Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85457 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Rahmatika Chania
"ABSTRAK
Formalin merupakan pengawet utama kadaver karena kemampuan pengawetan dan disinfektannya. Namun, sifatnya yang mudah menguap dan karsinogenik menyebabkan efek samping berbahaya yang dapat membahayakan nyawa dalam jangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan larutan pengawet baru pengganti formalin. Studi eksperimental ini bertujuan untuk menganalisis hasil pengawetan dua jenis larutan bebas formalin (CaCl2 dan gliserin) pada otot rangka (musculus gastrocnemius) tikus Sprague-Dawley dibandingkan dengan larutan kontrol berformalin. Pengamatan dilakukan dengan melihat struktur makroskopik berupa konsistensi dan keberadaan jamur, dan struktur mikroskopik berupa persentase nekrosis dan abnormalitas struktur jaringan dalam sepuluh lapang pandang besar. Pengamatan strktur makroskopik dilakukan setiap bulan pada 6 bulan pertama dan setelah satu tahun. Pengamatan mikroskopik dilakukan pada jaringan yang diwarnai Hematoksilin-Eosin. Pengamatan struktur makroskopik menunjukkan bahwa pengawetan dengan 15% dan 20% CaCl2 kurang baik karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan konsistensi jaringan otot, sehingga pengamatan struktur mikroskopik tidak bisa dilakukan. Pada pengawetan dengan larutan kontrol (larutan pengawet standar) dan larutan gliserin, konsistensi jaringan lebih baik, sehingga pengamatan struktur mikroskopik dapat dilakukan. Jamur ditemukan pada permukaan larutan pengawet (tidak ditemukan pada jaringan) terutama larutan CaCl2, tetapi tidak didapatkan pada larutan kontrol dan gliserin. Pengamatan struktur mikroskopik menunjukan bahwa gliserin dapat mempertahankan struktur jaringan otot. Studi ini menunjukan bahwa CaCl2 memiliki efek pengawetan yang kurang baik dibandingkan larutan kontrol berformalin, sedangkan larutan gliserin memiliki efek pengawetan sebanding dengan larutan kontrol berformalin.

ABSTRACT
Formalin has become a choice of cadaver preservative due to its preservation and disinfectant properties. However, its volatile and carcinogenic property are life threatening in long run. Therefore, new preservative technique is needed to replace formalin. This experimental study aimed to analyse the preservative effects of two formalin-free solutions (CaCl2 and glycerine) on gastrocnemius muscle of Sprague-Dawley rats. Observation was conducted by examining macroscopic structure, as in consistency and existence of fungi, and microscopic structure, as in percentage of necrotic and damaged tissue structure in ten large microscopic fields. Macroscopic structure observation was conducted every month in the first six month and after one year. Microscopic examination was conducted on tissues stained with Hematoxillin-Eosin. Macroscopic observation showed ineffective preservating ability of 15% and 20% CaCl2 due to its inability to preserve tissue consistency, therefore microscopic observation could not be conducted. Consistency of tissues were better in those preserved in control (standard preservative solution) and glycerine, allowing the proceeding microscopic observation. Fungal growth was noted and it was found to grow on the surface of solution instead of within the tissue, with more extensive fungal growth was found on CaCl2 groups compared to control and glycerine groups. Microscopic observation showed the ability of glycerine in maintaining tissue structures of skeletal muscle. This study also showed that CaCl2 has lessened efficacy compared to glycerinated solution, and the preservative ability of glycerine solution is comparable to formalin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenneth Johan
"ABSTRAK
Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), formalin digunakan sebagai pengawet utama kadaver. Namun, formalin memiliki beberapa efek yang tidak diinginkan bagi kesehatan. Oleh karena itu, larutan pengawet lain, seperti gliserin dan kalsium klorida merupakan kandidat larutan pengawet pengganti. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengawetan jaringan saluran pencernaan dalam larutan CaCl2 dan glycerin dengan larutan pengawet berformalin. Tikus Sprague Dawley jantan (n=36) difiksasi primer dengan injeksi supravital 10% dan 25% formalin dan direndam dalam larutan yang sama selama satu minggu. Setelah itu, saluran pencernaan (usus) dilepaskan dan pengawetan dilanjutkan dengan merendamnya dalam larutan pengawet lanjutan yaitu 15% CaCl2, 20% CaCl2, 70% glycerin + 0.1% thymol dalam etanol dan larutan pengawet standar Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian secara berkala, yaitu setiap bulan pada enam bulan pertama dan setelah 12 bulan, strutkur makroskopis (konsistensi dan pertumbuhan jamur) diamati, dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Setelah itu, pengamatan dilanjutkan pada struktur mikroskopik (nekrosis dan abnormalitas). Konsistensi jaringan yang diawetkan dalam larutan CaCl2 menurun (menjadi lunak), yang diawetkan dalam larutan glycerin atau formalin tetap atau mengeras. Rata-rata perbedaan mikroskopis menunjukan kerusakan di semua spesimen CaCl2. Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan rata-rata perbedaan mikroskopis antar pengawet lanjutan (x2 = 7.329; p = 0.062). Disimpulkan bahwa glycerin 70% + 0.1% thymol dalam ethanol dapat digunakan sebagai pengganti larutan formalin, tetapi CaCl2 tidak

ABSTRACT
In Faculty of Medicine Universtas Indonesia, formalin is used as the main preservative for the cadavers. Formalin produces several adverse effects. Substitute preservative solutions such as glycerin or CaCl2 are used in some other settings outside Indonesia. This research aimed to compare the result of intestinal tissue preservation using CaCl2 and glycerin with those that were advanced preserved with formalin solution. Male Sprague Dawley rat (n=36) were injected with supravital primary fixation (10% and 25% formalin) and submerged for one week in the same solution. Advanced preservative used were 15% CaCl2, 20% CaCl2, 70% glycerin + 0.1% thymol in ethanol and standard preservation solution of Department of Anatomy as control. Organs were distributed according to the preservation group and observed in a time frame. Data collected were macroscopic consistency and microscopic average abnormalities.Consistency of tissues preserved in CaCl2 resulted in a squishy specimen. All other solutions resulted in the consistency similar or harder than the beginning of the experiment. Microscopic average indicates abnormalities in all CaCl2 specimens. Kruskal Wallis Test resulted in no significant difference between advanced preservative groups (x2 = 7.329; p = 0.062). Concluded that Formalin 10% can be used as a primary fixative, and Glycerin 70% + 0.1% Thymol in ethanol can be used as a substitute for control solution, while CaCl2 is not recommended.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70401
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Marsigit
"ABSTRAK
Formalin merupakan larutan pengawet utama dalam preservasi kadaver untuk
tujuan pembelajaran. Walaupun formalin terbukti efektif untuk mengawetkan
kadaver, ada beberapa efek berbahaya seperti karsinogen, memproduksi toksin,
dan menimbulkan iritasi pada mata dan hidung. Karena itu, diperlukan pencarian
jenis larutan pengawet lanjutan lain sebagai pengganti atau mengurangi
pemakaian formalin. Riset ini bertujuan untuk mengevaluasi efek dari kandidat
larutan pengganti formalin, yaitu CaCl2 dan gliserin sebagai larutan pengawet
lanjutan untuk mengawetkan jaringan otak. Langkah yang dilakukan adalah otak
diawetkan dengan larutan pengawet awal, yaitu 10% atau 20% formalin, lalu
dibagi menjadi empat kelompok untuk diawetkan dengan empat jenis larutan
pengawet lanjutan dengan, yaitu larutan kontrol berformalin (larutan pengawet
standar Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), 15%
CaCl2, 20% CaCl2, dan 70% gliserin + 0.1% timol dalam etanol. Observasi dan
analisis dilakukan pada struktur makroskopis (konsistensi jaringan dan
keberadaan jamur) dan mikroskopis (persentase nekrosis dan abnormalitas
jaringan). Pemeriksaan makroskopis memperlihatkan bahwa semua otak yang
diawetkan dengan larutan 15% CaCl2 menjadi sangat lembek; jamur tumbuh
pada permukaan larutan. Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara keempat larutan dengan gliserin 70%
+ timol 0.1% di etanol menunjukkan hasil yang terbaik untuk mengawetkan
jaringan mikroskopis otak (p<0.05). Sebagai kesimpulan, gliserin 70% + timol
0.1% di etanol dapat digunakan sebagai pengganti larutan pengawet lanjutan

ABSTRACT
Formalin is the main preservative solution in preserving cadavers used for
educational purposes. Even though formalin is proven to be effective in
preserving cadavers, there are some harmful effects such as carcinogenic,
toxigenic, and caused an irritation to the eyes and nose. That is why it is needed to
look for other advanced preservative solution to replace or decrease the usage of
formalin. This research is to evaluate the effect of formalin substitution candidates,
which are CaCl2 and glycerin as advanced preservative solutions in preserving
brain tissues. Steps were done were preserving the brain with the initial fixation,
either formalin 10% or formalin 25%, then divided into four groups to be
preserved with four types of advanced preservative solution, which is formalin
controlled solution (standard preservative solution by Department of Anatomy,
Faculty of Medicine Universitas Indonesia), 15% CaCl2, 20% CaCl2, and 70%
glycerin + 0.1% thymol in ethanol. Observation and analysis were done on
macroscopic structure (tissue consistency and presence of fungi) and microscopic
structure (necrotic percentage and tissue abnormality). Macroscopic result showed
that brains that were preserved in 15% CaCl2 had mushy condition with presence
of surface fungi in the solutions. In microscopic examination, there were
significant differences between four solutions with 70% glycerin + 0.1% thymol
in ethanol showed the best result to preserve brain tissues (p<0.05). To conclude,
70% glycerin + 0.1% thymol in ethanol can be used as an advanced alternative
solution."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70411
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard Andreas Wiyadharma
"ABSTRAK
Salah satu pengawet yang sering digunakan adalah formalin, untuk mengawetkan jaringan dan kadaver. Secara materi fiksatif, formalin terbukti berfungsi dengan baik, tetapi juga bersifat volatil, iritatif, toksik, serta karsinogenik. Oleh karena itu, teknik pengawetan kadaver lain perlu dikembangkan. Studi eksperimental ini dilakukan untuk membandingkan dua larutan (CaCl2 dan gliserin) bebas formalin sebagai pengawet lanjutan untuk jaringan hati tikus Sprague Dawley dengan larutan pengawet standar berformalin. Pengamatan yang dilakukan berupa pengamatan makroskopik, yaitu konsistensi organ dan keberadaan jamur serta mikroskopik untuk mengetahui jaringan nekrosis dan abnormalitas. Hasil studi menunjukkan hati yang diawetkan dengan larutan CaCl2 berakhir dengan konsistensi yang jelek. Hati yang diawetkan dengan larutan pengawet standar dan larutan gliserin menunjukkan konsistensi yang baik. Pada permukaan larutan CaCl2 ditemukan jamur, tetapi tidak dalam larutan dan hati yang terendam. Pada larutan gliserin dan larutan pengawet standar tidak ditemukan jamur. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran abnormal pada hati yang diawetkan dengan larutan gliserin maupun larutan pengawet standar. Kesimpulan dari studi ini adalah larutan CaCl2 memiliki efek pengawet yang lebih buruk dibandingkan dengan formalin dan larutan gliserin memiliki efek pengawet yang sebanding dengan larutan standar berformalin.

ABSTRACT
Formaldehyde is one of the preservative materials that are commonly used for tissues, organs, and cadavers. Even though it has excellent fixative characteristic, formaldehyde is also volatile, irritative, toxic, and carcinogenic. Due to such reason, new formaldehyde-free preservative materials should be developed. This study aimed to compare formaldehyde-free solutions (CaCl2 and glycerine) as advance preservative materials to formaldehyde-based preservative (standard preservative solution), using liver tissues were extracted from Sprague Dawley rats as the preserved materials. Observations done in this research were macroscopic observation, which composed of consistency and presence of fungi, and microscopic observation that swas done to detect any necrotic or abnormal structure in cellular level. This study showed that livers preserved using CaCl2 has bad consistency compared to Standard Preservative solution as the control. Liver tissues preserved in standard preservative solution and glycerine solution showed good result. Microscopic results showed that all of the livers preserved in both glycerine and standard preservative solution have abnormal cellular structure. Presence of fungi was only positive on the surface of the CaCl2 solutions. Fungi were not found on surface of both solution preserved in glycerine solution and standard preservative solution. In conclusion, this study demonstrated that CaCl2 solution provide worse preservative effect compared to formaldehyde, while highly concentrated glycerine has similar preservative effect compared to formaldehyde-based solution"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Jordan Nehemiah Fiady
"Formalin adalah zat yang umum digunakan untuk mengawetkan jenazah dalam pendidikan kedokteran Mayat (mayat) yang diawetkan dengan formalin tidak mudah terurai sehingga dapat menimbulkan masalah antara lain mencemari tanah jika dikubur. Sebagai tindakan preventif, hal itu perlu dilakukan proses penetralan formaldehida pada mayat sebelum dimakamkan. Natrium bisulfit diketahui mampu menetralkan formaldehida dalam cairan limbah. Namun, belum saatnya
diketahui apakah natrium bisulfit mampu menetralkan formaldehida dalam jaringan. Untuk mengetahui apakah natrium bisulfit dapat menetralkan formaldehida dalam jaringan dan meningkatkan proses dekomposisi, studi telah dilakukan percobaan menggunakan tikus percobaan (Mus musculus, n = 18). Ada tiga kelompok mencit pada penelitian ini yaitu: tanpa pengawetan (n = 6, kelompok kontrol), dengan pengawetan formalin tanpa netralisasi (n = 6, kelompok formalin, konsentrasi primer 10% - konsentrasi sekunder 4%) dengan pengawetan dan netralisasi natrium bisulfit (n = 6, gugus natrium bisulfit, konsentrasi 12%). Tikus tersebut kemudian dikubur dan diamati setiap satu minggu selama enam minggu. Hasil observasi menunjukkan tidak ada perbedaan skor dekomposisi kelompok formalin dengan kelompok natrium bisulfit sedangkan kelompok kontrol mengalami dekomposisi lengkap seperti yang diperkirakan. Hasil ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit belum mampu menetralkan formalin jaringan tikus dan meningkatkan proses dekomposisi tikus yang diawetkan dengan formalin.

Formalin is a substance commonly used to preserve internal bodies medical education. The corpse (cadaver) preserved with formalin was not easily decomposed so that it can cause problems, among others pollutes the soil if it is buried. As a preventive measure, it needs to be done the process of neutralizing formaldehyde in cadavers before burial. Sodium bisulfite known to be able to neutralize formaldehyde in waste fluids. However, not yet it is known whether sodium bisulfite is able to neutralize formaldehyde in tissues. To find out whether sodium bisulfite can neutralize formaldehyde in network and improve its decomposition process, studies have been carried out experimental using experimental mice (Mus musculus, n = 18). There are three groups of mice in this study, namely: without preservation (n = 6, control group), with formalin preservation without neutralization (n = 6, group formalin, primary concentration 10% - secondary concentration 4%) with preservation and neutralization of sodium bisulfite (n = 6, sodium bisulfite group, concentration 12%). The mice were then buried and observed every one week for six weeks. The observation results showed that there was no difference in the decomposition score the formalin group with the sodium bisulfite group while the control group underwent complete decomposition as predicted. This result indicates that sodium bisulfite has not been able to neutralize formalin
mice tissue and enhance the decomposition process of preserved mice with formalin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Febrina Talitha
"ABSTRAK
Skripsi ini mengangkat tema mengenai mitos yang terkandung di dalam tiga buah lirik mengenai Lorelei dari tiga masa berbeda. Lirik mengenai Lorelei dibedakan dari tiga rentang waktu yang berbeda, yaitu Lorelei karya Heinrich Heine yang diciptakan tahun 1823, Loreley karya Dschinghis Khan yang diciptakan tahun 1981, dan Lore Lay karya Faun yang diciptakan tahun 2013 untuk menampilkan mitos Lorelei dari waktu ke waktu. Selain itu, penelitian mengacu kepada relasi antara tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan. Melalui telaah feminisme eksistensialisme terlihat perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ketiga teks. Ketiga teks memperlihatkan posisi laki-laki sebagai subjek, namun laki-laki juga dapat menjadi objek apabila dikuasai oleh perempuan. Posisi perempuan sebagai Sosok yang Lain juga fleksibel. Di satu sisi, perempuan dipandang sebagai objek, namun di sisi lain ia dapat menjelma menjadi subjek, namun hanya sebagai subjek yang jahat femme fatale . Selain itu, berdasarkan pada teori mitos Roland Barthes, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mitos yang mengakar kuat karena adanya kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala.

ABSTRACT
This thesis placed its focus on the myth that contained in three lyrics about Lorelei from three different periods. The lyrics of Lorelei are distinguished from three different time ranges, Lorelei by Heinrich Heine in 1823, Loreley by Dschinghis Khan in 1981, and Lore Lay by Faun in 2013 to show Lorelei myth from time to time. In addition, this research refer to the relationship between man and woman characters. Through the study of existentialist feminism, it shows the difference in position between man and woman in all three texts. All of the texts show the position of man as a subject, but men can also become an object when controlled by woman. The position of woman as The Other is also flexible. On the one hand, woman is seen as an object, but on the other hand she can transformed herself into a subject, but only as an evil subject femme fatale . Furthermore, based on Roland Barthes myth theory, the result of this study indicate that there is a myth that is deeply rooted because of the belief of society since a long time ago."
2017
S67877
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Satya Paramitha
"ABSTRAK
Hingga saat ini, pengawet utama kadaver untuk pendidikan anatomi tubuh manusia adalah formalin. Walaupun formalin telah terbukti sebagai materi fiksatif organ yang baik, formalin juga dikenal sebagai materi yang mudah menguap, bersifat iritatif, toksik, dan karsinogenik. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan teknik pengawetan kadaver rendah formalin. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek dari dua jenis larutan bebas formalin (CaCl2 dan gliserin) sebagai larutan pengawet lanjutan terhadap struktur mikroskopik dan makroskopik jantung tikus Sprague Dawley dan dibandingkan dengan formalin (larutan pengawet standar Departemen Anatomi FKUI). Pengamatan struktur makroskopik, yaitu konsistensi organ dan keberadaan jamur dilakukan setiap bulan pada 6 bulan pertama dan setelah satu tahun pengawetan. Pengamatan struktur mikroskopik jaringan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dilakukan untuk mengetahui persentase nekrosis dan/atau abnormalitas jaringan dalam sepuluh lapang pandang besar. Hasil studi menunjukkan konsistensi organ yang buruk pada jantung yang diawetkan dengan 15% CaCl2 dan 20% CaCl2 dengan penurunan kondisi jaringan lebih cepat pada pengawetan dengan 15% CaCl2; sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik. Keberadaan jamur ditemukan pada permukaan cairan pengawet, terutama pada larutan 15% dan 20% CaCl2, tetapi tidak ditemukan pada jaringan. Hasil pengamatan struktur mikroskopik yang menunjukkan persentase abnormalitas jaringan yang sama pada jantung yang diawetkan dengan larutan gliserin dibandingkan dengan jantung yang diawetkan dengan larutan pengawet standar. Disimpulkan bahwa larutan CaCl2 memiliki efek pengawetan yang lebih buruk dibandingkan dengan larutan standar berformalin, sementara larutan gliserin memiliki efek pengawetan yang sebanding.

ABSTRACT
As an educational facility, anatomy laboratory is important for medical students and staffs. Therefore, the improvement of appropriate learning and working environment needs to be achieved by finding the most appropriate organ preservation method. Nowadays, formalin is the most common preservative material used for human cadavers. Despite being a good fixative material, formalin is also known to be easily evaporated, irritative, toxic, and carcinogenic. This study aimed to observe the effect of two formalin-free solutions (CaCl2 and glycerine) as advanced preservative materials towards macroscopic and microscopic structures of heart tissue compared to formalin (Standard Preservative Solution of Department of Anatomy, FMUI). Macroscopic observation was conducted by observing organ consistency and the presence of fungi every month in the first six months and after one year of preservation. Meanwhile, microscopic observation was performed by using hematoxylin-eosin staining to determine the percentage of necrosis and/or tissue abnormalities in ten microscopic fields. Results of macroscopic observation showed low organ consistency between hearts preserved in 15% CaCl2 and 20% CaCl2 with earlier decreased consistency in 15% CaCl2; thus, making these results could not be continued for microscopic observation. The presence of fungi was observed only on the surface of preservative solutions, especially on 15% CaCl2 and 20% CaCl2, with no fungi was found on the surface of heart tissue. Results of microscopic observation showed that hearts preserved in glycerine solution had similar percentages of tissue abnormalities compared to Standard Preservative Solution. To conlude, this study demonstrated worse preservative effects of CaCl2 solutions compared to formalin, while glycerine solutions showed good preservative effects; nearly as good as formalin."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70400
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rabia
"ABSTRAK
Akumulasi lipid berlebihan dapat menyebabkan disfungsi jaringan adiposa putih yang selanjutnya mengakibatkan timbulnya kondisi inflamasi derajat ringan. Latihan fisik merupakan pendekatan untuk menginduksi proses beiging pada adiposa putih, yang dapat dimediasi melalui irisin, sehingga dapat mencegah disfungsi jaringan adiposa putih. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh akut dan kronik antara latihan fisik intensitas tinggi intermiten dan latihan fisik intensitas sedang kontinyu terhadap perubahan kadar irisin serum, adiposa, dan otot rangka pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental in vivo pada 24 ekor tikus Sprague-Dawley Jantan, yang diacak ke dalam 6 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol normal KN , 2 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 1 NF1 , 3 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 2 NF2 , 4 kelompok kontrol diet tinggi lemak KD , 5 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 1 DF1 , dan 6 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 2 DF2 . Latihan fisik intensitas tinggi intermiten akut lebih efektif dalam meningkatkan kadar irisin serum. Ditinjau dari pengaruh kronik, kedua formula latihan fisik tidak meningkatkan kadar irisin darah dan kadar irisin otot rangka, akan tetapi latihan fisik intensitas tinggi intermiten efektif dalam meningkatkan kadar irisin adiposa pada tikus diet tinggi lemak.

ABSTRACT
Excessive lipid accumulation may cause dysfunction of white adipose tissue, which resulted in low grade inflammation. Physical exercise is an approach to induce beiging process in white adipose tissue, mediated by irisin, thus may prevent adipose tissue dysfunction. This study was aimed to compare the acute and chronic effects of high intensity intermittent and moderate intensity continuous exercise to serum, adipose, and skeletal muscle irisin levels in high fat diet fed rats. This study design was in vivo experimental using 24 male Sprague Dawley rats, randomly assigned to 6 groups 1 normal control group NC , 2 group fed with normal diet and exercise formula 1 NF1 , 3 group fed with normal diet and exercise formula 2 NF2 , 4 high fat diet control group HC , 5 group fed with high fat diet and exercise formula 1 HF1 , and 6 group fed with high fat diet and exercise formula 2 HF2 . High intensity intermittent exercise may acutely elevate serum irisin level. Both physical exercise formula could not increase serum irisin and skeletal muscle irisin levels chronically, however high intensity intermittent exercise effectively induced an increase of adipose irisin level in high fat diet fed rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fathiyya Gabriella
"Latar belakang: Maloklusi skeletal menjadi salah satu etiologi asimetri mandibula karena dapat mengakibatkan distribusi tekanan yang abnormal pada permukaan kondilus mandibula. Asimetri mandibula sendiri adalah ketidakseimbangan atau disproporsionalitas antara sisi kanan dan kiri pada sepertiga bagian bawah wajah atau mandibula. Tujuan: Mengetahui perbedaan proporsi terjadinya asimetri mandibula antara pasien dengan pola skeletal yang berbeda. Metode: Studi analitik komparatif dengan desain cross-sectional pada 105 pasien di RSKGM FKG UI. Perhitungan menggunakan metode Kjellberg pada analisis radiograf panoramik secara digital melalui software EzOrtho. Hasil: Terdapat 55,2% subjek mengalami kejadian asimetri mandibula. Uji bivariat Pearson Chi Square menunjukkan terdapat perbedaan bermakna proporsi terjadinya asimetri mandibula antara pasien dengan pola skeletal kelas I, II dan III. Uji bivariat Continuity correction menunjukan terdapat perbedaan bermakna proporsi terjadinya asimetri mandibula pada kelompok pola skeletal kelas I dibandingkan dengan kelompok pola skeletal kelas III, dan terdapat perbedaan bermakna proporsi terjadinya asimetri mandibula pada kelompok pola skeletal kelas II dibandingkan dengan kelompok pola skeletal kelas III. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi terjadinya asimetri mandibula pada kelompok pola skeletal kelas I dibandingkan dengan kelompok pola skeletal kelas II. Kesimpulan: Terdapat perbedaan proporsi terjadinya asimetri mandibula pada pasien dengan pola skeletal yang berbeda.

Background: Skeletal malocclusion is one of the etiology of mandibular asymmetry because it caused abnormal pressure distribution on the mandibular condyle’s surface. Mandibular asymmetry is an imbalance or disproportionality between the right and left sides of the lower third of the face or mandible. Aim: The aim of this study was to assess the difference in the proportion of mandibular asymmetry between patients with different skeletal patterns. Methods: A comparative analytical study with a cross-sectional design on 105 patients at RSKGM FKG UI were conducted. Calculations were performed using the Kjellberg method on digital panoramic radiographic analysis using EzOrtho software. Results: The results of this study showed that 55.2% of subjects experienced mandibular asymmetry. The Pearson Chi-Square bivariate test showed that there was a significant difference in the proportion of mandibular asymmetry between patients with class I, II, and III skeletal patterns. The bivariate continuity correction test showed that there was a significant difference in the proportion of mandibular asymmetry in the class I skeletal pattern group compared to the class III skeletal pattern group, and there was a significant difference in the proportion of mandibular asymmetry in class II skeletal pattern group compared to the class III skeletal pattern group. However, there was no significant difference in the proportion of mandibular asymmetry in the class I skeletal pattern group compared to the class II skeletal pattern group. Conclusion: There was a difference in the proportion of mandibular asymmetry in patients with different skeletal patterns."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Edina Kusumawati
"

Studi ini mengevaluasi penggunaan perangkat eksternal tambahan untuk membentuk sudut kemiringan dalam penggunaan laptop untuk memperbaiki postur head-neckdan meminimalisasi aktivitas otot. Di era modern ini, pengguna laptop sering menggunakan laptop di tempat umum dimana tidak terdapat tempat kerja yang dapat disesuaikan dengan pengguna. Selain itu, desain laptop yang memiliki layar menyatu dengan perangkat input menyebabkan postur yang tidak baik karena desain laptop yang portabel, ringan, dan hemat ruang tempat. Electromyography (EMG) digunakan pada penelitian ini untuk menyelidiki aktivitas otot saat menggunakan laptop dengan sudut kemiringan berbeda. Postur head-neckdiukur dengan sudut craniocervical untuk menilai perbaikan yang terjadi pada postur saat menggunakan laptop. Penilaian subjektif responden dalam menggunakan laptop dengan sudut kemiringan berbeda juga di evaluasi, begitu pula dengan efisiensi mengetik pada setiap sudut kemiringan. Berdasarkan hasil EMG, sudut kemiringan 12° menghasilkan aktivitas otot keseluruhan paling kecil. Hasil ini juga didukung oleh penilaian subjektif responden terhadap penggunaan sudut kemiringan. Meskipun sudut kemiringan lebih besar dapat membentuk postur head-neckyang lebih baik, hasil tersebut tidak sejalan dengan hasil aktivitas otot serta penilaian subyektif. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan pemanfaatan sudut kemiringan sebesar 12° saat menggunakan laptop untuk meningkatkan postur dan mengurangi risiko gangguan muskuloskeletal. 


This study evaluated the use of external peripheral to form inclines to improve posture and minimize muscle activity of using notebook computer. These days users often use notebook computer in public places or external environments where no adjustable workstation is provided. Furthermore, the design of laptop where the display is connected with the input device causes poorer posture to the user because the design of laptop which are portable, lightweight, and space saving. Electromyography (EMG) was used to investigate muscle activities when using notebook with different inclines. Head-neck posture was measured traditionally with craniocervical angle to assess the improved posture formed through applying different inclines in notebook usage. The subjective valuation by the computer users were also evaluated followed by calculating the efficiency of the typing task in each incline. Based on the EMG result, the 12° induced the less overall muscle activity of the muscles examined. This result was also supported by the respondents’ subjective valuation of the inclines. Even though bigger incline offered more improved head-neck posture, it didn’t correspond with the muscle activity result as well as the subjective valuation. Therefore, this study suggested the utilization of 12° when using laptop to improve posture and reduce the risk of any musculoskeletal disorder.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>