Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155186 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Banyak cara bagi pelaku usaha yang untuk memenangakan persaingan dan mengauasai pasar. Namun, ada beberapa perbuatan yang boleh dilakukan dan ada pulang yang dilarang karena dapat mengakibatkan terganggunya proses persaingan, tidak tercapainya efesiensi serta tidak teralokasinya sumberdaya..."
JHB 23:1(2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Berbagai peraturan perundang-undangan tidak akan berarti tanpa ada jaminan legal certainty atau kepastian hukum atas keputusan yang telah ditetapkan. Dalam dunia usaha adanya legal certainty merupakan persyaratan bagi setiap transaksi bisnis..."
JHB 22 (2003)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Semangat dunia usaha yang sehat, jujur dan fair dalam menuju mekanisme pasar dapat direfleksikan dalam perilaku pelaku usaha. Pelaku dalam dunia usaha tidak hanya terbatas pada pelaku usaha secara individual melalui perusahaan mereka tetapi juga dapat difasilitasi melalui asosiasi industri atau asosiasi bisnis mereka..."
JHB 19 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Ridwan
"Penetapan harga, monopoli dan penguasaan pasar merupakan perjanjian dan kegiatan usaha yang dilarang dalam UU No. 5/1999, baik larangannya bersifat parse rule ataupun rule of reason. Tindakan-tindakan tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan adanya praktik monopoli yang merugikan konsumen. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut menghambat persaingan usaha yang sehat. Padahal dimensi persaingan merupakan aspek yang sangat penting dalam suatu kegiatan ekonomi, antara lain sebagai sarana untuk melindungi konsumen dari eksploitasi dan penyalahgunaan produsen, serta mendorong peningkatan mutu, produk, dan pelayanan. Melalui penelitian yuridis normatif dengan metode analisis secara kualitatif, peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai hal tersebut dalam perkara penyediaan jasa verifikasi teknis impor gula yang dilakukan oleh PT. Surveyor dan PT. Sucofindo. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta terdapat pelanggaran terhadap Pasal 5 dan Pasal 17 UU No. 5/1999 dalam implementasi penyediaan jasa verifikasi teknis impor gula yang dilakukan oleh PT. Surveyor dan PT. Sucofindo. Pelanggaran ini terjadi mengingat adanya pembentukan KSO dan penetapan harga yang tidak sesuai dengan UU No. 5/1999. Tindakan-tindakan itu pun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam tingkat upaya keberatan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan Putusan KPPU yang semula juga mengeluarkan Putusan adanya pelanggaran terhadap Pasal 5, Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan Putusan KPPU tersebut didasarkan pertimbangan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh kedua pelaku usaha merupakan tindakan yang dikecualikan sebagaimana dimaksud Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999, yaitu yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, menurut peneliti pertimbangan dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kurang tepat mengingat pembentukan 1(50 dan penetapan harga jasa verifikasi tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan/perjanjian yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999. Adanya perbedaan pandangan dan penafsiran terhadap Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999 tersebut disebabkan adanya kekurangjelasan dalam rumusan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya para pihak yang berwenang mengkaji kembali rumusan ketentuan tersebut untuk menghindari adanya multitafsir dalam menerapkan Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Ridwan
"Penetapan harga, monopoli dan penguasaan pasar merupakan perjanjian dan kegiatan usaha yang dilarang dalam UU No. 5/1999, baik larangannya bersifat parse rule ataupun rule of reason. Tindakan-tindakan tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan adanya praktik monopoli yang merugikan konsumen. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut menghambat persaingan usaha yang sehat. Padahal dimensi persaingan merupakan aspek yang sangat penting dalam suatu kegiatan ekonomi, antara lain sebagai sarana untuk melindungi konsumen dari eksploitasi dan penyalahgunaan produsen, serta mendorong peningkatan mutu, produk, dan pelayanan. Melalui penelitian yuridis normatif dengan metode analisis secara kualitatif, peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai hal tersebut dalam perkara penyediaan jasa verifikasi teknis impor gula yang dilakukan oleh PT. Surveyor dan PT. Sucofindo. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta terdapat pelanggaran terhadap Pasal 5 dan Pasal 17 UU No. 5/1999 dalam implementasi penyediaan jasa verifikasi teknis impor gula yang dilakukan oleh PT. Surveyor dan PT. Sucofindo. Pelanggaran ini terjadi mengingat adanya pembentukan KSO dan penetapan harga yang tidak sesuai dengan UU No. 5/1999. Tindakan-tindakan itu pun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam tingkat upaya keberatan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan Putusan KPPU yang semula juga mengeluarkan Putusan adanya pelanggaran terhadap Pasal 5, Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan Putusan KPPU tersebut didasarkan pertimbangan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh kedua pelaku usaha merupakan tindakan yang dikecualikan sebagaimana dimaksud Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999, yaitu yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, menurut peneliti pertimbangan dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kurang tepat mengingat pembentukan 1(50 dan penetapan harga jasa verifikasi tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan/perjanjian yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999. Adanya perbedaan pandangan dan penafsiran terhadap Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999 tersebut disebabkan adanya kekurangjelasan dalam rumusan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya para pihak yang berwenang mengkaji kembali rumusan ketentuan tersebut untuk menghindari adanya multitafsir dalam menerapkan Pasal 50 huruf a UU No. 5/1999."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 02225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yuzad Fiddian
"Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik sekarang maupun masa yang akan datang.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek :
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Pasal 12 & Penjelasannya)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987).
Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya).
Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH).
Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH).
Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif-preskriptif, maka penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawab atas masalah-masalah yang ada tersebut. Dengan demikian diperoleh saran-tindak dalam menghadapi permasalahan itu, agar tercapainya kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sehubungan dengan hal di atas, pengamatan dan pembahasannya memakai metode ilmiah analitis-struktural, dengan menerapkan tata pendekatan dan metode kajian berdasarkan aspek wadah dan aspek isi yang terkandung di dalamnya serta aspek tata laku yang merupakan perpaduan antara kedua aspek terdahulu, untuk makin mendekati hakekat kenyataan, agar dapat memperoleh cara penyelesaian masalah dengan berlandaskan pengertian (comprehension) dan tidak hanya sekedar.pengetahuan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa para aparatur hukum yang memproses perundang-undangan yang menjadi obyek penelitian ini, kurang memahami UULH sebagai Umbrella Act yang merupakan makro sistem di dalam pengelolaan lingkungan.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya tingkat kesadaran hukum di Indonesia, karena :
- kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku; dan
- lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pembangunan hukum itu.
Apabila keadaan ini dihubungkan dengan asas-asas legalitas dari Fuller, maka dapat dinyatakan bahwa situasi perundangundangan sedemikian itu tidak memenuhi :
- asas suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanperaturan yang bertentangan satu sama lain;
- asas harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Berdasarkan hal ini dapat dikemukakan, sistem hukum lingkungan di Indonesia belum tercipta secara baik.
Menghadapi permasalahan ini teori ilmu hukum mengharapkan para aparatur hukum untuk melakukan interpretasi teleologis atau interpretasi sistematis berdasarkan konsep, asas, norma, lembaga dan sistematika UULH demi kepentingan masyarakat hukum dan lingkungan yang menuntut penilaian yang sama secara harmoni. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan di dalam pembangunan hukum.
Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai dasar hukum itu, perlu dipacu operasionalisasi Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum secara nasional sebagai unsur pendukung fungsi hukum, sehingga semua aparatur hukum dapat mengumpulkan data dan informasi hukum yang selengkap-lengkapnya secara cepat, mudah dan akurat. dengan demikian terhindarkan, tidak teramatinya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan satu sama lain dalam tata hukum Indonesia dan ketidaktaatan terhadap tertib hukum Indonesia, agar terciptanya budaya hukum nasional yang kondusif bagi kehidupan hukum pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Di samping itu, Pemerintah sudah saatnya untuk merealisasi amanat Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 yang antara lain menyatakan perlu dilakukan penyempurnaan terhadap TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi Keppres yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) DUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan, Amanat Presiden RI kepada Ketua DPR No. 2826/Hk/60 dalam sumber Tertib Hukum Indonesia.
Daftar Kepustakaan : 50 (1971-1994)

The Different Regulated Provision In The Field Of Environmental Law In Indonesia (Case Study Act No. 9 Of 1985 And Act No. 5 Of 1990)Biological natural resources of Indonesia and it's ecosystem have an important role and status in the livelihood of national development. Therefore, it has to be managed and exploited in a harmonious and balanced manner for the sake of the Indonesian community's welfare in particular and mankind in general, both today as well as the coming years to come.
The elements of biological natural resources and it's ecosystem, in essence, are inter-dependent and influencing one another, so that damage and extermination of any one of the element will result in ecosystem disturbance. Thus, conservatory steps are needed so that the biological natural resources' and it's ecosystem are always maintained and able to realize the balance and stuck with development itself. Considering the importance of biological natural resources and it's ecosystem for the promotion of community welfare and quality of man's livelihood, hence the government and it's society the duty and responsibility in conservation activities.
In 1982 was done and promulgated the Act No. 4 of 1982 on Basic Provisions for The Management of The Living Environment (EMA), which functions as an umbrella for the formulation of others Acts and Regulations related to the living environment and for the adaptation of the already existing laws and regulations. In addition, this EMA stated that conservation of biological natural resources and it's ecosystem need to be stipulated with an Act, the activities of which encompass 3 aspects:
1. protection of life support system;
2. conservation and maintenance of the varieties of plant and animal species and their ecosystem, in the sphere of earth, water and air;
3. sustained utilization of organic natural resources and their ecosystems.
(Article 12 & it's Elucidation)
In the framework of species conservation, the protected waters biota species are determined, in order to prevent them from extinction (The Letter of Decision of the Minister for Agriculture No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No 716/Kpts/Um/10/1980, and Letter of Decision of Minister for Forestry No. 12/Kpts-II/1978). Nevertheless, some animal species, protected in accordance with some Decision of the Minister for Agriculture and the Minister for Forestry mentioned above, are permitted to be commercially utilized base on Act No. 9 of 1985 on Fishery (UUP, Article 1 Number 2 & it's Elucidation).
Then, in 1990, Act No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and it's Ecosystem (UUKH) is promulgated, which is the realization of the massage in Article 12 EMA mentioned above. This UUKH stated that the Conservation of Biological Natural Environment constitute Conservation of Biological Natural Resources, the exploitation of which is carried out wisely to guarantee the sustainable reserves by consistently maintaining and promoting biodiversity quality and their values.
In addition, in Article 20 UUKH it was stated that, to protect the species, the kinds of plants and animals that are protected both because of in danger of extinction as well as due to their rare population need be stipulated. Related to the above stipulations, the Minister of Forestry issued 2 decrees, namely The Minister of Forestry Decree No. 301/Kpts-II/1991 and the Decree No. 882/Kpts-1I/92.
As a consequence of those stipulations, every person may not capture or other measures which has been stipulated limitatively in Article 12 paragraph (2) UUKH. Should there be a person who carried out that action as meant, then the person in question can be punished (Article 40 paragraph (2) and paragraph (4) UUKH), and plants and animals in question are confiscated by the State to be returned to their respective habitats or entrusted to those institutions that operate in the field of conservation of plants and animals, except when the condition is such that it is impossible to be of use, so that it is considered better to be destroyed (Article 24 UUKH).
Exception to the above can be undertaken for purposes of research, science, survival and or endangering human life (Article 22 UUKH).
In accordance with in this study, which is descriptive﷓prescriptive, hence this study has as objectives to finalize and search for answers of issued that are present. In doing so, recommendations for actions in facing the issue for the sake of achieving human and other living creatures welfare can be obtained. In connection with the above statement, observations and it's discussion are carried out by using the structural-analytical scientific method, by applying the approach and study method based on content and container aspects inherent in it's as well as behavioral aspects which constitute the integration of the previous two aspects, to approach closer the essence of reality, so that problem solving method is obtained based on comprehension and not merely knowledge only.
The results of the study showed that the legal apparatus that processed the laws that became the study object, lack comprehension of EMA as an Umbrella Act, which constitutes the macro system in environmental management.
This condition showed the weakness of the legal awareness level in Indonesia, due to:
- uncertainty that is provided by the valid law; and
- commitment weakness shown by the authorities in the legal development.
When this situation is related to the legal principles of Fuller, thence, it can be stated that the legal situation as such does not comply with:
- the principle that a system must not contain regulations that is contradicting one another;
- the principle that there must be harmony between regulations enacted with the daily implementation.
Based on those, then, it can be stated that, the environmental legal system in Indonesia is not yet realized properly.
Facing this issue, the legal science theory hoped that the legal apparatus carried out teleological interpretation or systematic interpretation based on concept, principles, norms, institutional and EMA systematic for the sake of the legal community interests and the environment that demand similar evaluation harmoniously. This is in accordance with the legal certainty principle, benefit principle and justness principle within the legal development.
To guarantee the realization of those legal principles values, the operationalization of the Documentation Network System and Legal Information need be stimulated nationally as a legal function support element, so that all legal apparatus can collect legal data and information as completely as possible rapidly, easily and accurately.
Hence, it could be avoided, the unobserved legal regulations that are related one to another in the Indonesian Legal System and the non-adherence towards Indonesian Legal Order, so that the National Legal Culture is realized which is conducive for the legal life in particular and national development in general.
In addition, it is time for the government to realize the message of Article 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 which, among others, stated the need to carry out the finalization of TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. This is meant to guarantee the legal certainty of KEPPRES which is issued by the President within the framework of carrying out the task and function of governance in accordance with Article 4 paragraph (1) UUD 1945 and matters pertaining to form of government convention, the Republic of Indonesia Presidential Message to the Chairman of DPR No. 2826/Hk/60 in the Indonesian Legal Order Source.
Number of References: 50 (1911-1994)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Cases of conspiracy in a tender at local level are flourishing every where interconnected to the implementation of decentralization Act that given local government autonomy right to manage incomes and expenses itself..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fathimah Az Zahra
"Ganti rugi terhadap kerugian sebagai akibat dilakukannya perbuatan melawan hukum bukan merupakan hal yang asing lagi. Di Indonesia, ganti rugi ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan di Amerika Serikat, selain merujuk pada yurisprudensi, mengenai ganti rugi ini diatur pula dalam Restatement Second of Torts. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode perbandingan hukum dengan bentuk yuridis-normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum di Indonesia dan tort di Amerika Serikat dikenal dalam berbagai bentuk. Dapat terlihat pula bahwa konsep dan pengaturan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum di Indonesia tidak hanya memiliki persamaan, tetapi juga memiliki perbedaan dengan ganti rugi dalam tort di Amerika Serikat. Dari sudut konsep, perbedaannya dapat dilihat dari bentuk ganti rugi, penentu jumlah ganti rugi dan pemberian ganti rugi. Sedangkan dari sudut pengaturan, perbedaan dapat dilihat dari pengklasifikasian pasal/section, adanya Federal Tort Claims Act di Amerika Serikat, dan jumlah ganti rugi yang dapat diberikan.

Damages of torts are nothing but common nowadays. In Indonesia, damages are provided in Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Whereas, in United States, besides referring to case law, damages are also provided in the Restatement Second of Torts. This research is conducted through a comparative law method in the form of normative juridical research which indicated that damages of torts in Indonesia and United States are known in various forms. The result also shows that there are differences and similarities in concept and regulation of damages of torts in Indonesia and United States. By the concept, the differences can be seen from the form of damages, the determinant of damages rsquo amount, and the damages awards. Meanwhile regarding the regulation, the differences can be seen from the classification of article section, the existence of Federal Tort Claims Act in United States, and the amount of damages that can be awarded.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S63569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aldo Britano Kuncoro
"Indonesia dan Jerman keduanya berasal dari suatu rumpun hukum yang sama yaitu civil law, akan tetapi dikarenakan adanya faktor-faktor seperti politik, ekonomi, geografi, dan sosial sehingga terdapat perbedaan dalam konsep. Baik di Indonesia maupun Jerman, konsep dari perbuatan melawan hukum adalah sama yaitu mengembalikan kepada posisi yang semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Pengaturan dari perbuatan melawan hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam ketentuan pasal di KUH Perdata yang mengatur mengenai konsep dan juga pengaturan ganti rugi umum yang dapat diberikan dalam hal wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Di Jerman sendiri pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum tidak hanya terdapat dalam suatu kodifikasi hukum perdata, dalam perkembanganya mengenai kasus yang berkaitan dengan strict liability, terdapat peraturan perundang-undangan khusus yang mengaturnya.
Penulis melihat sebuah keunikan dari sistem hukum perdata di Jerman, dimana meskipun berasal dari negara rumpun civil law, keputusan hakim sering digunakan sebagai pelengkap dan penjelas peraturan perundang-undangan. Dengan gencarnya pengunaan yurisprudensi, hal-hal detail mengenai jumlah dan perhitungan ganti rugi menjadi jelas. Selain itu juga ditemukan bahwa, berbeda dengan Indonesia, di Jerman mengenal dua cara pemberian ganti rugi yang diatur dalam BGB yaitu dengan cara lump sum dan periodic payment.
Dengan kata lain pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum di Jerman pengaturanya lebih lengkap dan rinci mengenai ganti rugi, dengan memperhatikan hal-hal detail seperti metode pemberan ganti rugi, selain itu pengaturan ganti rugi juga berkembang pesat mengikuti perubahan yang ada, yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan lain diluar BGB. Dengan adanya penelitian ini disarankan agar hakim lebih mempertimbangkan penggunaan yurisprundensi dalam penentuan jumlah, cara penghitungan dan metode pemberian ganti rugi. Diharapkan pula hakim dapat melakukan sebuah penemuan hukum dalam keputusanya, untuk mengisi kekosongan hukum megenai rincian penentuan ganti rugi.

Indonesia and Germany derives from a similar famility Law which is Civil Law, however due to the difference in politics, social, and economy different concepts can be found. Both Germany and Indonesia aknowldge the same concept of torts, which is to bring remedy if a particular condition before the damages. The regulation on torts could be found in the Indonesia civil code KUH Perdata, which regulates the concept of torts and a general provision of damages in the case of torts or contractual breach. In Germany the regulation on torts is not only found in the German Civil Code, throughout the years damages regarding strict liability can be found in other provision outside the civil code.
In this research, that found the uniqueness of how a civil law country like Germany is also heavily jurisprudence based like that of a common law country. This heavilty Jurisprudence based approach serves to fill the gap left within the regulation in Germany. Thus, detail things like the method and amount of regulation are stated and described detailly. Moreover, unlike in Indonesia, Germany recognize two method of paying damages which is divided into lump sum payment and periodic payment.
In sum the regulation on damages in Germany is more complex and detailed with regards to the method and assessment of damages. Moreover, the development on law of damages can be seen on the provision outside BGB, which follows the current development. With this research, the writer hopes that Indonesian judges would be willing to use past jurisprudence as the basis of their decision. The writer strongly hopes that the Indonesian judges could contribute to development of law by achieving legal discovery, on the law of damages especially on the assessment on damages.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyaningrum
"BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun, banyak BUMN yang kondisinya - cukup memprihatinkan. Kondisi BUMN semakin parah dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 sehingga menjadi beban bagi keuangan negara. Untuk itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan memprivatisasi BUMN. Dalam praktek, privatisasi tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan privatisasi, melainkan juga untuk menutup defisit APBN. Pelaksanaan privatisasi juga dipengaruhi oleh IMF sehingga dikhawatirkan' dapat merugikan rakyat. Oleh karena itu, privatisasi kemudian diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pengaturan privatisasi dalam UU No. 19 Tahun 2003 didorong oleh faktor-faktor untuk menafsirkan dan menjabarkan Pasal 33 UUD 1945, untuk melindungi hajat hidup orang banyak, dan sebagai pedoman untuk melaksanakan privatisasi.
Tujuan privatisasi dalam UU No. 19 Tahun 2003 adalah untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham persero. Agar tujuan tersebut tercapai, maka privatisasi dilakukan dengan maksud untuk melakukan restrukturisasi kepemilikan, managerial, keuangan, teknologi, dan pasar. Dengan adanya restrukturisasi, diharapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dapat diterapkan. Upaya untuk menyehatkan BUMN melalui privatisasi tidak boleh merugikan kepentingan negara dan hajat hidup orang banyak. Untuk itu, di dalam UU No. 19 Tahun 2003 diatur mengenai kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi dan yang tidak dapat diprivatisasi. UU No. 19 tahun 2003 juga mengatur mengenai tata cara privatisasi. Privatisasi harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah ditentuakan agar hasilnya optimal.
Dalam privatisasi, Pemerintah dan DPR mempunyai peranan penting. Pemerintah berperan dalam mengambil keputusan privatisasi dan melaksanakan privatisasi, sedangkan DPR mempunyai peranan untuk mengawasi Pemerintah dalam menjalankan perannya. Pengawasan DPR meliputi pengawasan preventif dan pengawasan represif. Dengan demikian, terciptalah check and balances dalam privatisasi sehingga privatisasi dapat dilaksanakan dengan baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T37576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>