terkait dengan Indonesia, konsep ini memiliki keterkaitan dengan Indonesia dengan posisi Indonesia sebagai negara yang membutuhkan bantuan negara lain dalam menangani permasalahan pengungsi masal, khususnya pengungsi-pengungsi Rohingya. Kebutuhan Indonesia akan kontribusi negara lain dalam penanganan permasalahan pengungsi masal ini terlihat dari pandangan-pandangan Indonesia yang terindikasi dari pernyataan perwakilan-perwakilan negara di berbagai konferensi internasional yang diikuti Indonesia yang membahas mengenai solidaritas negara dalam menangani pengungsi masal.
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tinjauan pustaka serta wawancara dengan pihak terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan UNHCR Indonesia. Saran penulis terkait dengan isu ini adalah bahwa sebagai bagian dari masyakat internasional, negara-negara di dunia harus senantiasa memberikan kontribusinya terhadap penanganan pengungsi masal yang tentu akan sangat berat apabila hanya ditangani oleh satu negara saja.

This study basically explains about cooperation between states as part of international community in handling and protecting the refugees which arrive in one's territory massively, observed from international law standpoint. The concept of cooperation, which is further known as burden sharing concept, is rooted from the principle of international cooperation and international solidarity which is developing as a principle agreed by states and are widely recognized as a general principle of law. The fundamental question of this writing is how such concept exist under international law and how is the implementation by Indonesia.
This research leads to a conclusion that burden sharing is a concept that is still evolving so that there is no rigid guidance in the implementation yet. Therefore, there are varieties of implementation mechanisms among states, but the ultimate purpose remains the same, that is equitable distribution of burden. In relation with Indonesia, this concept has a connection with the fact that Indonesia is a state which needs support from other countries in handling the mass influx of refugees, especially the Rohingyan refugees. Indonesia's need of others'contribution in handling this problem is seen from the views indicated from Indonesia's representatives statement in a number of international conferences attended by Indonesia on solidarity of states in facing the mass influx of refugees.
This research is conducted by having a literature review and field interview with several concerned institutions such as Foreign Ministry of Indonesia and UNHCR Indonesia. It is author advise that as part of international community, states should always assert their contribution in accommodating the mass influx of refugees which certainly would very burdening if it is handled only by one state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masinambow, Arnold A E.
"Tulisan ini berusaha memetakan pengetahuan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang relatif masih jarang mendapatkan sorotan dalam studi Hubungan Internasional. Pembacaan yang melihat serta memproblematisasi bias kolonial dalam rezim pengungsi internasional serta kategorisasi dari migrasi transit dan pengungsi-pencari suaka, akan menjadi titik berangkat tulisan ini. Melalui tinjauan taksonomis terhadap 22 literatur, tulisan ini kemudian berusaha mengkontekstualisasikan dinamika pengungsi di Indonesia dengan migrasi-pengungsi secara lebih luas lewat pembacaan genealogis yang menyentuh aspek legal, multisiplistas aktor, dan (re)konseptualisasi konsep transit yang kerap disematkan kepada konteks Indonesia, sembari berusaha mengedapankan pengetahuan yang dibawa oleh pengungsi di Indonesia itu tersendiri. Penulis menemukan bagaimana di Indonesia, diskursus pengungsi, yang baru masuk ke Indonesia di periode gelombang pengungsi Indochina pada dekade 1970-an, berkelindan erat dengan pola migrasi-pengungsi internasional, utamanya lewat fractioning dan kategorisasi transit-pengungsi-pencari suaka, dan terus direproduksi dalam kerangka pengamanan hingga sekarang. Secara tataran pengetahuan, penulis menilai bahwa produksi pengetahuan di ranah akademik tentang pengungsi di Indonesia kurang lebih berada di bawah satu payung ‘kritis’ yang sama dan berusaha mengarusutamakan pengetahuan dari pengungsi di Indonesia, namun masih banyak ceruk pengetahuan yang masih bisa diisi dan dinavigasi lebih lanjut.

This article seeks to map the knowledge of refugees and asylum seekers in Indonesia, which, relatively speaking, has not been thoroughly investigated by International Relations-adjacent scholarship. An outlook that problematizes colonial biases on international refugee regime, as well as the categorization of transit migration and refugee-asylum seeker, will be central to this reading. Departing from taxonomic appraisal of 22 accredited-literatures, this article aims to contextualize the dynamics of refugees in Indonesia within the broader scope of migration-refugee studies through a genealogical reading that encompasses legal aspects, multiplicity of actors, and the (re)conceptualization of the transit concept oft-attributed to the Indonesian context, whilst trying to posit decentralized knowledge coming from refugees themselves. This author postulates that in Indonesia, discourses (and the language) of refugees, which predominantly emerged during the influx of Indochinese refugees in the 1970s, were/are heavily intertwined with the patterns of international migration-refugees, primarily through fractioning and categorization-labelling of transit-refugees-asylum seekers, and continues to be reproduced under securitized framework and language to this day. Insofar knowledge production on academia level, this author remarks that knowledge production of refugees in Indonesia virtually falls under a similar 'critical' umbrella, which seeks to prioritize knowledge from refugees in Indonesia, whilst acknowledging a plethora of knowledge gaps that can be probed and inquired further."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Astiti Harsanti
"ABSTRAK
Makalah ini mengkaji Chasing Asylum 2016 , sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Eva Orner, melalui analisis retorika untuk memeriksa persuasinya dalam menggambarkan masalah pencari suaka yang terjebak di pusat penahanan lepas pantai Australia. Penelitian ini menggunakan tiga aspek retoris - Logos, Pathos, dan Ethos- yang akan digunakan untuk menganalisis substansi dokumenter dan teknik pembuatan filmnya. Ketiga aspek tersebut dikatakan sebagai cara terbaik untuk meyakinkan khalayak tentang budaya kerahasiaan, yang dilakukan oleh Pemerintah Australia, yang dimana merugikan pencari suaka di pusat penahanan. Studi ini kemudian menemukan bahwa analisis retoris efektif untuk membedah dan menguraikan pokok bahasan dalam dokumenter yang membentuk argumen visualnya menjadi cukup persuasif

ABSTRACT<>br>
This paper studies Chasing Asylum 2016 , a documentary film directed by Eva Orner, through rhetoric analysis to examine its persuasion in portraying the issue of asylum seekers that are stuck in Australian offshore detention centres. The study uses three rhetorical aspects Logos, Pathos, and Ethos which will be employed to analyse the documentary rsquo s substance and its filmmaking techniques. The three aspects are claimed to be the best way in convincing the audience about the culture of secrecy, done by the Australian Government that harms the asylum seekers in detention centres. This study then finds that rhetorical analysis is effective to dissect and elaborate the matter subjects in the documentary that form its visual argument to be adequately persuasive. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Susetyo
"Internally Displaced Persons adalah salah satu fenomena sosial yang klasik di Indonesia juga di dunia internasional. Namun sedihnya belum banyak mendapat perhatian publik maupun penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia. Padahal, pengungsi internal telah ada sejak Negara Republik Indonesia ada. Sejak perang kemerdekaan 1945 - 1950, perang sipil 1965 - 1966, hingga era konflik etnis dan konflik vertikal 1989 - 2002, dan entah sampai kapan lagi.
Sejak pertengahan tahun 90-an, Indonesia didera konflik internal baik yang berskala vertikal maupun horisontal. Mulai dari kasus DOM di Aceh 1989 -- 1998 yang berlanjut dengan perang TNI versus GAM tahun 2003, kemudian kasus Timor Leste, Papua Barat, sampai yang berskala horisontal seperti konflik etnis dan konflik agama di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit dan Sambas. Khusus tentang konflik Sambas tahun 1999 yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dengan Madura Sambas, disamping telah berakibat tewasnya ratusan jiwa dan hancurnya sekian ratus rumah dan harta warga Madura, juga telah menimbulkan gelombang pengungsian dari Kabupaten Sambas dan Bengkayang yang begitu besar.
Tujuan utama pengungsian adalah mengungsi sementara di tempat yang cukup aman sebelum kembali ke tempat asal. Maka, para pengungsi-pun berlabuh di kota Pontianak. Tak dinyana, sampai sekian bulan bahkan berbilang tahun, pengungsi warga Madura tetap tidak dapat kembali ke tempat asal di Sambas karena warga Melayu Sambas belum dapat menerima mereka kembali. Alias, rekonsiliasi antar etnis masih gagal. Merespon fenomena tersebut, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk melalui Keppres No. 3 tahun 2001 dan pemerintah daerah Kalimantan Barat melalui Tim Gabungan Penanggulangan Pengungsi Paska Kerusuhan Sosial Sambas (TGPPPKSS) menelurkan program alternatif yang kemudian disebut sebagai relokasi.
Relokasi adalah pemindahan pengungsi dari tempat penampungan sementara menuju pemukiman permanen yang dibangun pemerintah di sekitar Kabupaten Pontianak. Konsepnya nyaris mirip dengan transmigrasi, namun lebih bersifat darurat karena sifatnya sebagai alternatif penanganan pengungsi setelah pemulangan pengungsi gagal dilakukan. Karena sifat daruratnya, juga karena pemerintah Republik Indonesia belum cukup punya pengalaman menyelenggarakennya, relokasi ini mengundang sejumnlah masalah, baik dalam proses perumusan kebijakannya, proses implementasinya, maupun dampaknya terhadap kehidupan warga pengungsi Madura.
Penelitian ini mengkaji kebijakan relokasi pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas dengan meminjam paradigma kebijakan sosial model Gilbert dan menggunakan pisau analisis model Smith, Sabatier dan Mazmanian. Secara normatif, implementasi dan dampak kebijakan relokasi ini dikaji kesesuaiannya dengan the Guiding Principles on Internal Displacement 1998, Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Bakornas PBP tahun 2001 dan Kebijaksanaan Nasional Percepatan Penanganan Pengungsi di Indonesia.
Analisis kebijakan dan analisis data lapangan mengasumsikan bahwa kebijakan relokasi ini adalah program darurat yang tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti halnya program transmigrasi. Relokasi ini lahir karena gagalnya rekonsiliasi antara warga Melayu Sambas dengan warga pengungsi Madura. Artinya, rekonsiliasi yang dilanjutkan dengan pemulangan ke Sambas tetaplah menjadi pilihan utama. Maka, amatlah wajar apabila pelaksanaannya carut marut. Disamping, karena pemerintah pusat maupun daerah tak punya cukup pengalaman dalam menangani relokasi, juga karena masyarakat memiliki ekspektasi yang bertebihan tentang relokasi.
Menurut Smith ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu (1) Idealized policy (2) Target group (3) Implementing Organization dan (4) Environmental Factors . Sedangkan Sabatier dan Mazmanian mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan harus memperhatikan ; (1) karakteristik masalah (2) daya dukung peraturan (3) variabel non peraturan (4) dan proses implementasinya.
Idealized policy, dalam kebijakan relokasi ini kurang terumuskan secara baik. Policy yang ada adalah tentang pembagian kerja. Akan halnya kerjanya apa itu sendiri tak terumuskan dengan baik. Sama halnya dengan policy di tingkat pusat yang cenderung mengatur mekanisme kerja namun cenderung bersifat umum dan tak bermuatan perlindungan terhadap hak-hak pengungsi itu sendiri.
Implementing organization, yaitu Tim Gabungan Penanggulangan Kerusuhan Sosial Sambas, kurang menunjukkan koordinasi yang baik-baik. Ada saat-saat setiap instansi berjalan secara terkoordinasi, namun sering juga mereka berjalan sendiri-sendiri. Kemudian, kebijakan relokasi juga tidak terumus secara jelas. Tidak ada acuan yang jelas dari atas, juga tidak ada contoh yang dapat diacu dari pengalaman daerah lain.
Environmental factors dan variabel non peraturan cukup berpengaruh dalam pelaksanaan relokasi ini. Relokasi dijadikan alternatif bukan karena sejak awal telah direncanakan, melainkan karena desakan dari pihak luar. Karena rekonsiliasi yang gagal tercipta antara warga Melayu dan Madura Sambas.
Juga karena desakan dari penduduk di sekitar penampungan yang sudah agak 'gerah' dengan para pengungsi. Anehnya, pemerintah juga turut memberikan ultimatum, bahwa pengungsi harus segera direlokasi pada tanggal tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>