Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Islamy
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai adanya perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi. yang akan ditinjau berdasarkan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba Terdapat berbagai persoalan terkait dengan unsur-unsur perjanjian franchise dalam Peraturan Pemerinth Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba yang tidak terpenuhi oleh perjanjian franchise oleh Muhaerul dengan PT. Wadha Artha abadi sehingga apakah perjanjian franchise ini dapat dikatakan sebagai perjanjijan franchise atau tidak, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan ketentuan peraturan lainnya yang mengatur mengenai franchise atau waralaba. 2. Bagimanakah akibat hukum dari perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi apabila tidak memenuhi aspek-aspek perjanjian franchise menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. 3. Bagaimanakah upaya hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak dari perjanjian franchise

ABSTRAK
This thesis discusses the existence of the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi. which will be reviewed based on the legislation in particular Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise There are many problems associated with the elements of his government's franchise agreement in Regulation No. 42 of 2007 on Franchise are not met by the franchise agreement by Muhaerul with PT. Wadha Artha framchise immortal so that if agreement can be said as perjanjijan franchise or not, researchers propose the subject matter, namely: 1. How does the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi according to Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise with other relevant regulations governing the franchise or the franchise? 2. How does legal consequences of franchise agreements between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi if it does not meet aspects of the franchise agreement under the provisions of Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise? 3. How are laws and legal protection for the parties to the franchise agreement is Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi."
2016
S63642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melvin Purnadi
"Waralaba di Indonesia dilangsungkan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Hal ini diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Secara teoritis, perjanjian didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Tetapi, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa Penerima Waralaba ada di posisi yang lebih lemah dan rawan dirugikan. Salah satunya, adalah keberadaan klausula non-agen yang melepaskan kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012, telah diwajibkan beberapa hal untuk dicantumkan di dalam Perjanjian Waralaba. Pemenuhan kewajiban pencantuman tersebut harus dipastikan dalam Perjanjian Waralaba, guna menjamin Perjanjian Waralaba tetap sesuai dengan hukum Indonesia dan memberikan perlindungan bagi Penerima Waralaba.
In Indonesia, a franchise is based on a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. This is a must, according to Government Regulation No. 42 Year 2007. Theoretically, an agreement is mutually agreed by both side. However, it is well known that in a franchise agreement, the franchisee usually have a weaker position and prone to loss. One of the example is the presence of clausule of non agency, which make the franchisor freed from its liabilities to the franchisee. According to the Minister of Trade Regulations No. 53/M-DAG/PER/8/2012, there is some things required in the franchise agreement, which is obligatory. Fulfilment of this obligation is needed to ensure that the franchise agreement is not violating Indonesian law and giving enough protection to the franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melvin Purnadi
"Waralaba di Indonesia dilangsungkan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Hal ini diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Secara teoritis, perjanjian didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Tetapi, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa Penerima Waralaba ada di posisi yang lebih lemah dan rawan dirugikan. Salah satunya, adalah keberadaan klausula non-agen yang melepaskan kewajiban Pemberi Waralaba. Berdasarkan Permendag Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012, telah diwajibkan beberapa hal untuk dicantumkan di dalam Perjanjian Waralaba. Pemenuhan kewajiban pencantuman tersebut harus dipastikan dalam Perjanjian Waralaba, guna menjamin Perjanjian Waralaba tetap sesuai dengan hukum Indonesia dan memberikan perlindungan bagi Penerima Waralaba.
In Indonesia, a franchise is based on a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. This is a must, according to Government Regulation No. 42 Year 2007. Theoretically, an agreement is mutually agreed by both side. However, it is well known that in a franchise agreement, the franchisee usually have a weaker position and prone to loss. One of the example is the presence of clausule of non agency, which make the franchisor freed from its liabilities to the franchisee. According to the Minister of Trade Regulations No. 53/M-DAG/PER/8/2012, there is some things required in the franchise agreement, which is obligatory. Fulfilment of this obligation is needed to ensure that the franchise agreement is not violating Indonesian law and giving enough protection to the franchisee."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55714
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachelle Valencia
"Manusia selama hidupnya tidak akan lepas dari adanya suatu perjanjian. Adapun perjanjian tersebut harus dibuat dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pada zaman sekarang ini, salah satu perjanjian yang paling sering dibuat adalah perjanjian waralaba yang merupakan perjanjian tidak bernama. Pengaturan mengenai waralaba diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (PP 42/2007) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembuatan perjanjian waralaba harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, termasuk syarat sahnya perjanjian. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya terdapat kasus mengenai perjanjian waralaba yang melanggar ketentuan KUHPerdata, PP 42/2007 dan Permendag 71/2019. Kasus tersebut seperti yang terjadi antara para pihak dalam Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai ketentuan mengenai hukum perjanjian di Indonesia, ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan usaha waralaba, serta analisis hukum terhadap Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI menurut Permendag 71/2019. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak dalam perkara tersebut melanggar salah satu syarat sah perjanjian, yaitu syarat sebab yang halal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba dibuat bertentangan dengan PP 42/2007 dan Permendag 71/2019

Humans during their lives will not be separated from the existence of an agreement. The agreement must be made by fulfilling the legal requirements of the agreement. In this current era, one of the most frequently made agreements is the franchise agreement which is an innominaat agreement. Regulations regarding franchising are specifically regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising (PP 42/2007) and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising (Permendag 71/2019). Although not specifically regulated in the Civil Code (KUHPerdata), the making of a franchise agreement must follow the provisions stipulated in Book III of the Civil Code, including the legal terms of the agreement. However, it is possible that in reality there are cases regarding franchise agreements that violate the provisions of the Civil Code, PP 42/2007 and Permendag 71/2019. This case is like what happened between the parties in Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI. Therefore, this research will discuss the legal provisions regarding agreement law in Indonesia, positive legal provisions in Indonesia which regulate the implementation of a franchise business, as well as a legal analysis of Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI according to Permendag 71/2019. This research is a normative juridical research with a statutory and case study approach. From this research it can be found that the franchise agreement made by the parties in the case violates one of the legal terms of the agreement, namely the terms of a lawful cause. This is because the franchise agreement was made contrary to PP 42/2007 and Permendag 71/2019"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meila Indira
"Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang dibuat antara pihak franchisor dan franchisee mengenai pemberian izin untuk menggunakan merek dagang franchisor kepada franchisee. Dalam menjalankan bisnisnya ini franchisee harus menyesuaikan diri dengan metode dan prosedur yang ditetapkan franchisor. Di Indonesia franchise tengah pesat berkembang. Asas Terbuka Buku III KUHPerdata, memungkinkan bagi para pihak untuk membuat perjanjian apapun, dan perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian franchise yang dibuat merupakan landasan untuk menuntut hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian Franchise menjadi dasar untuk mengetahui sah atau tidaknya perbuatan para pihak. Namun pihak franchisor selaku pemilik merek dagang/jasa selalu berada di pihak yang lebih kuat, sehingga seringkali perjanjian itu tidak seimbang mengatur kepentingan/hak dan kewajiban para pihak, sebab franchisee lebih banyak diharuskan berprestasi. Franchisor menetapkan syarat-syarat dan standar yang harus diiikuti oleh franchisee yang memungkinkan franchisor membatalkan perjanjian apabila ia menilai franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ketidakseimbangan hak dan kewajiban, juga ketidakseimbangan posisi itulah yang seringkali menjadi pemicu terciptanya pemutusan perjanjian secara sepihak. Perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak adalah perjanjian waralaba standar yang dibuat dan disiapkan oleh franchisor, sehingga terdapat beberapa ketentuan yang kurang atau tidak melindungi kepentingan franchisee. Padahal idealnya suatu perjanjian franchise harus merupakan suatu hubungan yang terkait erat diantara franchisor dan franchisee, dan harus melindungi kepentingan para pihak yang membuatnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Angel Brigitta SR
"ABSTRAK
Perjanjian franchise adalah suatu bentuk kerjasama di bidang bisnis antara dua pihak yaitu franchisor (pihak pemberi hak franchise) dan franchisee (pihak penerima hak franchise). Perjanjian franchise tidak diatur dalam KUHPerdata melainkan timbul dari kebutuhan masyarakat dan praktek kebiasaan. Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap atau optional law yang artinya pasal- pasal dalam hukum perjanjian boleh dikesampingkan apabila para pihak yang membuat perjanjian dan ingin membuat ketentuan sendiri menyimpang dari ketentuan pasal-pasal hukum perjanjian. Mengenai kedudukan pihak franchisee didalam perjanjian franchise adalah tidak dapat disejajarkan dengan kedudukan penerima kuasa dalam suatu perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).

ABSTRACT
Franchise agreement is a form of business co-operation between two parties which are franchisor (the party of the franchise right giver) and franchisee (the party of franchise right receiver). Franchise agreement is not regulated on Indonesia civil code, but emerged by society's needs and customs. The 3rd book of Indonesia Civil Code is an optional law that the articles may be excluded if the parties make the provisions personally deviant from the provisions of Law of contract. Concerning the position of franchisee in franchise agreement shall not be compared with the position of the mandate receiver (Articles 1792-1819 Indonesia Civil Code)."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21110
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnah Najla
"Perrkembangan waralaba di Indonesia menyebabkan pemerintah menganggap perlu membuat peraturan pemerintah baru tentang waralaba yaitu Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Skripsi ini membahas mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian waralaba, tanggung jawab hukum franchisor dan franchisee, dan sebagai sebagai studi kasus, kepatuhan perjanjian yang dibuat antara PT.X dan PT. Cahaya Hatindo terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Metodologi penelitian yang digunakan adalah normatif dan studi kepustakaan. Skripsi ini meninjau aspek-aspek hukum yang ada dalam perjanjian waralaba antara PT.X dan PT.Cahaya Hatindo. Penelitian ini menunjukan bahwa dalam perjanjian waralaba tersebut diatur hak dan kewajiban para pihak dan akibat hukum yang dapat timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian waralaba. Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab para pihak untuk mematuhi isi perjanjian sesuai dengan hukum yang berlaku. Kemudian penelitian ini juga menunjukan bahwa perjanjian waralaba antara PT.X dan PT.Cahaya Hatindo telah sesuai dengan PP No.42 Tahun 2007.
Pursuant to the expansion of franchise business in Indonesia, the Government enacted a new regulation to provide the necessary legal framework which is Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise. This thesis will discuss the items regulated under the regulation, including the obligatory provisions of a franchise agreement, the legal liability between the parties, and as a case study, the compliance of the agreement between PT.X and PT.Cahaya Hatindo with the Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise. This method of research employed in this thesis is normative and library research. This thesis will review the legal aspects in the franchise agreement between PT.X and PT.Cahaya Hatindo. This thesis finds that the agreement governed the rights and obligations of the parties, as well as the legal consequences that may occur in the event of default, both of which are the legal responsibilities that is conferred to the parties to comply to the agreement and relevant regulations. This thesis also concludes that the franchise agreement between PT. X and PT. Cahaya Hatindo has complied with Government Regulation No. 42 of 2007."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S21511
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Salwa Putri Santira
"Waralaba menjadi salah satu kegiatan usaha yang digemari oleh pebisnis pemula karena tidak membutuhkan modal yang terlalu banyak. Waralaba dilakukan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba yang diatur syarat formilnya dalam undang-undang mengenai waralaba salah satunya mengenai klausul minimal yang harus tercantum dalam Perjanjian Waralaba.Ketika perjanjian waralaba tidak memenuhi syarat formil perjanjian waralaba yang telah ditentukan dalam undang-undang maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum sebagai perjanjian waralaba. Dalam praktik ditemukan Perjanjian Waralaba yang tidak memuat klausul minimal dalam perjanjian waralaba tetapi Majelis Hakim tidak membatalkan Perjanjian Waralaba antara para pihak. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan jenis data sekunder. Hasil penelitian ditemukan perjanjian waralaba merupakan perjanjian formil sehingga keabsahannyaharus memenuhi syarat formil dari perjanjian waralaba. Majelis Hakim pada tingkat pertama dan tingkat banding dalam Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT DKI kurang tepat dalam memberikan pertimbangan dan putusannya karena seharusnya perjanjian waralaba antara para pihak batal demi hukum. Karena Perjanjian waralaba antara para pihak tidak memenuhi syarat formil dari perjanjian waralaba sebagaimana ditentukan dalam PP 42/2007 dan Permendag 53/2012. Para pihak harus melakukan penelaahan sebelum membuat perjanjian waralaba dan pemerintah sebaiknya merubah peraturan mengenai perjanjian waralaba sehingga perjanjian waralaba dibuat menjadi suatu akta notaril dan pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan penyelenggaraan waralaba yang sesuai dengan undang-undang

Franchising is one of the business activities that is favored by novice business people because it does not require too much capital. Franchising is carried out based on a Franchise Agreement which is regulated by formal conditions in the law regarding franchising, one of which is regarding the minimum clause that must be included in the Franchise Agreement. When the franchise agreement does not meet the formal requirements of the franchise agreement that have been specified in the law, the agreement becomes null and void as a franchise agreement. In practice, it was found that the Franchise Agreement did not contain a minimum clause in the franchise agreement but the Panel of Judges did not cancel the Franchise Agreement between the parties. This writing uses normative juridical research methods and secondary data types. The results of the study found that the franchise agreement is a formal agreement so that its validity must meet the formal requirements of the franchise agreement. The Panel of Judges at the first level and appellate level in Decision Number 321/PDT/2021/PT DKI was not quite right in giving their considerations and decisions because the franchise agreement between the parties should have been null and void. Because the franchise agreement between the parties does not fulfill the formal requirements of the franchise agreement as specified in PP 42/2007 and Permendag 53/2012. The parties must conduct a review before making a franchise agreement and the government should change the regulations regarding franchise agreements so that the franchise agreement is made into a notary deed and the government must provide socialization to the public regarding the implementation of franchising in accordance with the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Franchise, yang sering disebut sebagai waralaba di
Indonesia, merupakan suatu format usaha yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dari lisensi. Franchise merupakan
bentuk usaha yang marak berkembang pada tahun 1990-an di
Indonesia. Oleh karena perkembangan yang begitu pesat
itulah diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai
waralaba. Sehingga pada akhirnya dikeluarkan PP No. 16
Tahun 1996 tentang Waralaba dan juga Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997.
Dengan demikian telah terdapat pengaturan yang jelas
mengenai waralaba. Franchise merupakan suatu format bisnis
yang memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan
usaha dengan menggunakan merek dagang, logo, serta hak
kekayaan intelektual lain, yang merupakan ciri usaha dari
franchisor. Franchisee juga menjalankan usaha dengan
menggunakan konsep usaha yang menyeluruh dari franchisor.
Franchisee menjalankan usaha sepenuhnya menggunakan
manajemen yang berasal dari franchisor. Franchisee
mendapatkan bimbingan, bantuan dan pelatihan dari
franchisor dalam menjalankan usahanya. Atas penggunaan hak
kekayaan intelektual franchisor, serta konsep usaha yang
menyeluruh dari franchisor, franchisee harus memberikan
royalty pada franchisor. Usaha franchise memiliki beberapa
keuntungan dibanding mendirikan usaha yang baru, selain
tentunya kelemahan-kelemahan. Franchise juga memiliki
faktor resiko yang sama atas kegagalan usaha. Penting untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan
usaha franchise. Oleh karena itu pembahasan mengenai
kelangsungan usaha dalam bentuk usaha franchise menjadi
tema penulisan dalam skripsi ini. Namun dalam kenyataannya
terdapat beberapa permasalahan sehubungan dengan perjanjian
franchise, sehingga akan dibahas pula mengenai perjanjian
baku dalam perjanjian franchise serta mengenai teori itikad
baik dan juga disclosure documentation."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S21140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>