Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nandi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ekspektasi sosial dengan identitas diri pada remaja di DKI Jakarta dan mengetahui perbedaan antara elemen ekspektasi sosial dan status identitas berdasarkan kategori usia (early adolescents, middle adolescents, dan late adolescents). Pengukuran identitas diri dilakukan dengan menggunakan alat ukur Extended Objective Measure of Ego-Identity Status (EOM-EIS II) yang dikembangkan oleh Adams (1998). Pengukuran ekspektasi sosial dilakukan dengan menggunakan alat ukur Social Expectation Scale yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Partisipan penelitian berjumlah 190 orang yang bertempat tinggal di enam wilayah bagian DKI Jakarta, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara ekspektasi sosial dengan identitas diri pada remaja di DKI Jakarta. Selain itu, juga ditemukan perbedaan yang signifikan antar kategori usia pada elemen ekspektasi keluarga dan elemen ekspektasi teman sebaya. Untuk identitas diri, terdapat perbedaan yang signifikan pada status identitas achievement dan status identitas diffusion dengan kategori usia. Pada status identitas achievement dan status identitas diffusion sama-sama terdapat perbedaan yang signifikan antara early adolescents dengan late adolescents, serta terdapat perbedaan yang signifikan juga antara kategori usia late adolescence dengan middle adolescents. Saran untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk melihat bagaimana peran gender terhadap identitas diri, dan bagaimana hubungan pola asuh orangtua dan tokoh idola terhadap identitas diri pada remaja.

This research objective is to explore the correlation between social expectation and self identity among adolescents in DKI Jakarta, and also to know the difference between social expectation status and self identity status based on their age categories (early adolescents, middle adolescents, dan late adolescents). Measuring self identity is done by using the Extended Objective Measure of Ego-Identity Status (EOM-EIS II), which is a measuring tool developed by Adams (1998). Measuring social expectation is done by using the Social Expectation Scale, which is a measuring tool developed by the researcher. The number of participants of this research is 190, and also currently living in six areas of DKI Jakarta, which is Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, and Kepulauan Seribu.
By using Pearson Correlations's statistic technique, it is foundes that there is a significant correlation between social expectation and self identity among adolescents in DKI Jakarta. Based on the reaults of statistic analysis using Post Hoc Test, it is also founded on elements of social expectation that there is a significant difference between the element of family expectations and element of friends expectations in the age category of adolescents. On the other hand, in identity status, there is a significant difference in identity achievement status and identity diffusion status with the age category of adolescents. In identity achievement status and identity diffusion status there are significant difference between early adolescents and late adolescents, and also there are significant difference between late adolescence and middle adolescents. Suggestions for further research are how the role of gender, and how the relationship between parenting style and model figures of the self identity in adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65222
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandini Rizki Nurbaiti
"Remaja berada pada fase pencarian jati dirinya, sebagaimana tahap perkembangan psikososial remaja yaitu identity versus role confusion. Pencarian identitas diri remaja seringkali dikaitkan dengan tokoh idola yang rentan menimbulkan perilaku parasosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara parasocial relationship dengan status identitas diri remaja penggemar K-Pop di DKI Jakarta. Penelitian dengan metode kuantitatif jenis analisis-korelasi dengan pendekatan cross-sectional ini melibatkan 108 remaja penggemar K-Pop di DKI Jakarta yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Instrumen Ego Identity Process Questionnaire digunakan untuk mengukur status identitas diri dan Celebrity Attitude Scale untuk mengukur hubungan parasosial. Hasil analisis univariat yaitu sebanyak 35,2% remaja berada pada fase identitas diri achievement dan 50% remaja memiliki hubungan parasosial dengan tokoh idolanya pada tingkat intense personal feeling. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Spearman rho menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara hubungan parasosial dengan status identitas diri remaja penggemar K-Pop di DKI Jakarta (p value: 0.005 r: -0.271). Kesimpulan penelitian ini adalah aktivitas pengidolaan membentuk hubungan parasosial dengan tokoh idola yang turut memengaruhi status identitas diri yang dicapai oleh remaja pada tahap perkembangannya. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengaitkan variabel lain yang berkaitan dengan hubungan parasosial terhadap status identitas diri remaja.

Adolescents are in an identity-searching period, as is the stage of adolescent psychosocial development, specifically identity vs role confusion. The search for self-identity in adolescents is frequently related with idol figures who are prone to triggering parasocial conduct. The purpose of this study is to investigate the relationship between parasocial relationships and self-identity construction among K-Pop enthusiasts in DKI Jakarta. This study recruited 108 teenage K-Pop enthusiasts in DKI Jakarta who were chosen using a simple random samplingsimple strategy and a quantitative method of correlation-analysis. The Ego Identity Process Questionnaire was used to assess identity status, and the Celebrity Attitude Scale to measure parasocial relationships. The results of the univariate analysis showed that 35,2% of adolescents were in the achievement self-identity phase and 50% of adolescents had a parasocial relationship with their idol at the level of intense personal feeling. The results of bivariate analysis using the Spearman rho test showed that there was a significant relationship between parasocial relations and the self-identity status of young K-Pop fans in DKI Jakarta (p value: 0.005 r: -0.271). The conclusion of this study is that idolizing activities form parasocial relationships with idol figures which also influence the identity status achieved by adolescents at their developmental stage. Future research is expected to be able to relate other variables related to parasocial relationships to adolescent self-identity status."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppi Rianty Kemala
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan pola asuh ibu dengan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja di DKI Jakarta. Partisipan penelitian ini merupakan remaja yang terbagi atas 5 wilayah administrasi yaitu Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara , Jakarta Timur dan Jakarta Pusat sejumlah 484 orang. Pola asuh ibu diukur dengan mengadaptasi alat ukur buatan Buri (1991) yaitu Parental Authority Questionnaire sedangkan emosi malu dan emosi bersalah diukur menggunakan alat ukur Test of Self-Conscious Affect version 3 atau TOSCA-3 yang telah diadaptasi oleh Dr. Lucia R. M. Royanto M.Si., M.Sp.Ed (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) dan Adhissa Qonita (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2010 lulus pada 2014). Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa hanya dimensi pola asuh permisif dan otoritatif yang berhubungan secara signifikan terhadap emosi malu dan emosi bersalah.

This study aims to examine the relationship with the mother's parenting with adolescent's shame emotion and guilt emotions in DKI Jakarta. Participants of this study is that adolescents divided into five administrative regions, namely West Jakarta, South Jakarta, North Jakarta, East Jakarta and Central Jakarta with the amounts of 484 participants. Mother parenting was measured by adapting a measuring instrument by Buri (1991) Parental Authority Questionnaire and the emotions of shame and guilt were measured using a measuring instrument Test of Self-Conscious Affect version 3 or TOSCA-3 which has been adapted by Dr. RM Lucia Royanto M.Sc., M.Sp.Ed (Faculty of Psychology, University of Indonesia) and Adhissa Qonita (Faculty of Psychology, University of Indonesia Student class of 2010 graduated in 2014). The main result of this research indicate that only the dimensions of the authoritative and permissive parenting was significantly related to the emotions of shame and guilt.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Muliawati
"Perubahan yang terjadi pada masa remaja belum sepenuhnya matang secara fisik, kognitif dan psikososial. Hal ini menjadikan remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan yang menyebabkan pada perubahan perilaku pada remaja, salah satunya ialah perilaku makan. Perilaku makan terdiri dari tiga dimensi yang muncul dari beberapa teori, yaitu perilaku makan emotional eating, external eating, dan restrained eating. Apabila remaja memiliki perilaku makan yang tidak baik, maka akan berdampak terhadap asupan gizi dan akan mempengaruhi status gizinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara media sosial Instagram, teman sebaya, dan faktor lainnya dengan perilaku makan pada remaja di DKI Jakarta Tahun 2024. Metode penelitian menggunakan desain cross sectional dengan teknik quota sampling. Pengambilan data dilakukan dengan mengisi kuesioner yang dilakukan secara daring pada sampel remaja di DKI Jakarta yang berjumlah 150 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa external eating (55,3%) merupakan perilaku makan yang paling dominan terjadi. Berdasarkan uji hasil uji chi square menunjukkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara media sosial Instagram dengan perilaku makan emotional eating (P Value=0,001), external eating (P Value=0,000), dan restrained eating (P Value=0,035). Sedangkan peran teman sebaya dan peran orang tua hanya berhubungan dengan perilaku makan external eating (P Value=0,048 dan 0,000). Untuk variabel lainnya menunjukkan hasil tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan ketiga dimensi perilaku makan.

The changes that occur in adolescence are not yet fully mature physically, cognitively and psychosocially. This makes adolescents quickly influenced by the environment which causes changes in behavior in adolescents, one of which is eating behavior. Eating behavior consists of three dimensions that arise from several theories, namely emotional eating, external eating, and restrained eating. If adolescents have bad eating behavior it will have an impact on nutritional intake and will affect their nutritional status. This study aims to determine the relationship between social media Instagram, peers, and other factors with eating behavior among adolescents in DKI Jakarta in 2024. The research method uses a cross-sectional design with quota sampling technique. Data collection was carried out by filling out an online questionnaire on a sample of 150 adolescents in DKI Jakarta. The research results show that external eating (55.3%) was the most dominant eating behavior. Based on the chi square test results, the results show that there is a significant relationship between Instagram social media and emotional eating (P Value=0.001), external eating (P Value=0.000), and restrained eating (P Value=0.035). Meanwhile, the role of peers and the role of parents were only related to external eating behavior (P Value=0.048 and 0.000). For other variables, the results show that there is no significant relationship with the three dimensions of eating behavior."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofwah Nur Athallah
"Zaman yang semakin maju menyebabkan perkembangan internet yang pesat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pengguna internet terutama di kalangan remaja. Remaja berada ditahap perkembangan menuju dewasa sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan dan perilakunya jika tidak dapat menggunakan internet dengan bijak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan internet dengan pengetahuan seksualitas dan perilaku seksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional pada 413 remaja sesuai dengan kriteria inklusi melalui metode purposive sampling. Karakteristik responden pada penelitian ini yaitu usia, jenis kelamin, kepemilikan gadget, akses ke internet, penggunaan internet harian, media sosial yang digunakan, tempat untuk mengakses internet, mengakses konten seksual, dan tergabung kelompok terkait seksual di media sosial. Variabel independen pada penelitian ini yaitu pengunaan internet. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu pengetahuan seksualitas dan perilaku seksual pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara akses ke internet, media sosial yang digunakan, dan tempat untuk mengakses internet dengan pengetahuan seksualitas (p-value < 0,05). Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara media sosial yang digunakan, mengakses konten seksual, tergabung kelompok terkait seksual di media sosial, dan penggunaan internet dengan perilaku seksual (p-value < 0,05). Peneliti menyarankan untuk mengawasi penggunaan internet pada remaja kepada orang tua, kemudian edukasi dan promosi oleh pelayanan kesehatan terkait pengetahuan seksualitas dan perilaku seksual.

The Internet has developed rapidly with the increasingly advanced age. This is evidenced by the increase in the number of Internet users, especially among teenagers. Adolescents are in the stage of development towards adulthood. Therefore, it may affect their knowledge and behavior if they cannot use the Internet wisely. This study aims to determine the relationship of Internet use with sexuality knowledge and sexual behavior. This study used a cross-sectional approach on 413 adolescents according to the inclusion criteria through purposive sampling method. The characteristics of the respondents in this study are age, gender, gadget ownership, internet access, daily internet usage, social media used, place of internet access, access to sexual content, and joining sexually related groups on social media. The independent variable in this study is Internet use. The dependent variable in this study is sexuality knowledge and sexual behavior among adolescents. The results showed a significant relationship between access to the internet, social media used, and place to access the internet with sexuality knowledge (p-value <0.05). In addition, the results also showed a significant relationship between social media used, accessing sexual content, joining sexually related groups on social media, and internet use with sexual behavior (p-value <0.05). Researchers suggest to supervise the use of internet in adolescents to parents, then education and promotion by health services related to sexuality knowledge and sexual behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Nazmussyarqia
"Remaja menghadapi berbagai tantangan dan peluang yang membentuk identitas mereka dan pemahaman tentang dunia. Proses pembentukan identitas dan pencarian standar sosial disebut aktualisasi diri, yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Dengan perkembangan teknologi dan internet, remaja cenderung menggunakan media sosial untuk proses aktualisasi diri karena lebih mudah mengekspresikan diri di platform tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan media sosial dengan aktualisasi diri pada remaja pertengahan (14-17 tahun) di kabupaten Bekasi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian Cross Sectional. Teknik sampling yang digunakan yaitu non-probability sampling dengan cara purposive sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 110 responden. Penelitian ini menggunakan 3 instrumen penelitian, yaitu instrumen data demografi, instrumen aktualisasi diri (SISA) dan instrumen penggunaan media sosial (SIPMS). Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan media sosial denganaktualisasi diri (p-value = 0.179). Penelitian selanjutnya diharapkan mampu mengembangkan penelitian ini dengan mengidentifikasi karakteristik responden serta faktor yang berkaitan dengan aktualisasi diri seperti alasan pola asuh orang tua, status ekonomi dan sosial, atau kondisi kesehatan mental.

Adolescents face various challenges and opportunities that shape their identity and understanding of the world. The process of identity formation and the search for social standards is called self-actualization, which is influenced by the social environment. With the development of technology and the internet, adolescents tend to use social media for the self-actualization process because it is easier to express themselves on these platforms. This study aims to determine the relationship between social media use and self-actualization among mid-adolescents (14-17 years old) in Bekasi Regency. The type of research used in this study is quantitative with a cross-sectional research design. The sampling technique used is non-probability sampling through purposive sampling. The number of samples in this study was 110 respondents. This study uses three research instruments, namely demographic data instruments, self-actualization instruments (SISA), and social media usage instruments (SIPMS). The results of the Chi-Square test showed that there was no relationship between social media use and self-actualization (p-value = 0.179). Further research is expected to develop this study by identifying respondent characteristics and factors related to self-actualization, such as parenting styles, socioeconomic status, or mental health conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Tsania Zahra
"Latar Belakang: Self-perceived halitosis ditandai dengan bau tidak sedap yang timbul dari rongga mulut dan ditemukan penyebab utamanya berasal dari intraoral. Sehingga sangat penting bagi setiap individu untuk memelihara kesehatan mulutnya. Selain itu, walaupun etiologi utama dari faktor intraoral tersebut adalah tongue coating, namun prevalensi masyarakat yang membersihkan lidah setiap hari masih rendah. Oleh karena itu, pada penelitan ini akan lebih dikhususkan untuk membahas mengenai kebiasaan membersihkan lidah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara kesehatan oral subjektif dengan self-perceived halitosis.
Metode: Penelitian cross-sectional pada 298 remaja yang berusia 12-21 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta dan merasa memiliki halitosis melalui kuisioner yang pengisiannya dilakukan secara daring menggunakan google form.
Hasil : Penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p<0.05). Semakin besar responden yang merasa memiliki gingivitis, mulut kering, dan tongue coating di dalam rongga mulutnya, semakin tinggi nilai self-perceived halitosis. Faktor kesehatan oral subjektif lainnya yaitu penilaian subjektif karies dan kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari menyikat gigi, flossing, menggunakan obat kumur, dan membersihkan lidah tidak memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p>0.05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara faktor penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating terhadap self-perceived halitosis pada remaja di DKI Jakarta.

Background: Self-perceived halitosis is characterized by an unpleasant odor arising from the oral cavity. It was found that the main cause of halitosis was from intraoral origin, so it is very important for each individual to maintain their oral health. In addition, although the main etiology of the intraoral factor is tongue coating, the prevalence of people cleaning their tongue every day is still low. Therefore, this research will be more devoted to discussing the habit of cleaning the tongue.
Objective: This study aims to identify the relationship between subjective oral health and self-perceived halitosis.
Methods: A-cross sectional study of 298 adolescents who live in DKI Jakarta and have a subjective halitosis through a questionnaire with a google form.
Results: Subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating were associated with self-perceived halitosis (p <0.05). The greater the respondents who feel they have gingivitis, dry mouth, and tongue coating in their oral cavity, the higher the self-perceived halitosis value. Other subjective oral health factors, namely the subjective assessment of caries and oral hygiene habits which consisted of brushing, flossing, using mouthwash, and cleaning the tongue had no relationship with self-perceived halitosis (p> 0.05).
Conclusion: There is a relationship between the subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating with self-perceived halitosis of adolescents who live in DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdatul Anisa
"Penggunaan internet di Indonesia kini semakin meningkat dan sebagian besar penggunanya adalah remaja. Internet memiliki dampak positif jika digunakan sesuai dengan fungsinya, tetapi di sisi lain penggunaan internet dapat menyebabkan kecanduan internet. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat mencegah terjadinya kecanduan internet pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perceived social support dan kecanduan internet pada remaja, serta hubungan dari keduanya. Penelitian ini dilakukan pada 148 remaja usia 18-22 tahun di Jakarta. Alat yang digunakan untuk mengukur perceived social support adalah Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dan untuk kecanduan internet adalah Internet Addiction Test (IAT). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat perceived social support yang sedang dan tingkat kecanduan internet yang ringan, serta tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara perceived social support dan kecanduan internet.

Currently there is a significant increase in internet use in Indonesia and the majority users are adolescents. Internet has positive impact when used in accordance with its function, but in other hand excessive use of internet may result in internet addiction. Several research shows that social support can prevent internet addiction in adolescents. This study aim to examine level of perceived social support and internet addiction and the correlation of perceived social support and internet addiction. This study was conducted on 148 adolescents age 18-22 years in Jakarta. The instrument used to measure perceived social support is the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) and for Internet addiction is the Internet Addiction Test (IAT). This study showed that majority of participants have an average perceived social support and mild internet addiction, and it was found no significant relationship between perceived social support and Internet addiction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Azizah
"Keterlibatan orang tua diketahui memiliki peranan penting dalam perkembangan konsep
diri anak dan remaja. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara keterlibatan ayah dengan konsep diri pada remaja. Responden yang berpartisipasi
dalam penelitian ini merupakan remaja akhir dengan rentang usia 18-21 tahun sebanyak
415 orang mahasiswa. Keterlibatan ayah didefinisikan sebagai partisipasi ayah dalam
berbagai aspek kehidupan anaknya. Konsep diri didefinisikan sebagai persepsi individu
mengenai dirinya sendiri yang dibentuk oleh interaksi individu dengan lingkungan.
Keterlibatan ayah terdiri dari dua domain yang diukur menggunakan skala dari Finley
dan Schwartz (2004), yaitu Nurturant Fathering Scale (NFS) untuk mengukur
keterlibatan ayah dalam domain afektif, dan Reported Father Involvement Scale (RFIS)
untuk mengukur keterlibatan ayah dalam domain perilaku. Konsep diri diukur
menggunakan Adolescents Self-Concept Short Scale (ASCSS) dari Veiga dan Leite
(2016). Hasil pengukuran menggunakan teknik statistik Pearson Correlation
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah, baik
dalam domain afektif maupun domain perilaku, dengan konsep diri pada remaja.
Parental involvement is known to play an important role in the development of
childrens and adolescents self-concepts. This research is specifically aimed to
examine the relationship between father involvement and self-concept in adolescents.
Respondents who participated in this study were late adolescents with age range of
18-21 years, as many as 415 college students. Father involvement is defined as
fathers participation in various aspects of his child's life. Self-concept is defined as
an individuals perception of itself formed by individual interactions with the
environment. Father involvement consisted of two domains measured by the scale of
Finley and Schwartz (2004), is Nurturant Fathering Scale (NFS) to measure the
involvement of fathers in affective domain, and Reported Father Involvement Scale
(RFIS) to measure father's involvement in behavioural domain. Self-concept is
measured using the Adolescents Self-Concept Short Scale (ASCSS) of Veiga and
Leite (2016). The measurement results using the Pearson Correlation statistical
technique shows that there is a significant link between father involvement, both in
the affective domain and the behavioural domain, and the self-concept in adolescents"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Sultan Figo
"Kualitas pendidikan Indonesia akan bergantung dengan kualitas dari para guru. Meski demikian, nyatanya banyak guru yang belum menjalankan tugasnya secara maksimal. Banyak tantangan yang dihadapi para guru seperti karakteristik peserta didik, serta tantangan baru saat pandemi COVID-19. Komitmen organisasi adalah hal yang penting dimiliki oleh guru dalam kondisi ini. Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, teman, dan significant other dapat membantu guru dalam meningkatkan komitmen organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi dukungan sosial dengan komitmen organisasi pada guru Sekolah Dasar DKI Jakarta. Partisipan penelitian ini adalah guru Sekolah Dasar DKI Jakarta (N=66) dengan rata-rata usia 31 tahun. Persepsi dukungan sosial dan komitmen organisasi pada diukur menggunakan Multidimensional Scale of Social Support dan Organizational Commitment Scale. Hasil analisis Pearson Correlation menunjukkan bahwa persepsi dukungan sosial memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen organisasi dan ketiga komponennya.

The quality of Indonesian education will depend on the quality of the teachers. Even so, in fact many teachers have not carried out their duties to the fullest. There are many challenges faced by teachers such as the characteristics of students, as well as new challenges during the COVID-19 pandemic. Organizational commitment is an important thing for teachers to have in this condition. Social support obtained from family, friends, and significant other could assist teachers in increasing organizational commitment. This study aims to see the relationship between perceived social support and organizational commitment in elementary school teachers in DKI Jakarta. Participants in this study were elementary school teachers from DKI Jakarta (N=66) with an average age of 31 years old. Perceived social support and organizational commitment were measured using the Multidimensional Scale of Social Support and Organizational Commitment Scale. The results of Pearson correlations show that perceived social support has a positive and significant relationship with organizational commitment and all of its components."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>