Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74788 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Farhani
"Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruhpengaruh lainnya. Mahkamah Agung dalam memberikan pemberatan dalam hukuman harus sesuai dengan nilai-nilai, norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal-hal yang menjadi dasar Mahkamah Agung dalam memperberat hukuman antara lain: UUD 1945 sebagai landasan hukum negara Indonesia, asas hukum yang adil yang merupakan dasar untuk memutus suatu perkara, dan kekuasaan kehakiman, yakni kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara terlepas dari pengaruh negara, pemerintah ataupun kekuasaan politik lainnya.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dikatakan demikian karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi. Maka dari itu diperlukan upaya hukum yang luar biasa pula untuk memberantas tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah dengan memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberatan hukuman terhadap terdakwa tindak pidana korupsi tidak semata-mata sebagai pembalasan yang tidak beralasan, pemberatan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini mempunyai beberapa tujuan antara lain: untuk menegakkan hukum dan keadilan, untuk kesejahteraan rakyat dan untuk pembaharuan hukum dan pembangunan hukum.

Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values, norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from the influence of the state, government or other political powers.
Corruption is an extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and security of the state and society, endanger the social and economic development of society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal development.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuris Yurisprudentia
"ABSTRAK
Skripsi ini mencari jawaban mengenai kriteria apa yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam menerapkan ketentuan Pasal 51 KUHP tentang melaksanakan perintah jabatan sebagai alasan penghapus pidana, pada Putusan No. 572 K/Pid/2003 tentang kasus korupsi dana non-budgeter bulog Akbar Tandjung. Kriteria dalam putusan tersebut selanjutnya akan dijadikan tolok ukur untuk menguji konsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan ketentuan Pasal 51 KUHP terhadap lima putusan lain yang sejenis. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer serta sekunder, melalui alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari hasil penelitian dan kajian disimpulkan bahwa dalam Putusan No. 572 K/Pid/2003, Mahkamah Agung menggunakan dua kriteria untuk menerapkan Pasal 51 KUHP, yaitu ldquo;perintah harus diberikan berdasarkan suatu jabatan kepada bawahan dalam hubungan kerja yang bersifat hukum publik rdquo;; dan ldquo;perintah harus merupakan perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang rdquo;. Akan tetapi dua kriteria tersebut tidak selalu konsisten diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam lima putusan lainnya, padahal konsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan Pasal 51 KUHP akan memudahkan dalam penerapan hukum dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

ABSTRACT
This thesis seeking the answer of the criteria that being used by the Supreme Court of Indonesia, when applying the article 51 of criminal code about execution of an official order as an exclusion of criminal punishment in corruption case of Bulog Non Budgeter Fund by Akbar Tandjung Case No 572 K Pid 2003 . The criteria will be used to examine the consistency of Indonesian Supreme Court when applying the article 51 of criminal code in another five 5 similar corruption cases. The methodology that being used in this thesis is juridical normative with secondary data that consist of primary and secondary law material and using literature review as the data collection instrument. The conclusion of this thesis are the Indonesian Supreme Court uses two criteria when applying the article 51 of criminal code in Akbar Tandjung case. The first criteria is the order must be given based on an ldquo office rdquo which there is a public legal relation between the order giver and receiver, and the second criteria is the order must be given by an official office. In the end, the Supreme Court rsquo s not always consistent in using this two criterias in another five case whereas the consistency of Indonesian Supreme Court when applying the article 51 of penal code will simplify the application of the law and fulfil the justness of the people."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Samuel Paruhum
"

Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai  Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan  peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.

 


This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ng Toni Mulia
"Tesis ini membahas tanggung jawab Komisaris terhadap Tindak Pidana Korupsi. Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam pengurus PT. Muncul masalah pada saat Komisaris PT. MMJA yang dipidana sembilan tahun penjara dan denda serta uang pengganti yang jika tidak dibayar digantikan dengan empat tahun penjara karena tindak pidana korupsi. Melihat adanya polemik tersebut, dilakukan penelitian apakah Komisaris tersebut bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Komisaris dapat bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi sepanjang Komisaris terbukti bersalah.

This thesis discusses Commissioner?s responsibility in Corruption Crime. In general a Commissioner has a duty of supervising and providing advice to Board of Directors in the management of a limited liability company (PT). There is a problem arising when a Commissioner of PT. MMJA who has been sentenced with nine years imprisonment and fine and also money in lieu of four years imprisonment if not paid, because of corruption crime. Knowing that there is a polemic, it is necessary to do a research to find out whether such Commissioner is responsible for the corruption crime or not. This research uses normative-juridical method namely through library research or secondary data. The result of research arrives at a conclusion that a Commissioner can be held responsible for corruption crime as long as he/she is proven guilty."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28994
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tiffany Valencya
"Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab Direksi terhadap tindak pidana korupsi. Direksi pada umumnya yang melakukan pengurusan pada perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama perseroan. Muncul masalah pada saat Direktur PT Indorent Prima Sarana yang dipidana atas perkara tindak pidana korupsi. Melihat adanya polemik tersebut, dilakukan penelitian apakah Direktur sendirian yang bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi tersebut atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak hanya Direksi yang bertanggung jawab tetapi perseroan juga dapat bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi sepanjang dapat dibuktikan perseroan mengetahuinya.

This thesis discusses Direstor?s responsibility in corruption crime. In general Director is an organ who running a company for company purposes and interest, in and out of court, for and on behalf of the company. There is a problem when Director of PT Indorent Prima Sarana being sentenced of corruption. Knowing that there is a polimic, it is necessary to do a research to find out whether such Director is responsible for the corruption crime or not. This research uses normative-juridical method namely through library research or secondary data. The result of research arrived a conclusion that not only Director who must take responsibility but company itself as long can be proved that company know about corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42176
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Hananta
"ABSTRAK
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan dan kekuatan mengikat Perma No. 2 Tahun 2012, serta berlakunya Perma tersebut dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan, khususnya dalam perkara pencurian ringan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode doktrinal/normatif. Perma No. 2 Tahun 2012 termasuk “peraturan perundang-undangan lain” yang bersifat otonom yang dibentuk berdasarkan kewenangan Mahkamah Agung. Agar implementasi Perma tersebut dapat efektif, diperlukan adanya sosialisasi dan koordinasi dengan penyidik dan penuntut umum. Untuk mencapai tujuan pemidanaan tersebut, pidana denda harus dikedepankan dengan membuat ketentuan agar pidana denda tersebut executable dan efektif serta diterapkan secara proporsional antara kemampuan terdakwa dengan kerugian korban.

ABSTRACT
The main issue of this research is the position and binding force of Indonesian Supreme Court Rule No. 02/2012, and the implementation of the rule to achieve the purpose of punishment in petty theft case. This is a descriptive research applying doctrinal/normative method. The rule is an “other descriptive categories of legislation” that have the quality as an autonomy rule which have been formed by the Supreme Court’s authorities. The effective implementation of this rule, requires a socialization and coordination with the investigators and prosecutors also. To achieve the purpose of the punishment, the fine penalties should be considered as important by making provisions that make the fine executable and effective, applied proportionally between the accused ability and the damage he caused to the victim."
Universitas Indonesia, 2013
T32702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Lestari
"Biaya Penanganan Perkara merupakan komponen dari Biaya Reaksi terhadap Korupsi. Konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara merupakan bagian dari kajian terhadap perhitungan Biaya Sosial Korupsi yang dilakukan pada tahun 2013. Pada penelitian ini, Penulis mengkaji kelayakan diterapkannya konsep pemidanaan ini sebagai bentuk pemidanaan di Indonesia, komponen dari biaya penanganan perkara, serta implementasinya apabila dilaksanakan pada kasus korupsi bantuan dana sosial Covid-19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara. Bentuk penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis-normatif yang didukung oleh hasil wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara layak untuk diterapkan karena merupakan implementasi dari teori relatif yang dikenal dalam hukum pidana sebagai suatu upaya pencegahan meningkatnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan konsep pemidanaan ini juga dapat menjadi jawaban atas persepsi masyarakat
terkait lemahnya efek penjeraan serta ketidakefektifan peraturan terkait tindak pidana
korupsi di Indonesia. Adapun komponen dari biaya penanganan perkara dalam kaitannya dengan biaya sosial korupsi yang ditemukan pada penelitian ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan pada tahap penyelidikan, tahapan penyidikan, hingga tahapan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara juga dapat dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk menutup atau mengembalikan lebih banyak kerugian keuangan negara dibanding bentuk pemidanaan lainnya. Terakhir, hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan kepada Terdakwa Juliari tidak setimpal jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menangani kasus tersebut serta dampak yang ditimbulkan oleh kasus tersebut. Dengan demikian, diperlukan pembaharuan terkait peraturan tentang tindak pidana korupsi untuk menerapkan konsep pemidanaan ini. Alternatif lain dari penerapan konsep pemidanaan ini adalah dengan meniru konsep pembebanan biaya perkara yang sudah lama digunakan di peradilan Indonesia.

Case Handling Fees are a component of Reaction Costs against Corruption. The concept of imposing criminal case handling fees is part of a study on the calculation of the Social Costs of Corruption conducted in 2013. In this study, the author examines the feasibility of applying this sentencing concept as a form of punishment in Indonesia, the components of case handling costs, and its implementation when implemented in cases the corruption of the Covid-19 social funding assistance carried out by the former Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia, Juliari P. Batubara. The form of research used in this research is juridical-normative which is supported by the results of interviews with informants. The results of this study indicate that the concept of imposing criminal charges for case handling is feasible to apply because it is an implementation of a relative
theory known in criminal law as an effort to prevent the increase in corruption crimes in Indonesia. In addition, the implementation of this sentencing concept can also be an answer to public perceptions regarding the weak deterrent effect and the ineffectiveness of regulations related to corruption in Indonesia. The components of case handling costs
in relation to the social costs of corruption found in this study are all costs incurred at the investigation stage, the investigation stage, to the stage of handing over files to the prosecutor's office. The concept of imposing criminal charges for handling cases can also be implemented as an effort to cover or return more state financial losses than other forms of punishment. Finally, the results of this study also show that the sanctions given to the
Defendant Juliari are not worth it when compared to the costs incurred by the state to handle the case and the impact caused by the case. Thus, it is necessary to update the regulations regarding criminal acts of corruption to implement this concept of punishment. Another alternative to the application of this sentencing concept is to imitate
the concept of imposing court fees which has long been used in Indonesian courts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endro Riski Erlazuardi
"ABSTRAK
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sangatlah diperlukan. Hanya saja
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang mengamanahkan sementara ini di ibu kota propinsi serta keberadaan
hakim ad hoc dalam sistem peradilan pidana di dalam Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian menurut penulis menimbulkan beberapa permasalahan.
Metode Penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris yang bersifat
deskriptif. Penelitian ini didasarkan pada telaah terhadap data sekunder yang akan
dipadu dengan hasil penelitian empirik yang berupa data primer. Hasil dari
penelitian ini didapatkan beberapa permasalahan yang muncul sehubungan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu : 1) besarnya biaya yang dikeluarkan dan
sulitnya proses penanganan perkara tindak pidana korupsi; 2) sulitnya merekrut
hakim ad hoc yang memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum
khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi serta kurang terbukanya sistem
rekrutmen hakim karier yang tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam
proses rekrutmen.

Abstract
The Court of Corruption is very needed. Act number 46 of 2009 ordered
establishment of The Court of Corruption, which meanwhile in the capital of the
province, as well as the presence of a judge ad hoc in the criminal justice system
which according to the author raises some problems. The research method used is
the normative-empirical. This research is based on a study of secondary data will
be combined with the empirical research results in the form of primary data. The
result of this research acquired some of the issues that appears with the enactment
of Act number 46 of 2009 which are : 1) the magnitude of the cost and difficulty
of the case handling process of the criminal acts of corruption; 2 ) the difficulty to
recruiting judge ad hoc who has knowledge and ability in the law of especially
corruption eradication, and less fair system recruitment careers judge not
involving public participation in the process of recruitment"
2012
T30271
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hangkoso Satrio W
"ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi sekarang ini disertai dengan upaya-upaya
menyembunyikan aset hasil tindak pidana dengan menggunakan mekanisme
pencucian uang. Paradigma baru dalam memecahkan persoalan pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan rezim anti pencucian uang
yang lebih memfokuskan pada perampasan aset hasil kejahatan, karena aset hasil
kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana dan juga titik
terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Perampasan aset di
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih sempit
jangkauannya dibandingkan dengan Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih berfokus kepada asalusul
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Oleh karena itu
untuk memaksimalkan perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi lebih baik
juga disertakan ketentuan tindak pidana pencucian uang

ABSTRACT
In corruption case at this time is also followed by the effort to hide proceeds of
crime with money laundering mechanisms. The new paradigm to eradicate
corruption is by using anti-money laundering regime which focuses to confiscate
proceeds of crime, because of the proceeds of crime is a lifeblood of the crime
and also the weakest point of a chain of crime which most easily to be detected.
Asset forfeiture in eradication corruption act is narrower than prevention and
combating money laundering act which more focus in the origin of the asset that
suspected as proceeds of crime. Therefore to maximize the asset forfeiture in
corruption case would be better to use the money laundering law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43852
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>