Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Analisis arah dan unifikasi rugae palatal primer merupakan
salah satu metode identifikasi sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan
jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan arah dan unifikasi rugae palatal
primer untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Analisis arah dan unifikasi
rugae palatal primer berdasarkan klasifikasi Lysell dengan metode pencetakan
100 model rahang atas. Hasil: Rugae palatal dengan pola diverging lebih banyak
pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak terdapat perbedaan signifikan
arah rugae palatal primer pada laki-laki dan perempuan (p>0.05). Kesimpulan:
Arah dan unifikasi rugae palatal primer tidak dapat dijadikan parameter untuk
membedakan jenis kelamin.

ABSTRACT
Background: Analysis of primary palatal rugae direction and unification is one of
the secondary identification methods that can be used for sex determination.
Objective: To determine any sex differences of primary palatal rugae direction
and unification. Methods: Analysis of the primary palatal rugae direction and
unification based on Lysell’s classification with 100 models maxilla. Results:
Diverging pattern is more common in females than males and there are no
significant differences (p>0.05) in the direction of the primary palatal rugae in
males and females. Conclusions: The direction and unification of primary palatal
rugae can not be used for sex determination."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Sylvia Basman
"Latar Belakang: Rugae palatal bersifat tahan akan perubahan, stabil dan unik berbeda antar individu. Analisis rugae palatal dapat dijadikan metode identifikasi sekunder untuk membantu mengidentifikasikan individu seperti jenis kelamin.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bentuk rugae palatal laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.
Metode: Melakukan pengamatan terhadap 100 model cetakan rahang atas yang terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan berdasarkan klasifikasi Basauri.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bentuk rugae palatal antara laki-laki dan perempuan pada palatum kanan dan kiri namun secara distribusi bentuk rugae palatal terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada palatum kiri dan kanan.
Kesimpulan: Rugae palatal pada setiap individu berbeda namun belum dapat meggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.

Background: Palatal rugae are known for their resistance to environmental challange, stability, and uniqueness different for each other. Palatal rugae analysis can be one of secondary identification methods to help identifying individuals such as gender.
Objective: To know whether there are differences in palatal rugae shape between female and male of Indonesian subpopulation.
Methods: Observing 100 maxillary dental study of 50 male and 50 female based on Basuri classification.
Result: No significant difference in palatal rugae shape between male and female either on left or right side but distributively the shape of palatal rugae between male and female were different.
Conclusion: Palatal rugae on each individuals are different but this still can 39 t show differences between both female and male in Indonesian subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Fajria
"ABSTRAK
Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi
sekunder yang dapat menentukan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan
jenis kelamin dengan menganalisis bentuk dan jumlah rugae palatal primer pada
laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal primer 100 model cetak
rahang atas menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae palatal primer berbentuk
sudut pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0,05); rugae palatal
primer berbentuk kurva pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki
(p<0,05); tidak ada perbedaan bermakna rugae palatal primer berbentuk lurus
antara laki-laki dan perempuan (p>0,05); tidak ada perbedaan bermakna jumlah
seluruh rugae palatal primer antara laki-laki dan perempuan (p>0,05).
Kesimpulan: rugae palatal primer berbentuk sudut dan kurva berbeda antara lakilaki
dan perempuan sehingga dapat digunakan untuk identifikasi jenis kelamin

ABSTRACT
Background: Palatal rugae analysis is one of secondary identification methods
for sex determination. Objectives: To identify the differences of shape and total
number of primary palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts
by Lysell’s Classification. Results: The present study showed that males have
more angular primary palatal rugae shape than females (p<0,05); females have
more curved primary palatal rugae shape than males (p<0,05); there’s no
significant difference for straight primary palatal rugae shape between males and
females (p>0,05); there’s no significant difference for primary palatal rugae’s
number between males and females (p>0,05). Conclusions: Angular and curved
primary palatal rugae shapes are different between males and females, so we can
use it for secondary sex identification in forensic."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Intan Kasih
"Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi sekunder untuk penentuan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan jenis dan asal rugae laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal 100 cetakan maksila menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae sekunder dan total semua rugae palatum kiri laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05); rugae fragmenter palatum kanan laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Rugae asal raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05) sedangkan rugae asal medial pada laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Kesimpulan: rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae, rugae primer asal raphae dan medial berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Background: Palatal rugae analysis is a secondary identification for sex determination. Objectives: To identify differences of types and origins palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts by Lysell’s classification. Results: Secondary and total rugae males’ left palate has more number than females (p<0.05); fragmentary rugae males’ right palate has less number than females (p<0.05). Raphae origin males’ rugae has more number than females (p<0.05) while medial origin rugae in males has less number than females (p<0.05). Conclusions: Secondary, fragmentary, total rugae as well as raphae and medial origins palatal rugae is different between males and females."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Godjali
"Latar Belakang: Dalam identifikasi odontologi forensik, diperlukan penentuan jenis kelamin dan ras.
Tujuan: Menenentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi kaninus rahang bawah, beserta nilai referensinya.
Metode: Dilakukan pengukuran MD dan BL gigi C RB pada populasi suku Batak dan Tionghoa, selanjutnya ditetapkan nilai referensinya.
Hasil: Ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD dan BL pada pengujian antar jenis kelamin (p<0,05). Pada pengujian antar ras ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD, namun tidak pada ukuran BL. Pada penentuan jenis kelamin nilai referensi ukuran MD 6,942 mm dan BL 7,527 mm. Pada penentuan ras, nilai referensi pada laki-laki ukuran MD 7,529 mm dan BL 7,845 mm, sedangkan perempuan MD 6,643 mm dan BL 7,210 mm.
Kesimpulan: Ukuran MD dan BL gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin dan ras.

Background: In odontologic forensic identification, determining sex and race are important.
Objectives: To determine race and sex by using mesiodistal (MD) and buccolingual (BL) measurements of mandibular canines and to obtain their reference points.
Methods: Measured MD and BL mandibular canines measurements of Batak and Chinese in Indonesia, then calculated the reference points.
Results: There is significant difference of MD and BL measurements between sex (p<0,05). There is significant difference of MD measurement between races but there isn’t on BL measurement. To determine sex, reference point for MD measurement is 6,942 mm and BL is 7,527 mm. To determine race, reference point for men is 7,529 mm for MD and 7,845 mm for BL, for women is 6,643 mm for MD and 7,210 mm for BL.
Conclusions: Mesiodistal and buccolingual measurements can be used to determine sex and race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Rudi Sansun
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan pengetahuan safe sex dengan sikap terhadap safe sex di kalangan para pelaut. Pengetahuan (knowledge) merupakan salah satu pembentuk dari sikap (attitude), juga membentuk subyektif norms dan percieved behavioral control. Ketiga hal tersebut kemudian membentuk kecenderungan atau intensitas perilaku seseorang dan kemudian terbentuklah perilaku yang diekspresikan kekehidupan, (Ajzen, 2005). Oleh sebab itu, jika dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap obyek sikap tertentu, kita akan tahu pula kecenderungan perilakunya. Kita dapat meramalkan perilaku dari sikap.
Berdasarkan wawancara informal yang dilakukan penulis pada beberapa orang, masalah-masalah yang muncul diantaranya adalah adaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan tempat, kebutuhan biologis seperti seks, dan lain sebagainya. Penyaluran kebutuhan biologis (seks) merupakan bahasan yang ingin diteliti oleh penulis. Penyebabnya, penyaluran kebutuhan tersebut dapat menimbulkan masalah baru. Masalah yang berbahaya adalah penularan penyakit menular seksual (PMS).
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 41 orang pelaut. Penelitian ini menggunakan alat ukur pengetahuan safe sex dan sikap terhadap safe sex yang dibuat oleh penulis sendiri berdasarkan konstrak dari teori-teori yang mendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan tentang safe sex mempunyai hubungan yang sangat kuat (r sebesar 0,876) dengan sikap terhadap safe sex pada pelaut pria PT. X."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Lathifah
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin penting untuk identifikasi forensik. Salah satu metodenya berdasarkan ukuran gigi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi laki-laki dan perempuan serta menentukan nilai referensi gigi molar satu rahang atas untuk penentuan jenis kelamin.
Metode: 30 gigi molar satu rahang atas laki-laki dan 30 perempuan diukur lebar mesiodistal dan bukolingual dengan kaliper digital.
Hasil: Perbedaan signifikan (p<0,05) ukuran gigi molar satu rahang atas laki-laki dan perempuan. Nilai referensi ukuran bukolingual 11.34 mm (kanan), 11.22 mm (kiri); ukuran mesiodistal 10.61 mm (kanan) 10.51 mm (kiri).
Kesimpulan: Ukuran mahkota gigi molar satu rahang atas dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin.

Background: Sex determination is an important aspect in the human identification. One of the methods is using tooth dimensions.
Objective: To obtain the differences of male and female tooth size using maxillary first molar crown dimensions and to determine reference point for sex determination.
Methods: 30 males and 30 females, on maxillary first molar study cast. Mesiodistal and buccolingual width were measured using digital calipers.
Results: The differences between males and females in all dimensions measured were statistically significant (p<0,05). The reference point for buccolingual width was 11.34 mm (right), 11.22 mm (left); for mesiodistal width was 10.61 mm (right) and 10.51 mm (left).
Conclusion: Maxillary first molar crown dimension may be used as an aid in sex determination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S43922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuli Andari
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan hal yang penting dalam identifikasi forensik dan salah satu metodenya adalah melalui pengukuran gigi geligi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi kaninus rahang bawah pada laki-laki dan perempuan serta mendapatkan nilai indeks standar untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Dilakukan pengukuran mesiodistal kaninus rahang bawah dan jarak interkaninus, dihitung nilai indeks standar dengan rumus indeks standar kaninus rahang bawah. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) ukuran gigi kaninus rahang bawah antara laki-laki dan perempuan. Nilai indeks standar kaninus kanan 0.2546 mm, kaninus kiri 0.2456 mm. Kesimpulan: Gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin individu.

Background: Sex determination is important in forensic identification and one of the methods is teeth measurement. Objectives: To obtain the differences of mandibular canine size between males and females and to get mandibular canine index standard (MCIs) for sex determination. Methods: Measured mesiodistal width and intercanine distance of mandibular canine, index standard value is calculated with MCIs formula. Results: There was a highly significant differences is mandibular canine size between males and females (p value<0.05). MCIs value for right canine is 0.2546 mm, for left canine is 0.2456 mm. Conclusion: Mandibular canine can be used for sex determination."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Belum banyak penelitian empiris yang menghubungkan perilaku seksual seseorang dengan perspektifnya memandang dunia (atau: pandangan dunia), meskipun kajian-kajian spekulatif yang berkenaan dengan hal tersebut telah banyak terdapat dalam literatur. Penelitian ini melakukan pengukuran empiris terhadap pandangan dunia partisipan dengan Worldview Analysis Scale dan perilaku seksual partisipan dengan Garos Sexual Behavior Inventory. Partisipan penelitian terdiri atas 200 orang (52% laki-laki, 48 perempuan; Rerata usia 24.23 tahun; Simpangan baku usia 1.92 tahun), yang dijaring dengan teknik penyampelan convenience insidental di Jabodetabek, Bandung dan Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara pandangan dunia komunalisme dengan ketidaknyamanan seksual (r = 0.239, p < 0.01) dan pandangan duia realisme terukur dengan ketidaknyamanan seksual (r = -0.187, p < 0.01)."
AJMS 4:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>