Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190995 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yedia Dini
"Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian Perkawinan bukanlah hal yang popular dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suami-istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri. Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 29. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah apakah dimungkinkan pengesahan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung serta apakah konsekuensi dari perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga yang tidak didaftarkan pada pencatat perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga adalah dengan cara mensahkan perjanjian perkawinan tersebut kepada pegawai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan untuk suami-istri tidak mempunyai akibat hukum yang signifikan, karena perjanjian tersebut tetap mengikat kepada kedua belah pihak, sedangkan untuk pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak ketiga.

Marital agreement is an agreement between a husband or wife, to arrange a marriage due to their property, which deviates from unity wealth. The marriage agreement is not popular in the community, because the community there is the idea that a husband and wife who made a marriage agreement is considered not wholeheartedly love their partner, because they do not want to divide the wealth obtained. This is due to the existence of the marriage covenant itself in the marriage there is no joint property and that there are only personal property of each of the husband or wife. Regarding the marriage agreement is regulated in Law No. 1 of 1974 on Marriage, Article 29. The problem presented in this thesis is whether the possible ratification of the treaty of marriage after the marriage took place and whether the consequences of the marriage covenant against third parties who are not registered with the registration of marriage, the research in this thesis is the type of normative research, the study of primary legal materials and secondary law.
From the results of this study concluded the requirements that must be met in order for a marriage agreement has binding force on the third party is to ratify the marital agreement to the employee registration of marriage as set out in Article 29 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 on Marriage. The legal consequences if the marriage covenant are not registered to the husband and wife have no legal consequences are significant, because the agreement remains binding to both parties, while for a third party, if the marriage covenant are not registered then the legal consequences of the marriage covenant does not have binding legal force to third parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Sari
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian kawin yang dibuat sepasang suami istri sepanjang perkawinan saat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK) belum diputuskan. Perjanjian kawin yang tujuan utamanya untuk mengatur harta benda perkawinan wajib dibuat secara tertulis oleh suami istri sebelum atau saat dilangsungkannya perkawinan serta disahkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Perihal inilah yang dibahas dalam penelitian ini, dengan berdasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Nomor 534/PDT/2019/PT SMG, dengan permasalahan yang ditemukan yaitu keabsahan dan pertanggungjawaban Notaris terkait dengan legalisasi perjanjian kawin bawah tangan, keabsahan perjanjian kawin yang dibuat sepanjang masa perkawinan dan tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan keabsahan pembagian hutang bersama dan harta bersama oleh Majelis Hakim dengan berdasarkan pada perjanjian kawin yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, Penulis melakukan penelitian dengan bahan pustaka berupa peraturan dan literatur terkait. Dan setelah dilakukan penelitian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian kawin dapat berupa akta bawah tangan yang dilegalisasi Notaris, karena Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 hanya mensyaratkan perjanjian kawin dibuat secara tertulis. Penulis menyimpulkan bahwa membuat perjanjian kawin sepanjang masa perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 dan mengakibatkan perjanjian kawin menjadi batal demi hukum, sedangkan ketidakpatuhan untuk mengesahkannya ke Pegawai Pencatat Perkawinan mengakibatkan perjanjian kawin hanya mengikat diantara para pihak dan tidak kepada pihak ketiga. Lebih lanjut, penggunaan perjanjian kawin yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 sebagai dasar membagi harta dan hutang bersama dirasa kurang tepat, sekalipun perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada masa perkawinan sebagaimana tafsir Putusan MK, suatu perjanjian kawin tidaklah diperbolehkan untuk merugikan pihak ketiga. 

This thesis analyzes marriage agreement between husband and wife during the marriage in times where the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUU-XIII/2015 have not been sentenced yet. Objective of marriage agreement is to regulate wealth and property between husband and wife during their marriage. Marriage agreement can only be made before or while marriage and must be registered to Marriage Registrar Official as regulated by Article 29 Law Number 1 Year 1974 regarding to Marriage (UU 1/1974). In a case in Central Java as documented in Central Java’s High Court Verdict Number 534/PDT/2019/PT SMG, several issues were found which are the validity of the notary regarding authorization of marriage agreement, validity of marriage agreement which did not authorized by Marriage Registrar Official and validity of  joint wealth and debt sharing which did not comply with Article 29  paragraph (1) Law 1/1974. Using normative juridical method, the writer did this research using reference to related regulations and literature. After conducting the research, the writer concluded that a marriage agreement can be authorized through legalization in front of a notary because Article 29 paragraph (1) Law 1/1974 only requires a marriage agreement to be made in written form. The writer also concluded that a marriage agreement which was made during the times of marriage did not comply with Article 29 paragraph (1) UU 1/1974 hence null and void in front of the law. Meanwhile, marriage agreement that had not been authorized by Marriage Registrar Official will only binding between the parties, not binding the third party.  Lastly, the use of unlawful agreement as the base of wealth and debt sharing between husband and wife is not rightly did by Council of the Judges, because although the marriage agreement can be made during the marriage as interpreted in the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUUXIII/2015, a marriage agreement made is not allowed to harm the third party. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Noryani Christina
"Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga.
In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage. The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have any legal consequences to third party."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gebby Putri Suwardi
"Perjanjian perkawinan bukanlah hal yang popular dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suami-istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri. Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 29 yang kemudian dirubah dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah akibat hukum perjanjian kawin yang tidak disahkan sebelum dan sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 serta akibat hukum perjanjian kawin yang tidak disahkan pasca terjadinya perceraian terhadap harta bersama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 598/PK/Pdt/2016.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian yang digunakan yakni deskriptif analitis. Akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 adalah hanya mengikat kedua pihak dan pasca putusan tersebut akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan adalah perjanjian kawin tersebut sah dan mengikat kedua pihak dan dapat mengikat pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yang dapat dilakukan selama perkawinan dilangsungkan. Sementara akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan pasca perceraian terhadap harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh masing-masing pihak tetap menjadi milik masing-masing.

Marital agreement deed is not popular in the community, because the community there is the idea that a husband and wife who made marital agreement is considered not wholeheartedly love their partner, because they do not want to divide the wealth obtained. This is due to the existence of the marriage covenant itself in the marriage there is no joint property and that there are only personal property of each of the husband and wife. Regarding the marital agreement is regulated in Law No. 1 of 1974 on Marriage, Article 29 which has been changed with The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015.The problems presented in this thesis are what is legal effect of illegalized marital agreement deed before and after The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 also legal effect illegalized marital agreement deed after the divorce toward joint property.
The research in this thesis is the type of normative, the study of primary legal materials and secondary law. The type of research that used in this thesis is descriptive analytical by taking problems or focusing on issues as they were when the research was conducted, which was then processed and analyzed for conclusion. The legal effect of the illegalized marital agreement deed before The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 is only binds both parties husband and wife and the legal effect of illegalized marital agreement deed after that decision is binding both parties huband and wife and applies a third party after being legalized by marriage registrar. The legal effect of illegalized marital agreement deed after the divorce toward joint property is the property acquired during the marriage by each party shall remain the property of each."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beby Humaira
"ABSTRACT
Pada praktiknya, perjanjian perkawinan mengatur mengenai harta dalam perkawinan, yakni mengenai pemisahan harta. Persyaratan perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yakni perjanjian perkawinan harus didaftarkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Namun pada kenyataannya, masih banyak para pihak suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan tetapi tidak didaftarkan. Hal ini mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, tidak berlaku bagi pihak ketiga. Penulis tertarik meneliti masalah perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan ini apabila harta dalam perkawinan dipindahtangankan secara sepihak (oleh salah satu pihak suami atau isteri saja) kepada pihak ketiga melalui jual beli. Untuk mencari solusi dari masalah ini penulis melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif, perundang-undangan, dan analitis. Karya ilmiah ini menggunakan kajian ilmu hukum normatif dan tipe berdasarkan sifatnya merupakan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan ialah tidak berlakunya atau mengikatnya perjanjian perkawinan tersebut terhadap pihak ketiga, sehingga harta yang diperjualbelikan bagi pihak ketiga masih merupakan harta bersama. Oleh karena itu, maka dalam proses jual beli harta bersama tersebut pihak ketiga harus mendapat persetujuan kedua belah pihak suami isteri. Apabila dilakukan dengan tanpa persetujuan salah satu pihak suami isteri, maka pihak tersebut dapat mengajukan pembatalan jual beli harta bersama tersebut. Mengenai perlindungan terhadap pihak ketiga, perlindungan hanya dapat dilakukan apabila pihak ketiga beritikad baik pada saat proses jual beli harta bersama tersebut.

ABSTRACT
In practice, marriage agreements usually regulate property in marriage, namely regarding the separation of assets. The requirements of the marriage agreement are regulated in Article 29 of Law No. 1 of 1974, as the marriage agreement must be registered with the Department of Population and Civil Registration or the Office of Religious Affairs. But in the reality, there are still many spouses that make marriage agreements but not registered. That caused the marriage agreements are only valid for both parties who making the agreement, but not for third parties. The author is interested in examining the issue of marriage agreements that are not registered if the assets in marriage are unilaterally transferred (by one of the husband or wife) to a third party through buying and selling. To find a solution to this problem, the author conducted there search with a qualitative, legislatif, and analytical approach. This scientific work uses the study of legal science and type based on its nature which is descriptive research. The results of the study indicate that the legal consequences of the marriage agreement that is not registered are the non-valid or attachement of the marriage agreement to a third party, so that the traded asset by the third party is still considered as a joint asset. Therefore, in the process of buying and selling shared assets, the third party must obtain the approval of both husband and wife parties. If it is carried out without the consent of one of the husband and wife parties, then the party may submit a cancellation of the sale of the joint assets. Regarding the protection of third parties, protection can only be done if the third party has good intentions during the process of  buying and selling of the joint assets."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grey, Andrew
"Dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perjanjian kawin harus didaftarkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan. Kewajiban untuk mencatatkan perjanjian kawin bertujuan agar perjanjian perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang sah bagi para pihak yaitu suami dan istri serta terhadap pihak ketiga yang terkait untuk itu. Namun dalam perkembangan saat ini yang terjadi di masyarakat, terdapat perjanjian perkawinan yang belum sempat didaftarkan namun perkawinan antara suami istri tersebut telah putus karena cerai. Akibat hukum yang dapat timbul dari kelalaian tidak mendaftarkan perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung tersebut akan berdampak pada kekuatan mengikatnya perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa kasus, antara lain pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 598 PK/Pdt/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012.
Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, sebab penelitian ini menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis, pengaturan dan pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dihubungan dengan objek penelitian. Berdasarkan analisis kedua putusan tersebut, dapat diketahui bahwa terkait kekuatan mengikatnya perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan setelah adanya perceraian bahwa perjanjian perkawinan tetap berlaku bagi para pihak yang membuatnya, hal ini berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu tetap mengikat bagi suami-istri yang telah sepakat membuatnya, sedangkan untuk mengikat pihak ketiga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena pendaftaran perjanjian perkawinan untuk memberitahu kepada masyarakat luas adanya pemisahan harta suami dan istri dalam perkawinan.

On article 29 section 1 Law about Marriage, is mentioned if a marital agreement should be registered toward Marriage Registry Employee. The obligation of registering marital agreement aims so it has binding power for each following party those are husband and wife, also the related third party. However, as the development goes by in society nowadays, there are agreements which have not been registered, but the marriage between husband and wifeis over because of divorce. The legal implication which could exist from the negligence of not registering marital agreement as long as the marriage itself, that is the implication upon the binding power of created marital agreement. It could be found by several cases, such as Decision of Supreme Court Number 598 PK Pdt 2016 and Decision of Supreme Court Number 585 K Pdt 2012.
The author used Juridist Normative as the research formation, because this research is emphasizing upon the use of written norms, regulation and implementation of marital agreement which was connectedby the object of research. Based on analysis of both decisions, it can be concuded that about its binding power of unregistered marital agreement after divorce, that is marital agreement still applies for every party who createdthe agreement itself, as writen in Article 1338 Indonesian Civil Code, that is still binding for husband wife who did agree to create the agreement, whilst for third party doesn rsquo t apply the permanent binding power, because the registration of marital agreement is aiming to announce upon society about the separation of husband wife rsquo s property in a marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regika Christy
"ABSTRAK
REGIKA CHRISTYProgram Studi : KenotariatanJudul : Perjanjian Kawin Pada Perkawinan Antar Negara Antara Warga Negara Indonesia Dan Warga Negara New Zeland Yang Dilakukan Di New Zeland Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia terhadap perkawinan beda warga negara yaitu wanita WNI dengan seorang pria yang berkewarganegaraan New Zealand, yang tunduk pada peraturan perkawinan di New Zealand dikarenakan keduannya akan melangsungkan pernikahan di negara tersebut. Perjanjian perkawinan dibuat sebelum keduanya mengsungkan pernikahan di New Zealand, yang dibuatkan oleh Notaris di Indonesia. Dengan alasan bahwa pihak istri berkewarganegaan Indonesia dan pasangan ini akan berdomisili di New Zealand, sehingga atas hal tersebut membuat calon mempelai wanita yang berkewarganegaan Indonesia memiliki segudang pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang mereka buat di Indonesia oleh notaris Indonesia di New Zealand Selain ada persamaan maupun perbedaan tentang isi perjanjian perkawinan di Indonesia dan New Zealand, kedudukan terhadap harta-harta selama perkawinan terkait perjanjian kawin yang dibuat oleh Notaris di Indonesia dapat dikatakan bahwa mengenai status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama, berdasarkan undang-undang adalah dipersamakan haknya dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas hak pakai, sedangkan hak Milik masih dapat diusahakan oleh WNI pelaku perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, tetapi dengan cara-cara ilegal. Kata Kunci :Hukum Perkawinan, Perjanjian Kawin, Warga Negara Indonesia, Warga Negara Selandia Baru.

ABSTRACT
Name REGIKA CHRISTYProgram of Study NotaryTitle Prenuptial Agreement Between Indonesian Citizen And New Zealand Citizen Which Conducted In New ZealandPrenuptial Agreement made by Indonesian public notary against a marriage of a different citizen, an Indonesian female citizen and New Zealand male citizen, subject to a marriage law in New Zealand due to her marriage will be conducted in that country. The prenup was made before the couple married in New Zealand, which was made by Indonesian public notary. For the reason that the bride of Indonesian citizen will be domiciled in Zealand, therefore causing the bride of an Indonesian citizenship has plenty of questions about the legality of their prenuptial agreement made by Indonesian public notary in New Zealand.In addition to the similarities anddifferences between the contents of the prenuptial agreement in Indonesia and New Zealand, the position of the marital property related to the prenuptial agreement made by Indonesian notary can be said that regarding the status of Indonesian citizen land ownership in marital property, according to the law, is equal to the right of land for their foreign spouse, which is the Right of Use Title Hak Pakai . While Freehold Title Hak Milik may still be cultivated by Indonesian citizen in mixed marriage without prenuptial agreement, but with ilegal means."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karsina Lopinta Dimaya Rumengan
"Penelitian ini membahas mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada para pihak yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian perkawinan yang berkenaan dengan gugatan hak bersama yang dilayangkan oleh satu pihak. serta penafsiran ketentuan pasal dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan perundangan lainnya yang berkenaan dengan perjanjian perkawinan. Permasalahan yang diangkat adalah menganalisis pengaturan tentang keabsahan Akta Autentik Perjanjian Perkawinan dan menelaah pelaksanaan hukum nasional terkait perjanjian perkawinan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif serta penelitian data yang digunakan adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data studi dokumen dan pustaka . Hasil analisa dari penelitian ini adalah bahwa perjanjian perkawinan mulai dipilih oleh calon pasangan suami istri di Indonesia demi melindungi aset dan kepentingan lainnya, namun masih juga menimbulkan masalah terkait harta bersama. Maka dari itu, perlunya notaris turut giat mensosialisasikan manfaat dan akibat hukum serta bersikap tegas akan pembuatan perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notarial. Hal ini semata demi melindungi kepentingan klien.


This research discusses the legal protection provided to parties who bind themselves to the Prenuptial Agreement in connection with a claim for collective rights filed by one party. As well as the interpretation of the provisions of the Article in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage along with other laws and regulations regarding the prenuptial agreement. The problem raised is analyzing the arrangements regarding the validity of the Authentic Prenuptial Agreement and examining the implementation of national laws related to the marriage agreement.

To answer this problems, the method used in this research is normative juridical research. The data used are secondary data with documents and literatures study data collection tools. The result of the analysis is that the marriage agreement has begun to be selected by the prospective husband and wife in Indonesia in order to protect their assets and other interests, but still raises problems related to joint assets. Therefore, it it necessary for notaries to actively socialize the benefits and consequences of the law and to be firm in the making of a marriage agreement that must be made with a notarial deed. This is solely for the sake of protecting the client's assets."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilla Ayu Pratiwi
"Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum, putusnya perkawinan pun menimbulkan akibat hukum. Salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah mengenai pembagian harta bersama. Pembagian harta bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal di dalam gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta, harus diajukan gugatan baru mengenai pembagian harta setelah putusan cerai dikeluarkan oleh pengadilan. Hal ini menjadikan proses perceraian menjadi lambat dan berlarut-larut. Untuk menyiasatinya, suami istri yang sudah sepakat akan pembagian harta biasanya membuat perjanjian pembagian harta sebelum perceraian. Permasalahan dalam tesis ini yaitu keberadaan pengaturan dan kekuatan mengikat dari perjanjian pembagian harta sebelum perceraian. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Simpulan berdasarkan permasalahan di atas adalah terkait dengan perjanjian pembagian harta sebelum perceraian, tidak ditemukan peraturan yang eksplisit baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Karena tidak dijelaskan dengan gamblang tentang diperbolehkan atau dilarang, maka dapat diartikan perjanjian pembagian harta itu dimungkinkan asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian tentulah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya, dan karenanya bersifat mengikat. Untuk mencegah adanya pihak yang beritikad tidak baik dengan cedera janji di kemudian hari, sebaiknya perjanjian pembagian harta sebelum perceraian dibuat dengan akta notariil dan disampaikan ke pengadilan agar dapat dimasukkan ke dalam putusan pengadilan.

Since marriage is a legal act, legal separation or divorce also creates legal consequences, one of them is the divison of marital property. The division of marital property and divorce can be filed at the same time. When a division of property were not mentioned in the divorce suit, a new lawsuit regarding that matter is needed after divorce judgement issued by the court. This makes the divorce process to be slow and protracted. As a solution, husband and wife who had agreed to the division of property usually make arrangements before the divorce. Problems in this thesis are the existence of regulation and the binding force of a division of marital propery rsquo s agreement before divorce. Library research method is used in conducting the research.
Conclusions based on the problems above are regarding of the division of property agreement before the divorce, there are no explicit regulations either in the Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Undang Undang Perkawinan or Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Perkawinan. Because it is not clearly explained wether it rsquo s allowed or prohibited, it means the division of property agreement was possible as long as it meets the terms of the validity of the agreement. Agreements are made in compliance with the terms of the validity of the agreement would have been valid as legislation for the author, and therefore binding. To prevent tort liability later in the day, preferably division of marital property rsquo s agreement before divorce has to be made by notary and submitted to the court in order to be incorporated into the judgment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggyka Nurhidayana
"

ABSTRAK

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri mengenai harta benda perkawinan, selain harus dibuat di hadapan Notaris harus pula disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan agar perjanjian perkawinan yang dibuat berlaku pula terhadap pihak ketiga. Dalam penelitian tesis ini, dibahas mengenai bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap suami-istri dan pihak ketiga serta bagaimana perlindungan hukum bagi istri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan suami atas harta bersama yang diikat dalam  perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dengan menganalisis Putusan Nomor 82/Pdt.G/2018/Pn.Skt. dan kesesuaian putusan tersebut dengan KUHPerdata, UU Perkawinan, dan KHI. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan tipologi penelitian preskriptif. Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus disahkan/didaftarkan oleh pagawai pencatat perkawinan. Akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang belum disahkan adalah tetap mengikat kedua belah pihak, namun tidak mengikat pihak ketiga. Sehingga keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan tetap mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian perjanjian perkawinan dapat menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum kepada salah satu pihak saat terjadi sengketa pembagian dan pemisahan harta kekayaan. Dapat diambil kesimpulan bahwa Notaris harus mensosialisasikan perjanjian perkawinan secara jelas kepada para penghadapnya, sehingga mereka mengetahui akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang telah disahkan kepada pihak ketiga dan perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk mengajukan gugatan pemisahan harta kekayaan dalam  perkawinan.

 

Kata Kunci: Perjanjian perkawinan, Notaris, Pegawai Pencatat Perkawinan.

 


ABSTRACT

Marriage agreements made by prospective spouses regarding marital property, other than to be made in the presence of the Notary, must also be confirmed / signed by the marriage registrar in order for the marriage agreement to be valid with the third party. In the study of this thesis, it discusses how the validity of the marriage agreement has not been ratified by the marriage registrar against the spouse and the third party and how the legal protection of the wife against the lawful act of the husband on the common property is bound by the marriage agreement which has not been confirmed by the employee marriage registrar, by analyzing Decision No. 82 / Rev.G / 2018 / Pn. and the suitability of the decision in accordance with the Penal Code, the Marriage Law, and the KHI. The type of research used is descriptive analysis with typological research typology. Article 29 of the Marriage Law stipulates that the marriage agreement must be ratified / signed by the marriage registrar. The legal consequences of unresolved marriage agreements remain binding on both parties, but not third parties. So that the validity of the marriage agreement not yet signed / signed by the marriage registrar remains binding on both parties. Thus the marriage agreement can be one form of legal protection to either party in the event of a division of property and property disputes. It can be concluded that the Notary must explicitly negotiate the marriage agreement with his or her party, so that they are aware of the legal consequences of the marriage agreement being passed to the third party and that the marriage agreement made before the Notary can be a powerful tool for filing a suit of separation of property in marriage.

 

Keywords: Marriage agreement, Notary, Marriage Registrar.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>