Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliana Gunawan
"Pajak yang timbul sebagai akibat dari teijadinya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yaitu Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dipungut berdasarkan sistem Self Assessment menggunakan Surat Setoran Pajak Penghasilan dan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 35/PJ/2008 tentang Kewajiban Pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Sebelum seseorang diwajibkan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, ia terlebih dahulu harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif, jika hanya memenuhi salah satu syarat ia belum diwajibkan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pokok permasalahan yang diangkat penulis dalam penelitian ini adalah: bagaimana peraturan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) beserta prakteknya menyangkut kewajiban pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak Penghasilan dan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan? dan bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) khususnya terkait dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)?. Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak ada pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bahwa Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tax arises as the impact of land and/building rights transfer which is realized by means of Income Tax and Duty on the Acquisition of Land and Building Rights. These taxes are collected based on the Self Assessment system using the Tax Payment Form and Duty on the Acquisition of Land and Building Rights Tax Payment Form which are regulated in the Regulation of Directorate General of Tax Number 35/PJ/2008 35/PJ/2008 on the Obligatory Ownership of Mandatory Taxpayer Number on Land and/ Building Rights Transfer. The Mandatory Taxpayer Number is a facility in the tax administration which is used to identify the Taxpayer. Before a person can obtain this number, the applicant must first fulfill the subjective and objective requirement cumulatively. Partial completion does not lead to the obligation to own Mandatory Taxpayer Number.
In this thesis, the author would like to discuss about rules regarding the Income Tax and Duty on the Acquisition of Land and Building Rights Tax Payment Form along with its practice regarding the Obligatory Ownership of Mandatory Taxpayer Number on Land and/ Building Rights Transfer Tax Payment Form. In addition it also seeks to research about the responsibility of Official Certifier of Land Deeds in the enactment of Income Tax and Duty on the Acquisition of Land and Building Rights, particularly relating to the Mandatory Taxpayer Number. The legal research method applies a juridical normative research methodology which focuses on the aspects or norms of positive law. From the research, it is concluded that the regulation regarding Mandatory Taxpayer Number conflicts with Law Number 28 Year 2007 on General Rules and Taxation Procedures, Law Number 38 Year 2008 on Income Tax and Law Number 28 Year 2009 on Provincial Tax and Provincial Levies."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T43906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Rusjdi
Jakarta: Indeks, 2005
336.2 MUH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Listyawati
"Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, peranan pejabat umum tanah ini semakin eksis dalam hukum tanah di Indonesia. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah kecuali pemindahan hak melalui lelang, sebagaimana dikehendaki dalam UPA harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT. Sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan, PPAT tunduk pada
ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
BPHTB. Namun dalam praktik mash ditemukan adanya penyimpangan terhadap
ketentuan tersebut, ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB.
Salah satu contonya adalah kasus jual beli tanah yang dilakukan oleh Tuan Reza Sulaiman Sundjaja selaku kuasa sah dari Tuan Rangga Sunargo dengan Nona Ariana Widjaja telah merugikan PPAT yang membut akta tersebut. Faktor ketidaktahuan atau pula kecerobohan dalam jangka waktu pembayaran BPHTB,
menyebabkan PPAT tersebut dikenai sanksi administratif yang tidak sedikit
jumlahnya. Mengenai akta yang dibuat oleh PPAT yang dikenai sanksi tersebut tidak menjadi batal atau dengan kata lain tetap sah dimata hukum. Hal ini dikarenakan akta tersebut tetap telah memenuhi syarat formal maupun material.
Hanya saja amatlah disayangkan apabila didalam suatu transaks jual beli yang kita lakukan menyebabkan orang lain yang menanggung kerugiannya. Di dalam praktek, nal seperti ini dapat saja menimpa siapapun. Oleh karena itu seorang PPAT sebagai pejabat memeriksa lebih teliti dokumen yang diperlukan atau menawarkan membayarkan sendiri setoran BPHTB ke kantor cabang Bank yang ditunjuk oleh pemerintah yang diwajibkan tersebut, agar tidak terulang kasus yang serupa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24698
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Listyawati
"Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, peranan pejabat umum tanah ini semakin eksis dalam hukum tanah di Indonesia. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah kecuali pemindahan hak melalui lelang, sebagaimana dikehendaki dalam UPA harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT. Sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan, PPAT tunduk pada
ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
BPHTB. Namun dalam praktik mash ditemukan adanya penyimpangan terhadap
ketentuan tersebut, ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB.
Salah satu contonya adalah kasus jual beli tanah yang dilakukan oleh Tuan Reza Sulaiman Sundjaja selaku kuasa sah dari Tuan Rangga Sunargo dengan Nona Ariana Widjaja telah merugikan PPAT yang membut akta tersebut. Faktor ketidaktahuan atau pula kecerobohan dalam jangka waktu pembayaran BPHTB,
menyebabkan PPAT tersebut dikenai sanksi administratif yang tidak sedikit
jumlahnya. Mengenai akta yang dibuat oleh PPAT yang dikenai sanksi tersebut tidak menjadi batal atau dengan kata lain tetap sah dimata hukum. Hal ini dikarenakan akta tersebut tetap telah memenuhi syarat formal maupun material.
Hanya saja amatlah disayangkan apabila didalam suatu transaks jual beli yang kita lakukan menyebabkan orang lain yang menanggung kerugiannya. Di dalam praktek, nal seperti ini dapat saja menimpa siapapun. Oleh karena itu seorang PPAT sebagai pejabat memeriksa lebih teliti dokumen yang diperlukan atau menawarkan membayarkan sendiri setoran BPHTB ke kantor cabang Bank yang ditunjuk oleh pemerintah yang diwajibkan tersebut, agar tidak terulang kasus yang serupa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37025
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S10031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Sriwahyuti
"ABSTRAK
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan dalam
pelaksanaannya masih dihadapkan pada permasalahan dari
pihak Wajib Pajak, antara lain : masyarakat belum
sepenuhnya mengetahui dan memahami pemberlakuan peraturan
tersebut. Masyarakat merasa keberatan atas pungutan PPh.
Sejalan dengan itu ada praktek-praktek seperti pemecahan
pengalihan hak atas tanah dan bangunan, pencantuman Nomor
Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan sebenarnya, Keberatan
atas besarnya Nilai Jual Obyek Pajak, keluhan terhadap
pungutan dalam proses legalisasi. Sementara itu dari pihak
Pelaksana Pajak masih sering kurang teliti dalam
pemantauan, penelitian tentang kebenaran materil dan dari
segi kuantitas banyaknya Pelaksana Pajak juga tidak sesuai
dengan jumlah Wajib Pajak; Disamping itu dari pihak-pihak
lain yang turut membantu dalam pelaksanaan pemungutan PPh
dan BPHTB antara lain Notaris/PPAT mempersoalkan apakah
turut bertanggung jawab atas pengisian Surat Serotan BPHTB
atau Surat Setoran PPh. Oleh karenanya Undang-Undang
tersebut perlu dikaji dari sudut teori pemungutan pajak,
asas-asas perpajakan, asas-asas antara lain yang
dikemukakan oleh Adam Smith dan syarat pembentukan
peraturan perpajakan serta dapat disempurnakan dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Pelaksanaan
pemungutan PPh dan BPHTB perlu didukung oleh sumber daya
manusia (pelaksana pajak) baik secara kualitas berprilaku
jujur dengan kuantitas dapat menunjang tercapainya target
pajak. Sedangkan untuk Notaris/PPAT perlu ada ketegasan
bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran
materil pengisian Surat Setoran BPHTB ataupun pelaksanaan
pembayaran PPh sehubungan dengan tugasnya dalam membuat
akta."
2002
T36813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wulat Arum Juktikanti
"Dalam pelaksanaan pengenaan pajak PPh dan BPHTB, yang dikenakan sehubungan dengan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka N'AT maupun Pejabat Lelang yang memiliki tugas dan peran ubtuk mengamankan pemasukan dari PPh dan BPHTB tersebut menghadapi berbagai kendala/hambatan. Kendala/hambatan tersebut berkaitan dengan masalah penerapan hukumnya, SSP dan SSB palsu, serta tidak segera dibuatnya BPHTB yang merupakan kewajiban Pemenang Lelang (Wajib Pajak). Sebagaimana diketahui bersama, pada saat ini pemerintah Indonesia berencana meningkatkan jumlah pendapatan yang berasal dari pajak (pada RAPBN 2003), karenanya pendapatan dari sektor pajak, terutama PPh dan BPHTB, harus dapat dioptimalkan sehingga dapat mencukupi rencana pemasukan dari sektor pajak bagi APBN di Tahun Anggaran 2003, dan Tahun-tahun Anggaran berikutnya, dan pada akhirnya dapat membuat negara ini sedikit demi sedikit terlepas dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Kendala/hambatan ini bersitan erat dengan tugas dan tanggung jawab Pengawasan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun oleh Pemerintiah Daerah setempat di mana Objek Pajak terletak. Jika Pengawasan Pajak dilaksanakan sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan (Undang-undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan/UU KUP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP), maka dapat diharapkan bahwa segala bentuk hambatan tersebut, paling tidak dapat diminimalkan, untuk tidak mengatakan menjadi ditiadakan sama sekali. Karena pelaksanaan Pengawasan Pajak tidak berjalan secara efektif dan efisien menyebabkan terjadinya potensi kerugian negara terhadap masuknya pajak PPh dan BPHTB menjadi meningkat.
Dengan demikian pengawasan yang merupakan tanggungjawab Direktorat Jenderal Pajak maupun Pemerintah Daerah setempat di mana Objek Pajak berada, dapat melaksanakan pengawasan sebagaimana mestinya, baik dengan meningkatkan sumber daya manusia-nya, maupun penegakan hukum-nya (law enforcement) yang harus dilaksanakan dengan tegas dan tidak membedakan oknum pelakunya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>