Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisyah Kahar
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Amicus Curiae dalam pembuktian tindak pidana dan untuk mengetahui apakah pendapat Amicus Curiae dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Adapun masalah yang dibahas adalah bagaimanakah kedudukan Amicus Curiae dalam pembuktian tindak pidana dan apakah pendapat Amicus Curiae dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melakukan wawancara langsung dengan sejumlah hakim, dan studi kepustakaan dengan membaca dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Kesimpulannya terdapat pengaturan yang jelas tentang amicus curiae dalam sistem Common Law sedangkan di negara Civil Law seperti Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang jelas mengenai amicus curiae. Namun pada kenyataannya beberapa kasus di Indonesia, amicus curiae cukup diperhatikan oleh hakim seperti pada kasus pidana atas nama Prita Mulyasari.

This study aims to determine the position of Amicus Curiae in the proof of criminal acts and to determine whether Amicus Curiae opinion taken into consideration by the judge in the verdict. The problem discussed is how the position of Amicus Curiae in proving criminal acts and whether Amicus Curiae opinion taken into consideration by the judge in the verdict.This study was done using data collection through field studies by direct interviews with a number of judges, and the study of literature by reading documents related to the problems examined to find the concepts, theories, opinions or findings related to the subject problems. The conclusion is that in common law the regulation about amicus curiae is clear. But in civil law country like Indonesia the regulation is not clear. However, we can find some cases related with amicus curiae in Indonesia. The judge also paid attention to the amicus curiae, such as in Prita case.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Padmadriya Anggraita Citramannoharra
"Amicus curiae atau friends of court merupakan praktek yang sudah ada sejak jaman Romawi Kuno dan dalam sistem common law. Atas persetujuan pengadilan, amicus memberikan informasi mengenai area-area hukum di luar keahlian pengadilan atau informasi hukum tidak memihak yang tidak diketahui oleh pengadilan, sehingga hakim dapat memberikan putusan yang berkualitas. Sekarang ini, amicus curiae juga berpartisipasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan-pengadilan internasional, seperti ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID dan WTO, juga pengadilan-pengadilan dalam negeri dengan sistem civil law. Masuknya amicus curiae dan diterimanya amicus brief dalam proses penyelesaian sengketa di WTO, menuai protes keras dari negara-negara berkembang anggota WTO. Amicus curiae dianggap telah mengganggu hak negara anggota, dalam hal sebagai pihak berperkara pada proses penyelesaian sengketa. Amicus curiae juga dianggap mempengaruhi kedaulatan negara anggota. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya posisi amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO dan terhadap negara-negara berkembang anggota WTO. Dari hasil penelitian diketahui bahwa amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO, semata-mata merupakan pemenuhan kebutuhan Panel untuk melaksanakan objective assessment dalam proses pemeriksaan setiap kasus yang diajukan kepadanya. Hak negara anggota sebagai pihak berperkara tidak akan terganggu karena amicus curiae bukan pihak dan tidak akan pernah dapat menjadi pihak dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. Berkaitan dengan hal tersebut, amicus curiae juga tidak berpengaruh terhadap kedaulatan negara anggota. Diketahui juga bahwa dengan perkembangan amicus curiae yang ada sekarang, ternyata amicus curiae tidak memberikan banyak manfaat dalam proses penyelesaian sengketa di WTO.

Amicus curiae or friends of the court was a practice known in ancient Roman times and in the common law system. The amicus, at the court's discretion, provided information on areas of law beyond the expertise of the court or impartial legal information that was beyond the court?s notice, so for the judge may make a quality judgment. Now, amicus curiae also participated in proceeding before the international courts, such as the ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID and WTO, as well as the domestic courts with civil law system. The participation of amicus curiae and receipt of amicus briefs in the dispute settlement process in the WTO, has lead the protests from developing countries members of the WTO. Amicus curiae is considered to interfere with the rights of members, in the respect of a party in the dispute settlement proceeding. Amicus curiae is also considered to affect the sovereignty of member states. The purpose of this paper is to determine how the actual position of the amicus curiae in the WTO dispute settlement and toward the developing countries of WTO members. The survey revealed that the amicus curiae in the WTO dispute settlement, merely the fulfillment of the Panel to make the objective assessment of the matters before it. The member states right as the party shall not be interfered because amicus curiae is not the party and will never be as the party to the dispute settlement in the WTO. In this regard, amicus curiae also does not affect the sovereignty of member states. With the development of amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO. Rights of member states as parties litigant will not be interrupted because an amicus curiae is not a party and will never be a party to the dispute settlement process in the WTO. Please also note that with the development of the present amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathiannisa Gelasia
"Masuknya era globalisasi dalam bidang perdagangan merupakan titik majunya dunia persaingan dalam pasar perdagangan baik domestik maupun internasional. Dimana dalam dunia perdagangan tujuan untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya terkadang menyebabkan munculnya tindakan anti persaingan yang salah satu diantaranya adalah tindakan monopoli. Di Indonesia tidak semua monopoli dilarang secara langsung oleh UU yang berlaku. Monopoli yang dilaksakan berdasarkan hukum adalah salah satu bentuk monopoli yang pelaksanaanya tidak dilarang. Monopoli berdasarkan hukum atau Monopoly by Law adalah pelaksanaan monopoli yang didasarkan pada pengaturan hukum tertentu. Pada umumnya monopoli berdasarkan hukum merupakan monopoli yang diberikan sebagai hak istimewa oleh negara kepada BUMN atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk untuk melaksanakan hak tersebut. Pemberian hak monopoli tersebut hanya terbatas pada produksi-produksi negara yang penting bagi hajat hidup orang banyak dan penting bagi negara. Monopoli berdasarkan hukum juga dapat berbentuk monopoli yang dilaksanakan sebagai bentuk pelaksanaan perintah dari sebuah peraturan tertentu.
Pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum seringkali disalahartikan dan dianggap sebagai celah oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab sebagai sebuah hak untuk menguasai pasar tanpa memperhatikan hakikat awal tujuan dibentuknya pengaturan ini. Penulis berpendapat bahwa monopoli berdasarkan hukum merupakan sebuah kebijakan negara yang memang murni bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan keberadaannya memang dibutuhkan negara. Akan tetapi pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum tersebut harus tetap sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya agar tujuan awal dari dibentuknya monopoli berdasarkan hukum dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia. Maka dari itu pembatasan pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum harus lebih dipertegas dan diperjelas sehingga terpisah dari pelaksanaan praktik monopoli.

The entry of the era of globalization in trade is an advance point in the competitive world market, both domestic and international trade. Where in the world trade, in order to seek profit maximization, sometimes results in the emergence of anti-competitive actions, in which one of them is an act of monopoly. In Indonesia not all monopolies are directly prohibited by applicable law. Monopolies that is held by a certain law is allowed by Indonesia's Competitive Law, but only applicable with some requirements. Monopoly by law is based on specific legal arragement. In general monopoly by law, the privillege of monopolization granted and provided by the state to the state agency or institutions established or designated to exercise such rights. Granting monopoly rights is confined to the productions of the State that are important to the livelihood of many and important to the State itself. Statutory monopoly or monopoly by law can also be a monopoly as the implementation of a certain laws and regulations.
Impelementation of the monopoly by law is often misunderstood and considered a gap by the unresponsible parties as a right to dominate the market regardless of the nature of the initial purpose of the establishment of this arrangement. The author argues that the monopoly by law is a state policy which is purely aimed at the welfare of the people of Indonesia and its presence is needed most. However, the implementation of monopoly by law or statutory monopoly should remain in line with laws and regulations that govern them so that the original purposes of the establishment of a monopoly by law can be felt by the people of Indonesia. Thus the limitation of the implementation of statutory monopoly should be more emphasized and clarified so that apart from implementing monopolistic practices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1179
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Athira
"Skripsi ini membahas mengenai deposit ciptaan ditinjau dari sudut pandang hukum. Pembahasannya diawali dengan pembahasan mengenai aturan-aturan tentang hak cipta di tingkat internasional, yang terdiri dari Konvensi Bern, UCC 1952, Konvensi Roma, dan Perjanjian TRIPS. Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai asal-usul Undang-Undang No. 4 Tahun 1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam serta Undang-Undang Hak Cipta, lembaga-lembaga terkait hak cipta dan deposit ciptaan, dan gambaran pelaksanaan deposit ciptaan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1999. Selanjutnya, dibahas mengenai deposit ciptaan di Amerika Serikat dan deposit ciptaan berdasarkan Rancangan Undang-Undang Deposit. Nantinya, akan diberikan analisis mengenai deposit ciptaan dalam aturan-aturan hak cipta di tingkat internasional, kaitan antara Undang-Undang No. 4 Tahun 1990 dengan Undang-Undang Hak Cipta, dan arah pengaturan deposit ciptaan di Indonesia.

This thesis discusses legal deposit in terms of legal point of view. The discussion begins with a discussion of the rules on copyright at the international level, consisting of the Berne Convention, UCC 1952, the Rome Convention, and TRIPS Agreement. Then, followed by a discussion on the origin of Law No. 4 of 1990 concerning Deposit of Printed Works and Recorded Works and also the Copyright Law, the institutions relating to copyright and legal deposit, and an overview of the implementation of legal deposit in Indonesia based on the prevailing laws and regulations, namely Law No. 4 of 1990, Government Regulation No. 70 of 1991, and Government Regulation No. 23 of 1999. Furthermore, it is discussed about legal deposit in the United States and legal deposit under the Draft of Deposit Law. There will be an analysis of legal deposit in the international copyright rules, the link between Law No. 4 of 1990 and the Copyright Law, and about the future regulation of legal deposit in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valencia Wijaya
"Prinsip itikad paling baik atau utmost good faith menitikberatkan pada adanya pengungkapan informasi material yang benar dan sejujur-jujurnya. Apabila prinsip ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Dengan demikian, prinsip ini pun harus dipenuhi oleh para pihak, baik oleh penanggung maupun tertanggung. Akan tetapi, nyatanya di dalam pelaksanaanya prinsip ini kerap kali mendapati berbagai pelanggaran. Dalam Putusan Nomor 240/Pdt.G/2020/PN JKT. SEL, terdapat pembatalan sepihak perjanjian asuransi oleh PT Prudential Life Insurance selaku penanggung terhadap Alm. Waozaro Harefa selaku tertanggung atas dasar Alm. Waozaro Harefa telah menyembunyikan fakta material berupa penyakit yang dideritanya sebelum adanya penutupan asuransi. Akan tetapi, apabila dicermati lebih lanjut, ditemukan fakta bahwa melalui agennya PT Prudential Life Insurance telah melakukan pemeriksaan medis setelah pembayaran premi pertama. Selain itu, agen asuransi juga memintakan biaya premi setelah Alm. Waozaro meninggal dunia dan biaya untuk pengurusan klaim yang nyatanya tidak sesuai dengan prosedur dari perusahaan PT Prudential Life Insurance. Melalui metode penulisan doktrinal, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai pemenuhan prinsip utmost good faith dan bentuk pertanggungjawaban dari agen asuransi dalam pelanggaran prinsip utmost good faith. Dalam hal ini, ditemukan bahwa penanggung telah memenuhi prinsip utmost good faith dengan baik karena pembayaran premi pertama tidak serta merta mengartikan bahwa asuransi telah ditutup, tetapi biaya tersebut hanya merupakan “titipan” belaka. Kemudian, yang telah melakukan pelanggaran prinsip utmost good faith adalah tertanggung karena telah melakukan misrepresentasi ketika melakukan pengisian SPAJ. Kemudian, terkait pertanggungjawaban agen, agen dapat dimintakan pertanggungajawaban karena telah melakukan tindakan yang melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.  Dalam tulisan ini, ditemukan juga kekeliruan hakim dalam memutuskan perkara karena hakim menghukum perusahaan asuransi, perusahaan keagenan, dan ahli waris agen asuransi untuk bertanggung jawab secara tanggung renteng atas pembayaran klaim.

The principle of utmost good faith emphasizes the disclosure of true and honest material information. This principle is one of the essences of insurance agreements because if this principle is not fulfilled, the contract will be null and void. Thus, this principle must be fulfilled by both parties, the insurer and the insured. However, in practice, this principle often encounters various violations. In Decision Number 240/Pdt.G/2020/PN JKT. SEL, there is an issue regarding the unilateral cancellation of the insurance agreement by PT Prudential Life Insurance as the insurer against the late Waozaro Harefa as the insured based on the late Waozaro Harefa concealing material facts, namely a pre-existing illness, before the insurance contract is concluded. However, it was found that through its agent PT Prudential Life Insurance had conducted a medical examination after the first premium payment. In addition, the insurance agent also asked for premium fees after the late Waozaro died and fees for managing claims which in fact were not in accordance with the procedures of the company PT Prudential Life Insurance. Through the doctrinal writing method, this paper will further discuss the fulfilment of the principle of utmost good faith and the form of liability of insurance agents in violation of the principle of utmost good faith. In this case, it is found that the insurer has fulfilled the principle of utmost good faith well because the payment of the first premium does not necessarily mean that the insurance has been closed, but the fee is only a mere "deposit". Then, the one who has violated the principle of utmost good faith is the insured because he has made a misrepresentation when filling out the SPAJ. Then, regarding the agent's liability, the agent can be held liable because he has taken actions that exceed the authority given to him.  In this paper, there was also a misjudgement by the judge in deciding the case because the judge punished the insurance company, the agency company, and the heirs of the insurance agent to be jointly and severally liable for the payment of the claim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Yohanna Amelia
"Dalam Convention Relating to the Status of Refugees (“Konvensi Pengungsi”) diaturmengenai prinsip non-refoulement juga merupakan hukum kebiasaan internasional dengan karakter jus cogens. Prinsip non-refoulement berlaku dari tahap awal proses suakahingga repatriasi. Repatriasi diupayakan bersifatsukarela, aman, dan bermartabat agar tidakmenimbulkan refoulement. Ketentuan prinsipnon-refoulement kembali dipertegas dalamEuropean Convention on Human Rights(“ECHR”) dan Charter of Fundamental Rights of the European Union (“EU Charter”). Denmark merupakan negara anggota dari Council of Europe (“CoI”) dan European Union (“EU”) yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan EU Charter serta melakukan inkorporasi ECHR ke dalam hukum nasionalnya. Pada tahun 2019, Denmark melakukan pengembalian pengungsiSuriah karena Suriah telah aman berdasarkanpenilaian Denmark dalam Country of Origin Information 2019. Tindakan Denmark tidakdidukung oleh organisasi internasional dan non-governmental organisation (“NGO”) yang menyatakan bahwa repatriasi sukarela, aman, dan bermartabat ke Suriah belum tersedia. Denganmenggunakan metode penelitian hukum normatifyang berbasiskan pada data sekunder, penelitianskripsi ini hendak menganalisis apakahpengembalian pengungsi Suriah di Denmark melanggar prinsip non-refoulement. Adapun hasilpenelitian yang telah dilakukan, ditemukankesimpulan bahwa belum ada tindakan dan indikasi pelanggaran prinsip non-refoulementyang dilakukan oleh Denmark. Meski demikian, Denmark diharapkan untuk tetap menjunjungtinggi ketentuan prinsip non-refoulement dan memenuhi hak-hak dasar pengungsi yang hendakdikembalikan. Denmark juga diharapkan untukmenjaga komitmennya sebagai bagian dari EU dan CoI yang melalui instrumen hukumnya, yakni ECHR dan EU Charter, mempertegaskembali ketentuan prinsip non-refoulement. Denmark dapat melakukan kolaborasi organisasiinternasional, NGO, dan komite nasional Suriahuntuk memastikan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat.

Convention Relating to the Status of Refugees("Refugee Convention") governs the concept of non-refoulement as well as customary international law with jus cogens character. From the beginning of the asylum procedure till repatriation, the principle of non-refoulement applies. Repatriation is intended to be voluntary, safe, and dignified in order to avoid refoulement. The concept of non-refoulement has been reiterated in the European Convention on Human Rights ("ECHR") and the European Union Charter of Fundamental Rights ("EU Charter"). Denmark is a member of the Council of Europe ("CoI") and the European Union ("EU"), and it has ratified the Refugee Convention and the EU Charter, as well as incorporated the ECHR into national law. In 2019, Denmark carried out the return of Syrian refugees because Syria was safe based on the Danish assessment in the Country of Origin Information 2019. However, Denmark is expected to continue to uphold the provisions of the principle of non-refoulement and fulfill the basic rights of refugees who desire to be repatriated. Denmark is also required to retain its commitment as a member of the EU and CoI, which reaffirms the principle of non-refoulement through its legal instruments, particularly the ECHR and the EU Charter. Denmark can work with international organizations, non-governmental groups, and Syrian national committees to facilitate voluntary, safe, and dignified repatriation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allissa Nabila Putri
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia terhadap kasus penyalahgunaan posisi dominan Google Android di Rusia dengan menekankan kepada dua hal yaitu penerapan hukum di Indonesia terhadap kasus di Rusia serta tindakan KPPU dalam menangani kasus serupa. Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan studi pustaka yang bersifat yuridis normatif. Dari hasil penerapan Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999 terhadap kasus penyalahgunaan posisi dominan Google di Rusia, diketahui bahwa tindakan Google telah memenuhi unsur-unsur Pasal 25, sehingga tindakan Google merupakan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. Mengenai peranan KPPU dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kasus penyalahgunaan posisi dominan Google di Indonesia, berdasarkan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, maka proses penanganan ini kemungkinan besar bersumber atas dasar inisiatif sendiri. Dikarenakan dilakukan atas dasar inisiatif sendiri, maka KPPU harus mengumpulkan beberapa data yang telah ditentukan oleh Peraturan. Terhadap data-data yang dikumpulkan kemudian dilakukan kajian, lalu dilanjutkan dengan penelitian dan pengawasan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelidikan serta pemeriksaan dan diakhiri dengan pembacaan putusan oleh Majelis.

This paper discusses the application of competition law in Indonesia against cases of abuse of dominant position Google Android in Russia by emphasizing to two issues of law enforcement in Indonesia to the case in Russia, comparative law and the actions of the Commission in dealing with similar cases. This study is the use of literature that is normative. From the research results it can be said that if the case, as has happened in Russia also occurred in Indonesia, then under the provisions of Article 25 of Law No. 5, 1999 Google 39 s actions included in the category of abuse of dominant position. Regarding the role of the Commission in the face of the possibility of a similar case, based on the Commission Regulation No. 1 In 2010, then handling process is most likely derived on the basis of their own initiative. Due to be done on the basis of their own initiative, the Commission then had to collect some data that have been determined by Regulation Against the data collected and then be examined, and then continued with his research. Furthermore, the Commission also had to supervise the business actors who allegedly committed the offense.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66744
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fikry Yonesyahardi
"Skripsi ini membahas tentang kepelabuhan di Indonesia yang dahulu dilakukan secara monopoli oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia sebagai BUMN. Monopoli yang dilakukan oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia ini diperbolehkan oleh undang-undang (monopoly by law) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Kemudian pada tahun 2008 lahirlah Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang membuat hilangnya status monopoli PT (Persero) Pelabuhan Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membahayakan sektor kepelabuhan, dikarenakan pentingnya sektor ini dan juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu perlu dianalisa dampak-dampak terhadap liberalisasi pelabuhan ini agar liberalisasi sektor pelabuhan tidak menjadi bumerang yang dapat merugikan negara dan rakyat. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa liberalisasi pelabuhan memiliki dampak yang signifikan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan dan persaingan usaha dalam bidang kepelabuhanan.

This thesis discusses the port in Indonesia formerly monopolized by PT (Persero) Pelabuhan Indonesia as a state company. Monopoly by PT (Persero) Pelabuhan Indonesia is allowed by law (monopoly by law) is regulated in Law Number 21 Year 1992 concerning Shipping and Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition. Later in the year 2008 was born the Law No. 17 Year 2008 concerning Shipping which makes the loss of monopoly status PT (Persero) Port of Indonesia. This condition will greatly harm the port sector, due to the importance of this sector and also about the welfare of the majority. Therefore it is necessary to analyze the effects on the liberalization of port and to prevent this liberalization to becoming a boomerang that could harm the country and its people. This study uses a normative juridical studies where data is mostly from the literature study. The results suggest that the liberalization of the port has a significant impact on the implementation of port and port competition in the field.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42497
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erico Novianto
"Skripsi ini membahas mengenai ketentuan hukum crowdlending di Indonesia yang diterapkan oleh GandengTangan.org. Ketentuan hukum yang mengatur tentang crowdlending di Indonesia diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pelaksanaan kegiatan crowdlending menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi berdasarkan perjanjian pinjam meminjam. Dalam perjanjian pinjam meminjam ini, terdapat kemungkinan permasalahan bahwa pinjaman untuk suatu proyek yang didanai dengan crowdlending tidak terlaksana serta tidak melunaskan hutangnya. Apabila proyek yang didanai dengan crowdlending tidak terlaksana dan penerima pinjaman tidak melunaskan hutangnya, maka penerima pinjaman wanprestasi. Pertanggungjawaban penerima pinjaman dalam akibat hukum wanprestasi adalah wajib memenuhi kewajibannya atau mengembalikan uang yang telah diterima dari pemberi pinjaman dan membayar kerugian yang diderita oleh pemberi pinjaman.

This thesis discusses abour the legal terms of crowdlending in Indonesia applied by GandengTangan.org. The legal provisions governing the crowdlending in Indonesia are regulated in Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 POJK.01 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Undang Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, and Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Implementation of crowdlending activities under the Regulation of the Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77 POJK.01 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi based on lending agreement. In this lending agreement, there is the possibility that the loan for a project funded with a crowdlending is not accomplished and does not pay off its debt. If a project funded with a crowdlending is not accomplished and the borrower does not repay the debt, there will be a breach of aggrement. The consequence of the breach of aggrement is obliged to fulfill its obligation or return the money received from the lender and pay the losses suffered by the lender.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69589
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai
tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu,
ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap
kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa
terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan
memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions
to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that
disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on
the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if
the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>