Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simatupang, Andika Immanuel
"Peristiwa Uberlingen Mid-Air Collision tahun 2002 di wilayah Jerman antara Bashkirian Airlines dengan DHL menarik perhatian khalayak luas kepada dunia penerbangan internasional. Bashkirian kemudian membawa kasus ini ke Pengadilan Konstanz di Jerman dalam perkara perdata untuk meminta ganti kerugian kepada Jerman atas segala tuntutan dari pihak ketiga. Pengadilan kemudian memutuskan Jerman harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan harus menanggung biaya ganti kerugian akibat peristiwa tersebut. Diketahui bahwa kejadian tersebut berada di wilayah udara Jerman yang lalu-lintas penerbangannya dilakukan oleh Skyguide. Skripsi ini dimaksudkan untuk menjelaskan bentuk tanggung jawab negara atas keselamatan dan keamanan navigasi di wilayah udaranya yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan tanggung jawab negara. Skripsi ini kemudian akan menganalisis terkait pengaturan dan kewajiban negara dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan yang aman menurut hukum internasional.

The Uberlingen Mid-Air Collision which happened in Germany in 2002 between Bashkirian Airlines and DHL had attracted the international community to international civil aviation activities. Bashkirian then brought this case before the Dictrict Court in Konstanz which sued Republic of Germany to indemnify the company for damage claims against the airine by third parties. The Court then decided Germany should responsible to Bashkirian and indemnify all the cost claimed against the airline. The collision occured at German?s territory which controlled by Skyguide. This thesis is aimed to elaborate the state liability on safety and security of air navigation in its territory which failure to do so will result a state responsibility. This thesis will analyze the provisions and the state?s liabilities in providing the safe air navigation facilities according to international law."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S57724
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Reyhan S.
"Pada kebanyakan kejadian dan kecelakaan pesawat udara, pihak yang paling dinyatakan bertanggungjawab adalah Pilot in Command (Pic) selaku pengendali penuh atas pengoperasian pesawat udara pada saat terbang. Hal ini dikarenakan Pic sebagai orang yang secara nyata mengendalikan pesawat udara atas dasar kewenangan dan tanggung jawab serta keputusan yang diambil. Dalam pengoperasian pesawat udara Pic memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penerbangan yang selamat. Wewenang dan tanggung jawab atas keselamatan penerbangan tersebut dirumuskan di dalam Convention on International Civil Aviation 1944 (Konvensi Chicago 1944) khususnya pada Annex 2 mengenai Rules of the Air dan Annex 6 mengenai Operation of Aircraft. Berdasarkan Annex tersebut, seorang Pic memiliki wewenang final (final authority) dan wewenang dalam keadaan darurat (emergency authority), atas kewenangan yang dimiliki tersebut Pic harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan apabila tindakan tersebut melampaui batas wewenang, seperti melanggar ketentuan pengoperasian penerbangan. Indonesia mentransformasikan pengaturan mengenai wewenang dan tanggung jawab Pic tersebut ke dalam tiga peraturan, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2001 Tentang Peraturan Umum Tentang Pengoperasian Pesawat Udara yang mengatur Civil Aviation Safety Regulation Part 91 (General Operating and Flight Rules). Pada prakteknya, Pic seringkali mendapat hambatan untuk mengimplementasikan wewenangnya secara penuh. Insiden dan kecelakaan pesawat yang diakibatkan oleh kelalaian Pilot in Command yang disebut sebagai Pilot Error memang kerap terjadi, namun tidak semuanya dapat diakibatkan oleh kesalahan PiC semata."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2008
S26129
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Imam Wahyudin
"Pemerintah Indonesia membentuk Single Air Navigation Service Provider (ANSP)
bernama LPPNPI (Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan
Indonesia) berdasar pada UU. Penerbangan No 1 Tahun 2009 pasal 271. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan analisa proses pembentukan organisasi penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan dari segi keselamatan dengan pemodelan sistem
manajemen keselamatan (SMK) dan eskalasi prioritas 8 kriteria ANSP dengan Analitic
Hierarchy Process yang belum tercakup dalam rencana peralihan, sehingga organisasi
yang dibentuk memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi.
Penelitian menunjukkan bahwa dengan pemodelan SMK pada proses perubahan
organisasi ANSP terjadi penurunan indeks resiko keselamatan dan diketahui urutan
prioritas kriteria ANSP. Hasil tersebut dijadikan sebagai dasar penyusunan roadmap dan
ceklist kesiapan untuk memandu langkah-langkah Management of Change.

Government of Indonesia established a single Air Navigation Service Providers (ANSP)
named LPPNPI (Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia)
based on the Aviation Law No. 1 Year 2009 Article 271. This study aims to analyze the
process of formation of the organization of air navigation service providers in terms of
safety with Safety Management System (SMS) modeling and the priority escalation of 8
ANSP criteria with AHP thats not included in the transition plan, so that the
organization will be formed have good safety level.
This study indicates the priority of ANSP criteria and show that by SMS modeling the of
ANSP organizational change safety risk index.This results serve as the basis for
arranging the Roadmap and Readiness Checklist to guide the step of Management of
Change.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T36788
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Reiza Syeilendra Permana
"Pengalihan kepemilikan satelit di orbit merupakan fenomena yang
kemudian lahir akibat perkembangan komersialisasi antariksa. Satelit yang
ditempatkan di orbit didaftarkan atas nama negara, sehingga adanya pengalihan
kepemilikan menyebabkan isu yurisdiksi atau pengendalian dan tanggung jawab
negara menjadi krusial untuk dibahas, mengingat intrumen hukum internasional
yang mengatur mengenai kegiatan keantariksaan lahir sebelum fenomena
pengalihan kepemilikan satelit di orbit terjadi.
Permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit meliputi: bagaimana persoalan
pengalihan kepemilikan satelit di orbit diatur dalam hukum internasional;
bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengalihan
kepemilikan satelit di orbit; dan masalah-masalah hukum yang timbul berkenaan
dengan pengalihan kepemilikan satelit di orbit dan bagaimana cara
penyelesaiannya.
Guna mencari jawaban terhadap permasalahan tersebut maka dilakukan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan,
yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan
Konseptual (Conseptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
pengalihan kepemilikan satelit di orbit dimungkinkan berdasarkan ketentuan
Pasal II Registration Convention 1975; Kedua, penerapan tanggung jawab Negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit didasarkan pada Outer Space Treaty
1967, Liability Convention 1972, dan Registration Convention 1975; dan terakhir,
masalah hukum yang timbul terutama masalah pendaftaran objek antariksa dan
tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan khususnya jika terjadi
kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa yang dialihkan.
Terhadap permasalahan tersebut disarankan agar Negara yang menerima
pengalihan kepemilikan setidaknya mencatat satelit tersebut dalam sistem
registrasi nasionalnya untuk dapat memperoleh status sebagai Negara
pendaftaran. Khusus untuk pengalihan kepada bukan Negara peluncur yang asli,
maka diperlukan suatu perjanjian khusus yang mengatur tentang pengalihan
yurisdiksi dan hak pengendalian serta kewajiban atas objek antariksa.

ABSTRACT
Transfer of ownership of the satellite in orbit is a phenomenon that is born
due to the development of space commercialization. Satellites which placed in
orbit, registered in the name of the State so that the transfer of ownership leading
to issues of jurisdiction, or control and responsibility of the State, becomes crucial
to be discussed, considering the international legal instruments governing outer
space activities published before the phenomenon of transfer of ownership of the
satellite in orbit occur.
Legal issues relating to state responsibility in the transfer of ownership of
the satellite in orbit include: how issues of ownership satellites in orbit governed
by international law, how the application of the principle of state responsibility in
the transfer of ownership of the satellite in orbit, and the legal issues which arise
in regard to transfer of ownership of the satellite in orbit and how to solve it.
In order to find answers to these problems normative research is
conducted using three kinds of approaches, i.e. Statute Approach, Conceptual
Approach, and Case Approach.
Based on the results of this study concluded that: First, the transfer of
ownership of the satellite in orbit is possible under the provisions of Article II of
the Registration Convention 1975; Second, the implementation of State
responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit based on the
Outer Space Treaty of 1967, the Liability Convention 1972 and the Registration
Convention 1975; and finally, the legal issues which arise mainly space object
registration problem and state responsibility in the transfer of ownership
especially if there is damage caused by space objects which transferred.
Of these issues it is recommended that the State receiving the transfer of
ownership, at least recorded the satellite in the national registration system, in
order to obtain status as a State registration. Specifically for transfer to the State
instead of the original launcher, it would require a special agreement governing
the transfer of jurisdiction and the rights and obligations of control over the object
space."
Jakarta: 2013
T35096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Wahyu Adi Pratama
"Tesis ini membahas bagaimana pertanggungjawaban The Boeing Company terhadap penumpang korban kecelakaan Pesawat Malaysia Airlines (MAS) Penerbangan MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing yang terjatuh di Samudera Hindia. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan statute approach dan case approach. Selain itu, tesis ini bersifat preskriptif dan menggunakan data yang sifatnya primer (konvensi-konvensi internasional terkait hukum udara privat internasional, preseden pengadilan asing (Amerika Serikat), Uniform Commercial Code, dan Restatement (second) of torts dan sekunder (buku-buku, jurnal, dan kamus hukum). Hasil penelitian ini adalah bahwasannya The Boeing Company dapat dibebankan dua jenis tanggung jawab. Pertama yaitu secara tidak langsung, melalui mekanisme Konvensi Montreal 1999 tentang Unifikasi Aturan-Aturan tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional dan kedua, secara langsung, melalui mekanisme tanggung jawab produk mutlak yang terdapat di Restatement (Second) of Torts Section § 402A.

This study discusses how the liability of The Boeing Company for passengers who were victims of the Malaysia Airlines (MAS) Flight MH370 Kuala Lumpur-Beijing flight crashed in the Indian Ocean on March 8, 2014. The research method used in this study is a normative juridical method using statute and case approaches. In addition, this study is prescriptive and uses primary data (International conventions related to international private air law, precedent of foreign courts (United States), Uniform Commercial Code, and Restatement (second) of torts) and secondary data (books, journals, and legal dictionaries). The results of this study are that the Boeing Company can be charged with two types of liabilities. First, indirect liability, through the 1999 Montreal Convention mechanism on Unification of certain Rules concerning International Air Transport and Second, direct liability, through strict product liability mechanisms contained in the Restatement (Second ) of Torts Section § 402A."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larasati Harryndra Utami
"ABSTRAK
Laporan magang ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan akuntansi terhadap Piutang PNBP atas Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan PJNP pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Analisis dilakukan pada periode Semester I Tahun Anggaran 2017. PJNP dibagi menjadi dua, yaitu 1 pelayanan jasa navigasi dengan pendelegasian ruang udara Indonesia tertentu kepada negara lain, yang diwakili oleh debitur Civil Aviation Authority of Singapore CAAS dan 2 pelayanan jasa navigasi yang dilakukan oleh debitur AirNav Indonesia. Kesimpulan laporan magang ini adalah Piutang PNBP atas PJNP masih memiliki permasalahan dan belum berjalan secara optimal sesuai dengan penerapan akuntansi piutang berbasis akrual. Hal tersebut terutama terjadi pada tahapan pengakuan dan pencatatan, yang berdampak pada belum andalnya nilai yang disajikan dalam laporan keuangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Rekomendasi atas temuan tersebut berupa melakukan lobi kepada ICAO agar dilakukan pengambil-alihan Flight Information Region FIR untuk wilayah udara Sektor A oleh Pemerintah Indonesia, memperbaharui beberapa ketetapan dan peraturan terkait penetapan Piutang PNBP debitur CAAS dan AirNav Indonesia, serta pembuatan aplikasi terintegrasi antara pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan pihak terkait.

ABSTRACT
This internship report aims to analyze the accounting treatment of non tax state receivable for air navigation services at Directorate General of Civil Aviation. The analysis is conducted during the first semester of 2017. Those air navigation services are divided into two, which are 1 an air navigation services by delegation of certain airspace of Indonesia to other countries, represented by Civil Aviation Authority of Singapore CAAS as a debtor and 2 an air navigation service represented by AirNav Indonesia as a debtor. The conclusion of this internship report is non tax state receivables for air navigation services still has problems and have not been complied with the accrual based receivables accounting. This is especially true in the recognition and recording stages, which have an impact on the unfavorable value presented in the financial statements of the Directorate General of Civil Aviation. The recommendation of the findings are to lobby the ICAO for takeover the Flight Information Region FIR at Sector A airspace by the Government of Indonesia, update some provisions and regulations about the determination of non tax state receivable for debtor CAAS and AirNav Indonesia, as well as making integrated applications between the Directorate General of Civil Aviation with related parties."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I. Heru Dripatmanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afghania Dwiesta
"Putusan Pengadilan Negeri Den Haag pada tahun 2011 memutuskan untuk menerima klaim gugatan yang diajukan oleh keluarga para korban pembantaian Rawagedeh yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 silam. Pengajuan klaim ganti kerugian dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke muka Pengadilan Negeri Den Haag. Hal ini dilakukan sebagai upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan oleh penggugat mengingat tidak adanya penyelesaian perkara yang seharusnya dilakukan oleh negara Belanda secara publik. Meskipun Pengadilan Negeri Den Haag mengabulkan klaim gugatan atas pemulihan para keluarga korban, akan tetapi dalam amar putusannya tidak menjelaskan bentuk pelanggaran atas kewajiban internasional yang dilakukan oleh Belanda atas pembantaian Rawagedeh. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menganalisis bentuk tanggung jawab negara Belanda kepada para keluarga korban Rawagedeh menurut hukum internasional.

The Hague District Court in 2011 decided to accept the claims filed by the relatives of the Rawagedeh massacre victims back in 1947 conducted by the Dutch troops. The plaintiffs filed a lawsuit for reparations through civil procedure to the District Court of The Hague. This action is seen as the last resort taken by the plaintiff given the absence of any judicial process the Dutch authority should have conducted publicly. Although the Hague District Court has granted these lawsuit, but the verdict did not explain what kind of violation of international obligations taken by the Dutch troop in Rawagedeh massacre. Thus, this thesis is aimed to analyze the Dutch responsibility to give remedies to the families of the victims in Rawagedeh under international law."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55048
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Zuraida
"ABSTRAK
Dengan adanya permasalahan tentang masih dikontrolnya ruang udara Indonesia
oleh FIR asing khususnya di atas kepulauan Riau dan Natuna oleh FIR Singapura
berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Singapura tahun 1995,
dimana kemudian dengan telah dimilikinya kemampuan baik di bidang teknologi
maupun SDM maka Indonesia berkeinginan untuk mengambil alih kontrol FIR
tersebut sebagai bangsa yang berdaulat dan juga sbg pelaksanaan dari undangundang.
Terkait dengan hal itu, perlu ditinjau lebih lanjut mengapa Indonesia
memandang perlu untuk mengambil alih kontrol FIR di atas kepulauan Riau dan
Natuna dari pihak Singapura serta hambatan-hambatan yang dihadapi pihak
Indonesia dalam mewujudkan kehendaknya tersebut. Namun sesuai dengan
salah satu klausul dalam perjanjian (Article 6) bahwa selama pihak Singapura
melakukan pengontrolan di wilayah Indonesia maka Pemerintah Singapura atas
nama Pemerintah Indonesia memungut Route Air Navigation Services (RANS)
Charges, dan hasilnya akan diserahkan ke pemerintah Indonesia. Dari adanya
pendapatan yang diperoleh Negara tersebut maka hal ini menjadi salah satu
sumber pendapatan Negara berupa PNBP. Namun demikian, dengan adanya
RANS Charges tersebut.menimbulkan implikasi terhadap Indonesia terkait upaya
pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas
kepulauan Riau dan Natuna berdasarkan perjanjian Indonesia Singapura Tahun
1995.

ABSTRACT
With the problems about still is still uncontrollable air space Indonesia by foreign
FIR, especially above the Riau Islands and Natuna by the Singapore FIR based
on agreements made by Indonesia and Singapore in 1995, which then has the
ability to have both in the field of technology and human resources, Indonesia
desirous to take over FIR control as a sovereign nation and also as the
implementation of the Act. Related to this matter, need to be reviewed further,
Indonesia necessary to take over control FIR above Riau Islands and Natuna from
the Singapore and the obstacles faced by Indonesia in realizing against his will.
However according to one clause in the agreement (Article 6) that during the
Singapore authorities in the area of controlling in Indonesia, the Government of
Singapore on behalf of the Government of Indonesia picked up Route Air
Navigation Services (RANS) Charges, and the results will be submitted to the
government of Indonesia. Of the State earned income it becomes a source of
State revenue in the form of non-tax revenues. However, with the existence of
RANS , give rise to that implication charges against Indonesia?s takeover
attempts on the air navigation services in the Singapore FIR above Riau islands
and Natuna based on agreement Indonesia Singapore 1995."
2012
T30925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hageng Guritno
"ABSTRAK
Nama : Hageng GurinoProgram Studi : Hukum TransnationalJudul : Penyelengaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Di Sektor A, B, dan C Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum International. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas yang teridiri dari 17.508 pulau dan 81.000 km2 garis pantai, dengan luas perairan laut mencapai /- 5.900.000km2. Dengan luasnya wilayah Indonesia, maka akan mengundang ancaman pelanggaran baik di wilayah laut dan wilayah udara Indonesia. Ruang udara Indonesia di atas kepulauan Riau dan Natuna dikenal sebagai Sektor A, B, dan C yang dikelola oleh Singapura dan Malaysia. Beberapa usaha pengambil alihan pun pernah dilakukan namun belum berhasil. Dengan Pelayanan Navigasi penerbangan di Indonesia di Sektor A, B, dan C sampai saat ini yang masih dikuasai oleh Singapura dan Malaysia akan berdampak pada bidang politik, bidang ekonomi, pertahanan keamanan negara. Ini sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang tentang Flight Information Regional yang dikelola oleh Singapura dan Malaysia dan sebagai negara yang berdaulat Indonesia harus dapat mengambil alih kembali Pelayanan Navigasi di Sektor A, B, dan C dari Singapura dan Malaysia. Dalam penerapan Flight Information Region Sektor A, B, dan C, Indonesia sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Annex 11 Konvensi Chicago 1944 dan Indonesia sudah mampu mengelola wilayah udara negaranya. Kata kunci :Pelayanan navigasi penerbangan, Flight Information Region, Sektor A, B, dan C,

ABSTRACT
Nama Hageng GuritnoProgram of Studi Transnational LawTitle Navigation Aviation Services In Sectors A, B, and C In Indonesia Viewed From International Law. Unitary State of the Republic of Indonesia consists of 17,508 islands and 81,000 km2 of coastline, with sea area reaching 5.900.000km2. With the vastness of Indonesia, it will invite the threat of violations both in the sea and air region of Indonesia. Indonesia 39 s airspace over the islands of Riau and Natuna is known as Sectors A, B, and C managed by Singapore and Malaysia. Several takeover attempts have been made but have not succeeded. With Indonesia 39 s Navigation Services in Sectors A, B, and C to date still dominated by Singapore and Malaysia will have an impact on the political, economic, and defense of the country 39 s security. It is time for the Government to review the Regional Flight Information managed by Singapore and Malaysia and as a sovereign country Indonesia should be able to take over the Navigation Service in Sectors A, B and C from Singapore and Malaysia. In implementing Flight Information Region Sector A, B, and C, Indonesia is in conformity with the standards set by Annex 11 of the 1944 Chicago Convention and Indonesia has been able to manage the airspace of the country. Keywords Navigation Services Aviation, Flight Information Region, Sector A, B, and C "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>