Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107255 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siska Wiramihardja
"[ABSTRAK
Latar belakang: Intestinal failure (IF) merupakan masalah pascabedah dengan
outcome yang buruk. Saat ini telah terdapat rekomendasi terapi gizi pada IF
berdasarkan etiologinya, namun belum ada laporan serial kasus yang memaparkan
aplikasinya.
Presentasi Kasus: Pasien dalam serial kasus ini terdiri dari 3 perempuan dan 1
laki-laki, berusia 21?42 tahun. Terhadap pasien ditegakkan diagnosis IF dengan
berbagai etiologi, yaitu 3 pasien dengan fistula enterokutan (FEK) dan 1 pasien
dengan short bowel syndrome (SBS) end jejunostomy. Terapi gizi pada pasien IF
berdasarkan etiologinya. Pada pasien FEK high output, kebutuhan energi 1,5?2
kali resting energy requirement (RER) atau 37?45 kkal/kg BB/hari, protein 1,5?2
g/kg BB/hari. Pada FEK low output kebutuhan energi 1?1,5 kali KEB (25?30
kkal/kg BB/hari), protein 1?1,5 g/kg BB/hari. Pada pasien FEK yang mendapat
terapi konservatif, didapat outcome peningkatan kadar albumin serum dan berat
badan, serta produksi fistel yang berkurang. Pasien FEK dengan persiapan
rekonstruksi usus halus terdapat perbaikan keadaan umum dan peningkatan kadar
albumin serum. Pada pasien SBS, terkait kondisi pascabedah maka terapi gizi
sesuai rekomendasi Enhanced Recovery After Surgery (ERAS), dengan
kebutuhan energi 25?30 kkal/kg BB/hari dengan komposisi makronutrien yang
seimbang. Pada pasien ini dilakukan distal feeding dan pengaturan laju tetesan
kimus untuk mencegah sindrom dumping. Pasien SBS didapat outcome
peningkatan kadar albumin dan berat badan selama masa perawatan.
Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang adekuat memberikan outcome yang baik pada pasien IF.ABSTRACT Background: Intestinal failure (IF) is a postoperative complication with poor
outcome. Nowadays, many of nutritional management recommendations based on
etiologies of IF, but no report about those application.
Case Presentation: Three female and one male patients were included in this case
series, aged 21?42 years old. Nutritional needs in IF patients are determined by
their etiologies. IF in this case series caused by enterocutaneous fistula (ECF)
and short bowel syndrome (SBS). Nutritional needs on ECF patients depend on
their fistula production. In patients with high output ECF, energy requirement is
in 1.5?2 resting energy requirement (RER) or 37?45 kcal/kg BW/day, protein
1,5?2 g/kg BW/day. In low output ECF, energy requirement is 1?1.5 RER or 25?
30 kcal/kg BW/day hari, protein 1?1.5 g/kg BW/day. In ECF patients given
conservative therapy, serum albumin and body weight increased, while the fistula
production decreased. In patients with preoperative of intestine reconstruction
surgery, there were improvement in general condition with the increase of serum
albumin. In SBS patients, related to the postoperative condition, energy was given
according to Enhanced Recovery after Surgery (ERAS) recommendation 25?30
kkal/kg BW/day with balance of macronutrient composition. In SBS end
jejunostomy patient the food was given through distal feeding with adjusted
chymus drip to prevent dumping syndrome. There were increased in serum
albumin and body weight of the patients.
Conclusion: Adequate support medical therapy of clinical nutrition in IF patients give good outcome. , Background: Intestinal failure (IF) is a postoperative complication with poor
outcome. Nowadays, many of nutritional management recommendations based on
etiologies of IF, but no report about those application.
Case Presentation: Three female and one male patients were included in this case
series, aged 21–42 years old. Nutritional needs in IF patients are determined by
their etiologies. IF in this case series caused by enterocutaneous fistula (ECF)
and short bowel syndrome (SBS). Nutritional needs on ECF patients depend on
their fistula production. In patients with high output ECF, energy requirement is
in 1.5–2 resting energy requirement (RER) or 37–45 kcal/kg BW/day, protein
1,5–2 g/kg BW/day. In low output ECF, energy requirement is 1–1.5 RER or 25–
30 kcal/kg BW/day hari, protein 1–1.5 g/kg BW/day. In ECF patients given
conservative therapy, serum albumin and body weight increased, while the fistula
production decreased. In patients with preoperative of intestine reconstruction
surgery, there were improvement in general condition with the increase of serum
albumin. In SBS patients, related to the postoperative condition, energy was given
according to Enhanced Recovery after Surgery (ERAS) recommendation 25–30
kkal/kg BW/day with balance of macronutrient composition. In SBS end
jejunostomy patient the food was given through distal feeding with adjusted
chymus drip to prevent dumping syndrome. There were increased in serum
albumin and body weight of the patients.
Conclusion: Adequate support medical therapy of clinical nutrition in IF patients give good outcome. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dorna Yanti Lola
"Latar Belakang: Diabetes melitus DM merupakan penyakit epidemik yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Jumlah penderita DM ini diperkirakan akan mencapai 552 juta orang pada tahun 2030. Kadar glukosa darah KGD yang tidak terkontrol merupakan penyebab terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler sehingga meningkatkan angka morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap. Terapi medik gizi klinik adekuat dan sesuai dengan kondisi klinis pasien dapat mencegah, memperlambat dan memperbaiki komplikasi akibat DM.
Metode: Pasien serial kasus dengan diagnosis DM tipe 2 disertai berbagai komplikasi, berusia 48 ndash;71 tahun. Satu dari empat pasien mendapatkan nutrisi melalui nasogastric tube NGT , dan sisanya melalui oral. Terapi medik gizi diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing. Pemberian karbohidrat disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan dosis insulin yang diperoleh pasien. Pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien.
Hasil : Keempat pasien mengalami perbaikan keadaan klinis antara lain luka pada kaki, sesak napas hilang, edema dan asites berkurang, ureum dan kreatinin membaik. Kasus pertama, kedua dan keempat mengalami perbaikan pada kadar glukosa darah, sedangkan kasus ketiga KGD masih tetap tinggi pada saat keluar dari RS. Keempat pasien pulang ke rumah dengan kondisi membaik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang adekuat untuk mengontrol KGD dapat membantu memperbaiki keadaan klinis dan mencegah perburukan pada pasien DM tipe 2 dengan berbagai komplikasi.

Background: Diabetes mellitus DM is an epidemic disease that is increasing year by year around the world. The number of DM patients is estimated 552 million people by 2030. Uncontrolled blood glucose level is one of the cause of macrovascular and microvascular complications that may increase morbidity, mortality and length of hospitalization. An adequate nutrition therapy in accordance with the clinical condition of the patient may help to prevent, delay and improve the complications due to DM.
Methods:All patients in these case series were diagnosed with type 2 DM accompanied by various complications, aged 48-71 years. One in four patients was administered nutrition through tube feeding, and the rest through oral. Nutrition therapy was given to all patients according to their clinical conditions. Carbohydrate was adjusted to the patient 39;s needs and the dose of insulin obtained by the patient. Protein administration was adjusted for each patient 39;s renal function.
Result:Four patients experience of improving of clinical conditions, such as breathlessness, reduced edema and ascites, decreased urea and creatinine levels. The first, second and fourth cases improve in blood glucose levels, while the third case remains to have high blood glucose level at the time of discharge. While all patients discharge from hospital with better condition.
Conclusion: An adequate clinical nutrition therapy to improve glycemic control is needed to improve clinical conditions and prevent deterioration in patients with type 2 DM with various complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mulyantari
"Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari.
Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan.
Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien.

Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients.
Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day.
Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days.
Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eleonora Mitaning Christy
"Ileostomi merupakan tindakan pembedahan pembuatan lubang (stoma) antara
ileum dan dinding abdomen, bertujuan untuk pengalihan feses. Ileostomi umumnya
dibuat pada pasien yang menjalani penanganan kanker kolorektal, neoplasma
stadium lanjut dengan infiltrasi usus halus, maupun peradangan saluran cerna.
Ileostomi high output (produksi stoma ileum >1500 mL/hari) dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, maupun malnutrisi pada pasien. Saat
ini belum ada pedoman tata laksana nutrisi komprehensif untuk pasien ileostomi
high output. Serial kasus ini bertujuan untuk mendukung terapi, mengatasi
malnutrisi, menunjang perbaikan klinis, sehingga dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas pasien ileostomi high output. Empat pasien ileostomi high output
dengan rentang usia 42 hingga 50 tahun mendapatkan terapi medik gizi selama
perawatan di rumah sakit. Tiga kasus merupakan kasus kronik dengan keganasan,
sementara satu kasus lainnya merupakan kasus akut yaitu adhesi dan perforasi
akibat hernia femoralis strangulata. Keempat kasus tersebut merupakan ileostomi
high output onset awal, yaitu yang terjadi kurang dari tiga minggu pasca pembuatan
stoma. Berdasarkan kriteria malnutrisi American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (ASPEN), keempat pasien ini tergolong malnutrisi berat. Terapi
medik gizi diberikan dengan prinsip pemberian makanan dan minuman porsi kecil
namun sering, restriksi cairan hipotonik, pemberian minuman berupa larutan
elektrolit-glukosa, pemberian medikasi anti motilitas, serta koreksi cairan dan
elektrolit menurut kebutuhan dan kondisi klinis pasien. Target asupan energi dan
protein pada keempat pasien dapat tercapai selama perawatan. Selama pemantauan,
keempat pasien mengalami penurunan output ileostomi, serta perbaikan
keseimbangan cairan dan elektrolit darah. Satu pasien mengalami perburukan klinis
dan meninggal akibat sepsis pada hari perawatan ke-18. Tiga pasien pulang dengan
kondisi klinis perbaikan. Satu pasien mengalami peningkatan output ileostomi saat
perawatan di rumah, kemudian dirawat kembali sepuluh hari setelah pulang karena
komplikasi anemia gravis dan ketidakseimbangan elektrolit, dan pada akhirnya
meninggal. Terapi medik gizi dapat menurunkan produksi stoma, memperbaiki
kadar elektrolit darah, serta memperbaiki keseimbangan cairan pada pasien
ileostomi high output.

Ileostomy is a surgical procedure to divert the ileum onto an artificial opening in
the abdominal wall, aimed for fecal diversion. Ileostomy is commonly created in
patients undergoing treatment for colorectal cancer, advanced neoplasms with
intestinal infiltration, or gastrointestinal inflammation. High output ileostomy
(stoma output >1500 mL per day) can cause imbalance of fluid and electrolytes,
and malnutrition in patients. At present, there is no comprehensive nutrition
management guideline for high output ileostomy patients. This case series aimed
to support therapy, prevent malnutrition, improve clinical condition, as well as to
reduce the morbidity and mortality of high output ileostomy patients. Four high
output ileostomy patients, with a range of age 42 to 50 years old received medical
nutrition therapy during their hospital stay. Three cases were chronic cases in
malignancy, while the other case was an acute case of adhesion and perforation due
to strangulated femoral hernia. All four cases were early onset high output
ileostomy, occurring in three weeks after stoma creation. Based on the American
Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) malnutrition criteria, these
four patients were classified as severe malnutrition. Medical nutrition therapy was
administered according to a set of principles: small frequent feeding and drinking,
hypotonic fluid restriction, oral electrolyte-glucose solution administration, antimotility
medication administration, as well as fluid and serum electrolyte
correction, according to patients' needs and clinical conditions. The target of energy
and protein intake in all patients were achieved during hospital stay. During hospital
monitoring, decreased ileostomy output as well as improvement in fluid and
electrolyte balance were observed in all patients. One patient clinically worsened
and died due to sepsis on the 18th day of hospital stay. Three patients showed
improvement in clinical condition and were discharged. One patient experienced an
increase in ileostomy output at home, and then readmitted ten days after hospital
discharge due to severe anemia and electrolyte imbalance and subsequently died.
Medical nutrition therapy may decrease output as well as improve fluid and
electrolyte balance in patients with high output ileostomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
"Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka.

The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Susanti Febri
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kolestasis adalah penyumbatan atau terhambatnya aliran empedu dari hati ke duodenum, dibagi menjadi intra dan ekstrahepatik. Kolestatis ekstrahepatik terutama disebabkan oleh obstruksi. Pankreatikoduodenektomi merupakan terapi pembedahan pilihan, dapat menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis saluran cerna. Perubahan ini menimbulkan maldigesti dan malabsorpsi, menyebabkan malnutrisi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapat dukungan nutrisi.Presentasi kasus : Empat kasus kolestasis ekstrahepatik, dengan keluhan ikterus di seluruh badan, nyeri perut. Tiga kasus 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan , disebabkan keganasan dan 1 kasus karena striktura CBD jinak. Semua pasien menjalani pembedahan, dengan lama operasi berkisar antara 3 sampai 9 jam. Pemenuhan protein dan asam amino terutama asam amino rantai cabang, diupayakan maksimal, yang diperoleh dari kombinasi makanan cair polimerik dan putih telur. Lemak dibatasi maksimal 30 dari energi yang diberikan, dengan kandungan medium-chain triglycerides MCT tinggi. Pankreatikoduodenektomi menimbulkan perubahan pada organ saluran cerna, dengan gejala mual dan perut begah setelah makan, dapat diatasi dengan penyesuaian cara pemberian, jumlah dan bentuk nutrisi tiap kondisi pasien. Selama perawatan di RS, secara umum asupan makanan dan kondisi klinis pasien membaik, serta pulang dengan perbaikan kondisi klinis.Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik pada pasien dengan kolestasis, dapat membantu terapi bedah dan medikamentosa untuk memperoleh outcome pasca bedah dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
"
"
ABSTRACT
Background Cholestasis is a blockage or obstruction of the flow of bile from the liver to the duodenum, divided into intrahepatic and extrahepatic. Extrahepatic cholestasis mainly due to the obstruction. Pancreaticoduodenectomy surgery is the treatment of choice, can cause anatomical and physiological changes in the gastrointestinal tract. These changes maldigesti and malabsorption, causing malnutrition, as well as increased morbidity and mortality if not received nutritional support.Case Presentation Four cases of extrahepatic cholestasis, jaundice throughout the body, abdominal pain. Three cases 1 male and 2 female , due to malignancy and 1 case for the CBD benign stricture. All patients underwent surgery, with long operating range from 3 to 9 hours. Fulfillment of protein and amino acids, especially branched chain amino acids, maximum effort, which is obtained from a combination of a polymeric liquid food and egg white. Fat is limited to maximum 30 of the energy supplied, containing medium chain triglycerides MCT high. Pancreaticoduodenectomy cause changes in the organs of the gastrointestinal tract, with symptoms of nausea and abdominal discomfort after eating, can be overcome by adjusting the mode of administration, the amount and form of nutrients each patient 39 s condition. During treatment in hospital, in general, food intake and clinical condition of the patients improved, as well as return to the improvement of clinical conditions.Conclusion The clinical nutrition medical therapy in patients with cholestasis, can help surgical and medical therapy to obtain post surgical outcomes and improve the quality of life of patients."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Salim
"Pasien kanker dan infeksi rentan mengalami malnutrisi. Malnutrisi berat merupakan faktor risiko dari sindrom refeeding, suatu pergeseran cairan dan elektrolit yang berat akibat nutrisi yang diberikan pada pasien malnutrisi dan menimbulkan gangguan metabolik. Deplesi mineral intrasel (hipofosfatemia, hipomagnesemia, hipokalemia), gangguan cairan tubuh (refeeding edema), defisiensi tiamin, aritmia, gagal nafas, dan gagal jantung kongestif merupakan tanda dan gejala sindrom refeeding yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dilaporkan empat pasien malnutrisi berat dengan tuberkulosis (TBC) paru dan karsinoma nasofaring (KNF) yang mengalami sindrom refeeding saat dirawat di rumah sakit. Terapi medik gizi dengan pemberian energi awal kurang dari 20 kkal/kgBB/hari lalu ditingkatkan bertahap, kadar elektrolit darah yang rendah dilakukan koreksi melalui oral atau intra vena, juga diberikan suplementasi tiamin dan mikronutrien lain. Pemantauan ketat klinis, tanda vital, keseimbangan cairan, dan kadar elektrolit darah dilakukan minimal 24 jam selama nutrisi diberikan. Pada akhir perawatan, terdapat perbaikan gejala dan tanda sindrom refeeding, serta kadar elektrolit darah. Lama perawatan pasien di rumah sakit 11-27 hari. Terapi medik gizi yang benar dan sesuai dapat mengurangi keparahan sindrom refeeding, memperbaiki klinis dan kadar elektrolit darah pasien.

Patients with cancer or infection disease are vulnerable to malnutrition. Severe malnutrition is a risk factor for refeeding syndrome, profound shifts of fluid and electrolytes that is developed from refeeding and causes metabolic disturbances. Intracellullar mineral depletion (hypophosphatemia, hypomagnesemia, hypokalemia), body water imbalance (refeeding edema), thiamine deficiency, arrhythmia, respiratory failure and congestive heart failure are the signs and symptoms of refeeding syndrome which can increase morbidity and mortality. We report four severe malnutrition patients with pulmonary tuberculosis and nasopharyngeal carcinoma who developed refeeding syndrome while being treated for their underlying illness in hospital. Medical nutrition therapy started with energy less than 20 kcal/kg/day and increased slowly, low blood electrolytes levels were supplemented with oral or intravenous electrolytes. Patients were also given thiamine and another micronutrient supplementation. Patients were monitored closely for clinical conditions, vital signs, water balances and blood electrolytes levels minimum every 24 hours. Before discharge, improvement was seen in signs and symptoms of refeeding syndrome, and blood electrolytes levels. Hospital length of stay was 11 to 27 days. Appropriate medical nutrition therapy can reduce refeeding syndrome severity, give clinical and blood electrolytes levels improvement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>