Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawati Harsono
"Dalam disertasi ini saya ingin menunjukkan bahwa posisi polisi wanita (polwan) di Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan (Polrestro Jaksel) ditentukan oleh interaksinya dengan polisi Iaki-laki (polki) dalam sebuah dunia kerja yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki. Hubungan polwan polki tersebut banyak dipengaruhi oleh struktur gender, meskipun demikian daiam berbagai struktur hubungan, struktur gender tersebut dapat di "simpan" sesuai dengan konteks yang melingkupi dan kebutuhan pelaku hubungan.
Disertasi ini menekankan bahwa penggolongan merupakan fenomena individual yang muncul dalam interaksi sosial. Fokus pembahasan ditujukan kepada polwan dan polki, baik sebagai individu maupun golongan dan hubungan keduanya dalam lingkungan dunia kerianya yaitu kepoiisian yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki.
Dunia kerja di Polrestro Jaksel dipersepsikan sebagai dunia kerja Iaki-laki karena sangat lama kepolisian di Indonesia hanya mempunyai anggota polki dan baru pada pertengahan abad ke 20 polwan masuk ke dalamnya. Dengan anggota hanya Iaki-Iaki, kebudayaan polisiyang berkembang di sana menjurus bersifat patriarkal dan maskulin mengedepankan dan mengakomodasi kepentingan "patriark", bapak atau Iaki-Iaki. Hal ini tentu juga mempengaruhi Polrestro Jaksel sebagai bagian dari Polri. Kebudayaan tersebut menekankan pada temperamen maskulin yang cenderung mengakomodasi ciri-ciri bersifat teguh, kuat, agresif, ingin tahu, ambisius, perencana, Iugas, tegas, cepat, pragmatis, bertanggung jawab, original, kompetitif, dan berorientasi kepada hasil. Kebudayaan seperti itu cenderung menolak kehadiran perempuan/polwan dan mengedepankan chauvinisme laki-laki.
Sejarah Polri telah membuktikan signitikansi penolakan itu dengan kenyataan bahwa masuknya polwan ke dalam Polri bukan inisiatif dari Iingkungan Polri sendiri. Polwan masuk Iebih karena dorongan politis atau tekanan dari Iuar Polri yaitu ketika golongan perempuan di Indonesia memperjuangkan kesetaraan dengan golongan laki-laki. Terlebih lagi pada masa Polri menjadi bagian ABRI, penolakan terhadap perempuan bahkan muncul dalam berbagai aturan formal yang diskriminatif dan bias gender. Dengan demikian signitikansi batas golongan polwan-polki makin kuat dan posisi polwan makin bergeser dari kesetaraan dengan polki. Perubahan baru datang setelah Polri mandiri di tahun 2000 dan menentukan paradigma baru yang berupaya menjujung tinggi HAM. Akan tetapi karena bias gender berkaitan dengan kebudayaan, perubahannya tidak mudah dan penolakan terhadap perempuan atau anggapan bahwa perempuan adalah goiongan liyan yang tidak setara tidak dapat segera hapus.
Hubungan polwan-polki yang menentukan posisinya tercermin pada pengalaman polwan dan polki selama menjalani proses manajemen personal dan hubungan sosial polwan-polki sebagai atasan, bawahan, rekan sekerja dan anggota masyarakat yang membutuhkan peiayanan polisi. Posisi polwan Polrestro Jaksel dalam hubungan polwan-polki pada manajemen personal di kesatuan tersebut, menunjukkan bahwa penolakan atas dasar gender terhadap polwan masih tinggi.
Bias gender masih berlangsung pada proses seleksi rekrutmen, penempatan dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang terjadi terutarna karena adanya konstruksi pemisahan pekerjaan polwan-polki di mana polwan cenderung ditempatkan di fungsi pembinaan dan poiki operasionai. Polwan juga mendapati bahwa semua nilai, norma, kebiasaan sampai kepada aturan formal seperti petunjuk peiaksanaan (juklak) dan petunjuk Iapangan (jukiap) disusun untuk mengakomodasi kondisi dan kepenting-an laki-laki serta tidak pemah disesuaikan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan yang me-mpunyai hak untuk menjalankan fungsi reproduksinya sambil bekerja Daiam hai ini hak perempuan untuk melaksanakan fungsi reproduksinya, hamil, melahirkan dan menyusui serta merawat balita selalu didikotomikan dengan profesionalitasnya sebagai polisi atau haknya untuk bekerja. Dengan adanya pemisahan pekerjaan atas dasar gender, membuat polwan jarang unggul dalam persaingan memperebutkan sumber daya PoIri.
Meskipun demikian pada penanganan kasus di beberapa fungsi operasional atau dengan munculnya kepentingan-kepentingan individual tertentu, kebutuhan polwan untuk menjalankan peran gendernya sambil menjalankan profesinya dapat ditoierir dan diakomodasi oieh kesatuannya karena pengingkaran terhadap hak polwan sebagai perempuan akan berdampak mengurangi kinerja kesatuan dan prestasi kerja kepala kesatuan. Artinya, dalam hubungan polki - polwan, berbagai masalah atas dasar gender akan "diam" apabiia posisi polwan berkaitan dengan kepentingan-kepentingan individual pelaku hubungan.
Di samping itu Polri diadministrasikan meialui manajemen dan pengorganisasian secara sentralistik dan pada tiap tingkatan manajemen kesatuan kepolisian baik secara vertikai maupun horisontal, konteks pengaruh Iingkungannya berbeda. Dengan demikian penolakan atas dasar penggolongan apapun (gender, pangkat, Iulusan pendidikan dan Iainnya) juga akan "diam' apabila sebuah posisi ditentukan oleh kebijakan struktur yang iebih tinggi. Tetapi dalam kondisi yang Iain, apabila tidak ada intervensi kebijakan atasan, atau tidak ada kelarkaitan dengan kepentingan indvidual yang lain, karena kuatnya struktur gender dalam hubungan polwan-polki, posisi polwan Polrestro Jaksel terbukti rendah.

In this dissertation, I would like to show that the position of female police officer (police women or polwan) in Metro South Jakarta Resort Police (Polresto Jaksel) is determined by their interaction with male police officer (policemen or polki) within the working environment so-called men's world. The relationship between polwan and polki is greatly influenced by gender structure, although in many relationships, such structure can be "kept" in accordance with the surrounding context and the needs of the people in the relationship.
This dissertation stresses that grouping is an individual phenomena appearing in social interaction. The focus is placed on polwan and polki, both as individuals and groups and the relationship between the two of them within the police work environment which is often regarded as men's world.
The world of work al Polrestro Jaksel is seen as men's world because for a long time the Indonesian police force only accepted male police officers. lt was only in the mid 20th century that female police ofhcers started to be accepted to enter. With male only members, the culture that developed tends to be patriarchal and masculine, where the priority lies at accommodating men's interests. This also influenced Polrestro Jaksel as part of the Indonesian Police. The culture emphasizes on masculine temperament with characters such as tough, strong, aggressive, curious, ambitious, planning, straightfonivard, decisive, quick, pragmatic, responsible, original, competitive, and result-oriented. Such culture tends to deny the existence of female police officers and put fonivard male chauvinism instead.
Polri's history has proven the significance of such rejection with the fact that polwan started to enter Polri not as an initiative from Polri itself. Instead, it was more because of a political drive or outside pressure, which is when the women in Indonesia started to fight for equality to men. Even more when Polri became part of the Indonesian Army (ABRI), rejection against women even appeared inthe form of formal regulations that were discriminative and gender-biased Therefore, the significance of the difference between polwan-polki was stronger and polwan's position shifted even further from their inequality to men. A new change came when Polri became independent in 2000 and they found a new paradigm with efforts to uphold human rights. However, because gender-biased is related to culture, the change has not been easy and rejection against women or school of thought that says women are unequal cannot be eradicated anytime soon.
The relationship between polwan-polki that determined their positions is reflected in their experience during personnel management and the social relationship between polwan-polki as superior, subordinate, colleague and members of society who need police's service. Polwan's position in Polrestro Jaksel in their relationship to polki within the personnel management of the unit shows that rejection based on gender is still high.
Gender bias still continues during selectionlrecruitment process, placement and education opportunities. This occurs mostly because of the construction that separates the work of polwan-polki where polwan tends to be placed in preemptive function while polki in operational. Polwan also hnds that all the values, norms, customs and formal regulations such as implementation guidelines (juklak) and field guidelines (juklap) were formulated to accommodate men's conditions and interests and they were never adjusted to accommodate women's rights to exercise their reproductive rights while working. In this case, women's right to exercise their reproductive rights such as being pregnant, giving birth and breastfeeding, as well as taking care of young children, is always dichotomized with their professionalism as polioe ofticers or their right to work. The gender-based work separation has caused polwan to have fewer opportunities to excel in the competition over Polri's resources.
Nevertheless, in terms of case handling in several operational functions or when certain individuals' interests arise, the need for polwan to play their gender role while still living their profession can be tolerated and accommodated by their units because denial against polwan's rights as women will impact on less unit performance and the achievement of the unit chief. This means that in the relationship between polki and polwan, various gender problems will be "still" when polwan's position is related to the interests of the individuals within the relationship.
Apart from that, Poln is centrally managed and organized, and on every management level in police units both vertically and horizontally, the context of environmental influence is difference. Therefore, the rejection based on any classifications (gender, rank, educational baclgqround and others) will also be "silent" when a position is detennined by higher structural policy. However, in another condition, when there is no intenrention on the superior's policy, or there is no relation to other individuals' interests, the strong gender structure within polwan-polki relationship has been proven to cause polwan from Polrestro Jaksel to have low position."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D856
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Purwadi
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian
Latihan fisik (berat) dapat menyebabkan gangguan daur haid karena gangguan poros hipotalamus - hipofisis. Insiden gangguan daur haid ini akan berkurang jika latihan fisik dikurangi atau dihentikan sama sekali. Untuk mengetahui hubungan antara latihan fisik dengan gangguan daur haid pada siswa Semaba Polwan di Jakarta, telah dilakukan penelitian kuasi eksperimen one group pre test- post test design terhadap 82 orang (total sampel) siswa Semaba Polwan di Ciputat Jakarta. Pre tes dilakukan sebelum menjalani latihan fisik, post tes I setelah responden menjalani latihan fisik tingkat berat dan post tes II setelah responden menjalani latihan fisik tingkat sedang. Berat badan dan tinggi badan diukur dengan alat timbang badan dan pengukur tinggi badan. Tingkat latihan fisik ditetapkan melalui perkalian antara berat badan responden dengan energy expenditure aktivitas tersebut dengan rujukan tabel energy expenditure during various activities. Derajat stresor kerja ditentukan dengan kuesioner survai diagnostik stres yang telah disesuaikan dengan keadaan di Sepolwan, kuesioner symptom check list 90 (SCL 90) digunakan untuk mengukur adanya psikopatologi dan gangguan daur haid diketahui dari kartu catatan daur haid. Teknik analisis yang digunakan : uji chi square, penghitungan relative risk dengan confidence interval 95 %, uji korelasi, paired z-test dan analisis regresi logistik dari program SPSS.
Hasil :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa insiden gangguan daur haid sebelum latihan fisik 8,4 %, setelah latihan fisik berat selama tiga bulan 87,8 % dan setelah dosis latihan fisik diturunkan menjadi tingkat sedang 44,0 %. Proporsi gangguan daur haid saat post tes f dibanding saat pre tes menunjukan hasil yang bermakna (p 0,000; RR = 591,47 CI95 %174,43-2005,52) dan proporsi gangguan daur haid saat post tes I dibanding post tes II menunjukan hasil yang bermakna (p=0,000; RR = 4,54 C195 %2,18-9,53).Insiden gangguan daur haid yang terjadi berkurang dengan menurunnya tingkat latihan fisik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa risiko untuk timbulnya gangguan daur haid pada siswa yang menjalani latihan fisik berat 18,12 kali dibandingkan siswa yang menjalani latihan fisik ringan. Stresor kerja dan perubahan berat badan tidak berhubungan dengan terjadinya gangguan daur haid.
Kesimpulan :
Secara umum dapat disimpulkan bahwa timbulnya gangguan daur haid pada siswa Semaba Polwan terutama berhubungan dengan latihan fisik. Gangguan daur haid ini tidak berhubungan dengan stresor kerja dan perubahan berat badan. Dari insiden gangguan daur haid tersebut berkurang dengan menurunnya tingkat latihan fisik.

Scope & Methodology :
Heavy physical exercise has been recognized to cause menstrual dysfunction due to disturbance on the hypothalamic - pituitary axis. The incidence of menstrual dysfunction will decrease, if the burden of physical exercise is decreased or stopped. To study the relationship between physical exercise and menstrual dysfunction among female police cadets in Jakarta; a one group pre & post test design experiment study was conducted on 82 subjects (total sample) female police cadets from Ciputat, Jakarta.
The pre test was conducted before the physical exercise program started, the first post test after 3 months heavy physical exercise and second post test after moderate physical exercise. The body weight and high was measured, physical exercise was classified by multiplying body weight energy expenditure in activity using was measured using Stress Diagnostic Questionnaire adjusted for this population, the Symptom Check List 90 (SCL 90), while menstrual dysfunction was diagnosed by using a menstrual recording chart. Statistical analyses used were Chi - square test, relative risk with 95%, test of association, paired z-test and logistic regression functions.
Result & Conclusions :
The incidence of menstrual dysfunction before a physical exercise program was 8,4 %, after 3 months exposed to a heavy physical exercise it was 87,8 % and after a moderate physical exercise it decreased to 44,0 %. Also were reported that significant differences found between the pre test and first post test (p=0,000; RR= 591,47 CI 95 % 174,43 - 2005,52) and also between the first and the second post test (p=0,000; RR=4,54 CI 95 % 2,18 - 9,53). Further analysis showed that the risk of heaving menstrual dysfunction among cadet during heavy physical exercise was 18,12 times compared to light physical exercise. Psychological stress and the changes in body weight showed no relation with menstrual dysfunction. Generally the study showed that the occurrence of menstrual dysfunction among the cadets was related to the physical exercise. The occurrence of menstrual dysfunction showed no relation with psychological stress and changes in body weight. The incidence of menstrual dysfunction decreased with the decrease of physical exercise.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mega
"Polisi wanita (polwan) yang sudah menikah memiliki tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, pendamping dan pendorong suami serta ibu bagi anak-anaknya. Semangat untuk berprestasi dan kesuksesan untuk mencapai karir di Kepolisian, hendaknya harus pula diikuti dengan keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga. Polwan merupakan bagian integral dari Polri hingga tidak dapat terlepas dalam dinamika organisasi Polri guna mewujudkan profesionalismenya. Menjadi seorang polwan dihadapkan kepada dua hal yang sama penting dan berat, yaitu keberhasilan sebagai polisi dan kesuksesan membina rumah tangga. Kewajiban polwan sebagai seorang wanita adalah menjadi pendorong bagi suami serta ibu bagi anak-anaknya. Sementara itu prestasi dan kesuksesan untuk mencapai karir di Kepolisian harus pula diikuti keberhasilan dalam membina kehidupan rumah tangga.
Tuntutan atau role expectation dari kedua peran dalam keluarga maupun dalam pekerjaan inilah yang kemudian dapat menimbulkan konflik peran pada polwan yang sudah menikah. Hal ini sejalan dengan penjelasan Lindzey & Aronson (1968 dalam Wulandari 1997) bahwa konflik peran dapat terjadi ketika seorang memiliki dua atau Iebih posisi secara bersamaan, dimana pemenuhan harapan dari satu peran tidak sesuai dengan peran lainnya. Frieze (1978 dalam Wulandari 1997) juga menambahkan, bahwa wanita yang telah menikah dan memiliki anak setidaknya akan mengalami konflik antara tugasnya sebagai ibu rumah langga dengan tugasnya sebagai wanita. Selain itu, ia juga akan mengalami beban yang berlebih dari setiap peran yang dimilikinya. Hal ini akan membuat wanita mengalami kesulitan dalam mengamr waktu karena peran-peran yang dimiliki menuntut waktu yang tidak sedikit.
Sejalan dengan hal tersehut di atas, Stevenson (1994 dalam Wulandari 1997) mengungkapkan bahwa stres yang paling berat bagi wanita adalah mengintegrasikan peran mereka dalam keluarga dengan peran dalam pekerjaan. Hal ini didukung oleh pendapat Burden et. al (dalam Thomas &. Ganster, 1995) bahwa potensi akan terjadinya konflik dan stres meningkat sejalan dengan usaha seorang dalam menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Penelitian ini bermaksud untuk melihat lebih lanjut mengenai fenomena konflik peran sebagai polwan dan ibu rumah tangga yang dialami oleh polwan yang sudah menikah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam terhadap enam orang subyek guna memperoleh pemahaman mendalam mengenai konflik yang dihadapi dan coping yang dilakukan subyek.
Dari wawancara kualitatif yang dilakukan terhadap keenam subyek, diperoleh hasil bahwa masing-masing subyek tetap akan rnenemui konflik dalam hubungannya dengan kedua peran yang dijalani. Konflik peran terjadi terutama dengan polwan yang sudah memiliki anak dan kurang mendapat dukungan dari pihak keluarga. Konflik peran tersebut terjadi ketika subyek kurang mampu mengontrol diri dan emosi dalam keadaan lelah, kurangnya waktu yang cliberikan kepada suami dan anak, tidak dapat memenuhi keinginan anak untuk rekreasi. Dampak dari konflik peran yang dimiliki oleh keenam subyek juga bervariasi, diantaranya seperti terjadinya konflik kecil antara dengan suami yang menyebabkan terganggunya konsentrasi dalam pekerjaan, sikap yang lebih protektif terhadap anak, kondisi psikis yang Iebih mudah mengalami stres, pcrasaan bersalah terhadap keluarga.
Seluruh subyek memilih melakukan coping yang berfokus pada masalah (problemfocused coping) dalam mengatasi stres yang disebabkan oleh konflik yang dialami. Sementara itu tiga subyek tidak hanya melakukan coping dengan berfokus kepada masalah yang dihadapinya saja, melainkan juga dengan menggunakan coping yang berfokus pada emosi mereka (emotion-focused coping). Dalam melakukan coping nya, keselumhan subyek memanfaatkan sumber claya yang bersifat eksternal yang berupa dukungan sosial dari anggota keluarga dan tenaga komersial (pembantu). Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga yaitu berupa dukungan emosi (emotional support), informasi (informational support), harga diri (esteem support). Sementara sumber daya internal yang dimiliki oleh beberapa subyek adalah sumber daya fisik meliputi kesehatan dan energi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thukul Dwi Handayani
"ABSTRAK
Profesionalisme anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akhir-akhir ini menjadi tuntutan masyarakat, dan hal ini telah dimulai dengan peningkatan sumber daya manusia melalui lembaga pendidikan seperti pada Sekolah Calon Perwira Polri (Secapa Polri). Tuntutan tersebut tidak terbatas pada Polisi Laki-laki (Polisi) saja tetapi juga pada Polisi Wanita (Polwan). Hal ini tertuang dalam kebijakan Polri bidang pembangunan kekuatan yang disebutkan bahwa akan dibentuk polisi berseragam (uniform Police) dan polisi tidak berseragam (ununiform Police / plain cloth Police), dan untuk kepentingan kaderisasi pimpinan Polri dengan penerapan meril system yaitu penilaian yang didasarkan pada performance appraisal atau berdasarkan kinerja dan achievement yang transparan, dan terbuka bagi Polisi maupun Polwan. Maka dari itu, perlu diketahui bagaimana persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal.
Perilaku kepemimpinan dalam LBDQ-XII memiliki 12 aspek, yaitu representalion, demand recontiliation, tolerance of uncertainty, persuasiveness, initiation of structure, tolerance of freedom, role assumption, consideration, production emphasis, predictive accuracy, integral ion, dan superior onentation. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Polwan juga dituntut untuk dapat menyesuaikan perannya sesuai dengan pekerjaan yang dihadapinya dengan tidak meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga dan istri dalam keluarganya. Untuk itu perlu diteliti bagaimanakah orientasi peran jenis kelamin yang dimiliki Polwan. Orientasi peran jenis kelamin memiliki tiga orientasi yaitu: maskulin, feminin, dan androgini.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang Polwan yang sedang menyelesaikan Pendidikan Perwira di Secapa Polri dan diambil secara purposive, karena telah ditentukan ciri-ciri sampel sebelumnya. Untuk mengumpulkan data tentang orientasi peran jenis kelamin, menggunakan alat Skala Maskulin-Feminin, sementara itu untuk mengumpulkan data persepsi tentang perilaku kepemimpinan, digunakan LBDQ-XII. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran tentang orientasi peran jenis kelamin dan persepsi tentang perilaku kepemimpinan, data diolah dengan menggunakan mean per aspek dari masing-masing alat ukur.
Hasil data orientasi peran jenis kelamin menunjukkan bahwa Polwan ratarata memiliki peran jenis kelamin androgini, disusul dengan feminin, dan sebagian kecil memiliki peran jenis kelamin maskulin. Selanjutnya profil persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan dapat digambarkan bahwa seorang pemimpin yang ideal dalam kepemimpinannya, menurut Polwan harus memiliki faktor Integral ion (faktor 11), kemudian berturut-turut faktor 12 (Superior Orientation), faktor 7 (Role Assumptiori), faktor 8 (Consideralion), faktor 5 (Iniliation of Structure), faktor 10 (Prediclive Accuracy), faktor 9 (Production Emphasis), faktor 6 (Tolerance of Freedom), faktor 4 (Persuasiveness), faktor 2 (Demand Reconciliation), faktor 3 (Tolerance of Uncertainty), dan terakhir adalah faktor 1 (Represenlaliori).
Orientasi peran jenis kelamin Polwan rata-rata adalah androgini, karena dengan menggunakan peran jenis kelamin androgini, Polwan dapat lebih fleksibel dalam menghadapi tuntutan peran yang harus dihadapinya, yaitu disatu pihak Polwan harus melakukan pekeijaan maskulin (Kepolisian) dan disatu pihak Polwan harus menjadi ibu rumah tangga dan istri yang harus mengurus tugastugas domestik (feminin). Dalam kepemimpinan, Polwan mempersepsikan bahwa faktor yang ideal dalam kepemimpinan adalah Integration yang menekankan pada menjaga hubungan yang dekat atau akrab dalam suatu organisasi, serta menyelesaikan konflik antar anggota kelompok.
Perbandingan gambaran persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal berdasarkan orientasi peran jenis kelaminnya adalah : androgini menekankan pada integration, superior orientation, role assumption feminin menekankan pada integration, superior orientation, role assumption', dan maskulin menekankan pada integration, superior orientation, initiation of structure.
Tema tentang orientasi peran jenis kelamin dan profil persepsi Polwan tentang perilaku kepemimpinan yang ideal adalah tema yang menarik untuk diteliti, untuk penelitian serupa dapat dilakukan dengan melibatkan atasan dan bawahan dan pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam tentang orientasi peran jenis kelamin dan persepsi tentang perilaku kepemimpinan yang ideal."
2004
S3227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Fatimah Said Martandu
"Tujuan penelitian ini adalah untuk terjalinnya kerjasama yang harmonis antar sumber daya manusia di dalam suatu instansi atau organisasi sehingga dapat mempengaruhi kinerja instansi khususnya di Polsek Cimanggis Depok Jakarta
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Pengujian data dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda dan pengujian hipotesis menggunakan uji t parsial dan uji F simultan.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kinerja (2) budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. (3) Kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kepemimpinan (4) budaya orgaisasi berpengaruh signifikan terhadap kepemimpinan. (5) Kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja personil Polsek Cimanggis Depok (6) kepemimpinan memediasi signifikan pengaruh kompetensi terhadap kinerja (7) kepemimpinan memediasi signifikan pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja. Hasil uji F secara simultan menunjukkan bahwa, kepemimpinan dan kompetensi berpengaruh secara simultan signifikan terhadap kinerja Personil Polsek Cimanggis Depok.

The purpose of this study is to establish harmonious cooperation between human resources within an agency or organization so that it can affect the performance of agencies, especially at the Cimanggis Police, Depok, Jakarta.
This study used quantitative methods and used a questionnaire with a Likert scale. Data testing was analyzed using multiple linear regression and hypothesis testing using the partial t-test and simultaneous F-test.
The results of the study show that (1) competence has a significant effect on performance and (2) organizational culture has a significant effect on performance. (3) Competence has a significant effect on leadership (4) organizational culture has a significant effect on leadership. (5) Leadership has a significant effect on the performance of Polsek Cimanggis Depok (6) Leadership mediates a significant effect of competence on performance (7) Leadership mediates a significant effect of organizational culture on performance. The results of the F test simultaneously show that leadership and competence have a significant simultaneous effect on the performance of the Cimanggis Depok Police Personnel.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silfia Sukma Rosa
"Polisi wanita adalah polwan yang memiliki kualifikasi tertentu dibidang kepolisian dan dinyatakan layak setelah mengikuti pendidikan polri sesuai dengan Keputusan Presiden dan Kapolri. Profesionalisme merupakan komitmen polwan terhadap profesinya, sekaligus merupakan 'ruh' atau semangat, cara pandang, metode, dan praktek yang menelusuri sekaligus dijabarkan dari serangkaian karakteristik profesi yang bersangkutan. Ruang lingkup penelitian hanya dibatasi pada kepemimpinan Polwan berdasarkan pandangan anggota satuan fungsi operasional sebagai kapolsek, kasat binmas, kanit reskrim dan kanit lantas diwilayah hukum Polres Bogor. Polwan merupakan seorang wanita memiliki multitasking dan berjiwa feminim mampu menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin dikepolisian. Apakah dalam pelaksanaan tugasnya polwan dapat melakukan tugas dengan baik seperti polisi laki-laki. Bagaimana kepemimpinan polwan dihadapkan pada tantangan tugas yang memiliki ketegasan dan keberanian namun tetap sesuai kodratnya sebagai seorang wanita. Untuk itu peneliti tertarik mengambil judul ini. Penelitian ini memiliki maksud dan tujuan untuk mendapatkan gambaran kinerja tentang profesionalitas polwan sebagai pemimpin disatuan fungsi operasional Polres Bogor dan mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan anggota satuan fungsi operasional terhadap kepemimpinan polwan di Polres Bogor. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Hasil penelitian bahwa pandangan anggota satuan fungsinya terhadap kepemimpinan polwan yang berdinas difungsi operasional Polres Bogor cukup baik dan dipandang perlu untuk melakukan penempatan Anggota Polisi Wanita secara tepat sesuai kompetensi, kinerja dan kedisiplinan.

The female police officers are female policewomen who have certain qualifications in the field of police and are declared eligible after attending police education in accordance with the decree of the President and the Chief of Police. Professionalism is a policewoman's commitment to her profession, as well as a 'spirit' or spirit, perspective, method, and practice that traces and describes a series of characteristics of the profession concerned. The scope of the research is limited to the leadership of the policewomen based on the views of members of the operational function unit as police chief, head of binmas, head of criminal investigations and head of department in the jurisdiction of the Bogor Police.

A policewoman is a woman who has multitasking and has a feminine spirit capable of carrying out her duties as a leader in the police. Are policewomen able to carry out their duties as well as male police officers in carrying out their duties. How the policewoman's leadership is faced with the challenge of a task that has firmness and courage but still fits her nature as a woman. For that researchers are interested in taking this title.

          This study has the intents and purpose to obtain an overview of the performance of policewomen's professionalism as leaders in the operational function units of the Bogor Police and obtain an overview of the factors that influence the views of members of the operational function units on the leadership of policewomen at the Bogor Police. The method used is descriptive analysis method. The results showed that the views of members of the function unit towards the leadership of the policewomen who served in the operational function of the Bogor Police were quite good and it was deemed necessary to properly place female police officers in accordance with their competence, performance and discipline."

Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Buana
"Skripsi ini membahas relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai polisi wanita. Melalui metode wawancara mendalam saya berusaha menangkap segala hal yang terjadi di antara istri dan suami di dalam rumah saat mengambil keputusan, sehingga saya dapat mengatakan bahwa relasi gender di dalam rumah tangga para polwan yang menjadi subjek penelitian saya masih timpang. Status atau kedudukan polwan masih berada di bawah sang suami hal ini terlihat dari pemegang kendali power di dalam rumah tangga yang selalu dipegang oleh suami, sehingga tulisan ini akan menunjukkan bahwa relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga ternyata tidak sejajar.

This thesis discusses the gender relations in the household of women who work as police woman. Through in-depth interviews I tried to capture everything that happens in between wife and husband in the house when taking a decision, so I can say that gender relations in the household of the policewoman who is the subject of my research is still lame. Status or position of policewomen still be under the husband holder as seen from the control power in the household is always held by the husband, so that this paper will show that the gender relations in the household was not aligned.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trinzi Mulamawitri
"ABSTRAK
Masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia adalah suatu fenomena yang sudah tidak asing lagi apalagi dengan semakin maraknya globalisasi. Namun bertugas di luar negeri apalagi jika negara tersebut memiliki latar belakang budaya berbeda adalah hal yang tidak mudah. Selama tinggal di luar negeri, TKA akan mengalami akulturasi psikologis yaitu perubahan yang terjadi pada diri individu akibat kontak dengan budaya lain yang berlangsung secara terus menerus (Graves dalam Berry & Kim, 1988). Selama proses akulturasi inilah acap kali muncul berbagai sumber stres yang diakibatkan adanya perubahan tersebut (Berry, 1994). Adanya nilai-nilai budaya yang bertentangan antara negara asal dan negara yang didatanginya juga meningkatkan stres akulturatif yang dihadapinya (Adler, 1991). Penelitian ini akan melihat gambaran sumber stres akulturatif serta strategi coping yang dilakukan TKA Amerika ketika bekerja di Indonesia. Negara asal Amerika dipilih sebab jumlah ekspatriat terbanyak dari negara Barat berasal dari negara ini (Depnaker, 2002).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif melalui wawancara dan observasi. Subyek yang diperoleh adalah 3 orang manajer Amerika yang telah tinggal di Indonesia selama 1,5 tahun hingga 2,8 tahun. Berbagai masalah dalam pekerjaan yang diakibatkan perbedaan budaya yang dikemukakan oleh Shuetzendorf (1989 dalam Ruky, 2000) serta permasalahan lainnya ternyata dialami oleh semua subyek. Sumber stres utama yang ditemukan pada ketiga subyek adalah adanya penekanan pada hubungan baik dan harmonitas kelompok saat bekerja daripada kinerja individu. Sumber stres lain adalah masalah kurangnya keterbukaan karyawan dalam berkomunikasi, kurangnya inisiatif karyawan dan kurangnya rasa tanggung jawab personal karyawan.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan teori Hofstede (1995), Ruky (2000) dan Koentjaraningrat (1997 dalam Ruky, 2000) maka memang terbukti bahwa masalah-masalah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dimensi nilai dalam budaya kerja Amerika dan Indonesia yang mengganggu TK A saat melaksanakan pekerjaannya. Perbedaan utama terlihat dari dimensi individualisme dan kolektivisme antara dua negara yang saling bertentangan. Kemudian adanya kesenjangan power distance juga kerap menimbulkan berbagai masalah. Dalam penelitian ini berdasarkan strategi coping yang dikemukakan oleh Carver, Scheier & Weintraub (1989) ditemukan bahwa strategi coping yang sering digunakan semua subyek untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah strategi active coping.- Strategi emotion focused coping berbentuk acceptance juga sering digunakan secara bersamasama dengan active coping.
Adanya kesamaan latar belakang budaya Amerika dan budaya perusahaan asing tempat mereka bekerja kemungkinan mempengaruhi stressor akulturatif yang dihadapi. Untuk mendapatkan gambaran stressor akulturatif yang lebih kaya maka penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan subyek yang berasal dari berbagai negara dan bekerja untuk perusahaan dalam negeri. Saran terutama diberikan pada perusahaan agar memberikan informasi lebih lanjut tentang budaya kerja Indonesia pada TKA untuk mendorong keterbukaan terhadap budaya lain. Kegiatan konseling bagi TKA untuk mengatasi stres akulturatif juga akan sangat bermanfaat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Aji Prabowo
"Tesis ini membahas mengenai analisis kepemimpinan Polisi Wanita pada jabatan Kapolres dalam organisasi Polri dengan studi kasus pada Kapolres Banjarnegara AKBP. Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. Periode 2017/2018. Dengan berlandaskan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, maka Polri merupakan salah satu aparat Negara yang ditunjuk dalam pelaksanaannya. Penulis tertarik meneliti Kapolres Banjarnegara karena Kapolres Banjarnegara adalah salah satu dari 6 Kapolres polwan yang mendapat perhatian dengan program-program yang dijalankan memiliki inovatif dan hubungan dekat dengan masyarakat. Selain itu, wilayah Banjarnegara yang sudah termasuk dalam Zona Integritas dengan predikat WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi), kemudian track record prestasi AKBP. NONA PRICILLIA OHEI, S.I.K., S.H., M.H. dalam jenjang pendidikannya yang pernah mendapatkan predikat polwan lulusan terbaik di bidang mental kepribadian, dan AKBP. NONA PRICILLIA OHEI, S.I.K., S.H., M.H. merupakan Polwan kelahiran Jayapura, 11 November 1976 yang mampu menyesuaikan dan memimpin Polres Banjarnegara yang memiliki budaya orang jawa dengan karakter lemah lembut, ramah, dan santun. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, dengan studi kasus pada salah satu Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) polisi wanita. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Teori yang digunakan yaitu teori gaya kepemimpinan, kontinum perilaku pemimpin, dan teori kepemimpinan transformasional. Hasilnya menunjukkan bahwa Kapolres memiliki pendekatan kepemimpinan transformasional, berorientasi hubungan dengan karakternya yang peduli, responsif, teladan, inovatif. Program unggulannya yaitu polisi TRESNO dan penerapan 8 budaya malu. Dengan keunggulan gaya kepemimpinannya yang unik mencakup gaya demokratik, partisipatif dan paternalistik untuk mengatur dan mengendalikan anggota dalam pencapaian visi misi organisasi. Sehingga program prioritas Kapolri untuk polisi yang “promoter” dapat terwujud, sebagaimana salah satu dari 11 program prioritas pada poin ke-4 yaitu peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.

This thesis discusses the analysis of the policewomen leadership in the position of kapolres in the organization of Indonesian police (Polri) with the case study in Banjarnegara chief super intendent, Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. Period of 2017/2018). Based on the instruction of president number 9 year 2000 on Gender mainstreaming, the Police is one of the designated national authorities in the implementation. The writer is interested in researching a police chief of Banjarnegara since she is one of the six police chief of policewomen who gained attention with the program being run that has an innovative and close realationship with the community. In addition, Banjarnegara region which is included in zone integrity with honors WBK (region free of corruption), than the track record of achievement of AKBP Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. in her education once gained notation as best gradute in the field of mental personality and super intendent. Nona Pricillia Ohei, S.I.K., S.H., M.H. is a policewomen of Jayapura by birth, November 11 1976 who was able to adjust and lead Banjarnegara district police, has the Javanese culture with the characters gentle, friendly, and polite. In this study the writer used qualitative method, with a case study on one of the chief police of female officer. Techniques for collecting data with interviews, field notes and documentation. The theories used are the theory of leadership styles, the continuum of leader behaviour, and the theory of transformational leadership. The results show the police chief had transformational leadership approach, oriented relationship with her character which are caring, responsive, exemplary, and innovative. Her excellent programs are police TRESNO and the application of 8 culture of shames. With the excellence of his unique leadership style which is include a democratic, participatory and paternalistic to regulate and control members in achieving the organization's vision and mission. So the priority program Police to police the “promoter” can be realized, as one of 11 priority programs at the for point namely improving the professionalism of the Police towards excellence."
Jakarta: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T55475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>