Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153488 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wicitra Wening Palupi
"Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah berkembang pesatnya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undangundang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja. Lembagalembaga ini seringkali disebut dengan Lembaga Non Struktural. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana perkembangan Lembaga Non Struktral di Indonesia pasca era reformasi yang lebih spesifik menganalisa tentang kedudukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Lembaga Non Struktural.
Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode kualitatif. Lembaga Non Struktural di Indonesia berkembang sangat pesat setelah adanya perubahan UUD 1945 pada tahun 2002 lalu. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pembahasan mendalam mengenai Lembaga Non Struktural yang ada di Indonesia agar lembaga lembaga baru yang bersifat independen ini tidak semakin menjamur, salah satunya dengan dibuat peraturan yang jelas menerangkan bagaimana ciri, syarat, dan urgensi untuk membentuk Lembaga Non Struktural. Dalam menganalisa, Komnas Perempuan dapat dikatakan sebagai LNS yang memiliki fungsi sebagai National Human Right Institution yang berfungsi mengawasi pelaksanaan dari hak-hak perempuan agar tidak terjadi pengabaian, pelanggaran HAM warga negara, serta melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemajuan HAM.

A phenomenon that is very important after the amendment of the Constitution of 1945 is the rapid growth of independent state institutions (state auxiliary agencies) in the state system of Indonesia. These institutions formed by different legal basis, it can be formed with the constitutional mandate, acts, and some have formed by presidential decree only. These institutions are often called as non-structural institutions. This thesis will discuss about the development of Non Structural Agencies after reformation in Indonesia, specifically analyzing in the position of National Commission Anti Violence Against Women as an Non Structural Agencies.
This research is using normative juridical method, with qualitative data analysis. Non Structural institutions in Indonesia is rapidly growing after the amandement of 1945 constitution in 2002. Therefore, further research about Non Structural Agencies in Indonesia is necessary to be done. In order to reduce excessive independent agencies, which have been established earlier, we need to make an explicit regulation that explains characteristic features, and also the requisite urgencies in creating a new Non-Structural Agencies. In analyzing, Komnas Perempuan can be regarded as LNS that has a function as a National Human Rights Institution that watch the implementation of women's rights in order to avoid negligence, violation of human rights of citizens, and the efforts to protect and promote of human rights as well."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahara Zulfikar
"Penelitian ini berisi tentang perlindungan perempuan korban KDRT pada masa pandemi Covid-19 dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peningkatan angka kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT pada masa pandemi Covid-19. Keterbatasan ruang gerak serta menurunnya perekonomian menimbulkan frustasi bagi sebagian besar masyarakat yang dapat meningkatkan agresivitas. Perempuan sebagai kelompok rentan, memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi korban kekerasan. Sehingga, urgensi dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat upaya perlindungan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan perempuan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada Mei 2022 hingga Oktober 2022 melalui studi literatur dan wawancara semi terstuktur pada lima informan dari Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta dan Yayasan Pulih. Kelima informan tersebut dipilih menggunakan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam melakukan upaya perlindungan perempuan korban KDRT pada masa pandemi Covid-19, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kebijakan ke berbagai lembaga pemerintah, melakukan layanan pengaduan dan rujukan serta melakukan Kampanye 16 HAKTP setiap tahunnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi program studi Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya dalam mata kuliah Perundang-undangan Sosial terkait dengan perlindungan sosial dan mata kuliah Kebijakan dan Perencanaan Sosial terkait dengan kebijakan sosial.

This research is about protection of women victims of domestic violence during the Covid-19 pandemic from the Social Welfare Science discipline. This research is motivated by an increase in the number of cases of violence against women, especially domestic violence during the Covid-19 pandemic. Space limitations as well as economic decline cause frustration for the majority of society which can increase aggressiveness. Women as a vulnerable group, have a high potential to become victims of violence. Therefore, the urgency of doing this research is to see the social advocacy efforts made by the National Commission on Violence Against Women as a National Human Rights Institution in order to prevent and cope with violence against women as well as increasing the protection of women in Indonesia. This research is a qualitative research with descriptive research design. Data collection was carried out from May 2022 to October 2022 through literature studies and semi-structured interviews with five informants from the National Commission on Violence Against Women, LBH Apik Jakarta and Yayasan Pulih. The five informants were selected using a purposive sampling technique according to the informant critetia needed in this research. This research showed that in doing protection of women victims of domestic violence during the Covid-19 pandemic, the National Commission on Violence Against Women provide policy recommendations to various government institutions, carry out complaint and referral services as well as doing 16 HAKTP Campaign every year. The results of this research are expected to be able to contribute in Social Welfare Science study program especially in social law course related to social protection and social policy and planning courses related to social policies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Ayuneysa Putri Wibowo
"Penelitian ini bertujuan mengungkap ko-produksi penghapusan femisida di
Indonesia. Agen pendorong dalam melakukan ko-produksi adalah Komnas
Perempuan, sebab itu dalam studi ini Komnas Perempuan disebut sebagai koproduksionis.
Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa Prancis, India, dan
Nicaragua sudah melakukan perlawanan terhadap femisida karena dianggap
sebagai kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem. Sementara itu, di
Indonesia, femisida masih dianggap sebagai hal baru, termasuk masih terbatas studi
tentang hal tersebut. Penelitian ini berangkat dari argumen Komnas Perempuan
sebagai ko-produksionis menghadapi berbagai tantangan secara kultural dan
struktural dalam menghapus permasalahan femisida di Indonesia. Penelitian ini
dikaji secara sosiologis menggunakan teori feminist movement yang menekankan
pada strategi ko-produksi dengan melihat Komnas Perempuan sebagai agen (koproduksionis).
Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena
menempatkan Komnas Perempuan sebagai studi kasus. Berdasarkan temuan studi
melalui wawancara mendalam kepada informan dari Komnas Perempuan dan
lembaga mitra, dapat disimpulkan bahwa femisida merupakan bentuk kekerasan
terhadap perempuan yang berlapis atau merupakan puncak dari bentuk kekerasan
lainnya. Komnas Perempuan melakukan sejumlah strategi yang dimulai dari
sosialisasi isu femisida hingga membentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga
mitra. Dalam melakukan upaya penghapusan femisida di Indonesia, Komnas
Perempuan mendapatkan peluang dan tantangan tersendiri. Adanya kerjasama
membuat Komnas Perempuan dapat menyebarluaskan pemahaman mengenai
femisida lebih luas. Namun, adanya peluang tidak menjamin Komnas Perempuan
terhindar dari tantangan.

This study aims to reveal the co-production of femicide elimination in Indonesia.
The agent for doing the co-production is Komnas Perempuan, therefore in this
study, Komnas Perempuan is referred to as a co-productionist. Previous studies
have shown that France, India, and Nicaragua have fought against femicide because
it is considered the most extreme form of violence against women. Meanwhile, in
Indonesia, femicide is still considered as a new thing, and there are still limited
studies on it. This research departs from Komnas Perempuan's argument as a coproductionist
facing various challenges culturally and structurally in eliminating the
problem of femicide in Indonesia. This research is studied sociologically using the
theory of the feminist movement which emphasizes co-production strategies by
viewing Komnas Perempuan as an agent (co-productionist). A qualitative approach
is used in this study because it places Komnas Perempuan as a case study. Based
on the study findings through in-depth interviews with Komnas Perempuan and
their institutions partner, it can be concluded that femicide is a layered form of
violence or the culmination of other forms of violence against women. Komnas
Perempuan carried out a number of strategies starting from socializing the issue
until forming partnerships with other institutions. In carrying out efforts to
eliminate femicide in Indonesia, Komnas Perempuan has its own opportunities and
challenges. The collaboration with other institutions allows Komnas Perempuan to
disseminate understanding about femicide more. However, the opportunities that
they had does not guarantee that Komnas Perempuan will not get the challenges.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Iqbal Romadhoni
"Era reformasi ditandai dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berdampak pada pesatnya perkembangan pembentukan lembaga-lembaga baru utamanya lembaga negara penunjang. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang dasar hingga peraturan presiden. Hal ini dilakukan demi menyelenggarakan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien apalagi ditambah dengan kompleksitas permasalahan suatu negara yang semakin rumit dan fungsi tersebut tidak dapat lagi dijalankan oleh lembaga yang ada sehingga dibutuhkan lembaga-lembaga baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu dari lembaga-lembaga baru itu adalah Kantor Staf Presiden yang merupakan lembaga yang bertugas untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun demikian, pembentukan Kantor Staf Presiden menimbulkan pro kontra dari berbagai kalangan dari mulai adanya indikasi tumpang tindih hingga pemborosan anggaran. Indikasi tumpang tindih ini didasari atas banyaknya lembaga “penasihat” presiden yang sudah terlebih dahulu dibentuk sehingga hal tersebut berpotensi adanya pemborosan anggaran akibat menghabiskan anggaran terhadap lembaga yang sebenarnya fungsinya telah dijalankan oleh lembaga lain. Oleh karena itu, Skripsi ini membahas mengenai kedudukan dan kewenangan Kantor Staf Presiden.: Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini memberikan jawaban terkait kedudukan dan kewenangan Kantor Staf Presiden dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kemudian, potensi tumpang tindih akibat dibentuknya Kantor Staf Presiden dengan Lembaga pemerintah yang lainnya terkait tugas dan fungsi yang melekat pada lembaga-lembaga tersebut
The Reformation era was marked by the amendments of UUD 1945 which had impacts on the rapid development of forming of new institutions, especially state auxiliary bodies. These institutions are formed with regulations ranging from the constitution to presidential regulations. This is done in order to organize government more effectively and efficiently, especially coupled with the complexity of a nation's problems that are increasingly complex and this function can no longer be carried out by existing institutions so that new institutions are needed to fill the gap. One of the new institutions is Presidential Staff Office (Kantor Staf Presiden) which is an institution that tasked to support the administration of government by the President and Vice President. Although, the formation of the Presidential Staff Office raises the pros and cons of various groups ranging from indications of overlapping to wasteful budgets. This overlapping indication is based on the number of presidential "advisory" institutions that have been formed beforehand so that there is potential for a waste of budget due to spending the budget on an institution whose function has been carried out by other institutions. Therefore, this thesis discusses the position and authority of the Presidential Staff Office. This research use normative legal research method. This research provides answers related to the position and authority of the Presidential Staff Office in the constitutional law system in Indonesia. Then, the potential for overlapping as a result of the existence of the Presidential Staff Office with other government institutions related to the tasks and functions attached to these institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Muthiara Wasti
"ABSTRAK
Indonesia mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Salah satunya adalah lembaga perwakilan masyarakat adat yang
memperlihatkan nilai-nilai tradisional yang masih hidup hingga sekarang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya
mengakomodir nilai-nilai adat di setiap daerah terutama perwakilan adat di Nagari
Minangkabau. Oleh sebab itu, terdapat dua pokok permasalahan: Pertama,
kedudukan dan kewenangan lembaga perwakilan adat dalam struktur
pemerintahan nagari di Minangkabau dan Undang-Undang tentang Desa dan
Kedua, konsep ideal mengenai lembaga perwakilan adat di Indonesia. Analisis
dilakukan dengan menggunakan teori hukum tata negara adat karena memiliki
kaitan erat dengan nilai-nilai ketatanegaraan Indonesia yang diikuti dengan
penerimaan terhadap keberadaan adat yang lahir dari sebuah persekutuan hukum
dan memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dilakukan perbandingan pengaturan
masyarakat adat di Amerika Serikat, Australia, Kamerun dan China. Kesimpulan
adalah lembaga perwakilan adat nagari belum sepenuhnya terakomodir dalam
Undang-Undang tentang Desa sehingga dibutuhkan sebuah pengaturan ideal
untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat nagari di Minangkabau terutama
dalam unsur keanggotaan, metode pemilihan dan kedudukan dan kewenangan dari
lembaga perwakilan adat tersebut. Untuk itu, diperlukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam hal pengaturan
mengenai desa adat yang dapat dibandingkan dengan negara lain yang lebih
mempunyai pengaturan dan perlakuan terhadap desa adat di negarannya seperti di
AS, Kamerun, RRC dan Australia.

ABSTRACT
Indonesia acknowledges the existence of indigenous law communities
along with their traditional rights in Article 18 of the Indonesian 1945
Constitution. One of these institution is the traditional people representatives that
embrace traditional values that lives up to the present. Law Number 6 of 2014 on
Villages have not fully accommodated tradition values that exists in the respective
regions, particularly the traditional representation in Nagar Minangkabau. As
such, there are two issues: the position and authority of traditional representative
institutions within the governance structure of nagari in Minangkabau and the
Village Law; and, secondly, the ideal regulation on traditional representative
institutions in Indonesia. The analysis is conducted using the theory of traditional
constitutional law as it bears close relation to Indonesia?s state constitutional
values followed by acceptance of the diversity of customs that arise from an
amalgamation of laws that have their own characteristics. Additionally, a
comparison is carried out as regards regulations that govern indigenous
communities in the United State, Australia, Cameroon, and China. The conclusion
is that the nagari indigenous representative institution is not fully accommodated
in the Village Law and thus an ideal regulatory instrument to accommodate the
need of the nagari indigenous community in Minangkabau, among others
membership, method of election and the position and authority of the indigenous
representative institution."
2016
T46631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dora Nina Lumban Gaol
"

Perkembangan lembaga negara mengalami dinamika sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan kekuasaan negara. Salah satu kebutuhan yang diangap penting oleh pengambil keputusan adalah pentingnya pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara yang berujung pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lahirnya lembaga ini menjadi perdebatan mulai dari hal yang paling mendasar: ada tidaknya urgensi pembinaan ideologi di Indonesia. Pro kontra juga lahir terkait kedudukan, tugas, dan fungsinya yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Perbedaan pandangan mengenai hubungannya dengan lembaga negara lain pun menjadi perbincangan hangat dalam kajian Hukum Tata Negara. Dengan penelitian yuridis normatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan kedudukan dan kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Penulis juga mengkaji potensi tumpang tindih dengan lembaga negara lain berkaitan tugas dan fungsinya. Sebagai pengayaan penulis membawa contoh pandangan konstitusi beberapa negara terkait ideologi.


The development of state institutions experiences dynamics in accordance with the need to exercise state power. One of the needs that is considered important by decision makers is the importance of fostering the ideology of Pancasila to all state administrators which ended in the creation of new state institutions called Pancasila Ideology Guidance Agency (BPIP). The existence of this institution became something debatable s from the most basic: the urgency of fostering ideology in Indonesia. Pros and cons were also born related to the position, duties, and functions as written in Presidential Regulation Number 7 Year 2018 about the Pancasila Ideology Guidance Agency. Differences views regarding its relationship with other state institutions also became an issue in the study of Constitutional Law. With normative juridical research, this study aims to explain the position and authority of the Pancasila Ideology Guidance Agency in the constitutional system in Indonesia. The author also examines the potential for overlapping with other state institutions regarding their duties and functions. As an enrichment the author brings an example of the views of the constitutions of several countries related to ideology.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
"Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian.

By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kamaratih
"Penelitian ini dibuat berdasarkan keresahan Penulis akan penegakan hukum yang sulit tercipta pada perempuan korban kejahatan seksual. Sistem hukum di Indonesia masih belum bisa menciptakan rasa aman kepada korban, sehingga banyak korban yang memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum atau bahkan tidak mau melaporkan kasusnya karena keputus-asaan mereka terhadap sistem hukum di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa kisah yang dilontarkan oleh dua pendamping hukum perempuan korban kejahatan seksual. Penelitian ini juga memberikan gambaran mengenai beberapa produk hukum Indonesia yang mengatur tentang kejahatan seksual namun tidak mampu melindungi perempuan korban sepenuhnya. Sejumlah kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dari beberapa latar belakang berbeda juga dikupas melalui putusan hakim. Putusan-putusan hakim yang dikupas di dalam penelitian ini mencoba untuk menggambarkan bahwa hakim masih belum memiliki perspektif yang sama dalam melihat tindak pidana kejahatan seksual. Kemampuan hakim untuk berani berinovasi dalam menemukan hukum sangat diperlukan dalam menjawab berbagai hal yang belum jelas diatur di dalam perundangan soal kejahatan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk menjadi salah satu buah pemikiran yang akan berguna bagi kemajuan hukum feminis di Indonesia, khususnya tentang perindungan korban kejahatan seksual.
.....This research is done based on the Writer’s restlessness about the difficulty in creating law enforcement toward the woman victim of sexual crime. Indonesian law system is still unable to create sense of security to the victim, so that many victims choose not to continue the legal process or even not to report the case due to her despair toward Indonesian law system. This is shown in some cases thrown by two legal counselors of woman victim of sexual crime. This research also provides picture of some Indonesian legal products which regulate sexual crime but do not fully protect woman as the victim. Some sexual crime cases against woman in various backgrounds are discussed through judge decision. The judge decisions discussed in this research try to illustrate that judge still does not have the same perspective in viewing sexual criminal act. The judge innovative ability in finding the law is very much needed to answer various vague regulations on sexual crime case. This research aims to be one of the useful ideas for the law progress of Indonesian feminists, especially about the sexual crime victim protection."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Reindra Jasper H.
"Yurisprudensi tetap merupakan salah satu produk hukum dari Mahkamah Agung yang memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu hukum. Salah satu fungsi dari yurisprudensi tetap ialah sebagai rujukan hakim dalam mengadili perkara. Kendati demikian, yurisprudensi tetap sering diabaikan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini terjadi dikarenakan, adanya pandangan bahwa yurisprudensi tetap, bukan merupakan suatu sumber hukum di civil law serta dianggap mencederai nilai-nilai kemerdekaan hakim. Meskipun demikian harus dipahami bahwa yurisprudensi tetap adalah norma undang-undang yang dikonkritkan, sehingga sebenarnya yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum tata negara di Indonesia. Oleh karenanya, yurisprudensi tetap tidak mencederai kemerdekaan hakim.
Precedent is one of the law products from Supreme Court that has important role in the development of the jurisprudence. One of the functions of the precedent is being a reference of the judges in adjudication. Nevertheless, precedent is often being ignored by the judge in adjudicating a case. This is happens because of some argument that said that the precedent is not a the source of law in civil law and considered wounded the judiciary independence. However it should be understood that the precedent is the norm of the statutes, that is being concreted, so the precedent is one of the sources of the constitutional law in Indonesia actually. Therefore, the precedent does not harm the judiciary independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55634
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfiyannisa
"Nilai patriarki dan neoliberalisme menimbulkan kegentingan masalah kekerasan seksual di kampus. Kondisi tersebut memunculkan resistensi berupa aktivisme yang dilakukan oleh warga kampus. Aktivisme dilakukan sebagai respons formal dan informal melalui kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, aktivisme justru direspons oleh kampus dengan pengkhianatan, yang disebut sebagai institutional betrayal. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bentuk institutional betrayal yang dialami aktivis kekerasan seksual di kampus. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan feminis. Teori feminis radikal digunakan untuk menjelaskan permasalahan institutional betrayal sebagai bentuk viktimisasi struktural terhadap aktivisme anti kekerasan seksual di kampus. Hasil penelitian menunjukkan beragam bentuk institutional betrayal, mulai dari memaksa jalan damai, tidak menyediakan kebutuhan aktivis, hingga tidak meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Penelitian ini mengungkap bahwa viktimisasi struktural yang dialami oleh para aktivis disebabkan oleh kecenderungan kampus dalam mengadopsi budaya patriarki. Hal ini menyebabkan para aktivis mengalami institutional betrayal dalam bentuk kelalaian dan kesengajaan.

The system of patriarchy and neoliberalism creates a critical problem of sexual violence on campus. This condition gave rise to resistance in the form of activism carried out by campus residents. Activism is carried out as a formal and informal response through activities to prevent and handle sexual violence. However, the campus responded to activism with betrayal, known as institutional betrayal. This research aims to identify the forms of institutional betrayal experienced by sexual violence activists on campus. The study was conducted using qualitative methods with a feminist approach. Radical feminist theory is used to explain the problem of institutional betrayal as a form of structural victimization of anti-sexual violence activism on campus. The research results show various forms of institutional betrayal, such as forcing peace, not providing for activists' needs, and not apologizing for mistakes they have made. This research reveals that the structural victimization experienced by activists is caused by the campus' tendency to adopt a patriarchal culture. This causes activists to experience institutional betrayal in the form of negligence and deliberate actions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>