Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93758 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rafi
"Pidana Uang Pengganti merupakan pidana tambahan yang terdapat dalam tindak pidana korupsi dimana mensyaratkan adanya pidana alternatif berupa pidana badan yakni pidana penjara pengganti. Dalam praktek yang terjadi di lapangan uang pengganti di bayarkan tidak diperhitungkan sebagai pengurang dari pidana penjara pengganti yang jelas jelas merupakan alternatif dari pidana uang pengganti. Ditinjau dari sudut keadilan hal ini sangat memberikan ketidakadilan bagi terpidana yang membayar uang pengganti sehingga akan menimbulkan respon bagi terpidana untuk enggan membayar uang pengganti. Hal ini tentu berseberangan dengan orientasi dari penindakan korupsi yakni untuk pengembalian aset yang hilang.
Penelitian merupakan penelitian yuridis normatif, dimana metode yang dilakukan oleh penulis adalah oleh kepustakaan dipadukan dengan peraturan terkait pelaksanaan putusan pengadilan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara kepada prkatisi hukum terkait untuk melihat bagaimana penerapannya di lapangan.
Sehingga disini penulis mendapatkan sebuah kesimpulan dimana pengurangan penjara pengganti adalah sebuah keniscayaan agar membuat keadilan dalam pelaksanaan pidana uang pengganti menjadi lebih adil dan mengakomodir kepentingan terpidana, selain itu demi tujuan yang lebih luas agar menjadi stimulan bagi terpidana agar mengembalikan aset negara yang sudah diambilnya. Namun tata cara penghitungan mengenai pengurangan penjara pengganti tersebut belum diatur oleh aturan manapun sehingga hal tersebutlah yang menjadi output dari penulisan skripsi ini.

Criminal Money Substitute an additional penalty contained in the corruption which requires the existence of an alternative form of criminal punishment of that is imprisonment replacement In practice that occurred in the field of money substitutes in pay is not counted as a reduction of imprisonment obvious successor is definitely an alternative of criminal restitution. Viewed from this angle give justice to convict injustice that pay compensation that would cause a response to convict for reluctant to pay compensation. This is certainly contrary to the orientation of the corruption prosecution for returns lost assets.
This research is normative juridical approach, wherein the method performed by the authors is the combined library with relevant regulations execution of court decisions. Moreover, I also conducted interviews to prkatisi relevant law to see how it is applied in the field.
So here I get a conclusion that a reduction in replacement prison is a necessity in order to make criminal justice in the implementation of restitution to be more fair and accommodate the interests of the convicted person, other than that for the sake of the broader objectives in order to be a stimulant for the convict in order to restore the state assets that have been taken. But the method of calculating the reduction of the prison is not regulated by the replacement of any rule so that's what's being output from the writing of this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Cakra Alam Pratama Razzad
"ABSTRAK
Meluasnya praktik korupsi telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar
terhadap pembangunan dan perekonomian suatu negara. Sedemikian besarnya
uang Negara yang dinikmati oleh pelaku tindak pidana korupsi telah
mengakibatkan dirampasnya hak-hak ekonomi dan masa depan rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bertujuan untuk
menghukum pelaku dengan hukuman penjara yang berat dan mengembalikan
kerugian negara yang terjadi akibat tindak pidana korupsi. Pasal 18 undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti. Banyak terpidana tidak membayar uang pengganti sehingga menjadi piutang Kejaksaan Agung sebesar Rp13,146 triliun. Tulisan dengan judul ?Mengoptimalkan Pengembalian Kerugian Negara melalui Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi? menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tulisan tersebut menjelaskan penegak hukum mempunyai andil dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Mekanisme pidana tambahan dilakukan dengan membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ke kas
negara, jika terpidana tidak membayar maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta
bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara yang telah dinyatakan
dalam putusan pengadilan. Penerapan pidana tambahan uang pengganti masih
memiliki banyak kendala. Dalam praktik, terpidana lebih memilih pidana penjara
pengganti yang rendah dibandingkan besarnya uang pengganti yang dijatuhkan, maka untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara penegak hukum dapat memperberat pidana penjara pengganti atau dengan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa pidana kurungan pengganti sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang negara

ABSTRACT
Widespread corruption has resulted in huge losses to the development and
economy of a country. The amount of money the State enjoyed by perpetrators of corruption have resulted take away from economic rights and the future of the people of Indonesia. Law No. 31 of 1999 which was then revised and amended by Law No. 20 of 2001 aims to punish with heavy prison and restore the losses that occur as a result of corruption. Article 18 legislation combating corruption arrange the return loss to the state through the imposition of criminal sanctions additional money substitutes. Many of the convict to pay compensation becomes receivable Attorney General of Rp13,146 trillion. Article entitled "Optimizing Returns Losses State through the imposition of criminal sanctions Extra Money Substitutes in Corruption" normative juridical research methods are qualitative. The article explained the law enforcers have a contribution to optimizing return on state losses. Additional criminal mechanism is done by paying replacement within one (1) month after the verdict had permanent legal power to the state treasury, if the convicted person does not pay, his property may be seized by the prosecutor and auctioned to cover the compensation. If possessions are not sufficient, then
sentenced to prison in the court judgment. Application of additional criminal
restitution money still has many obstacles. In practice, the convict would prefer
imprisonment substitute lower than the amount of compensation is imposed, it is to optimize the return loss of state law enforcement can aggravate imprisonment for a replacement or by simply dropping money substitutes without imprisonment for a replacement as a way to force the defendants reimburse the state"
2016
T47090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Widiyaningrum
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) dengan metode
kualitatif yang didasarkan pada sistem library research dan field research dalam pengumpulan
data. Selanjutnya data yang terkumpul diolah dan dituangkan dalam data deskriptif analisis.
Kebijakan kriminal merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang dapat
ditempuh dengan cara penal dan non penal. Kebijakan kriminal juga berlaku dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Terkait dengan kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi diterapkan ketentuan tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang
awalnya diatur dalam ketentuan lama Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dan kemudian diubah dengan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
diharapkan mampu untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi. Akan
tetapi, karena ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang terlalu singkat
sehingga sulit dilaksanakan. Hal tersebut tergambar dalam perkara Ahmad Dadang, Kamaludin,
Endang Suhendar dan Kunkun Kurniadi yang menjadi studi kasus dalam penulisan tesis ini.
Penggunaan sistem pembebanan pembayaran uang pengganti secara tanggung renteng
merupakan persoalan pertama. Istilah tanggung renteng tidak dikenal dalam ranah pidana dan
sebenarnya masuk dalam privatrecht. Disisi lain, efek penerapan pidana yang salah dan tidak
dipergunakannya yurisprudensi sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara
korupsi dengan penyertaan mengakibatkan terjadinya disparitas dalam putusan pidana tambahan
uang pengganti. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap menjadi sulit untuk dilaksanakan dimana upaya pengembalian kerugian negara tidak
dilaksanakan dengan benar dan maksimal karena hanya mampu membayar sebagian pidana
tambahan uang pengganti yang dijatuhkan. Upaya terakhir yang dilakukan adalah melakukan
penagihan uang pengganti dengan mengoptimalkan kinerja dari Jaksa Pengacara Negara.

ABSTRACT
This thesis is a study of normative legal (juridical-normative) with a qualitative method which is
based on the system of library research and field research in data collection. Furthermore, the
data collected is processed and reflected in the descriptive data analysis. Criminal policy is to
prevent and control crime can be reached by way of penal and non-penal. Criminal policy also
applies in the eradication of corruption. Associated with the loss of the country due to corruption
of the criminal provisions apply additional compensation payment which was originally set in
the old provisions of Article 34 letter c of Law No. 3 of 1971 and subsequently amended by
Article 18 letter b of Law No. 31 of 1999, is expected able to prevent or solve crimes of
corruption. However, due to additional penal provisions for compensation is too short so
difficult to implement. This is illustrated in the case of Ahmad Dadang, Kamaludin, Endang
Suhendar and Kunkun Kurniadi that became a case study in this thesis. The use of loading
system for compensation jointly and severally a first issue. The term joint liability is not
recognized in the criminal realm and actually go inside privatrecht. On the other hand, the effect
of the application of criminal wrong and failed to use jurisprudence as consideration for deciding
cases of corruption by inclusion resulted in a disparity in the criminal verdict additional
compensation. Execution of court decisions that have permanent legal force be difficult to
enforce the return loss of the state where the effort is not implemented properly and as only
afford to pay some extra money penalty imposed replacement. The last attempt to do is perform
billing reimbursed by optimizing the performance of the State Attorney."
2013
T35594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hibnu Nugroho
"ABSTRAK
Indonesia sebagai negara yang sedang giat membangun
membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain terjadi
kebocoran dana yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar sehingga sejak
lama Pemerintah berupaya memeranginya. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencegah
terjadinya korupsi yang makin merajalela. Undang-undang itu memberikan
ancaman yang berat bagi si pelaku.
Di samping pidana pokok dan denda yang berat, undang-undang
itu juga mengancam pelaku dengan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang diatur pasal 34 sub c. Dari hal-hal
tersebut di atas, pengkajian permasalahan yang timbul karenanya
menjadi penting yaitu sebagai berikut.
Pertama, dalam hal bagaimanakah pelaku tindak pidana korupsi
dijatuhi pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti.
Kedua, bagaimanakah fungsi dan kedudukan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pidana
pembayaran uang pengganti ini tidak dapat dilaksanakan.
Keempat, bagaimanakah prospek penerapan pidana pembayaran
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Dari penelitian yang dilakukan, terhadap permasalahan tersebut di
atas ternyata diketemukan fakta-fakta sebagai berikut.
a. Pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dijatuhkan
hakim pada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
besarnya uang pengganti ditentukan berdasarkan kerugian negara
yang timbul oleh karenanya. Namun, apabila selama proses
penyidikan, penuntutan dan peradilan terdakwa berhasil mengembalikannya,
hakim tidak akan menjatuhkannya. Selama tahun 1988 s.d.
1996 di Pengadilan Negeri Purwokerto hanya delapan perkara yang
dijatuhi pidana ini.
b. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti berfungsi melindungi
dan menyelamatkan dana pembangunan nasional dari kebocoran
akibat tindak pidana korupsi. Adapun kedudukannya adalah
sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif, sehingga hakim
bebas memilih untuk menjatuhkan atau tidak. c. Faktor-faktor penyebab tidak dapat dilaksanakan pidana ini adalah
adanya keragu-raguan penegak hukum untuk menerapkan dalam
kasus yang dihadapi karena kesulitan eksekusinya; belum adanya
ketentuan pelaksanaan setingkat undang-undang; adanya birokrasi
yang bertele-tele untuk dapat langsung menjerat pelaku.
d. Pembayaran uang pengganti mempunyai prospek yang sangat baik,
tetapi permasalahan essensiil yang menghadang harus dipecahkan
terlebih dahulu.
Sehifigga disarankan agar secara yuridis pembuat undang-undang
mengubah ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 34 sub C undangundang
Nomor 3 Tahun 1971 serta adanya.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya
bagi para jaksa (eksekutor) agar dapat mengantisipasi sedini mungkin
teijadinya pengalihan aset-aset pelaku tindak pidana korupsi sebelum
dilakukan penyitaan oleh negara."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayat Hidayat
"Penggunaan pidana perampasan kemerdekaan telah banyak mendapat kritik tajam terutama bila dikaitkan dengan ekses negatif dari pidana tersebut. Pengaruh negatif semakin nyata apabila terhadap pelaku tindak pidana dikenakan pidana penjara pendek. Berbagai negara mulai mengkaji adanya alternatif lain untuk menghindari pidana penjara pendek. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan sebagai pengganti dijatuhkannya pidana penjara pendek adalah pidana bersyarat.. Di Indonesia sendiri pidana penjara jangka pendek yang dijatuhkan dapat dihindari terhadap pelaku tindak pidana, hal ini dikarenakan di dalam KUHP dikenal adanya pidana alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara jangka pendek yaitu pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a sampai 14f KUHP.
Adapun tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat, pelaksanaan pengamatan, pengawasan dan pembimbingan terhadap terpidana bersyarat dan model atau jenis yang diharapkan dari pelaksanaan putusan pidana bersyarat.Berdasarkan tujuan penelitiannya, maka penelitian ini akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan mengandalkan data primer yang berupa wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu dengan wawancara mendalam yang dikelompokan dalam beberapa narasumber, yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Bogor, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bekasi, Kejaksaan Negeri Cibinong dan Kejaksaan Negeri Bogor, Petugas Balai Pemasyarakatan Pada Balai Pemasyarakatan Bogor dan guru besar hukum pidana.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terdiri dari terdakwa melakukan tindak pidana ringan, adanya perdamaian antara terdakwa dan korban, usia dan kondisi fisik terdakwa, adanya pertimbangan bahwa tindak pidana terjadi karena korban, terdakwa tidak tahu telah melakukan tindak pidana, terdakwa memiliki tanggung jawab dan tanggungan dan telah adanya pengembalian kerugian yang timbulkan dari perbuatan terdakwa baik seluruhnya maupun sebagian, tidak berjalannya putusan pidana bersyarat dengan baik pengamatan dan pengawasan oleh Hakim wasmat, pengawasan oleh Jaksa dan pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan, model diharapkan dari pidana bersyarat yaitu adanya koordinasi antara Hakim, Jaksa dan Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan putusan pidana bersyarat.
Disarankan kepada hakim dalam hal putusan pidana yang hukumannya di bawah 1 (satu) tahun lebih mengutmakan pidana bersyarat dari pada pidana penjara, dan dalam penjatuhan pidana bersyarat selain menetapkan syarat umum hakim juga diharapkan menetapkan syarat khusus terhadap terpidana bersyarat, kemudian disarankan adanya penyerahan terpidana bersyarat oleh Jaksa ke Balai Pemasyarakatan untuk dilakukan pembimbingan.

The use of criminal liberty deprivation has get many sharp criticisms especially when associated with the negatives excesses of the criminal. Negative influence is more noticeable when the criminal offence charged short imprisonment. Many countries began to examine the existence other alternatives to avoid short imprisonment. One of the alternatives that can be offered as a replacement for the charge of short imprisonment is a probation. In Indonesia short imprisonment which charged can be avoid against the criminal offenders, as in the Criminal Code recognized the existence of alternative criminal from criminal liberty deprivation or short imprisonment which is probation regulated in the section 14 a to 14 f of the Criminal Code (KUHP).
As for the purpose of the research is to find out the consideration of judges to charge probation, execution of observation, supervision and guidance to the convicted person and the model or type of execution of probation. Based on the purpose this research, this research will use the method of normative research. As for the approach use qualitative approach by relying on primary data which is interview. Interview conducted by interviewing in depth that are grouped within some sources, the Judge in Bekasi District Court, Cibinong District Court and Bogor District Court, State Attorney in Bekasi, State Prosecutor Cibinong and Bogor, State Correctional Officers In Correctional Hall Bogor and Professor of criminal law.
The result of the research found that considerations of judges in charging probation consist of defendant do light crime act, the existence of peace between the defendant and the victim, the age and physical condition of the defendant, there is consideration that the crime occurred because the victim, the defendant did not know had committed a criminal offence, the defendant has a responsibility and a dependent and returning loss which impact from the act of the defendant in whole part or some part, the verdict of probation not going well in observation and supervision by the the judge supervisory and observer, observer by attorney and guidance by the Correctional Hall, the model which expected from probation is coordination between Judges, Attorneys and Correctional Hall in the execution of the verdict of probation.
It is suggested to the Judge in that case the verdict of the criminal punishment under one year more prioriting probation than imprisonment, and in addition to charge probation beside apply general terms of Judges also expected to apply special terms to convicted of probation, then suggested submission convicted of probation by Attorney to Correctional Hall to give them guidance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29507
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daru Iqbal Mursid
"Korporasi didefinisikan sebagi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisi baik merupakan badan hukum maupn bukan badan hukum. Salah satu bentuk korporasi yang berbentuk badan hukum adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik memiliki peran yag sangat penting untuk menunjang kahidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, terdapat beberapa partai politik yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun secara normatif sistem hukum pidana Indonesia telah mengakui partai politik sebagai subjek hukum tindak pidana, namun sampai saat ini belum ada satupun partai politik yang dikenakan pertanggungjawaban pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, konsep pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada parta politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan faktor-faktor yang menghambat dikenakannya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penilitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan masalah peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan konseptual.

A corporation is defined as a collection of person and / or assets organized either as a legal entity and not a legal entity. One of corporation that defined as legal entity is a political party. In a democratic country, political parties have a very important role to support the life of the nation and the state. However, in Indonesia, there are several political parties allegedly involved in corruption and money laundering. Although Indonesian criminal justice system has acknowledged political parties as the subject of criminal law, yet to date no single political party has been subject to criminal responsibility, particularly in corruption and money laundering. In this research will be discussed about the concept of criminal liability for political parties that involved in corruption and money laundering crimes, the concept of punishment that can be imposed on political parties that involved in corruption and money laundering, and the inhibits factors for imposition of criminal liability of political parties that involved in corruption and money laundering. The research method used in this research is the method of juridical-normative method, and using statue approach, comparative approach, and conceptual approach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efi Laila Kholis
Depok: Solusi, 2010
345.023 EFI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Martono
"Penerapan Upaya paksa berupa penyitaan barang-barang yang diduga terkait suatu tindak pidana menimbulkan berbagai potensi kerugian bagi pihak-pihak yang barang / asetnya digunakan sebagai alat bukti proses peradilan. Potensi kerugian ditimbulkan karena hilangnya penguasaan atas hak kebendaan yang melekat pada barang yang disita untuk tujuan pembuktian dipengadilan. Penyitaan barang sebagai alat pembuktian tersebut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan ditentukan statusnya baik berupa pengembalian kepada pemilik awal benda itu disita atau bahkan diputuskan untuk dirampas sebagai upaya pengembalian kerugian negara, dengan alasan merupakan hasil dari tindak pidana dan hukuman tambahan bagi terpidana. Penyitaan dan perampasan barang tersebut sangat mungkin menempatkan pihak ketiga beriktikad baik menderita kerugian karena jangka waktu persidangan yang relatif lama hingga mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, terlebih jika benda itu diputuskan untuk dirampas. Sedangakan pengembalian barang terhadap pemilik awal barang-barang itu disita pun tidak dapat mengahapus kerugian yang diderita oleh pihak yang bersangkutan karena adanya penurunan nilai barang maupun potensi keuntungan investasi yang seharusnya dapat dihindari, sedangkan ketentuan hukum terkait perlindungan aset milik pihak ketiga beriktikad baik tidak secara jelas dan tegas mengatur bagaimana upaya hukum dapat dilakukan baik berupa praperadilan terhadap upaya paksa yang dilakukan maupun upaya keberatan terhadap putusan perampasan.

Implementation Efforts in the form of forced confiscation of goods suspected of a crime related cause a variety of potential harm to the parties that the goods / assets used as evidence in judicial proceedings . Potential losses incurred due to loss of control over property rights attached to the items seized for evidentiary purposes in court. Confiscation of goods as a means of proving that a court ruling which legally binding status will be determined either returns to the initial owner of the thing seized or even decided to deprived as indemnification of state efforts, the reason is the result of a criminal offense and additional penalties for convicted. Seizure and confiscation of goods is very likely to put third parties of good will suffer a loss due to a period of relatively long proceedings to obtain a legally binding decision, especially if it is decided to capture. While the return of goods to the initial owner of the goods - the goods seized were not able to erase losses suffered by the parties concerned because of the decrease in the value of the goods and the potential return on investment that should be avoided , while the legal provisions regarding the protection of assets belonging to third parties of good will are not clearly and strictly regulate how the remedy can be done either in the form of pretrial against forceful measures and efforts made objections against the decision of deprivation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Penjatuhan pidana dapat dilakukan karena adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
yang sudah diputus oleh putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Salah satu dari tindak pidana
tersebut yaitu tindak pidana korupsi yang diatur di dalam
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana khusus yang mempunyai
dampak yang besar pada keuangan negara. Keuangan negara
dapat dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana korupsi.
Dengan begitu tindak pidana korupsi dapat dianggap sebagai
kejahatan yang serius. Untuk itulah maka penghukuman yang
berat dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Salah satu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana korupsi yaitu hukuman pembayaran uang
pengganti. Dengan adanya hukuman pembayaran uang pengganti,
maka diharapkan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat
adanya suatu tindak pidana korupsi dapat dikembalikan lagi
oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dengan begitu, maka
posisi keuangan negara akan kembali lagi ke keadaan semula
seperti sebelum terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Seperti kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1344K/PID/2005, Abdullah Puteh dijatuhkan pidana yang salah
satunya yaitu berupa hukuman pembayaran uang pengganti.
Abdullah Puteh dijatuhkan pidana karena telah dianggap
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian
helicopter model MI-2 sehingga merugikan keuangan negara.
Dengan adanya penjatuhan pidana berupa hukuman pembayaran
uang pengganti terhadap Abdullah Puteh, maka kerugian
negara akibat perbuatan Abdullah Puteh tersebut dapat
dikembalikan sepenuhnya. Tata cara eksekusi hukuman
pembayaran uang pengganti pun harus diberi perhatian yang
lebih, sebab dengan adanya proses dan tata cara yang jelas,
maka akan mengurangi kebingungan aparat penegak hukum dalam
melaksanakan eksekusi hukuman pembayaran uang pengganti."
Universitas Indonesia, 2007
S22289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>