Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"ndonesian children learn the rules governing attitudes and utterances--the politeness strategies--in their community through the process language acquisition. They use mainly the positive politeness. It it found that Indonesian preschoolers use different politeness strategies towards different participants at school, based on age, social distance, and authority scales for expressing their requests."
LIND 27:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Asdina Ratnawati
"ABSTRAK
Menurut pengamatan yang penulis lakukan, kesulitan untuk Menguasi bunyi-bunyi bahasa asing dialami pula oleh para siswa pada sebuah lembaga kurus di Jakarta. Kesulitan timbul karena beberapa bunyi bahasa dalam Bahasa Inggris tidak terdapat dalam Bahasa Indonesia. Sebagai Pemecahannya, seringkali mereka mengganti bunyi-bunyi bahasa tersebut. Selain itu, mereka kadang kala juga menghilangkan bunyi-bunyi bahasa Inggris tertentu, atau menambahkan bunyi-bunyi bahasa yang lain pada sebuah kata. Gejala ini umumnya terlihat bila mereka menghadapi clusters. Dari pengamatan sekilas, penulis mengasumsikan bahwa kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dapat diterangkan dengan teori yang diajukan Foss dan Hakes mengenai kesulitan mendengarkan bunyi-bunyi bahasa asing. Penelitian akan difokuskan pada persepsi dan pelafalan bunyi-bunyi bahasa Inggris. Kedua hal tersebut kemudian dijadikan bahan perbandingan. Dengan demikian dapat disimpulkan apakah kesalahan yang mereka lakukan menyangkut fonetik atau fonologi. Setelah mengadakan penelitian, penulis akan mencoba merumuskan persepsi para objek penelitian terhadap bunyi-bunyi bahasa Inggris yang didapat melalui serangkaian pengujian. Selain itu, penulis Juga akan meneliti kesalahan mereka dalam melafalkan bunyi-bunyi bahasa Inggris. Dalam pembahasan tersebut akan dibicarakan pula penyebab timbulnya kesulitan penguasaan dan pelafalan pada para obyek penelitian. Penelitian ini hanya akan difokuskan pada fonem-fonem segmental. Sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan, para siswa tidak memperoleh pelajaran mengenal perbedaan makna yang timbul karena adanya fonem suprasegmental. Bab-bab berikut dalam skripsi ini akan membahas penelitian terhadap kesulitan dalam penguasaan bunyi-bunyi bahasa Inggris. Kesimpulan, pada bab terakhir, akan menjelaskan apakah landasan teori Foss dan Hakes memang dapat dipakai untuk membahas masalah tersebut.

"
1989
S14155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Suharjanto
"Gambar yang pada awalnya merupakan hasil dari kegiatan mengisi waktu luang, mengalami perkembangan bentuk menjadi sebuah media komunikasi. Salah satu bentuk media komunikasi yang memanfaatkan unsur gambar adalah kartun. Sebagai sebuah media komunikasi, kartun memiliki fungsi menyindir dan memperingatkan. Sindiran dan peringatan yang terdapat pada kartun dapat diartikan sebagai sebuah kritik. Menyindir, memperingatkan, dan mengkritik memiliki kesamaan unsur tidak menghargai hal yang dimiliki oleh pihak yang menjadi objek. Dengan melakukan sebuah kritik, seseorang telah melakukan tindakan yang mengancam citra pihak lain. Citra adalah harga diri yang dimiliki seseorang. Dengan melakukan tindak mengancam citra, seseorang telah melakukan tindakan yang tidak santun. Kesantunan yang dimaksud adalah tindak menunjukkan kepedulian terhadap citra orang lain. Dalam menyampaikan kritik di dalam kartunnya, seorang kartunis harus dapat membuat agar kritik yang disampaikannya dapat diterima dan tidak membuat pembacanya marah. Kartunis harus menggunakan strategi yang tepat pada kartun yang dihasilkannya. Pernilihan kartun Lagak Jakarta seri Tren & Perilaku sebagai objek penelitian didasarkan objek kritik yang dituju. Kartun ini merupakan kartun sosial yang mengkritik kehidupan sehari-hari masyarakat. Tema yang diangkat merupakan tema-tema yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Pihak yang menjadi objek kritik merupakan masyarat, yang mungkin juga pembaca kartun ini. Karena itu, menarik dilihat bagaimana kartunis mensiasati agar ancaman yang dilakukannya tidak membuat pembaca marah atau tersinggung. Strategi kesantunan yang ditemukan pada objek penelitian merupakan strategi-strategi yang memiliki resiko kerusakan muka yang besar. keadaan itu tentunya dapat membuat pembaca merasa tersinggung atau marah. Namun berdasarkan data-data yang ditemukan, ancaman yang terdapat pada sebuah kartun merupakan sebuah hal yang santun. Hal ini dikarenakan fungsi yang terdapat pada kartun. Karena berfungsi untuk menyindir dan memperingatkan, kritik yang terdapat pada kartun diterima sebagai sesuatu yang sopan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Luthfi Meidianto
"Penelitian ini membahas hirarki kesantunan tindak tutur direktif dalam film berbahasa Jawa berjudul Anak Lanang. Pemilihan topik penelitian ini dilatarbelakangi tidak ditemukannya ujaran direktif berupa rumusan saran dalam film tersebut, padahal ujaran tersebut memiliki tingkat kesantunan tertinggi dalam hirarki kesantunan ujaran direktif bahasa Jawa, sebagaimana diteliti oleh Gunarwan (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Gunarwan menggunakan orang dewasa sebagai responden. Oleh karena itu, hasilnya menunjukkan penilaian kesantunan oleh orang dewasa. Sementara itu, film Anak Lanang memiliki tokoh-tokoh anak-anak, sehingga ada kemungkinan apa yang menjadi penilaian orang dewasa tidak sama dengan yang tergambar dalam percakapan anak-anak. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hirarki kesantunan tindak tutur direktif dengan penutur anak-anak. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan sasaran sebuah kasus pemakaian bahasa (studi kasus) dan bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik. Sumber data dari penelitian ini berupa data lisan, yaitu Film anak-anak berjudul Anak Lanang. Hasil penelitian ini menemukan bahwa performatif eksplisit dan modus imperative adalah dua bentuk yang paling banyak digunakan oleh anak-anak. Sementara itu, rumusan saran sama sekali tidak dipakai oleh anak-anak. Kesimpulannya, anak-anak memiliki cara yang berbeda dengan orang dewasa dalam menyampaikan tuturan direktifnya, sehingga hirarki kesopanannya juga berbeda.

This study describes the hierarchy of Javanese politeness speech acts towards children's speakers with a pragmatic approach. The speech acts uttered by children depicted in the film Anak Lanang have several functions or purposes when spoken to speech partners, such as peers and older people. When a speech act is uttered by the speaker, various responses will be present, such as approval, rejection, or conflict from the hearer. Therefore, this study aims to find out whether there is a hierarchy of politeness speech acts towards children's speakers. A pragmatic approach is used to determine the grouping of directive speech acts. Previous research that has been conducted by Asim Gunarwan Gunarwan (2007) also serves as the basis for finding out whether the response to the hierarchical assessment of politeness speech acts between adults and children is different or the same. The results of this study found that the factors that influence the assessment of the hierarchy of politeness are cultural conditions and norms in a place. Other factors that can influence are age, relationships, and social conditions of the speakers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Meri Sa`adah
"Penelitian mengenai kesantunan imperatif bahasa Jepang bertujuan untuk mengamati serta memerikan bentuk-bentuk ujaran dan strategi kesantunan yang digunakan untuk menyampaikan pesan imperatif di dalam bahasa Jepang. Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah teori Austin (1962) mengenai tindak tutur, teori Grice (1975) mengenai implikatur percakapan, teori Kindaichi Haruhiko (1989) mengenai jenis kalimat dalam bahasa Jepang, teori Leech (1980, 1983) mengenai prinsip kesantunan, serta teori Brown dan Levinson (1978) tentang kesantunan berbahasa. Korpus penelitian berupa komik bahasa Jepang yang berjudul Yasha karya Yoshida Akimi dan Konjaku Monogatari (Ge) karya Mizuki Shigeru. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data ujaran imperatif yang muncul di dalam komik yang kemudian diklasifikasi berdasarkan bentuk ujarannya. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap aspek-aspek di luar kebahasaan dan strategi kesantunan yang digunakan dalam masing-masing ujaran tersebut. Dari analisis data penelitian ini diperoleh temuan bahwa suatu pesan imperatif (perintah) tidak hanya dapat disampaikan dengan menggunakan ujaran dalam bentuk imperatif, tetapi juga dapat disampaikan dengan menggunakan ujaran dalam bentuk deklaratif dan deklaratif-transmisif. Pilihan strategi kesantunan yang digunakan dalam melakukan perintah adalah dengan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung suatu perintah dituturkan dengan menggunakan ujaran imperatif; sedangkan tindak tutur tidak langsung dituturkan dengan menggunakan ujaran deklaratif dan ujaran deklaratiftransmisif. Temuan lain yang menarik adalah penutur berbahasa Jepang cenderung memilih menggunakan tindak tutur tidak langsung dalam melakukan suatu perintah. Dalam analisis terlihat juga bahwa penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung memiliki kebebasan untuk memilih ujaran mana yang ingin digunakan dalam memerintah; sedangkan penutur yang berkedudukan lebih rendah justru sebaliknya. Walaupun demikian, ada kalanya pada situasi yang memerlukan keefisiensian ujaran (pada saat mendesak/darurat) penutur yang memiliki kedudukan lebih rendah dapat dengan bebas memilih ujaran yang ingin digunakan (bahkan ujaran yang pada saat normal tidak umum digunakan)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13740
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marina Augustina Isakh
"Age Factor in Learning Dutch: A Psycholinguistics Study About Children in Comparison with AdultsThis study is focused on age factor in learning Dutch by children age 9 - 14 years en adults age 18 - 21 years. The problems that are analyzed are not only those of learning Dutch as a foreign language (L2), but also psychological problems. For that reason the study of age factor in learning Dutch as L2 is related with a psychological study of children in comparison with adults.
To analyze the learning of Dutch as a L2 by children and adults is used an experimental method of analysis: observation in artificial condition, in which the condition is created by the analyst. Thus, the experimental analysis is an analysis that is made by manipulation and control of the objects of the analysis. The subject of the analysis is determined by the use of Dutch grammatical rules as Verb Final en Inversie, because these are grammatical characteristics of the Dutch language that are not used in other foreign languages.
The study find out that the adults have better results than the children on behalf of the way of learning the language, which method is used in learning L2, for example cognitive maturity and cognitive activity. Also adults are more aware in correcting mistakes in L2."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T3152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngusman Abdul Manaf
"This study is aimed at describing and explaining the variation of the realization of politeness strategies on the directive in the Indonesian language produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The sources of the data are Indonesian speakers who originally belong to the Minangkabau ethnic group. In addition, there are also data taken from documents. The data consist of utterances performing directives in Indonesian produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The data were collected using survey questionnaire, interview, participant observation and from documentary sources. The main method of data analysis was quantitative and supported by qualitative analysis.
The results of the study reveal that the cues showing the phenomena are as follows. In the realization of directives in Indonesian, the respondent uses the various types of utterances that can be grouped into five categories as suggested by Brown and Levinson (1987). The frequency distribution among categories is different. The five main speech act categories are (1) bald on record, (2) on record with redressive action using positive politeness, (3) on record with redressive action using negative politeness, (4) off record, and (5) not doing the face-threatening act (FTA).
The use of speech strategies is in-line with the degree of politeness, namely the awareness to show that the speaker saves the face of the participants, specifically the face of the addressee from the acts threatening his face. The respondents of this study (possibly the other speakers as well) minimize the threat to participants' face by mitigating the illocutionary force of the utterance. Basically, they mitigate the illocutionary force in two ways, namely (1) minimizing the distance between speaker and addressee (in-group ness) and (2) maximizing the distance between speaker and addressee (distancing).
The speaker chooses a certain speech strategy based on the potential weight of the threat to the participants face. The weight of the threat is calculated on the basis of two main parameters, namely (1) degree of power differences between speaker and addressee (+ P or -P) and (2) degree of solidarity between speaker and addressee (+S or -S). If the power of the speaker is higher than that of the addressee and the solidarity between the speaker and the addressee is low and other factors remain constant, the weight of the face threat is high. On the contrary, if the power of the speaker is lower than that of the addressee and the degree of solidarity is high while the other factors remain constant, the weight of the face threat is low. If the weight of the face threat is high, the respondents tend to choose more indirect speech strategies. On the other hand, if the face threat is low, the participants tend to choose the more direct speech strategies.
Among the five main speech strategies, the strategy on record with redressive action using negative politeness is the most frequently used for realizing directive in Indonesian. The plausible explanation for this choice is the fact that this strategy contains medium level indirectness; the utterances produced are not too direct as in bald on record, nor is it too indirect as in hints. Bald on record strategy produces a strong illocutionary force that can be perceived by the addressee as imperative. On the other hand, hints are considered as utterances, which are so indirect that the addressee as irony can perceive them. Both imperative and irony might threaten the addressee's face. The selection of speech strategies in the realization of directive speech act in Indonesian by the respondents is influenced by the use of the Minangkabau language that recognizes four types of register so-called longgam kato non ampek (four types of Minangkabau register which functions to differ the level of politeness). The influence of langgam kato nary ampek on the selection of speech strategy can clearly be observed in the use of address terms and the use of indirect speech acts.
The findings show that there are inter-group differences within the Minangkabau ethnic community in Padang in the realization of directives on the basis of age group and social class, but the difference is not significant in terms of gender variable. Respondents who are younger and those who come from lower social class use indirect speech strategies more frequently than those who are older or those who come from the higher social class. The younger respondents and those who come from the lower social class possess higher awareness to save the participants' face, specifically the addressee's face as compared to the older respondents and those who come from the higher social class. The tendency to use indirect speech act in the realization of directives by the younger respondents and those who come from the lower social class results from their evaluation that more indirect speech strategies tend to have a lower probability to threaten the face than direct speech acts.
The differences in the realization of speech strategies by the respondents on the basis of age group and social class show that there is an on-going shift in the way of viewing the politeness principle by Minangkabau ethnic group in Padang. Politeness principle, which used to be adhered to by minimizing the social distance between the speaker and the addressee (in-group ness), is slowly replaced by the politeness principle which is observed by maximizing the social distance between the speaker and the addressee (distancing). The shift is hypothesized to result from the fact that the younger respondents and those from the lower social class feel unsafe when they use on record with redressive action using positive politeness strategy, whose basic principle is to minimize the social distance between the speaker and the addressee."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D534
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Kunjana Rahardi
Jakarta : Erlangga , 2002
401.45 KUN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>