Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekar Citra Ningrum
"Terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa emosi moral dan identitas moral memiliki hubungan dengan tindakan moral. Keduanya dianggap memiliki hubungan yang positif dengan tindakan moral. Peran komplementer yang dipegang keduanya dalam membentuk individu yang bertindak sesuai dengan moral memicu asumsi adanya hubungan yang positif antara identitas moral dan guilt. Untuk membuktikan asumsi tersebut penelitian ini dilaksanakan dengan sampel 590 mahasiswa. Identitas moral diukur dengan menggunakan Moral Identity Questionnaire dan emosi moral diukur dengan Test of Self-Conscious Affect. Perhitungan dengan menggunakan pearson correlation menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara identitas moral dan emosi moral, khususnya guilt ( r = 0,502, p < 0,05).

Moral identity and moral emotion are often observed in respect to moral action. Both of them are considered as correlated to moral action to degree which each of them complements motivation to display morally relevant behavior. As they have identical role to moral action, I suggest there is a positive correlation between moral identity and moral emotion. This study aim to see the correlation between moral identity and moral emotion of N = 590 college students. I distributed online and offline questionnaires of Moral Identity Questionnaire to assess moral identity and Test of Self-Conscious Affect to assess moral emotion. In summary, these findings suggest that college students who experienced guilt are more likely to have an importance of being moral and to act accordingly (r = 0,502, p<0,05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Kedekatan emosional merupakan salah satu dimensi interpersonal yang banyak digunakan untuk menjelaskan kualitas hubungan antara cucu dan kakek-nenek (Creasey & Koblewski, 1991). Kedekatan emosional didefinisikan sebagai tingkat emosi positif yang meliputi cinta, kasih sayang, kedekatan, kebersamaan, keadilan, kepercayaan, penerimaan, dan rasa hormat terhadap anggota keluarga dan timbal baliknya dari emosi tersebut (Bengston & Schrader, 1982).
Kualitas hubungan dengan kakek-nenek dapat berpengaruh di berbagai bidang kehidupan remaja, salah satunya adalah identitas diri. Salah satu jenis identitas yang berkembang saat remaja adalah identitas moral. Identitas moral adalah tingkat perbedaan individu dalam merefleksikan nilai-nilai moral sebagai inti dari karakteristik dirinya (Blasi, 1984).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa. Sebanyak 333 mahasiswa terlibat dalam penelitian ini. Affectual Solidarity Scale digunakan untuk mengukur kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan Moral Identity Questionnaire (MIQ) digunakan untuk mengukur identitas moral.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa (r = .126, p < .05). Hal tersebut menunjukkan pentingnya hubungan antara kakek-nenek dengan cucu terhadap pembentukan identitas moral.

Emotional closeness is one of the interpersonal dimension that is widely used to describe the quality of the relationship between grandchildren and grandparents (Creasey & Koblewski, 1991). Emotional closeness defined as the degree of positive emotions toward family members and the degree of reciprocity of these positive emotions (Bengston & Schrader, 1982).
The quality of the relationship with the grandparents can affect adolescences in various areas of life, one of which is the identity. One type of identity that develops during adolescence is a moral identity. Moral identity is an individual difference reflecting the degree to which being moral is a central or defining characteristic of a person?s sense of self (Blasi, 1984).
This research aims to investigate the relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in late adolescents. A total of 333 late adolescence involved in this research. Affecctual Solidarity Scale is used to measure the emotional closeness with grandparents and Moral Identity Questionnaire (MIQ) is used to measure the moral identity.
The results showed that there is a significant relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in college students (r = .126, p < .05). It shows the importance of the relationship between grandparents and grandchildren on the moral identity formation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S62682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Rachmawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara identitas moral dan emosi moral (emosi malu dan emosi bersalah). Emosi malu adalah perasaan negatif yang muncul saat kegagalan seseorang terekspos oleh publik sedangkan emosi bersalah adalah emosi negatif individu yang terasosiasi dengan perasaan personal karena telah melakukan kesalahan atau berperilaku buruk yang melanggar hati nuraninya (Cohen, dkk, 2011). Identitas moral adalah konsep diri seseorang yang memotivasi munculnya perilaku moral yang terdiri dari seperangkat sifat moral (Aquino & Reed II, 2002).
Penelitian dilakukan pada 1.353 mahasiswa (1.034 perempuan, 301 laki-laki; M = 20,15 tahun, SD = 1,50 tahun) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Identitas moral diukur menggunakan Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) sedangkan emosi malu dan emosi bersalah diukur menggunakan Guilt and Shame Proneness (Cohen, dkk, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas moral memiliki korelasi prediktif positif yang signifikan terhadap emosi malu (β=0,167, p<0.01) dan emosi bersalah (β= 0,336, p<0,01). Dengan kata lain, identitas moral terbukti dapat berkontribusi sebagai prediktor dari emosi malu dan emosi bersalah. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk membuktikan hubungan sebab-akibat pada variabel yang diteliti.

This study examined the relationship between moral identity and moral emotion (shame and guilt) in Indonesia. Shame is the negative feeling that arises when one?s failures and shortcomings are put on public display, while guilt is associated with a private sense of having done something wrong or having behaved in a way that violated one?s conscience (Cohen, et al, 2011). Moral identity is a self-conception organized around a set of moral trait (Aquino & Reed II, 2002).
The study was conducted on 1.335 students (1.034 females, 301 males; M = 20,15 years old, SD = 1,50 years old) in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi. Moral identity is measured with Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) whereas shame and guilt are measured with Guilt and Shame Proneness (Cohen, et al, 2011).
The result shows that moral identity has positive predictive correlation with shame (β= 0,167, p<0.01) and guilt (β= 0,336, p<0.01). In other words, moral identity has proven to be one of shame and guilt?s predictor. Future research is needed to provide evidence of the causal link in the observed variables.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanief Rachmanu Kautsar
"ABSTRAK
Shame dan Identitas moral berperan memotivasi perilaku moral individu. Sebagai bagian dari identitas diri, identitas moral diduga dipengaruhi oleh shame, tetapi belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa hubungan antara shame dan identitas moral. Variabel shame diukur dengan alat ukur Test of self-Conscious Affect-3 dari Tangney & Dearing, tahun 2002, yang telah diadaptasi ke konteks budaya Indonesia, sedangkan variabel identitas moral diukur dengan alat ukur Moral Identity Questionnaire dari Black & Reynolds tahun 2016, yang juga telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Partisipan penelitian merupakan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, berjumlah 520 orang partisipan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara shame dan identitas moral, (r=0,149; p<0,01). Penelaahan lebih lanjut terkait hasil tersebut kemudian dilakukan.

ABSTRAK
Individual moral behavior is motivated by shame and moral identity. As a part of self-identity, moral identity is assumed to be influenced by shame, but there is no research proving the assumption. This study aims to evaluate the relation between shame and moral identity. Test of Self-Conscious Affect-3 from Tangney & Dearing (2002) used to measure shame and Moral Identity Questionnaire from Black & Reynolds (2016) used to measure moral identity has been adapted to Bahasa Indonesia. The participants of the study were 520 students from different regions in Indonesia. The result showed small but significant relation between shame and moral identity (r=0,149; p<0,01). Further implications were discussed.
"
2016
S63699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Krisna Murti
"Fraud merupakan fenomena yang sangat merugikan banyak pihak. Penelitian sebelumnya telah menemukan hubungan antara keterikatan orangtua-anak dan perselingkuhan. Akan tetapi, sebagai faktor eksternal, keterikatan orang tua-anak tidak cukup menjelaskan mengapa ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Identitas moral karena posisinya sebagai faktor internal diduga berperan dalam memediasi hubungan kedua variabel tersebut. Penelitian ini memiliki dua tujuan, (1) apakah keterikatan orang tua-anak mempengaruhi identitas moral dan (2) apakah identitas moral memediasi pengaruh keterikatan orang tua-anak terhadap kecurangan. Penelitian yang dilakukan pada 213 siswa di Jabodetabek ini menunjukkan pengaruh keterikatan orang tua-anak terhadap identitas moral. Namun, tidak ditemukan adanya peran mediasi yang signifikan dari identitas moral dalam pengaruh keterikatan orangtua-anak terhadap perselingkuhan. Diskusi dan saran akan dibahas.

Fraud is a phenomenon that is very detrimental to many parties. Previous research has found a link between parent-child attachment and infidelity. However, as an external factor, parent-child attachment does not adequately explain why there is a relationship between the two variables. Moral identity due to its position as an internal factor is thought to play a role in mediating the relationship between the two variables. This study has two objectives, (1) whether parent-child attachment affects moral identity and (2) whether moral identity mediates the effect of parent-child attachment on cheating. This study, which was conducted on 213 students in Jabodetabek, shows the effect of parent-child attachment on moral identity. However, it was not found that there was a significant mediating role of moral identity in the influence of parent-child attachment to infidelity. Discussions and suggestions will be discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ishaq Mahmudil Hakim
"Kecurangan merupakan fenomena negatif yang terjadi di berbagai konteks. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah kecurangan dapat dipengaruhi oleh moral disengagement dan pengaruh tersebut dapat dimoderasi oleh identitas moral. Sebanyak 213 orang mahasiswa dari 7 universitas di Indonesia mengikuti penelitian ini. Peneliti mengukur kecurangan dengan Tugas Matriks Angka yang pernah digunakan oleh banyak peneliti-peneliti lain.
Moral disengagement diukur menggunakan adaptasi dari Moral Disengagement Scale yang dirancang oleh Detert, Treviño, dan Sweitzer (2008). Identitas moral diukur dengan hasil adaptasi dari Moral Identity Questionnaire yang dikembangkan Black dan Reynolds (2016).
Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = 1,111; n = 213; p > 0,05; two-tailed). Lebih lanjut, identitas moral tidak memoderasi pengaruh moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = -1,140; p > 0,05; two-tailed). Elaborasi dari hasil penelitian ini dibahas di dalam diskusi.

Dishonest behavior is a negative phenomenon that occurs in various contexts. This study aims to find out whether dishonest behavior can be influenced by moral disengagement and whether that influence can be moderated by moral identity. 213 students from 7 universities in Indonesia participated in this study. Dishonest behavior was measured by the Number Matrix Task that had been used by many other researchers.
Moral disengagement was measured using adaptations from the Moral Disengagement Scale designed by Detert, Treviño, and Sweitzer (2008). Moral identity was measured by the adaptated Moral Identity Questionnaire developed by Black and Reynolds (2016).
This study found no significant effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = 1.111; n = 213; p> 0.05; two-tailed). Furthermore, moral identity did not moderate the effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = -1,140; p> 0.05; two-tailed). The elaboration of these results was discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tracy Maria Putri Nauli
"Mahasiswa yang diharapkan memiliki penalaran moral yang baik pada kenyataannya sering melakukan kecurangan akademik dalam kehidupan seharihari. Blasi (1993; 2004) mengatakan bahwa penalaran moral saja tidak cukup untuk memotivasi perilaku moral. Dibutuhkan peran diri melalui identitas moral untuk memotivasi perilaku moral. Identitas moral akan memunculkan tanggung jawab pribadi untuk melakukan putusan moral dan kebutuhan psikologis untuk tetap konsisten melakukan prinsip moral. Seseorang yang memiliki identitas moral yang kuat seharusnya tidak terlibat dalam kecurangan akademik karena hal tersebut akan mengkhianati dirinya sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat apakah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara identitas moral dengan kecurangan akademik pada mahasiswa. Partisipan penelitian ini terdiri dari 568 mahasiswa yang tersebar pada 54 universitas di Indonesia. Kecurangan akademik diukur menggunakan Kuesioner Kecurangan Akademik yang dikembangkan oleh Septiana tahun 2016, sedangkan identitas moral diukur dengan Moral Identity Questionnaire yang dikembangkan oleh Black dan Reynolds tahun 2016. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara identitas moral dengan kecurangan akademik pada mahasiswa di Indonesia (r = -0.245, n = 568, p< 0.001, one tailed). Namun, angka korelasi antara identitas moral dan kecurangan akademik tergolong rendah. Pembahasan dan saran untuk penelitian selanjutnya didiskusikan.

College student who are expected to have good morality, in fact often engage in academic dishonesty on daily basis. Blasi (1993; 2004) argues that moral reasoning is not enough to motivate moral behavior. It requires the role of self through moral identity to motivate moral behavior. Moral identity will bring sense of responsibility to do what someone decides as moral and the psychological needs to make one?s actions consistent with one's ideals. Individual who has strong moral identity should not commit academic dishonesty because it would betray their self. The purpose of this study is to see if there is a significant negative relationship between moral identity and academic dishonesty of college students. Participants of this study consisted of 568 college student spread in 54 universities in Indonesia. Academic dishonesty
is measured using Academic Dishonesty Questionnaire developed by Septiana (2016), while moral identity is measured by Moral Identity Questionnaire developed by Black and Reynolds (2016). Result of this study show that there is significant negative relationship between moral identity and academic dishonesty of college student (r = -0.245, n = 568, p <0.001, one tailed).
However the correlation score is low. Discussion and suggestion for future research are discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S62762
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josiana Levyadi
"Peran sesama mahasiswa, seperti sikap positif terhadap Mahasiswa Berkebutuhan Khusus (MBK) merupakan faktor penting dalam pengembangan pendidikan inklusif. Sayangnya, belum banyak penelitian mengenai karakteristik individu yang mempengaruhi sikap terhadap MBK, seperti moral. Penelitian terdahulu juga menunjukkan hasil kontradiksi pada faktor jender. Penelitian dilakukan untuk melihat hubungan antara identitas moral dan sikap terhadap MBK beserta komponennya, serta perbedaan sikap terhadap MBK antara laki-laki dan perempuan. Partisipan merupakan 283 mahasiswa program sarjana (M=20,24 tahun, SD=1,24) yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Identitas moral diukur menggunakan Moral Identity Questionnaire dan sikap diukur menggunakan Multidimensional Attitudes Towards People with Disabilities. Hasil perhitungan pearson correlation menunjukkan terdapat hubungan positif antara identitas moral dengan sikap terhadap MBK (r=0,316, p<0,01), komponen afektif (r=0,218, p<0,01), kognitif (r=0,229, p<0,01), dan perilaku (r=0,285, p<0,01). Dapat dikatakan mahasiswa dengan tingkat identitas moral tinggi memiliki sikap lebih positif terhadap MBK daripada mahasiswa dengan tingkat identitas moral rendah, secara keseluruhan, komponen kognitif, afektif, dan perilaku (konatif). Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan mahasiswa perempuan (M=124,93, SD=16,20) memiliki sikap yang lebih positif daripada laki-laki (M=119,31, SD=18,13) dengan signifikansi 0,009 (p<0,01). Penelitian ini memberikan manfaat untuk pengembangan pendidikan inklusif di UI yang lebih baik lagi, berkaitan dengan peningkatan moral mahasiswa dan sikap mereka terhadap MBK.

The role of peers, such as positive attitude towards Students with Special Needs is important in developing inclusive education. Unfortunately, there has not been much research on individual characteristics that influence attitudes towards special need students, such as morals. Previous studies have also shown contradictory results on gender factors. The study was conducted to examine the relationship between moral identity and attitudes towards special need students, as well as the differences between men and women. Participants were 283 undergraduate students (M=20.24 years old, SD=1.24) who are studying at Universitas Indonesia. Moral identity was measured using Moral Identity Questionnaire and attitude was measured using Multidimensional Attitudes Towards People with Disabilities. Pearson correlation calculation showed that there is a positive relationship between moral identity and attitudes towards special need students (r=0.316, p<0.01), affective (r=0.218, p<0.01), cognitive (r=0.229, p<0 0.01), and behavior component (r=0.285, p<0.01). Students with high levels of moral identity have more positive attitudes towards students with special needs than those with lower levels. ANOVA calculation showed that female students (M=124.93, SD=16.20) had a more positive attitude than males (M=119.31, SD=18.13) with a significance of 0.009 (p<0.01). This research provides benefits for the development of inclusive education at UI, related to improving students' morale and their attitude towards students with special needs."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudwina Indira Deannisa
"Permasalahan pembentukan identitas yang dialami oleh imigran merupakan fenomena yang masih marak terjadi terutama pada imigran yang datang ke Jerman. Salah satu penyebabnya adalah karena pertentangan budaya antara budaya asal dan budaya Jerman. Dilematika pertentangan budaya ini menjadi tantangan bagi para imigran yang ingin berintegrasi dan hidup harmonis bersama masyarakat Jerman. Penelitian ini akan meneliti isu tersebut melalui buku audio Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) oleh penulis buku anak-anak Jürgen Banscherus. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teori Identitas Budaya dan Diaspora oleh Stuart Hall dan teori Status Identitas oleh James Marcia. Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Fatima dan tokoh Jakob memberikan pengaruh besar yang menjadi faktor dilematika pembentukan identitas baru tokoh Fatima sebagai remaja muslim moderat Aljazair-Jerman. Keluarga Fatima menjadi hambatan proses integrasi Fatima sementara Jakob menjadi faktor akselerasi yang mendorong Fatima mengadopsi budaya Jerman dengan cepat.

The problem of identity formation experienced by immigrants is a phenomenon that still arise, especially among immigrants who come to Germany. One of the reasons is due to cultural conflicts between the culture of origin and German culture. This dilemmatic cultural conflict is a challenge for immigrants who want to integrate and live in harmony with German society. This research will examine this issue through the audiobook Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) by children's book author Jürgen Bancsherus. This research uses descriptive qualitative methods with the theory of Cultural Identity and Diaspora by Stuart Hall and the theory of Identity Status by James Marcia. This study shows that Fatima's family and Jakob have a major influence that becomes a dilemma factor in the formation of Fatima's new identity as a moderate Algerian-German Muslim teenager. Fatima's family became a barrier to Fatima's integration process while Jakob became an accelerating factor that encouraged Fatima to acquire German culture quickly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Gunawan
"ABSTRAK
Isu mengenai migran, terutama dalam proses penyesuaian diri di lingkungan tempat tinggal baru dan konflik kultural yang terjadi sebagai akibatnya, banyak diangkat menjadi tema film Jerman dekade terakhir ini. Salah satunya adalah film berjudul Shahada 2010 karya Burhan Qurbani. Film bergenre melodrama dengan durasi 88 menit ini menceritakan tiga orang anak muda muslim yang tinggal di Berlin dan harus berhadapan dengan hal-hal yang baru sehingga terjadi konflik dalam diri dan identitas mereka. Adegan dalam film akan dianalisis menggunakan konsep mengenai konstruksi identitas dari Stuart Hall. Konstruksi identitas yang dilihat adalah Islam sebagai keyakinan para migran dan pluralitas identitas muslim yang ditunjukkan mengenai Islam dari negosiasi yang terjadi antara ldquo;roots ldquo; dan ldquo;routes ldquo; para migran muslim dalam film ini. Melalui analisis film Shahada 2010 akan dilihat bagaimana konstruksi identitas migran muslim di Jerman ditampilkan.

ABSTRACT
The issues of migrant, mainly on the adaptation process and cultural conflict, have been used as Germany movie themes in the last decades. This undergraduate thesis focus on the identity construction of muslim migrant in a film named Shahada 2010 by Burhan Qurbani. This 88 minute melodrama genre film tells about three young Muslims who are living in Berlin and has to deal with new things, causing inter cultural clashes and causing conflicts within themselves and their identity. Each scene in this film will be analyzed using the concept of identity construction by Stuart Hall. The results of identity construction is pluralism in muslim identity shown by negotiation process between the ldquo roots ldquo and the ldquo routes ldquo of muslim migrant in this film. Through the analysis of Shahada film will be seen how the construction of Muslim migrant identity in Germany is represented.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>