Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172314 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raintung, Agalliso Mario
"Melangkah jauh dari persoalan seksualitas gay laki-laki, tulisan ini berusaha menganalisa penindasan dan penolakan yang dialami oleh gay laki-laki di Indonesia saat ini. Penindasan dan penolakan tersebut berlandaskan nilai-nilai heteronormativitas serta terwujud dalam sikap homonegativism yang membuat gay laki-laki di Indonesia terkungkung dan terasing ke ruang yang maya. Peneliti menempatkan fenomena kriminologi budaya sebagai sebuah tanda dalam dalam semiotika. Eksplorasi mitos berupa penguraian mitos dilakukan untuk mengetahui makna dibalik keterkungkungan dan keterasingan gay laki-laki. Pembentukan mitos baru dilakukan peneliti untuk memunculkan makna-makna tersembunyi dibalik penggunaan Twitter, Grindr, Jack’D, dan GROWLr oleh gay laki-laki. Dari hasil eksplorasi mitos ditemukan bahwa ada sebuah makna besari dibalik penggunaan ke-empat jejaring sosial tersebut oleh gay laki-laki; bahwa Twitter, Grindr, Jack’D, dan GROWLr digunakan oleh gay laki-laki karena mereka terasing dari ruang yang nyata ke dalam ruang maya. Dalam ke-empat jejaring sosial tersebut, gay laki-laki merasa lebih bebas dan membentuk sebuah ruang heterotopia. Kebebasan gay laki-laki di ruang heterotopia ternyata merupakan sebuah paradoks karena masyarakat terus mengawasi dengan kuasa-nya yang panoptic.

Moving faraway from the gay men sexuality itself, this research trying to analyzes the rejections and oppressions towards gay men. Those behaviors are based on the heteronormativity values that manifested in homonegativism acts-this Indonesia’s status quo marches gay men into a captivity circumstances and alienate them into the virtual space. Researcher sees this cultural criminology phenomenon as a sign in a semiotic world. To embrace the meaning behind those status quo, researcher intend to do some myth exploration by deciphering it as well as making a new myth to restore and notify the meaning that has been hiding behind the uses of Twitter, Grindr, Jack’D, and GROWLr by gay men. From the exploration, researcher found that there is a huge meaning behind the uses of those four social network sites by the gay men society; that Twitter, Grindr, Jack’D and GROWLr uses by gay men as the society alienates them from the physical space into the virtual space. On those four social network sites, gay men do feel freer as they also signify and occupy the heterotopian space. The freedom in heterotopian space apparently is just a paradox since they are always under the scrutiny of society's panoptic power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Argina Nur Mauludya
"Skripsi ini membahas mengenai resistensi gay laki-laki terhadap stigma dari masyarakat. Terdapat budaya yang dianggap menyimpang dan terstigma dalam hal ini adalah budaya homoseksual. Penelitian ini melakukan proses dekonstruksi dengan menggunakan konsep cultural criminology dalam ranah culture as crime untuk memberikan sebuah pemahaman baru mengenai isu homoseksual. Kemudian melakukan sebuah perlawanan dengan menggunakan konsep counterculture. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap lima narasumber. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa seluruh narasumber pernah mengalami distigma oleh masyarakat, lembaga representatif, keluarga, teman, dan diri sendiri. Selanjutnya, untuk melawan stigma tersebut mereka melakukan usaha counter-culture. Hal yang dilakukan adalah dengan mengakui identitas diri sebagai gay laki-laki serta bergabung dalam komunitas maupun organisasi sebagai bentuk penyesuaian terhadap stigma yang menimpa gay laki-laki serta memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa gay laki-laki sama seperti warga negara lainnya yang ingin diterima sebagai bagian dari warga negara tanpa stigma dan diskriminasi.

This mini thesis discussed about the resistance of gay men towards stigma coming from society. There is a culture that is considered deviate and stigmatized, which is homosexual culture. This research does deconstruction process using cultural criminology concept in the realm of culture as crime, in order to give a new comprehension towards homosexual issue. Furthermore their resistance is explained using counter-culture. This research uses qualitative method done by doing interview from five resource person. The result of this research concluded that all resource person had experienced stigma from society, representative institutions, family, friends, and even from themselves. In order to fight stigma, they use counter-culture as an effort, by acknowledging themselves as gay men and joining other community or organization to adjust the stigma given to them. This research also gives a comprehension for society that gay men just like any citizens from other countries want to be accepted as a citizen without being stigmatized or discriminated.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55079
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nawan Sumardiono
"Pandangan patriarki dalam norma heteronormatif menempatkan maskulinitas pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding femininitas. Akibatnya, laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin sering mendapatkan marginalisasi dan kriminalisasi yang membuat mereka kekurangan ruang aman untuk mengekspresikan diri. Studi ini mengeksplorasi Instagram sebagai ruang aman untuk mengekspresikan gender feminin bagi laki-laki gay karena memiliki karakteristik heterotopik. Michel Foucault mendeskripsikan heterotopia sebagai ruangan perbatasan antara distopia dan utopia, yaitu ruang berbeda/nondominan yang masih berhubungan dengan ruang dominan. Studi ini berargumen dalam ruang berbeda ini, laki-laki gay yang memiliki ekspresi gender tidak sesuai norma heteronormatif memperoleh rasa aman dari norma dominan untuk mengekspresikan diri dan memainkan peran tertentu. Menggunakan argumen Judith Butler tentang performativitas gender, studi ini akan menganalisis performa ekspresi gender laki-laki gay melalui tampilan karakter-karakter feminin di media sosial Instagram. Penelitian ini dilakukan dalam paradigma interpretif dengan strategi etnografi digital yang berfokus pada eksplorasi pengalaman hidup. Penelitian ini melibatkan subjek penelitian yang merupakan laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin dalam komunitas pecinta kontes kecantikan. Pengalaman marginalisasi yang laki-laki gay terima membuat mereka melakukan upaya aktif untuk membangun ruang aman mereka sendiri guna mengekspresikan femininitas. Maka berdasarkan studi ini, heterotopia bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan memerlukan upaya aktif penggunanya untuk membangun ruang sesuai kebutuhan personal. Sementara itu, performa femininitas mereka tampilkan dengan melakukan peniruan terhadap sosok idola. Tujuannya adalah supaya mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Maka, hal yang ingin mereka tiru pada dasarnya adalah penerimaan positif oleh kelompok dominan. Caranya dengan menampilkan ekspresi gender yang memiliki citra positif di masyarakat Indonesia dengan mengedepankan pertimbangan kekhasan lokal, seperti yang dilakukan oleh sosok idola mereka. Dalam studi ini, hubungan antara individu LGBTQ dengan sosok idola dijembatani oleh motivasi pribadi di mana mereka juga ingin memperoleh manfaat ekonomi. Dengan demikian, hubungan yang tercipta adalah parasitic relationship

The patriarchal view in heteronormative norms places masculinity in a higher social position than femininity. As a result, gay men with feminine gender expression often get marginalized and criminalized which makes them lack a safe space to express themselves. This study explores Instagram as a safe space to express feminine gender for gay men because it has heterotopic characteristics. Michel Foucault describes heterotopia as a border space between dystopia and utopia, which is a different/non-dominant space that is still related to the dominant space. This study argues that in this different space, gay men whose gender expression does not conform to heteronormative norms gain a sense of security from the dominant norm to express themselves and play certain roles. Using Judith Butler's argument about gender performativity, this study analyzes the performance of gay men's gender expression through the display of feminine characters through Instagram. This research was conducted in an interpretive paradigm with a digital ethnographic strategy that focuses on exploring life experiences. This research involves research subjects who are gay men with feminine gender expressions in a beauty pageant lover community. The experience of marginalization that gay men get makes them make an active effort to build their own safe space to express their femininity. So based on this study, heterotopia is not something given, but requires the user's active effort to build a space according to personal needs. Meanwhile, their performance of femininity is displayed by imitating idol figures. The goal is to make them more easily accepted by society. So, what they want to emulate is basically positive acceptance by the dominant group. This is done by displaying gender expressions that have a positive image in Indonesian society by prioritizing local uniqueness considerations, as their idol figures do. In this study, the relationship between LGBTQ individuals and idols is bridged by personal motivations where they also want to obtain economic benefits. Thus, the relationship created is a parasitic relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanalin Norfirdausi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gender role conflict dan psychological well-being pada laki-laki gay dewasa muda. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) dan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 99 orang laki-laki berusia 20-40 tahun yang memiliki orientasi seksual homoseksual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gender role conflict dan psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). Meskipun demikian, salah satu dimensi gender role conflict yaitu keterbatasan afeksi antar laki-laki menunjukkan korelasi negatif yang siginifikan dengan psychological well-being (R=-0,261; p<0,01.

This research is conducted to find the correlation between gender role conflict and psychological well-being among young adult gay men. This research used the Gender Role Conflict Scale Short Form (GRCS-SF) and Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB). The participants of this research are 99 homosexual self-identified men aged between 20-40 years old.
The result of this research showed that there is no significant correlation between gender role conflict and psychological well-being (R=-0,023; p>0,05). However, one of the gender role’s dimensions, restrictive affectionate behavior between men, showed that there is a significant negative correlation with psychological well-being (R=-0,261; p<0,01).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S57731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chempaka Syahbuddin
"ABSTRAK
Dalam satu tahun terakhir topik diskusi mengenai gay atau homoseksual
semakin terbuka diperbincangkan di masyarakat Jakarta. Tulisan-tulisan di media
cetak, acara-acara di media elektronik sudah semakin sering membahas tentang
kehidupan kaum homoseksual. Akhir tahun 2003, Indonesia dikejutkan dengan
film "Arisan" yang mengangkat masalah gay dalam kehidupan masyarakat
perkotaan. Dengan diluncurkan film "Arisan" keberanian untuk memproklamirkan
status gay dalam ruang public saat ini sudah dapat dianggap lumrah untuk
beberapa lingkup pekerjaan, seperti pekerjaan di bidang seni,hiburan dan gaya
hidup.
Namun untuk beberapa lingkungan yang masih cenderung konservatif, pasti
akan sulit bagi kaum gay untuk membuka status seksual mereka. Hal ini
dikarenakan menurut beberapa riset menunjukkan semakin sering kontak
interpersonal dengan gay men dan lesbian semakin berkurang prasangska individu heteroseksual terhadap lesbian dan gay men (Harmon, Herek & Capitano dalam
Nelson, 2002). Lingkungan Pegawai Negeri Sipil tentunya bisa dikategorikan
sebagai lingkungan kerja yang konservatif menjadi tempat dimana sedikit sekali
kontak interpersonal terhadap kaum homoseksual.
Menurut Boswell, dalam Nelson (2002), dengan orientasi dan perilaku
heteroseksual sebagai norma dalam masyarakat kontemporer, heteroseksual
dianggap sebagai kelompok yang tidak menarik perhatian. Sementara individu yang memiliki orientasi seksual pada gender yang sama dipandang sebagai wakil dari
kaum minoritas yang terpisah, sering menyulut ketidak setujuan, ketakutan atau
kebencian karena menunjukkan ketidak normalan dan.ketidak sehatan. Atas dasar uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai jarak sosial pada pegawai negeri sipil terhadap rekan kerja gay. Untuk
mendapatkan perbandingan yang jelas, penulis melakukan penelitian di dua bidang
pekerjaan yang bertolak belakang, yaitu PNS dan pegawai radio swasta di Jakarta.
Dengan menggunakan skala jarak sosial Bogardus yang telah dimodifikasi dan dianalisa dengan skala Guttman, penulis mendapatkan hasil bahwa jarak sosial pada PNS lebih besar dibanding pegawai radio.
Jarak sosial yang lebih besar ditunjukkan oleh PNS kemungkinan juga
dikarenakan belum tersosialisasi dengan baik kesetaraan gender dalam lingkungan
kerja mereka. Sebuah studi mengindikasikan individu yang kurang menerima
kesetaraan gender cenderung kurang toleran pada (dan lebih berprasangka
terhadap) gay men dan lesbian (Haddock dkk dalam Nelson, 2002)."
2004
S3369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dinda Sani
"Penelitian ini membahas mengenai pengalaman hidup lelaki gay dalam konteks Indonesia dalam membangun narasi resistensi dan kontestasi identitas demi melawan budaya kelompok dominan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis serta desain fenomenologi, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan lima lelaki gay yang tinggal di berbagai kota di Indonesia. Melalui Teori Ruang Ketiga yang dicetuskan Homi K. Bhabha, peneliti mampu mengeksplorasi bagaimana individu membangun narasi resistensi berbentuk mimikri untuk mengganggu relasi kuasa budaya dominan. Ada empat narasi resistensi yang dibangun melalui praktik komunikasi dalam ruang publik, yakni: edukasi, aktivisme, keterbukaan identitas seksual, serta keterlibatan dalam hubungan sesama jenis. Selain itu, peneliti juga mengeksplorasi bagaimana individu dapat menciptakan ruang ketiga dan hibriditas untuk mendestabilisasi identitasnya sebagai "gay" atau "warga Indonesia", dan justru menggabungkan keduanya dalam ruang intrapersonal. Identitas hibrid tersebut diciptakan melalui kontestasi hegemoni heteronormatif, norma agama, dan nasionalitas. Pada akhirnya, individu dapat merekonstruksi dan meredefinisi identitasnya melalui narasi resistensi terhadap budaya dominan, dimana mereka dapat menciptakan kekuasaannya sendiri di dalam ruang ketiga.

This research discusses the lived-experiences of Indonesian gay men and how they created resistance narratives and contested identities to counter the dominant group culture. Using a qualitative approach with a critical paradigm and phenomenology design, researcher conducted in-depth interviews with five gay men who live in various cities in Indonesia. Through employing Third Space Theory by Homi K. Bhabha, researcher manages to explore how individuals built the resistance narratives in the form of mimicry to disrupt the power dynamics of the dominant culture. There are four resistance narratives created through communication practices in the public space, which are: education, activism, openness about sexual orientation, and engagement in same-sex relationships. Aside from that, researcher also explores how Indonesian gay men can construct the third space and hybridity to destabilize their fixed identity as a "gay" or "Indonesian", and mix it instead in the intrapersonal space. Hybrid identity is constructed through the contestation of hegemonic heteronormativity, religious norms, and nationality. In the end, Indonesian gay men are able to reconstruct and redefine their identities through the resistance narratives against the dominant culture, where they can build their own power in the third space."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfia Sashi Kirana
"Studi ini bertujuan mengeksplorasi narasi dalam boys’ love yang diproduksi oleh lelaki gay dan bagaimana representasi gay yang dibuat oleh mereka digunakan untuk membongkar mitos homoseksualitas yang dibentuk oleh perempuan. Boys’ love merupakan genre dalam media populer dengan narasi yang berfokus pada hubungan romantis dan seksual antarlelaki. Sejak awal, genre ini dibuat oleh dan ditujukan kepada perempuan yang diasumsikan heteroseksual. Para perempuan mengembangkan mitos mengenai homoseksualitas lelaki dalam boys’ love, yang mendorong lelaki gay mengembangkan cerita sendiri dalam genre tersebut yang sesuai dengan pengalaman mereka. Dengan menggunakan model semiotika Barthes, studi menganalisis lima adegan dalam serial I Told Sunset About You yang dibuat oleh lelaki gay. Temuan penelitian menunjukkan bahwa lelaki gay membentuk mitos dalam boys’ love sebagai upaya membongkar mitos homosekualitas buatan perempuan, sekaligus untuk mengkritik struktur heteronormatif. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa boys’ love, sebagai salah satu bentuk komersialisasi budaya queer, memiliki potensi aktivisme bagi komunitas LGBTQ.

This study aims to explore the narrative in boys' love produced by gay men and how the gay representations made by them are used to dismantle myths of homosexuality formed by women. Boys' love is a genre in popular media with a narrative that focuses on romantic and sexual relationships between men. From the very beginning, this genre was created by and aimed at presumably heterosexual women. Women develop myths about male homosexuality in boys' love, which pushed gay men to develop their own stories within the genre that are relevant to their experiences. Using Barthes' semiotic model, this study analyzes five scenes from a series made by gay man called I Told Sunset About You. Research findings show that gay men form myths in boys' love to dismantle the myth of homosexuality made by women, as well as to criticize heteronormative structures. In addition, results also show that boys' love as a form of commercialization of queer culture has the potential for LGBTQ activism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Fajar Febrianto
"Melalui studi kasus kepada Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru, tujuan penelitian ini adalah menganalisis posisi gerakan laki-laki pro-feminis dalam konstelasi gerakan perempuan. Pendekatan penelitian kualitatif dilakukan melalui teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan analisis data sekunder. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivisme laki-laki yang tergabung dalam ALLB mengalami perdebatan karena dianggap berpotensi mendominasi agenda dan pesaing bagi gerakan perempuan. Strategi yang dibangun oleh ALLB, dengan mengalihkan tawaran pendanaan program kepada organisasi perempuan hingga menjadi forum komunikasi organisasi perempuan menunjukkan bentuk ALLB sebagai sistem pendukung. Politik refleksi atas maskulinitas hegemonik dilakukan untuk membangun citra baru laki-laki dan mengubah perilaku dan perspektif laki-laki.

Throughout case study on Aliansi Laki-Laki Baru Movement, the purpose of this study is to analyze pro-feminist movement's position in accordance to women's movement. The qualitative approach is applied through a detailed data collection which is in-depth interviewing and analyzing secondary data. This research shows that men's activism through ALLB is facing a deliberative situation where pro-feminism movement has been potentially seen as a threat to women's movement domination and as opposition of women's organization's funding. Certain strategies through diverting program funding offers to women's organizations until it becomes a communication forum for women's movements indicate ALLB's form as a supporting system. The politics of reflection of hegemonic masculinity is developed to build new images for men and changing men's attitude and perspective. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kiasatina
"Tubuh yang atletis dan dan berotot menjadi komponen yang penting bagi laki-laki gay. Laki-laki gay yang maskulin, menarik, dan berotot lebih disukai daripada laki-laki yang memilikiberat badan berlebih, lemah, dan tidak menarik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menjadi muscular atau berotot memainkan peran penting dalam kehidupan gay. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menjadi berotot memainkan peran penting dalam gagasan picking up atau mencari pasangan untuk laki-laki gay dengan tubuh yang serupa. Gay lebih menyukai laki-laki maskulin, dengan menggunakan istilah seperti manly, macho, dan maskulin. Adanya hegemoni maskulinitas melanggengkan dominasi laki-laki terhadap laki-laki dan juga menentukan bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, sehingga muncul pandangan pada akhirnyalaki-laki seharusnya menjadi maskulin terlepas dari statusnya sebagai gay. Pada akhirnya dalam hubungan gay seharusnya terjadi antar laki-laki dengan sesama laki-laki. Sehingga menjadi “laki- laki” merupakan suatu kebutuhan dalam dunia gay. Mereka harus mempertahankan tubuh yang berotot, keras, dan hipermaskulin untuk mempertahankan rasa maskulinitas dan tidak dikaitkan dengan femininitas. Pengaturan laki-laki gay yang ideal tidak hanya terjadi di antara laki-laki gay, tetapi juga dalam masyarakat heteroseksual yang lebih luas. Terdapat anggapan masyarakat dapatlebih menoleransi laki-laki gay asalkan mereka tidak menantang tatanan gender antara maskulin dan feminin. Penelitian ini melihat bagaimana laki-laki gay kelas menengah merawat tubuhnya dalam bentuk pembentukan otot, yang mana beperan untuk memunculkan maskulinitasnya. Laki- laki gay dapat bertahan di tengah lingkungan yang berpegang pada nilai-nilai heteronormatif dan memelihara keberadaannya di dalam dunia gaynya melalui identitas maskulin yang dimilikinya. Laki-laki gayseperti mengejar gambaran “maskulin” dengan mewujudkan citra tubuh yang ideal untuk dapat diterima baik oleh lingkungan gaynya maupun masyarakat pada umumnya. Namun kemudian gayakan dihadapkan dengan kekhawatiran akan citra tubuh sebagai konsekuensi dari gambaran tubuhyang berotot dan atletis yang ada pada budaya gay

Athletic and muscular body is an important component for gay men. Masculine, attractive, and muscular gay men are more preferred over overweight, weak, and unattractive men. This studyaims to explain how being muscular plays an important role in gay life. The results of this study indicate that being muscular plays an important role in the idea of picking up or finding a partner for gay men with similar bodies. Gay men prefer masculine men, using terms such as manly, “macho”, and masculine. The existence of hegemony masculinity perpetuates the dominance of men over men and also determines how men should be, Therefore, men should be masculine regardless of their status as gay. In the end, gay relationships should occur between men and fellowmen. So being a “man” is a necessity in the gay world. They must maintain a muscular, hard, andhypermasculine body to maintain a sense of masculinity and not be associated with femininity. The ideal gay male arrangement does not only occur among gay men, but also in the wider heterosexual society. There is an assumption that society can be more tolerant of gay men as longas they do not against the gender order between masculine and feminine. This study looks at how middle class gay men take care of their bodies in the form of muscle building, which plays a role in bringing out their masculinity. Gay men can survive in an environment that adheres to heteronormative valuesand maintain their existence in the gay world through their masculine identity. Gay men seem to pursue a "masculine" image by creating an ideal body image to be accepted both by their gay environment and by society in general. But then, gay men will be faced with body image concernsas a consequence of the muscular and athletic body image that exists in gay culture"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Comstock, Gary David
New York: Columbia University Press, 1991
345 Com v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>