Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156234 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Izzy Fathoni
"Perjanjian Internasional merupakan sumber utama hukum internasional. Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional dapat mengikatkan diri dan tunduk kepada Perjanjian Internasional. Namun, kedudukan dan cara pemberlakuan perjanjian internasional di dalam suatu negara dapat berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan dalam mengatur kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional suatu negara, harus diperhatikan teori manakah yang dianut negara tersebut terkait hubungan hukum internasional dan hukum nasional, apakah monisme atau dualisme. Dari berbagai praktik negara dalam mengatur perjanjian internasional, Amerika Serikat dan Inggris merupakan contoh negara dualis, sementara Belanda merupakan contoh negara monis. Australia dan Tiongkok tidak mengatur jelas kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya, dan Jerman terlihat mencoba mengkombinasikan kedua teori tersebut. Terkait praktik di Indonesia, perjanjian internasional tidak memiliki kedudukan dan cara pemberlakuan yang jelas, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan praktisi dan para penegak hukum. Kerugian yang timbul akibat ketidakjelasan ini adalah adanya ketidakpastian hukum dan langkah hukum Indonesia yang tidak dapat diprediksi. Skripsi ini merupakan penelitian hukum yang memiliki bentuk yuridis normatif.

Treaty are the main source of international law. State as one of the subjects of international law can bind itself and subject to the Treaty. However, the position and enforcement of treaty in a state can be different from one another. This is because in regulating the position of international treaties in the national legal system of the state, should be considered which theory espoused by the state related to the relationship of international law and national law, whether monism or dualism. Of the various practices of the state in regulating international treaty, the United States and the United Kingdom are examples of dualist state, while the Netherlands is an example of monist state. Australia and China did not set out clear position of international treaty in their domestic law, and Germany look to try to combine the two theories. Related practices in Indonesia, treaty do not have the clear position and how to enforcement clearly, giving rise to confusion among practitioners and law enforcement. Losses incurred as a result of this vagueness is legal uncertainty and Indonesian legal steps that can not be predicted. This thesis is a study of law has normative juridical form."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60697
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Jefri Porkonanta
"Pada tahun 2011 Mahkamah Konstitusi mendapat permohonan dengan registrasi perkara nomor 33/PUU-IX/2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). Hal yang menjadi perdebatan adalah mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional.
Penelitian ini berangkat dari penilaian tepat tidaknya keberadaan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional. Tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) keberadaan undang-undang pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia; (2) pengujian konstitusionalitas undang-undang pengesahan perjanjian internasional oleh Mahkamah Konstitusi; serta (3) mencari bentuk pengesahan perjanjian internasional yang sebaiknya diterapkan di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara dan hukum internasional. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif.
Ada beberapa teori dalam pemberlakuan kaidah perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, salah satunya adalah teori transformasi. Melalui transformasi, perjanjian internasional tidak otomatis berlaku dalam hukum nasional melainkan memerlukan aturan pelaksana yang materinya adalah pengejewantahan dari ketentuan dalam perjanjian internasional. Dengan diketahuinya tentang keberadaan undang-undang pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia maka hal tersebut juga turut menjawab kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional.

In 2011 the Constitutional Court received the petition with 33/PUUIX/ 2011 case registration number of the judicial review of Act No. 38 Year 2008 about Ratification of the Charter of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN Charter). It is a debate about the authority of the Constitutional Court in reviewing the Act of Ratification of International Treaty.
This study departed from the assessment about the existence of the Act of Ratification of International Treaty. Three issues discussed in this study is (1) the existence of the Act of Ratification of International Treaty in the legal system of Indonesia, (2) the constitutional review of the Act of Ratification of International Treaty by the Constitutional Court, and (3) seek the form of ratification of international treaty that should be applied in Indonesia. To answer these problems, this study uses materials such as the Constitutional Court decisions, regulation, and writings relating to constitutional law and international law. This research is a juridical-normative.
There are several theories to apply international treaty into national law, one of which is the transformation theory. Through transformation, international treaty are not automatically applicable in national law but require regulation which the material is the manifestation of the provisions of international treaty. By knowing about the existence of the Act of Ratification of International Treaty in the Indonesian legal system then it also helped answer the authority of the Constitutional Court in reviewing the Act of Ratification of International Treaty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Rionaldo Fernandez
"Tesis ini membahas tentang kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU dalam struktur ketatanegaraan, mekanisme penegakan hukum persaingan usaha dan kekuatan hukum Putusan KPPU, serta analisis mengenai apakah seharusnya mekanisme penegakan hukum persaingan menggunakan sistem peradilan administratif mengingat KPPU merupakan lembaga dengan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif. Tesis ini menggunakan metode penelitian normatif doktrinal dengan melakukan analisis permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana sumber data dititikberatkan pada data sekunder yang diperoleh dari berbagai bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, KPPU merupakan lembaga negara penunjang auxiliary state rsquo;s organ bersifat independen yang dibentuk untuk membantu kinerja lembaga negara utama dibidang penegakkan hukum persaingan usaha. Kedua, Kekuatan putusan KPPU sangat tergantung dari reaksi terlapor, akan mempunyai kekuatan hukum tetap bila : 1 Pelaku Usaha tidak mengajukan keberatan, 2 alasan keberatan terhadap putusan KPPU ditolak oleh pengadilan negeri dan pelaku usaha tidak mengajukan kasasi kepada MA, dan 3 alasan-alasan Kasasi yang diajukan ditolak oleh MA. Ketiga, sistem peradilan administrasi di Indonesia diselenggarakan oleh PTUN, dan PTUN telah mengatur secara tegas bahwa yang menjadi wewenangnya adalah persengketaan yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, sedangkan KPPU bukanlah pejabat Tata Usaha Negara dan Putusan KPPU bukan keputusan Tata Usaha Negara, sehingga KPPU bukanlah termasuk dalam lingkup kewenangan dari peradilan administrasi negara.

This thesis discusses the position of Business Competition Supervisory Commission KPPU in the constitutional structure, mechanism of law enforcement business competition and legal force of KPPU 39 s Decision, and an analysis of whether the competition law enforcement mechanisms should use administrative court system considering KPPU is an institution with the authority to impose administrative sanctions. This thesis uses normative doctrinal research method by conducting problem analysis through law principles approach and referring to legal norms existed in laws, where the data sources are focused on secondary data obtained from various literatures such as legislation, books, and internet sources which are considered as relevant. The results show that First, KPPU is an independent auxiliary state 39 s organ formed to assist the performance of main state organs in field of business competition law enforcement. Secondly, the KPPU rsquo s decision force depends very much on the reaction of convict, will have legal force decision if 1 the business actor does not object 2 the reason for objection to KPPU 39 s decision is rejected by district court and business actor does not appeal to Supreme Court 3 proposed cassation reasons was rejected by Supreme Court. Thirdly, the administrative court system in Indonesia is administered by the State Administrative Court, and the Administrative Court has stipulates that its authority is a dispute arising in field of State Administration, while KPPU is not a State Administrative Officer and KPPU 39 s Decision is not a State Administrative Decision, so that KPPU is not within the scope of authority of state administrative court."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Eliza Aishah
"ABSTRAK
Perjanjian internasional dianggap sebagai sumber hukum internasional yang
tertinggi. Namun, pada prakteknya banyak negara yang mencoba melarikan diri
dari kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional yang telah disepakati
dengan alasan salah satunya bertentangan dengan hukum nasionalnya (doktrin
atau konstitusinya). Dalam Vienna Convention on The Law Treaties 1969
("VCLT") sendiri terdapat dua pasal yang mengatur hubungan antara hukum
nasional dengan perjanjian internasional yang telah disepakati. Dengan jelas pada
pasal 27 VCLT menyatakan bahwa hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan
pembenar sebuah negara tidak melakukan kewajiban yang timbul dari perjanjian
internasional. Dengan keberadaan pasal 27 VCLT tidak kemudian dapat
mengabaikan pasal 46 VCLT. Ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari
pasal 27 VCLT yang diartikan secara negatif bahwa sebuah negara dapat
mengajukan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar batalnya keterikatan
terhadap perjanjian internasional, jika melanggar hukum nasional suatu negara
terkait dengan kompetensi perwakilan pada saat menyatakan kesepakatannya
terhadap perjanjian internasional, pelanggarannya nyata, dan menyangkut hal
yang dasar dan penting. Prakteknya memang terdapat negara-negara yang
mencoba untuk tidak melaksanakan kewajiban perjanjian internasional, contoh
kasus La Grand, namun ICJ sudah mencoba untuk tetap menegakkan ketentuan
dari pasal 27 VCLT, sedangkan pasal 46 VCLT jarang diajukan sebagai alasan
pembenar. Skripsi ini berbentuk penelitian hukum yang menggunakan studi
yuridis normatif.

ABSTRACT
Treaty is regarded to be the highest source of international law. However, in
practice there are many countries which try to run away by the obligation that
establishes from treaty, which one of the reasons is inconsistency with the
national law (doctrine or constitution). Based on Vienna Convention on The Law
of Treaties 1969 ("VCLT"), there are two articles that regulate the relation
between national law and a ratified treaty. In accordance with article 27 VCLT, a
state may not invoke their national law as justification not to exercise their treaty
obligation. However, the existence of article 27 VCLT is without prejudice to
article 46 VCLT. That article is the exception of article 27 VCLT which can be
negatively stipulated that a state may invoke their national law as justification to
cancel their consent to a treaty, if it violates their national law regarding the
competency of a state representative, manifest, and fundamental of importance. In
practice, many countries indeed tried to run away from their treaty obligation, for
instance La Grand Case, however ICJ had tried to apply law in accordance with
article 27 VCLT, in contrast article 46 VCLT is seldom invoked by states. This
thesis is concluded as a legal research that uses normative legal method.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43886
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Riska Nurmasari
"Penelitian ini membahas dua permasalahan, yaitu kedudukan Badan Amil Zakat Nasional BAZNAS dalam ruang lingkup hukum administrasi negara dan pelaksanaan pengelolaan zakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, dengan tujuan penelitian untuk mengkaji kedudukan pendirian BAZNAS sebagai penyelenggara pengelolaan zakat secara nasional dan mengkaji pelayanan publik dalam pelaksanaan pengelolaan zakat. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik, BAZNAS berkewajiban menjalankan kegiatan pelayanan jasa publik dalam pengumpulan dana zakat, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Adanya pengawasan secara eksternal dari masyarakat maupun dari pemerintah diharapkan dapat mencapai tujuan pelayanan yang diselenggarakan oleh BAZNAS guna mewujudkan kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan hak beragama sesuai syariat Islam, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk menyalurkan zakat yang lebih merata dalam masyarakat.

Research discusses about two problems, that is about the position National Zakat Agency BAZNAS within the scope of the administrative law and implementation zakat management of public services. The method used in this research is normative juridical, the purpose of this research is to study the establishment BAZNAS position as organizer of zakat management nationally and examines public service in the implementation of zakat management. BAZNAS is an institution that organizes tasks of the government is authorized to make the management of zakat nationwide. As an organization of public service providers, BAZNAS obliged to run the activity of public services in collecting zakat, distribution, and utilization of zakat in the areas of health, education, and economics. Their external supervision from the public and from the government is expected to achieve the purpose of service organized by BAZNAS to realize the government 39 s obligation to organize religious rights, to improve the welfare of society and to distribute zakat more evenly in society.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66079
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Kurnia Putra
"Tesis ini membahas kajian mengenai kedudukan perjanjian internasional dan pelaksanaannya dalam sistem hukum nasional guna menciptakan kepastian hukum antara hubungan hukum nasional dan hukum internasional, khususnya kedudukan dan pelaksanaan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional. Terlebih dalam era globalisasi dewasa ini, Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya akan semakin intens terlibat dalam hubungan antar negara yang diatur dengan perjanjian internasional.
Ketidakjelasan konsepsi pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional memberikan dampak yang tidak sederhana dan kendala yang cukup rumit dalam tataran praktis, baik dalam tahapan pembuatan perjanjian internasional maupun dalam tahapan pelaksanaan atau implementasi perjanjian internasional tersebut. Dalam tataran pembuatan perjanjian internasional, ketidakpastian hukum tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional mengakibatkan tidak terpenuhinya prinsip "predictability".
Apabila pengesahan perjanjian internasional memberikan makna yang jelas maka status dan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional akan dapat digambarkan secara jelas pula, sebaliknya apabila pengesahan perjanjian internasional tidak memberikan makna yang jelas maka perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional pun akan terus berada pada posisi yang tidak menentu, dan pada akhirnya berakibat pada inkonsistensi pelaksanaan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Langkah yang harus ditempuh dalam rangka menuntaskan persoalan ini adalah dengan membentuk suatu constitutional provisions sebagai norma dasar (grundnorm) yang menyatakan secara jelas dan tegas sikap Indonesia berkaitan dengan hubungan hukum internasional dan hukum nasional, khususnya status dan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.

This thesis discusses the status of international treaties and their implementation in national legal systems, in order to createlegal certainty between national law and international law, particularly the status and implementation of international treaties in national legal systems. Especially in today's globalization era, Indonesia as a developing country would be more intensely involved in interstate relations, governed by the international treaties.
The vagueness of the conception of treaty ratification in national legal systems may cause to a tremendous and complex impact in the practical level, not only in the treaty drafting stage but also in the treaty implementation phase. In the international treaty-making level, the legal uncertainty between international treaty and the national law may lead to the non fulfillment of the principle of "predictability".
If the ratification of a treaty gives a clear meaning then the status and position of international treaties in the national legal system will be clearly described. On the other hand, if the ratification of the treaty does not give a clear meaning to the national legal system, this would result uncertain position, and ultimately will result to an inconsistency of the treaty in the national legal system.
In order to solve this problem, there are several efforts could be made, such as establishing a constitutional provisions as the basic norm which states clearly the position of Indonesia related to the relationship between international law and national law, particularly the status and position of treaties in the national legal system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31176
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Erika Suredja
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana ketentuan hukum mengenai teknologi finansial dan ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) sistem pembayaran di Indonesia. Pada skripsi ini akan dibahas dua hal. Pertama, tinjauan umum terkait ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) sistem pembayaran di Indonesia. Kedua, analisis mengenai pemberlakuan terkait pengaturan ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) sistem pembayaran di Indonesia. Adapun rumusan masalah
yang diangkat adalah mengenai bagaimana pengaturan mengenai ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) teknologi sistem pembayaran di Indonesia dan bagaimana permasalahan yang mungkin timbul dalam pengaturan ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) terhadap penyelenggara teknologi finansial payment system di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/ PBI 2017 tentang Teknologi Finansial dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 Tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial dan permasalahan yang mungkin timbul adalah ketiadaan insentif selepas berhasil menjalankan regulatory sandbox dan bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat apabila terjadi kegagalan atau kerugian. Saran yang
penulis berikan adalah untuk memberikan izin khusus bagi penyelenggara teknologi finansial yang telah dinyatakan berhasil serta membuat layanan pengaduan bagi masyarakat dan membuat sistem penyelesaian sengketa 2(dua) tingkat.

This thesis discusses the legal provisions regarding financial technology and limited trial space (regulatory sandbox) of the payment system in Indonesia. In this thesis two things will be discussed, first is payment system in Indonesia. Secondly, an analysis of enforcement is related to the limited testing space (regulatory sandbox) of the payment system in Indonesia. Related to the formulation of the problem raised is the regulation of the limited trial space (regulatory sandbox) of the
payment system in Indonesia and the problems that may arise in the limited trial space (regulatory sandbox) of the providers of financial technology payment system in Indonesia. The research method used is normative juridical. The conclusion that can be drawn is the limited trial space (regulatory sandbox) regulated in Bank Indonesia Regulation Number 19/12 / PBI 2017 concerning Financial Technology and Regulation of Board of Governors Members Number 19/14 / PADG / 2017 Concerning Limited Trial Room (Regulation Sand Box). Suggestions submitted are given to give special permission for the implementation of financial technology that has been agreed to be completed and by making complaint service for the public and making a 2 (two) level dispute approval system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Irawati
"Sertipikat adalah tanda bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul dan dijilid menjadi satu, yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Sertipikat Hak Atas Tanah merupakan alat bukti yang kepemilikan tanah yang kuat bagi pemegang haknya. Sertipikat cacat hukum merupakan sertipikat yang diterbitkan secara keliru. Sertipikat palsu dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu: sertipikat palsu, sertipikat asli tapi palsu dan sertipikat ganda. Keberadaan sertipikat palsu umumnya baru diketahui ketika terjadi sengketa atas tanah yang bersangkutan. Terbitnya sertipikat cacat hukum ini membuka peluang terjadinya sengketa. Sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak yang berlawanan dalam hal penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang harus diselesaikan baik melalui cara musyawarah maupun melalui pengadilan. Dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi rakyat serta untuk memberikan perlindungan bagi pemegang hak atas tanah, maka Badan Pertanahan Nasional selaku satu-satunya lembaga negara penyelenggara pendaftaran tanah wajib berperan aktif dalam meningkatkan pelayanannya serta secara aktif menghilangkan praktek penerbitan sertipikat cacat hukum dan menyelesaikan sengketa yang timbul akibat terbitnya sertifikat cacat hukum ini.

Certificate is proof of right to a copy of the book consists of measuring the land and letters, were given a cover and bound together, issued by the National Land Board. A certificate of Land Rights is evidence that land ownership is robust to the right holder. Illegitimate certificate is a certificate issued erroneously. Illegitimate certificates can be classified into 3 (three), namely: false certificates, real or fake certificates and doubled certificates. The existence of illegitimate certificate is generally known when a dispute over land in question. Issuance of illegitimate certificate opens the possibility of dispute. Land disputes are disputes between two or more parties who feel aggrieved parties or the opposite in terms of usage and control rights over the land, which must be resolved either through consensus or through a court. With a view to ensuring legal certainty for the people and to provide protection for holders of land rights, the National Land Board as the only institution of compulsory land registration, the host country plays an active role in improving service and actively eliminate the practice of issuance of illegitimate certificates and resolve disputes arising from the issuance of the illegitimate certificates."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28715
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Nida
"Penelitian ini menganalisis apakah pengaturan pajak rokok telah memenuhi fungsi reguleren dan budgeter secara optimal, serta bagaimana dampak pajak rokok terhadap pembangunan ekonomi nasional. Penelitian ini juga disusun dengan menggunakan metode penelitian doctrinal. Pajak merupakan sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pemerintahan umum yang harus tercantum dalam anggaran pendapatan negara (APBN). Pajak memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi budgeter (menghimpun dana dari Masyarakat) dan fungsi regulerend (mengatur). Pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dilakukan pemerintah. Pelaksanaan pengaturan pajak rokok terhadap optimalisasi fungsi reguleren dan fungsi budgeter dapat dipahami berdasarkan perkembangan pengaturan tentang pajak rokok sebagai pajak daerah. Berkaitan dengan fungsi reguleren untuk mengendalikan konsumsi tembakau melalui kenaikan harga rokok yang kemudian secara eksplisit alokasinya dapat ditemukan dalam Pasal 31 UU 28/2009. Kemudian berkaitan dengan pemenuhan fungsi budgeter pajak rokok tidak lepas dari pengenaan cukai hasil tembakau sebagaimana objek cukai hasil tembakau diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan jenis dan golongannya untuk menetukan batas Harga Jual Eceran (HJE). Pada tahun 2021 melalui UU 7/2021, pemerintah memperluas jenis cukai tembakau dengan penambahan rokok elektrik. Selanjutnya pengesahan UU 1/2022 diharapkan berdampak terhadap Pembangunan ekonomi nasional karena bertujuan untuk mempertajam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Disamping itu kenaikan tarif cukai juga sangat berpengaruh terhadap industri hasil tembakau karena ketidakmampuan produsen untuk memenuhi target cukai.

This research explains whether cigarette tax regulations have fulfilled regular and budgetary functions optimally and the impact of cigarette taxes on national economic development. This research was also prepared using doctrinal research methods. Taxes are a source of state revenue for general government financing, which must be included in the state revenue budget (APBN). Taxes have two main functions: the budgetary function (collecting funds from the public) and the regular function (regulating). Cigarette tax is a levy on cigarette excise carried out by the government. The implementation of cigarette regulations towards optimizing normal function and budgetary functions can be understood based on developments in regulations regarding cigarette tax as a regional tax. The explicit allocation for controlling tobacco consumption through increasing cigarette prices can be found in Article 31 of Law 28/2009. Then, regarding including the budgeting function for the cigarette tax, it cannot be separated from the imposition of excise on tobacco products as the object of excise on tobacco products is regulated based on the Minister of Finance Regulation based on type and class to determine the Retail Selling Price (HJE) limit. In 2021, through Law 7/2021, the government expanded the kinds of tobacco excise by adding electronic cigarettes. Furthermore, the ratification of Law 1/2022 impacts national economic development because it aims to sharpen fiscal implementation. Apart from that, the increase in import duties also significantly affects the tobacco industry's results due to the inability of producers to meet customs targets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Ivy Endah Hapsari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kewenangan dan kedudukan hukum dokter muda sebagai mahasiswa dalam melakukan pelayanan medik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif. Dokter muda bukanlah seorang dokter, melainkan mahasiswa yang tengah menjalani tahap akhir dari sekolah kedokteran sebelum akhirnya menjadi dokter/dokter gigi yang sah. Dalam tahap ini mahasiswa kedokteran diharuskan untuk terjun langsung dalam pelayanan medik yang dilakukan dokter. Namun, dokter muda belum memiliki hak untuk menerima izin pelayanan medik, dikarenakan mereka masih dalam tahap pendidikan. Adapun bentuk dari penugasan yang diserahkan kepada dokter muda adalah Surat Tugas dari fakultas kedokteran yang bersangkutan yang ditujukan kepada kepala Rumah Sakit tempat dokter muda akan terjun langsung dalam pelayanan medik tanpa adanya surat resmi dari pemerintah yang memberikan kewenangan kepada dokter muda untuk terjun langsung dalam pelayanan medik. Hal ini tentunya sangat berhubungan dengan kepastian hukum pelayanan medik dalam masyarakat, baik kepastian hukum bagi pasien maupun dokter muda yang bersangkutan.

ABSTRACT
This thesis discusses about legal authority and legal position of medical students who undergo medical service. This research is qualitative and descriptive research. An internship medical student is not a doctor, but a student who is undergoing the final stage of medical school before finally becoming a valid doctor dentist. In this stage, medical students are required to go directly to the medical services performed by doctors. However, these students do not have the right to receive medical care permits as they are still under the roof of education stage. The form of assignment submitted to medical student is a letter of duty from the relevant medical faculty addressed to the head of the hospital where a medical student will go directly in medical service without any official letter from the government that gives authority to the medical student to go directly in medical service. This is of course very related to legal certainty of medical services in the community, both legal certainty for patients and medical students concerned. "
2017
S70051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>