Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harkin S. Manta
"ABSTRAK
Kerjasama ekonomi antar negara yang melibatkan perdagangan dan investasi didalamnya akan semakin meningkat. Salah satu pemicu meningkatnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam satu perjanjian internasional adalah munculnya NAFTA pada tahun 1993. Ketentuan NAFTA menimbulkan konsekuensi hukum kepada Host State yakni untuk melaksanakan prinsip non-diskriminasi. Dalam Kasus penerapan pajak produk HFCS, Meksiko melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan NAFTA terkait ketentuan National Treatment dan Fair and Equitable Treatment (FET). Berdasarkan tindakan tersebut maka muncul sengketa di bidang perdagangan dan investasi dalam kasus yang sama. Kasus ini akan menjadi suatu pembelajaran yang menarik dalam melakukan kerjasama antar negara di bidang ekonomi.

ABSTRACT
Economic Partnership between countries that involved to trade and investment will be increase more. One of the trigger of many agreement that carried trade and investment in it was appears of NAFTA on January 1st 1994. The content of NAFTA caused legal obligation to the Party especially Host State to applied the nondiscrimination principle. In the application of HFCS tax, Mexico did inconsistent action to the NAFTA which are to National Treatment obligation and Fair and Equitable Treatment (FET) obligation. Based on Mexico?s action, that arise conflict both in trade and investment. This case would be interesting lesson in doing economic partnership between countries.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priskila Pratita Penasthika
"Prinsip national treatment merupakan prinsip dasar yang diamanatkan Persetujuan TRIPS kepada negara-negara anggota WTO dalam pelaksanaan usaha perlindungan HKI. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia terikat untuk menerapkan prinsip national treatment Persetujuan TRIPS ini dalam usaha perlindungan HKInya. Sejumlah putusan DSB-WTO memperlihatkan terjadinya perkembangan pemahaman prinsip national treatment dalam penyelesaian Sengketa merek di DSB- WTO. Meskipun Indonesia tidak terikat dengan putusan-putusan DSB-WTO yang tidak melibatkannya sebagai pihak, Indonesia tetap perlu untuk mempertimbangkan putusan-putusan tersebut dalam usaha perlindungan merek yang dilakukannya. Sejumlah putusan Pengadilan Niaga terkait Sengketa merek telah menunjukkan bahwa prinsip national treatment Persetuj uan TRIPS ini telah diterapkan. Kata kunci: prinsip national treatment, penyelesaian Sengketa, merek.

National treatment principle is the basic principle mandated by TRIPS Agreement to the member countries of WTO in their IPR protection. AS the member of WTO, Indonesia is bound to implement the TRIPS Agreement`s national treatment principle in its IPR protection. Some DSB-WTO`s decisions show the development of understanding of national treatment principle in trademark`s dispute Settlement in DSB-WTO. Although Indonesia is not bound by DSB-WTO`S decisions in which Indonesia is not a party to, Indonesia still needs to consider those decisions for its IPR protection. Some of the Commercial Court of IndoneSia`s decisions confirm that the national treatment principle of TRIPS Agreement has been implemented in trademark`s dispute settlement."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31048
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Mira
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prinsip dan standard fair and equitable treatment FET dalam kerangka hukum investasi internasional dan menganalisis interpretasi prinsip FET pada sengketa investasi internasional terutama dalam sengketa yang melibatkan Indonesia untuk kemudian dijadikan suatu pembelajaran dan materi evaluasi bagi kebijakan hukum Indonesia mengenai investasi asing di masa yang akan datang. Prinsip FET sebagai prinsip fundamental dalam hukum investasi internasional sudah dipraktekkan secara global. Tetapi, prinsip yang bertujuan untuk menjaga dan memberikan perlakuan sama rata dan non-diskriminatif terhadap investor dan investasi asing ini tidak luput dari permasalahan hukum. Ragam klausula FET di tiap perjanjian investasi internasional menimbulkan multiinterpretasi mengenai standard keberlakuan FET terutama dalam sengketa investasi internasional. Dalam kerangka hukum investasi internasional terdapat beberapa klasifikasi standard FET: FET sebagai ldquo;FET unqualified rdquo;/FET sebagai autonomous/ independent standard, FET sebagai customary international law minimum standard dan FET mencakup standard lainnya seperti salah satu contohnya full protection and security FPS . Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal melalui studi kepustakaan. Melalui penelitian ini, kesimpulan yang diraih adalah klasifikasi FET sebagai customary international law minimum standard merupakan standard yang menjadi preferensi investor dan juga host States dan pengaturan hukum Indonesia mengenai investasi asing masih lemah dan belum berhasil mengakomodir perkembangan hukum investasi internasional. Langkah strategis untuk memperbaiki dan memperkuat pengaturan hukum investasi asing di Indonesia diperlukan agar posisi dan kepentingan Indonesia sebagai host States lebih solid tanpa melanggar hak-hak investor asing terutama hak asasi yang mendasar.

This research aims to scrutinize and to provide answers to three matters the workings of principle of fair and equitable treatment FET within the framework of international investment law, the rationale and approach of FET interpretation in investment disputes, especially those involving Indonesia, and also possible update s or reform s for Indonesia rsquo s future investment policies. Without a doubt, FET has become and is a fundamental principle in international investment law hence its global practice. Contemporary international investment law recognises some FET classifications ldquo FET unqualified rdquo FET as autonomous independent standard, FET as customary international law minimum standard and FET that embraces other standards of treatment such as full protection and security FPS among others. However, FET existence to guard and guarantee equitable and non discriminative measures toward foreign investor and investment is inevitably exposed to legal problem s . Due to different wordings and classifications of FET, different arbitral tribunals subsequently produced multiple interpretations of FET. In essential, the research employs doctrinal method and library based research method. As reflected in the research, one may see that FET as customary international law minimum standard is a much favoured standard by host States and foreign investors alike. One may also see that there are weaknesses in Indonesia foreign investment policies thus strategic moves are necessary to be made in order to update and strengthen Indonesia rsquo s interests and position as host States without putting basic rights of foreign investor in jeopardy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Julianto
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis ketentuan kewajiban penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal atau Nasional di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri PM ESDM No. 28 Tahun 2009 terutama terkait keabsahan penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain Asing yang masih dilakukan setelah berakhirnya masa transisi dalam PM ESDM No. 28 Tahun 2009 dan prinsip national treatment dalam perjanjian internasional yang relevan ACIA dan BIT Indonesia-Singapura serta UU No. 25 Tahun 2007. Kewajiban penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal atau Nasional memberikan efek terhadap ketidakpastian penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain serta komitmen Pemerintah Indonesia atas prinsip national treatment dalam perjanjian internasional yaitu ACIA dan BIT Indonesia-Singapura. Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis melalui metode penelitian hukum normatif mengkaji keabsahan penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain oleh Pemegang PKP2B sebagaimana dibahas dalam Putusan Mahkamah Agung Queensland QSC 332 Tahun 2013, dan keselarasan ketentuan kewajiban tersebut dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam prinsip national treatment dalam perjanjian internasional yang relevan. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lain yang telah dilakukan sejak sebelum berlakunya PM ESDM No. 28 Tahun 2009 tetap sah, dan ketentuan kewajiban penggunaan Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal atau Nasional memiliki potensi pertentangan dengan prinsip national treatment dalam perjanjian internasional yang relevan. Sehingga penulis menyarankan Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali ketentuan kewajiban penggunaan Perusahaan Jasa Lokal atau Nasional.

ABSTRACT
This paper analyses on provisions of the mandatory use of Local or National Mining Services Company in Indonesia as required by Law No. 4 Year 2009 and the Minister Regulation of ESDM No. 28 Year 2009, particularly on validity of using the Other Foreign Mining Services Company which is being engaged upon end of transition period provided in the Minister Regulation of ESDM No. 28 Year 2009, and national treatment principle provided in relevant international agreements ACIA and BIT Indonesia Singapore as well as Law No. 25 Year 2007. The mandatory use of the Local or National Mining Services Company affects to certainty of using the Other Mining Service Company and national treatment commitment of the Indonesian Government in relevant international agreements ACIA and BIT Indonesia Singapore . In respect with such issues, the writer by using normative legal research analyse validity of using the Foreign Mining Services Company by the CCoW Holder as elaborated in the Supreme Court of Queensland Decision 332 of 2013, and conformity between such mandatory provisions and the Indonesian Government commitment on national treatment provided in relevant international agreements. According to this research, the writer concludes that the use of Other Mining Service Company which has been done as of the entry into force of the Minister Regulation of ESDM No. 28 Year 2009 is still valid, and provisions on the mandatory use of the Local or National Mining Service Company potentially conflicts with national treatment principle stipulated under relevant international agreements. Therefore, the writer recommends the Indonesian Government to review provisions on the mandatory use of Local or National Mining Services Company."
2017
T47529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Kartika Lestari
"Counter measure merupakan salah satu dari enam keadaan yang dapat mengecualikan internationally wrongful act negara. Dalam praktik penyelesaian sengketa, tidak selamanya dasar pembelaan dengan countermeasure diterima oleh Majelis sebagai suatu countermeasure yang sah. Countermeasure dapat dikatakan sah apabila pelaksanaannya telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Meksiko sebagai Tergugat dalam kasus Archer Daniels Midland Company, Tate &Lyle Ingredients Americas, Inc. melawan Meksiko dan Corn Products International, Inc. melawan Meksiko telah menjadikan countermeasure sebagai dasar pembelaan atas internationally wrongful act yakni pelanggaran terhadap ketentuan investasi Bab XI NAFTA. Majelis dalam dua kasus tersebut ternyata memutuskan countermeasure yang dilakukan oleh Meksiko tidak sah melalui pendekatan yang berbeda terhadap pengujian keabsahan countermeasure.

Countermeasure is one of six circumstances precluding state internationally wrongful act. In the practice of dispute settlement, countermeasure as a ground defense is not always accepted by Tribunal as a legitimate countermeasure. Countermeasure can be considered as legitimate when its implementation has complied with the conditions specified. Mexico as a respondent in the case of Archer Daniels Midland Company, Tate & Lyle Ingredients Americas, Inc. v. the United Mexican States and Corn Products International, Inc. v. the United Mexican States, has made countermeasure as a ground defense of its internationally wrongful act that was a breach of investment provisions of Chapter XI NAFTA. Tribunal in both cases apparently concluded that countermeasure undertaken by Mexico was not a valid countermeasure through different approaches on testing the validity of countermeasure."
2015
S60836
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Sedjahteraa
"Kemunculan MDR-TB menghambat program pemberantasan TB dan berakibat pada meningkatnya angka kematian dan beban control TB. Tempat pengobatan TB, termasuk riwayat pengobatan, sangat mungkin merupakan predictor MDR-TB yang kuat. Tujuan dari studi ini ada untuk mengidentifikasi dan menganalisis tempat pengobatan TB primer sebagai salah satu factor yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan TB menjadi MDR-TB. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Desember 2009 hingga Agustus 2010. Mengguanakan metode cross-sectional, data didapatkan melaui wawancara mendalam dengan 50 pasien MDR-TB yang sedang mendapatkan pengobatan di klinik MDR-TB RS Persahabatan. Dalam jumlah besar pasien MDR-TB mendapatkan pengobatan di puskesmas (38%) dan dokter praktik pribadi (28%). Tidak ditemukan adanya assosiasi antara tempat pengobatan TB pertama dan kepatuhan pasien sedangkan assosiasi terlihat antara tempat pengobatan TB pertama dan peresepan obat gratis.

The emergence of MDR-TB hampers TB eradication program which resulted in high fatality rate and increase burden of TB control. TB treatment place, including history of treatment, might be a strong predictor of MDR-TB. The purpose of this study is to identify and analyze primary TB treatment place as the contributing factor that may lead to the development of TB towards MDR-TB. The data collection was done from December 2009 to August 2010 at Persahabatan Hospital. Using cross-sectional method, data is obtained through thorough interview of 50 MDR-TB patients undergoing treatment in MDR-TB Clinic in Persahabatan Hospital. Large proportion of MDR-TB patient received their primary TB treatment at puskesmas (38%) and private Practice (28%). It is found that there is no association between primary TB treatment place and patient compliance while association appears between primary TB treatment place and free drug prescription."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anassari Salsabiil
"Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (“IA-CEPA”), adalah perjanjian perdagangan yang baru-baru ini disimpulkan, yang mencakup ketentuan Persyaratan yang Adil dan Berkeadilan, Fair and Equitable Treatment, (“Persyaratan FET”)
sebagai standar perlakuan bagi investor asing, dan klausula Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (“PSIN”) sebagai metode penyelesaian sengketa yang disepakati dalam hal timbul perselisihan di antara para pihak. Ada dua poin utama IA-CEPA yang dibahas dalam tesis ini.
Pertama, tesis ini meneliti perbedaan dalam menggunakan Hukum Kebiasaan Internasional tentang Perlakuan Standar Minimum (“PSM”),sebagai standar Persyaratan FET, dan Persyaratan FET hanya terbatas pada Penolakan Keadilan, sebagai dua standar yang
disebutkan dalam IA-CEPA. Kedua, penelitian tentang bagaimana efek yang berbeda dari Persyaratan FET akan mempengaruhi konsistensi antara Persyaratan FET dengan Klausa PSM di IA-CEPA. Melalui metode penelitian hukum normatif yuridis, ditemukan bahwa pertama, Hukum Kebiasaan Internasional PSM akan memberikan cakupan yang lebih luas dari Persyaratan FET di luar hanya penolakan keadilan, dan kedua, bahwa setiap perselisihan
sehubungan dengan Persyaratan FET di IA- CEPA terlepas dari formulasinya akan konsisten dengan Klausa PSIN di IA-CEPA. Dengan demikian, reformulasi tentang Persyaratan FET dalam IA-CEPA disarankan untuk menetapkan batasan yang jelas tentang ruang lingkup Persyaratan FET.

The Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement is a trade agreement recently concluded, which includes the provisions of Fair and Equitable Requirements (“FET Requirements”) as the standards of treatment for foreign investors, and Investor-State Dispute Settlement (“ISDS”) Clause as an agreed dispute resolution in the case that a dispute arise between the parties. There are two key points of the IA-CEPA that is discussed in this thesis. Firstly, this thesis researches the difference in using International Customary Law of the Minimum Standard Treatment as the standards of FET Requirements, and FET Requirements to only limited to a Denial of Justice, as the two standards mentioned in the IA-CEPA. Secondly, the researches on how the different effects of FET Requirements would affect the consistency between the FET Requirements with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Through a juridical normative legal research method, it was found that first, the International Customary Law of MST would render a wider scope of FET Requirements beyond only denial of justice, and second, that any dispute in relation with the FET Requirements in the IA-CEPA irrespective of its formulation would be consistent with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Thus, a reformulation on the FET Requirements in the IA-CEPA is suggested establish clear limitations on the scope of FET Requirements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klager, Roland
"A breach of fair and equitable treatment is alleged in almost every investor-state dispute. It has therefore become a controversial norm, which touches many questions at the heart of general international law. Roland Klager sheds light on these controversies by exploring the deeper doctrinal foundations of fair and equitable treatment and reviewing its contentious relationship with the international minimum."
New York : Cambridge University Press, 2011
346.092 KLA f (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Yudia Mustikasari
"Thesis ini mengangkat isu mengenai peninjauan kembali Analisis Konsistensi Penerapan Prinsip Fair and Equitable Treatment ( FET ) terhadap Putusan Arbitrase atas Investor-State Dispute Settlement ( ISDS ) serta eksistensinya dalam Perjanjian Investasi Internasional yang terdapat dalam Bilateral Investment Treaties (BITs). Isu eksistensi dan inkonsisten ISDS saat ini telah memicu perdebatan mengingat banyaknya gugatan yang diajukan oleh korporasi (MNC/TNC) yang dalam hal ini sebagai investor kepada negara tuan rumah (host state) yang dianggap merugikan host state dalam menjalankan kebijakan di negaranya. Kekurangan-kekurangan yang ada pada ISDS telah membuat hilangnya kepercayaan publik dan karenanya, dibentuklah investment Court System ( ICS ) sebagai sebuah alternatif mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih kredible dengan mencantumkan prinsip-prinsip International Arbitrator Independence. Prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) merupakan salah satu prinsip utama dalam hukum investasi internasional, dimana negara tempat investasi ditanamkan (host state) berkewajiban untuk menjamin perlakuan yang adil dan setara terhadap investasi yang dilakukan oleh investor asing. Dalam perkembangannya, terdapat perdebatan dalam mendefinisikan prinsip FET.

This research pose an issue concerning of reviewing the Consistency Analysis in the Application of the Fair and Equitable Treatment (FET) Principle to the Arbitration Award of the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) and existence which are accommodated in International Investment Agreements contained in Bilateral Investment Treaties (BITS). The of the existence and incosistency of the current ISDS has sparked an intense debate considering a lot of a lawsuit filed by the corporation (MNC/TNC) which in this case as an investor to the host state were considered detrimental to the them in running the domestic. The shortcomings of ISDS have caused a loss of public confidence and hence, an Investment Court System (ICS) was formed as an alternative to a more credible dispute resolution mechanism by including the principles of the International Independence Arbitrator. The principle of Fair and Equitable Treatment (FET) is one of the main principles in international investment law, where the country where investment is invested (host state) is obliged to guarantee fair and equal treatment of investments made by foreign investors. In its development, there is a debate in defining the principle of FET."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Syarlitha Virgasari Sriyanto
"Klausul fair and equitable treatment FET merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kegiatan investasi asing. Klausul FET tersebut muncul dalam hampir seluruh perjanjian penanaman modal asing antar negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, klausul FET masih menjadi kontroversi karena definisi dan ruang lingkupnya yang belum diatur secara tegas dalam hukum internasional, sehingga dalam penerapannya, majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus sengketa investasi tentang pelanggaran klausul FET menafsirkan klausul FET secara luas. Akibatnya, klausul FET dianggap hanya memihak kepada kepentingan investor asing yang mayoritas merupakan negara maju, dan merugikan kepentingan host state selaku negara yang menerima investasi, yang mayoritas merupakan negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pembatasan terhadap klausul FET dengan menentukan komponen-komponen yang terkandung dalam klausul FET dan memasukannya ke dalam ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik. Selain itu, diperlukan juga keseimbangan antara penerapan klausul FET terhadap negara maju dan negara berkembang, dengan menyesuaikan pada tahap pembangunan negara terkait.

Fair and equitable treatment FET is one of the protection clauses in foreign investment. The FET clause exists in almost all international investment agreements between countries, whether in developed countries or developing countries. However, the existence of the said clause is still an object of controversy, since the meaning and scope of the clause have not been stipulated strictly in international law. As a result, during the implementation, the arbitrators who examine and rule the investment cases regarding breach of the FET clause could interpret the clause widely, resulting in bias that the arbitrators only side with the foreign investors from developed countries, and harm the interest of host states from developing countries. Therefore, the limitation of the FET clause is needed, by deciding the components contained in the FET clause and specify the components into more specific rules. Besides, balance is also needed when implementing the FET clause between developed countries and developing countries, to adjust with the development level currently take place in related countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>