Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176313 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ono Rahayu Hadi
"Effective Performance Time (EPT) merupakan salah satu indikator performa seorang penerbang terhadap bahaya fisik tekanan udara rendah khususnya hipoksia. Selain karena faktor ketinggian, kecepatan naik, lamanya di ketinggian, suhu udara dan kegiatan fisik di ketinggian terdapat beberapa faktor fisiologis yang mungkin dapat mempengaruhi EPT. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi penelitian uji korelasi jenis pra-eksperimental yang melibatkan 106 penerbang sebagai subyek penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder hasil Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) berupa penilaian EPT dan Medical Examination (Medex) seperti Umur, IMT, VO₂max, Hb, GDP, FVC dan FEV1. Hasil penelitian secara statistik menunjukan bahwa ada korelasi positif antara EPT dengan VO2 max (r = 0,400, p = 0,000), Hb (r = 0,271, p = 0,005) dan FVC (r = 0,233, p = 0,016) dan berkorelasi negatif dengan Umur (r = -0,319, p = 0,001), IMT (r = -0,302, p = 0,002), sedangkan GDP (r = -0,186, p = 0,056) dan FEV1 (r = 0,106, p = 0,279) secara statistik tidak memiliki korelasi dengan EPT. Promosi kesehatan menjadi salah satu program untuk menjaga faktor-faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi EPT.

Effective Performance Time (EPT) is one indicator of the performance of a pilot to hypobaric low pressure hazard particularly hypoxia. In particular hazard because of the altitude, rate of ascent, the length in altitude, temperature and physical activity at the altitude, there are several physiological factors that may affect the EPT. This is analytical research with design study kind of pre-experimental correlation test involving 106 pilot as research subjects. All of the data collected in these study are derived from secondary data in the form of assessment results ILA Effective Performance Time and Medex such as age, BMI, VO₂ max, Hb, GDP, FVC and FEV1. The result of statistical research shows that there is a positive correlation between EPT with VO2 max (r = 0.400, p = 0,000), hemoglobin (r = 0.271, p = 0,005) and FVC (r = 0.233, p = 0,016) and negatively correlated with age (r = -0.319, p = 0,001), BMI (r = -0.302, p = 0,002), while the GDP (r = -0.186, p = 0,056) and FEV1 (r = 0.106, p = 0,279) were not statistically correlated with EPT. Health promotion program to be one factor for maintaining the physiological factors that can affect the EPT.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S60312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mintoro Sumego
"LATAR BELAKANG :
Seiring dengan perkembangan teknologi pesawat terbang maka helm penerbang sebagai alat pelindung kepala di penerbangan juga mengalami perkembangan. Agar helm penerbang dapat berfungsi dengan sempurna, maka ukuran helm harus benar-benar cocok dan pas dengan ukuran kepala awak pesawat yang menggunakannya, untuk itu perlu adanya ukuran sefalometri pada calon penerbang TNI AU untuk mendapatkan ukuran helm penerbang yang optimal.
METODE :
Dilakukan pengukuran sefalometri panjang kepala, lebar kepala dan tinggi pupil-vertex dengan menggunakan alat ukur Antropometer Martin pada 153 calon siswa penerbang pria TNI AU tahun 2003. Hasil pengukuran tersebut dicocokkan dengan helm penerbang yang ada saat ini. Untuk menilai standar kecocokkan helm penerbang digunakan kualitas kecocokkan helm penerbang dari Royal Air Force (Inggris).
HASIL :
Ukuran sefalometri calon siswa penerbang TNI AU tahun 2003 panjang kepala 18,8 cm (SD 0,8), lebar kepala 15,2 cm (SD 0,7) dan tinggi pupil-vertex 10,1 cm (SD 06). Tidak ada korelasi antara ukuran sefalometri dengan tinggi badan, berat badan,usia dan status gizi menurut indeks massa tubuh pada calon siswa penerbang TNI AU (r<0,25), helm penerbang yang saat ini digunakan jika dinilai dengan standar kecocokan dari RAF dan dihubungkan dengan ukuran sefalometri calon penerbang TNI AU, maka 3% helm penerbang memenuhi kriteria baik sekali, 36% kriteria baik 16% kriteria cukup dan 46% tidak memenuhi kriteria standar kecocokkan helm penerbang menurut RAF.
SIMPULAN :
Berdasarkan data sefalometri dan standar kecocokkan helm penerbang RAF maka pengadaan helm penerbang di Sekolah Penerbang TNI AU perlu direvisi untuk mendapatkan ukuran helm penerbang yang optimal.

BACKGROUND :
In line with the development of the Jet plane technology, the flight helmet as a head protection in aviation has also been developing. In making the function of a flight helmet as perfect as we want it to be, the size of the helmet should be fix and proper with the size of pilot's head, we need a cephalometry measurement from Indonesian Air Force's candidate students, in order to get the optimum size of a flight helmet.
METHODS :
Doing the cephalometry measurement head length, head breadth and pupil-vertex height by using Martin Anthrop meter apparatus on 153 Indonesian Air force candidate students, than the subject has to go for a fitting the Indonesian Air force's helmet. To make point for the quality of fit the flight helmet is using the Royal Air force's quality of fit.
RESULTS :
The cephalometry measurement candidate students of Indonesian Air Force head length 18,8 cm (± 0,8), head breadth 15,2 cm (± 0,7) and pupil-vertex height 10,1 cm (± 0,6). No correlation was found between the cephalometry measurement with weight, height, age and Mass Body Index of the Indonesian Air Force's candidate students (r<0,25),If Indonesian flight helmet made in by USAF make point with quality of fit flight helmet is using the Royal Air force's quality of fit and correlation with cephalometry candidate students pilot's Indonesian Air Force's are 3% excellent fit, 36% good fit, 16% adequate fit and 46% quality of fit are bad.
CONCLUTION :
Based on the cephalometry data and quality of fit from Royal Air Force flight helmet, than the Indonesian Air force school's flight helmet need several revisions on request to get the optimum size of a flight helmets."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyawung Tyas Sesotyo Febriyanti
"Penerbang pesawat tempur terpajan oleh bising yang sangat tinggi dan beresiko terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL) atau Tuli Akibat Bising. NIHL merupakan interaksi yang kompleks antara lingkungan dan faktor intrinsik pada penerbang sendiri. Saat ini belum banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya NIHL pada penerbang pesawat militer. Tujuan dari penelitian case control ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NIHL pada penerbang pesawat tempur. Penelitian ini melibatkan 60 penerbang yang menderita NIHL sebagai kasus dan 60 penerbang yang tidak menderita NIHL diikutsertakan dalam kontrol yang melakukan pemeriksaan fisik di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) Saryanto tahun 2010-2014. Data yang diperoleh dari data rekam medis yaitu usia, masa kerja, tekanan darah, kadar kolesterol total dan kadar gula darah. Pada model akhir terlihat bahwa NIHL berkaitan dengan kadar gula darah dan kadar kolesterol. subyek dengan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 4,23 kali lipat terjadinya NIHL [Odds Rasio (OR) = 4,23; 95% interval kepercayaan1,266-14,137; p=0,009] dan subyek dengan kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 2,83 kali lipat terjadinya NIHL [(OR) =2,83; 95% interval kepercayaan 1,313-6.134; p=0,008]. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kadar gula darah dan kadar koleseterol yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya NIHL.

Military aircraft pilots exposed to high intensity and had increased to be noise-Iinduced hearing loss (NIHL). NIHL is a complex condition infuenced by environmental and intrinsic factor. Currently there was a few research about the factors that affected NIHL. It is beneficiary to study several risk related NIHL. This study was a case-control. Case was a military pilot who diagnosed NIHL. A case was matched by one controlwho free from NIHL. Data was extracted from available medical records who performed medical check up during 2010 through 2014 at Saryanto Institute for Aviation and Aerospace Medicine (Lakespra) Jakarta. There were 120 medical record available for this study. 60 cases and 60 control were identified. The final model reveals that NIHL was related to glucose level and total cholesterol level. Those who had fasting glucose level 126 mg/dl or high had a increased to be NIHL 4,23times [Odds Ratio (ORa)= 4,23; 95% Convidence Interval (CI)1,266-14,137;p=0,009] and subject with total cholesterol level 200 mg/dl or high had increased to be NIHL 2,83 .times [(OR)=2,83; 95% CI 1,313-6.134; p=0,008]. Conclusion : increased glucose level and cholesterol level had a increased to be NIHL.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Arini
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian
Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen terutama mata dan sel otak dengan kepekaan paling tinggi pada kortek dan retina. Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya, salah satunya adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat.
Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras talon penerbang militer TNI AU/PSDP. Disain penelitian adalah kuasi eksperimen pre dan post tes, sedangkan jumlah subyek yang diteliti adalah 94 calon penerbang militer TNI AU/PSDP dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR), yang merupakan total sampel dari calon penerbang militer yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi.
Hasil Penelitian : ditemukan perbedaan bermakna dengan uji T berpasangan, pada variabel Sa02, nadi dan sensitivitas kontras (SK) pada ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis silang didapatkan hubungan yang bermakna pada kadar Rb dengan sensitivitas kontras (SK) di ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan : Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras.

ABSTRACT
The Influence of Hypoxia on Contrast Sensitivity among Military Pilot Candidates at 18.000 ft in Lakespra Saryanto, Jakarta 1997
Human being is a very sensitive to the lack of oxygen especially eyes cells and brain. Cortex and retina are the most sensitive. Vision has an important role for the pilot because visual malfunction will cause a fatal accident. One mayor aspect which influenced by hypoxia is sensitivity contrast. A Pilot needs good contrast sensibility of his eyes because he must have a capability identifying the target fastly and accurately.
METHODE
The objective of this research was to identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity of pilot candidates at 18.000 ft simulated altitude. The design of this study is a quasi experiment, a pre and post test at ground level and at simulated 18.000 ft. The total sample was 94 respondents, are Military Pilot candidates which come to Lakespra Saryanto for aerophysiological training exercise.
RESULT
T pair analysis showed that there were significant differences (p < 0,05) among variables Sa02, pulse rate and contrast sensitivity at ground level and at FL 180. Cross analysis revealed a significant correlation between hemoglobin value with contrast sensitivity at ground level and at simulated altitude 18.000 ft. The multivariate regression analysis showed a significant correlation the level of Sa02 related to the decrease of contrast sensitivity.
CONCLUSION
Hypoxia at simulated 18.000 ft will decrease contract sensitivity, although the deviation was still within normal range.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yogialamsa
"LATAR BELAKANG : Awak pesawat khususnya penerbang tempur yang bekerja pada kondisi hipobarik akan mudah terpajan hipoksia jika tidak menggunakan perlengkapan Positive Pressure Breathing diatas ketinggian 39.500 kaki dan bila mengalami kondisi emergensi berupa loss of cabin pressurization. Selama melakukan manuver Positive Pressure Breathing akan membutuhkan kekuatan otot-otot ekspirasi, karena kerja otot ekspirasi menjadi aktif. Tingkat kesamaptaan jasmani yang baik diyakini dapat meningkatkan kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
HIPOTESIS : Penelitian ini bertujuan membuktikan kebenaran hipotesis bahwa terdapat hubungan antara tingkat kesamaptaan jasmani A dan tingkat kesamaptaan jasmani B dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
METODE : Pada simulasi latihan Positive Pressure Breathing subyek dipajankan terhadap tekanan 25 mmHg dan diinstuksikan untuk bernafas melawan tekanan tersebut sampai timbul kelelahan, tidak dapat berkomunikasi dan hiperventilasi. Kemampuan subyek pada latihan Positive Pressure Breathing dinilai dengan lamanya durasi bertahan. Tingkat kesamaptaan jasmani subyek dinilai dengan prosedur tes kesamaptaan jasmani yang diberlakukan di TNI AU.
HASIL : Rata-rata tingkat kesamaptan jasmani 67,6 ± 5,6. Rata-rata durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing 6,77 ± 1,49 detik. Pada analisis multivariate ditemukan adanya hubungan yang sedang antara tingkat kesamaptaan jasmani A (r = 0,285 ; p = 0,05) dan tingkat kesamaptan jasmani B (r = 0,292 ; p = 0,05) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing. Repetisi gerakan sit up dalam tes kesamaptaan B memiliki hubungan yang kuat (r = 0,549 ; p = 0,000) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing dan repetisi gerakan pull up dalam tes kesamaptaan B memiliki hubungan yang sedang (r = 0,347 ; p = 0,003) dengan durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing.
KESIMPULAN : Tingkat kesamaptaan jasmani A dan B dapat digunakan untuk memprediksi durasi kemampuan latihan Positive Pressure Breathing pada awak pesawat dan penerbang tempur. Latihan untuk menguatkan otot perut kemungkinan akan dapat mengurangi kelelahan yang terjadi saat melakukan manuver Positive Pressure Breathing.

BACKGROUND : Air Crew especially fighter pilots who work in a hypobaric condition shall tend to exposed by hypoxia when flying above 39,000 ft and in an emergency condition such as loss of cabin pressurization if they don't use a Positive Pressure Breathing equipment. During Positive Pressure Breathing maneuver they shall require expiratory muscles strength that become active during this maneuver. Good fitness levels are believed to be able to increase endurance ability on Positive Pressure Breathing training.
HYPOTHESIS : This study aims to define correlation between fitness levels and durations of endurance ability on Positive Pressure Breathing Training.
METHODS : Subjects who underwent to Simulation of Positive Pressure Breathing Training were exposed to 25 mmHg and instructed to resist that they suffered until volitional fatigue, difficulty to communication and hyperventilation. They endurance ability on Positive Pressure Breathing Training was evaluated by measuring the exposure durations. Fitness levels were determined by using a standardized test protocol of Indonesian Air Force.
RESULTS : The mean value of fitness levels 67,6 ± 5,6 . The mean value of duration of endurance ability on Positive Pressure Breathing Training 6,77 ± 1,49 second. With multivariate analysis statistically aerobic fitness level had moderate positive correlation (r = 0,285 ; p = 0,05) and statistically muscle fitness level had moderate positive correlation too (r = 0,292 ; p = 0,05). Sit up item had a strong correlation (r = 0,549 ; p = 0,000) with ability on Positive Pressure Breathing Training durations. Pull up item had a moderate correlation (r = 0,347 ; p = 0,003) with ability on Positive Pressure Breathing Training durations.
CONCLUSION : The result indicate that the aerobic and muscle fitness level both can be used to predict duration of endurance ability on Positive Pressure Breathing performed by air crew and Indonesian Air Force fighter pilots. Training to strengthen abdominal muscle may reduce fatique while performing Positive Pressure Breathing maneuver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Widiwanto
"LATAR BELAKANG. Kondisi hipoksia menyebabkan peningkatan sistem simpatis yang membuat produksi air mata meningkat, sedangkan pada orang dengan tingkat kesamaptaan jasmani (VO2max) yang baik terjadi peningkatan sistem parasimpatis yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi air mata. Penelitian ini untuk menentukan rentang VO2max agar produksi air mata optimum pada awak pesawat TNI AU.
METODE. Desain penelitian adalah studi korelasi, yang dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta. Dengan menggunakan populasi sernua awak pesawat yang melaksanakan ILAIMedek selama bulan Januari-Mei 2003. Semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil, Sampel yang didapat sebanyak 35 orang. Data penelitian didapat dari rekam medis dan pencatatan di RUBR. Hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik berupa analisis regresi linear untuk melihat hubungan VO,max terhadap produksi air mata. Model akhir yang didapat digunakan untuk menentukan nilai minimum dan maksimum VO2max. HASIL. Rata-rata produksi air mata 23mm f 4,17mm. Dari beberapa faktor faali yang berhubungan terhadap produksi air mata ternyata hanya VO2max yang bermakna dengan koofesien regresi sebesar - 0,434 dan kemaknaan p = 0,000. Rentang VO2max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum.
KESIMPULAN. Produksi air mata berhubungan dengan VO2max. Rentang V02max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T59088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Yulieanto
"LATAR BELAKANG : Penerbang yang mengawaki pesawat tempur canggih memiliki peluang besar untuk terpajan gaya + Gz tinggi dengan durasi yang cukup lama (High Sustained G). Untuk mengurangi bahaya pajanan gaya ini, penerbang tempur harus melakukan Anti G Straining Maneuver (AGSM), padahal dikeluhkan bahwa AGSM yang harus dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi cepat mengakibatkan kelelahan. Diyakini bahwa tingkat kesamaptaan otot yang baik akan meningkatkan kemampuan penerbang bertahan terhadap High Sustained G.
HIPOTESIS : Penelitian ini bertujuan membuktikan kebenaran hipotesis bahwa terdapat hubungan antara tingkat kesamaptaan jasmani B (kesamaptaan otot) dan durasi ketahanan tehadap High Sustained G.
METODE : Subyek dipajankan terhadap gaya +8 Gz dan diinstruksikan untuk bertahan selama mungkin sampai merasakan kelelahan, dalam latihan Simulated Air Combat Maneuver (SACM) dengan Human Centrifiige. Ketahanan penerbang dinilai dengan lamanya durasi bertahan. Tingkat kesamaptaan jasmani B (kesamaptaan otot) subyek dinilai dengan prosedur test kesamaptaan jasmani yang diberlakukan di TNT AU.
HASIL : Dari 25 orang pilot yang semula mengikuti penelitian ini, 2 orang dikeluarkan karena mengalami mabuk gerak yang parah. Rata-rata umur dan jam terbang subyek adalah 28,0 (SD 3,4) tahun dan 501,4 (SD 232,3) jam. Ditemukan adanya hubungan yang kuat antara tingkat kesamaptaan jasmani B (kesamaptaan otot) dengan durasi bertahan terhadap High Sustained G (r = 0,76 ; p < 0,01). Repetisi gerakan Push up dalam tes samapta B memiliki hubungan yang sangat kuat dengan durasi ketahanan terhadap High Sustained G (r = 0,85., p < 0,01).
KESIMPULAN Tingkat kesamaptaan jasmani B (kesamaptaan otot) dapat digunakan untuk memprediksi durasi bertahan terhadap High Sustained G di kalangan penerbang tempur TNT AU. Latihan beban dengan fokus pada kelompok otot dada kemungkinan akan dapat mengurangi kelelahan yang terjadi saat melakukan AGSM.

BACKGROUND : Fighter pilots flying high performance airera is are often subjected to high levels of headword (+ Gz) acceleration. In order to reduce dangerous effect of this type of acceleration pilots must perform the Anti G Straining Maneuver (AGSM), eventhough there are a number of complaints that this repeated and high intensity maneuver is perceived very fatiguing. It seems that a good muscle fitness will increase pilot's High Sustained G endurance
HYPOTHESIS: This study aimed to define correlations between muscle fitness levels and High Sustained G durations.
METHODS : Subjects were exposed to +8 Gz plateaus during a Human Centrifuge Simulated Air Combat Maneuver (SACM) until volitional fatigue. High Sustained G endurances were evaluated by measuring the exposure durations. Muscle fitness levels were determined using a standardized test protocol of Indonesian Air Force.
RESULTS : Twenty five pilots participated in this study. Because of severe motion sickness 2 pilots were eliminated. Their age and flying hours averaged 28,0 (SD 3,4) years and 501,4 (SD 232,3) hours. Strong correlation was found between muscle fitness levels and High Sustained G durations (r = 0,75 ; p < 0,01). Push up test item had a very strong correlation with High Sustained G durations (r = 0,85 ; p < 0,01).
CONCLUSION The results indicate that the muscle fitness levels can be used to predict High Sustained G durations performed by Indonesian Air Force fighter pilots during SACM. Weight training focused on chest muscle groups may reduce fatigue while performing AGSM.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviandy S.
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Tajam penglihatan adalah kemampuan mata di dalam penerbangan untuk membedakan dua obyek kecil dengan sudut pandang satu menit pada jarak 6 meter dalam kondisi penerangan yang normal. Bayangan obyek tidak jatuh tepat pada fovea sentralis karena fungsi sel kerucut yang bertanggung jawab dalam hal ini tidak dapat bekerja dengan baik dalam membedakan obyek pada jarak 6 meter. Ini adalah salah satu dari kondisi faktor manusia yang terkait dengan kemungkinan tirnbulnya kecelakaan penerbangan. Studi pada 100 orang calon penerbang PSDP ini merupakan studi lanjutan dengan menggunakan desain penelitian simulasi pre dan post eksperimen tetapi memiliki rentang frekwensi, lensa kolimasi dan calon populasi sampel yang berbeda.
Hasil Penelitian:
Secara analisa statistik terbukti bahwa getaran dengan frekuensi 10 Hz menurunkan tajam penglihatan lebih besar dibanding 20 Hz pada jarak pandang 75 cm maupun 6 meter (P < 0,05). Sedang penurunan tajam penglihatan jarak pandang 75 cm lebih besar daripada jarak pandang 6 meter baik pada frekuensi 10 Hz maupun 20 Hz (P < 0,05). Faktor tinggi badan pada jarak pandang 6 meter dengan getaran 10 Hz tanpa kolimasi berpengaruh bermakna terhadap penurunan tajam penglihatan (P < 0,05), begitupun pada analisa regresi multivariat terhadap jarak pandang 75 cm (P < 0,05). Koreksi dengan lensa kolimasi didapatkan paling efektif dengan lensa 8D dibandingkan dengan lensa 6D (P < 0,05).
Kesimpulan:
Searah dengan penelitian terdahulu terbukti bahwa getaran dapat menurunkan tajam penglihatan terutama yang berfrekuensi rendah dan lensa kolimasi sangat bermanfaat dalam menurunkan akibat tersebut.

ABSTRACT
Visual Acuity Impairment Due To The Whole Body Sinusoidal Vertical & Horizontal Vibration Effect And Corrections With Collimating Lens Among PSDP Pilot Candidates at Lakespra Saryanto 1997
Background:
Visual acuity is the ability of the eyes in flight to discriminate two small objects with the visual angle of one minute at 6 m distance in normal illumination. The image projection will not fall preciously on fovea centralis because the cones which is responsible for these do not work well especially at 6 m distance object. This is one of the human factors condition those related to the occurrence of aircraft accidents. Study upon 100 subjects of PSDP pilot candidates at Lakespra Saryanto was an advanced study with different range of frequencies, collimating lens and sample population.
Result:
Statistic analysis proved that visual acuity impairment due to the vibration with 10 Hz was worse than 20 Hz at visual distance of 75 cm or 6 m (P < 0,05), Visual acuity at 75 cm visual distance was more impaired compared with 6 meter on both frequency (P < 0,05). Body height factor has significant influence to visual acuity at 6 m visual distance with 10 Hz vibration without collimation (P < 0,05) either at 75 cm visual distance with regression multivariate analysis (P < 0,05). The most effective correction with collimation lens are using 8D lens rather than 6D lens (P < 0,05).
Conclusion:
In accordance with previous research has been proved that vibrations cause visual acuity impairment, especially at low frequency and collimation lens has special benefit to reduce those effects.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryunani
"ABSTRAK
Dalam dunia penerbangan getaran merupakan suatu hal yang tidak dapat dihilangkan, tapi mengganggu tugas penerbangan. Mata merupakan salah satu indera yang paling terganggu fungsinya karena getaran, yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan saat membaca obyek dan ini sangat berbahaya dalam tugas mendaratkan pesawat udara, yang memerlukan pembacaan papan instrumen yang tepat dan cepat.
Penelitian terhadap 120 subyek calon penerbang di Lakespra Saryanta ini bertujuan untuk mengetahui akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan serta manfaat lensa kolimasi terhadap tajam penglihatan yang dipengaruhi oleh getaran. Penelitian dilakukan dengan memberi simulasi getaran terhadap subyek menggunakan kursi getar pada frekuensi 15 Hz dan 25 Hz dengan jarak obyek 75 cm dan 6 m dan dibandingkan efisiensi ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah menggunakan lensa kolimasi saat mendapat getaran.
Hasil penelitian :
Pada penelitian ini ditemukan bahwa penurunan ketajaman penglihatan akibat getaran tergantung kepada frekuensi getaran dan jarak obyek, dari analisis statistik didapatkan bahwa frekuensi 15 Hz menurunkan ketajaman penglihatan lebih besar dibanding 25 Hz, pada jarak 75 cm maupun 6 m (P< 0.05). Sedangkan pada frekuensi 15 Hz, penurunan' ketajaman penglihatan pada jarak obyek 75 cm lebih besar dari pada 6 m (P < 0.05). Faktor umur, tinggi badan, dan berat badan pada penelitian ini secara statistik tidak mempengaruhi penurunan ketajaman penglihatan (CI melalui 1 dan uji P > 0.05) dengan analisa multivariat pengaruh umur, tinggi badan dan berat badan tersebut juga tidak bermakna ( P < 0.05 ). Sedang penggunaan lensa kolimasi dapat menghilangkan akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan ( P < 0.05 ).
Kesimpulan :
Terbukti bahwa getaran menurunkan ketajaman penglihatan dan penggunaan lensa kolimasi dapat menurunkan akibat tersebut.

The Effect of Whole Body Sinusoidal Vertical and Horizontal Vibration Upon Visual Acuity and Its Correction by the Use of Collimation Lens on Pilot Candidates in Lakespra In aviation vibration is one of the obligatory effect in the air craft , and it can altere visual acuity for pilots in flight. Visual acuity may diminish due to vibration particularly in the approach and landing phases of flight. A 120 pilot candidates were subjects of this research as an effort to study the effect of vibration on visual acuity and the prospect of collimation lens as a correction device to improve the visual acuity under flight) vibration environment.
Subjects were sitting on a vibratory chair to simulate whole body vibration at 15 Hz and 25 Hz with 75 cm and 6 m object distances to the eyes. The above values were then compared to the efficiency of visual acuity before and after using collimation lens during vibration.
Results:
The degree reduced of visual acuity depended on the frequency of vibration and the visual distance. Statistical analysis indicated that 15 Hz frequency reduced visual acuity more than 25 Hz at 75 cm or 6 m distance ( P < 0.005 ). At 15 Hz and 75 cm distance visual acquity reduced more than 6 m distance ( P < 0.05 ).
Age, height, and body weight statistically did not give influence on visual acuity in this research and using multivariate analysis the above variables also gave insignificant relation ships ( P?0.05 ). The use of collimation lens was able to reduce the effect of vibration on visual acuity ( P < 0.05 ).
Summary:
It is concluded that vibration reduced visual acuity and the use of collimation lens can reduce the effect of vibration.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Wahdah
"Latar belakang: Mabuk gerak dapat memberi efek terhadap kinerja dan keselamatan penerbangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mabuk gerak pada calon penerbang militer di Lakespra Saryanto.
Metode: Data berasal dari pemeriksaan kesehatan calon penerbang militer pada September 2013, Januari dan Juni 2014 di Lakespra Saryanto. Desain penelitian potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Subyek yang diambil 135 orang, analisis menggunakan korelasi regresi linier dengan stata. Terdiri dari 11 orang calon penerbang militer periode September 2013, 108 orang periode Januari 2014 dan 16 orang pada bulan Mei 2014. Mabuk gerak diperoleh dengan provokasi kursi Barany. Gejala dan tanda mabuk gerak ditentukan dengan mengamati timbulnya: keringat dingin, pusing, pucat, mual, ruktus/sendawa, dan muntah.
Hasil: Faktor dominan yang mempertinggi mabuk gerak adalah VO2 max dan neurotik. Setiap kenaikan nilai VO2 max sebesar 1 ml/kgBB/menit akan menambah nilai indeks mabuk gerak sebesar 0,08 [koefisiensi regresi (β)= 0,083; p= 0,005] dan setiap penambahan nilai neurotik (skala klinik Hs) sebesar 1 akan menambah nilai indeks mabuk gerak sebesar 0,05 (β= 0,056; p= 0,019).
Kesimpulan: VO2 max dan neurotik cenderung mempertinggi mabuk gerak pada calon penerbang militer di Lakespra Saryanto.

Background: Motion sickness gives effect to the performance and safety of flight. This study aims to identify the factors affect motion sickness on candidates military aviator in Lakespra Saryanto.
Methods: Data derived from health examinations of candidates military aviator at September 2013, January and May 2014 in Lakespra Saryanto. Study designed was cross sectional with purposive sampling. All subjects were taken all the 135 were taken linier correlation regression was used with stata consisting of 11 candidates for military aviators for period September 2013, 108 people for period January 2014 and 16 people for period May 2014. Motion sickness obtained by Barany chair provocation. Symptoms and signs are determined by observing the motion sickness onset: cold sewat, dizzines, pallor, nausea, ruktus/ belching, and vomiting
Results: The dominant factor that heightens the motion sickness is VO2 max and neurotic. Each increase in VO2 max values of 1 ml/kg min will increase the value of the motion sickness index of 0.08 [regression coefficient (β) = 0.083; p = 0.005] and each value addition neurotic (clinical scales Hs) of 1 will add to the value of the motion sickness index of 0.05 (β = 0.056, p = 0.019).
Conclusion: VO2 max and neurotic tend to enhance the value of the motion sickness index on the candidates of military aviator in Lakespra Saryanto.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>