Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159461 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meliala, Pascalis Bastoto
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pengaturan terkait pertanggungjawaban yang dapat
dimintakan kepada penyedia jasa kesehatan tradisional oleh pengguna jasa
kesehatan tradisional yang tindakannya menyebabkan kerugianbagi pengguna jasa
kesehatan Tradisional. Pembahasan dilakukan melalui penelaahan pasal dan
studi kasus dengan menggunakan putusan No. 740/Pdt.G/2010/Pn.Sby. Bentuk
penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode kualitatif. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa penyedia jasa kesehatan tradisional merupakan
subjek hukum yang tidak luput dari pertanggung jawaban hukum.

ABSTRACT
Focus of this study discusses regulations concerning traditional health care
provider?s liabilities towards their service users whose suffered losses due to
hist/her traditional health. The discussion conducted through studies of Court
Decisions Number 740/Pdt.G/2010/Pn.Sby. Method utilized by this research is
normative juridical with qualitative. The study concluded traditional health care
provider is a legal subjet which can be held accountable in terms of liabilities."
2016
S64775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerard Kawun
"ABSTRAK
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan. Jika individu sakit, maka ia akan mencari cara untuk kembali sehat dan memperolehnya lewat pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan umumnya dibagi ke dalam pelayanan medis dan pelayanan nonmedis. Pelayanan nonmedis ini merupakan pelayanan kesehatan tradisional yang tumbuh dan berkembang dari kepercayaan dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Penyedia pelayanan kesehatan tradisional ini terbagi menjadi tenaga kesehatan tradisional dan penyehat tradisional. Penyehat tradisional ini menarik untuk dibahas sebab memiliki batasan wewenang upaya kesehatan yaitu upaya preventif dan promotif saja. Walaupun memiliki batasan, penyehat tradisional tetap memiliki tanggung jawab hukum terhadap klien melalui transaksi terapeutik antara kedua belah pihak. Pelanggaran terhadap hak klien oleh penyehat tradisional tentu harus ditindaklanjuti. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini akan mengambil Putusan sebagai bahan analisa kasus. Kasus akan membahas seorang penyehat tradisional melakukan tindakan asusila terhadap klien ketika sedang berpraktik. Berdasarkan kasus ini, maka tanggung jawab hukum seorang pengobat tradisional dapat dilihat berdasarkan tiga rumusan masalah. Pertama bagaimana wewenang yang dimiliki penyehat tradisional, kedua bagaimana bentuk hubungan dan tanggung jawab penyehat tradisional dan klien. Ketiga bagaimana bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap penyehat tradisional. Dapat disimpulkan masih terdapat penyehat tradisional yang belum memenuhi standar kompetensi sehingga mereka melakukan pelanggaran terhadap kliennya. Peraturan perlu mengatur kompetensi lebih terperinci seperti kompetensi dan standardisasi pendidikan supaya penyehat tradisional berpraktik dengan benar sesuai kompetensinya dan hak klien untuk mendapat pelayanan kesehatan yang layak dan sesuai kebutuhan dapat terpenuhi.

ABSTRACT
Everyone has the right to health. If the individual become ill, then he she will find a way to get back his her health and get it through health care. Health services generally divided into medical services and nonmedical services. This nonmedical service is a traditional medicine that grows and evolves from the beliefs and traditions of the community. These traditional medicine providers are divided into traditional medicine Practitioners and Complementary Medicine Practitioners. This Traditional medicine Practitioner interesting to be discussed because it has limitation for its healh effort, which is only preventive and promotive effort only. Despite its limitations, they still have legal responsibility to clients through therapeutic transactions between the two parties. Violations of Clients rsquo rights by the traditional medicine practitioner must be followed up. This research is analytical descriptive with normative juridical approach. This research will use Verdict as the case analysis material. The case will discussed a traditional medicine practitioners performs immoral acts against clients while practicing. Based on this case, the legal responsibility of Traditional Medicine Practitioners can be seen based on three problem formulations. First, what is the authority that traditional medicine practitioners have, secondly what forms of relationships and responsibilities of the traditional medicine practitioners and client. Third is how the form of supervision and guidance to the traditional medicine practitioners. It Can be concluded there are still traditional medicine practitioners who have not met the competency standards so that they violate the client. Regulations needs to regulate more detailed competencies such as standardization of education in order for traditional medicine practitioners to properly practice and the rights of clients to obtain appropriate medical services will be fulfilled. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Abednego Imanuel Soaloon
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan ditinjau berdasarkan hukum kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder. Penyelenggaraan Klinik Kulit dan Kecantikan merupakan bagian dari kegiatan pelayanan publik di bidang kesehatan yang berada dalam ranah hukum Kesehatan yang sangat terkait dengan aspek etika dan disiplin medis. Pemberlakuan hukum kesehatan ini sangatlah penting untuk memberikan kerangka pertangggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan dalam rangka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum, baik terhadap pemberi maupun penerima jasa pelayanan kesehatan. Mengacu pada analisis putusan pengadilan, telah menunjukkan atas lemahnya implementasi atau penegakan hukum kesehatan. Kelemahan tersebut diindikasikan oleh adanya disparitas antara ancaman hukuman yang diatur dalam hukum kesehatan dengan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap pelaku dan penyelesaian pertanggungjawaban hukum pelaku yang masih sangat parsial. Penegakan hukum kesehatan seharusnya dilakukan secara komprehensif dan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat, terutama dokter dan pemilik klinik kecantikan.

This thesis discusses on the legal responsibilities of doctor and the owner of aesthetic clinic based on health law. This study applies a normative legal study that emphasizes the use of secondary data. The operational of the Aesthetic Clinic is part of public service activities in the Health Sector which is very related to ethical aspects and medical disciplines. The implementation of this health law is very important to provide a framework of legal responsibility of doctor and the aesthetic clinic owner in order to give protection and legal certainty, both for the health service providers and recipients. Based on the analysis of the court decision, it has been shown the weakness of the implementation or the enforcement of the health law. The weakness is indicated by the disparity between the threat of punishment regulated in the health law with the verdict imposed by the judges to the perpetrator and the settlement of the legal responsibilities of the perpetrator which is very partial. The Health Law enforcement should be done comprehensively and firmly to all parties involved, especially to the doctor and the owner of the aesthetic clinic."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Aprianti
"Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab instansi laboratorium pada kasus malpraktik dan tanggung jawab rumah sakit terhadap kasus malpraktik yang dilakukan oleh instansi laboratorium di rumah sakit tersebut, dikaitkan pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg dan putusan Pengadilan Tinggi Nomor 256/PDT/2015/PT.Bdg.
Tujuan dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai tanggung jawab laboratorium pada kasus malpraktik dan tanggung jawab rumah sakit terhadap kasus malpraktik yang dilakukan oleh instansi laboratorium pada rumah sakit tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu, metode penelitian yuridis normatif.
Kesimpulan skripsi ini adalah yang harus bertanggung jawab atas tindakan malpraktik yang dilakukan oleh instansi laboratorium adalah penanggung jawab laboratorium dan juga rumah sakit yang mempekerjakan dokter penanggung jawab laboratorium.

This thesis discusses the responsibilities of ministries laboratory in malpractice cases and liability hospital against malpractice cases conducted by the agency in the hospital laboratory, attached to a District Court decision No. 514 / Pdt.G / 2013 / PN.Bdg and High Court decision No. 256 / PDT / 2015 / PT.Bdg.
The purpose of this paper is expected to provide knowledge regarding the responsibility of the laboratory in case of malpractice and liability hospital against malpractice cases carried out by agencies of the hospital laboratory. The method used, namely, normative juridical research method.
The conclusion of this thesis is to be responsible for malpractice committed by the agency is responsible laboratories and hospital laboratories that employ doctors in charge of the laboratory."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S65136
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Ascencio Widayat
"Skripsi ini memuat pembahasan mengenai peraturan terkait tanggung jawab hukum pelayanan kesehatan primer dalam memberikan pelayanan gawat darurat. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dikaitkan dengan pengaturan mengenai pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan primer yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pelayanan gawat darurat menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh ditolak oleh pelayanan kesehatan primer di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota bertanggung jawab atas kelalaian atau penyimpangan dalam pelayanan kegawatdaruratan yang menyebabkan kerugian pada pasien sebagai bentuk penerapan vicarious liability dan doktrin “respondent superior”. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelayanan kesehatan primer secara rutin untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan kegawatdaruratan.

This thesis discusses regulations related to the legal liability of primary health care in providing emergency care. The form of this thesis research is normative juridical with qualitative data analysis methods. This thesis is based on laws and regulations regarding emergency care and primary health care found in Law No. 36 of 2009 about Health, Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 47 of 2018 about Emergency Care and Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 19 of 2016 on Integrated Emergency Response System. The study shows that emergency services are an obligation that cannot be denied by primary health care in Indonesia as a form of protection of the right to health care. Heads of District/City Health Offices and Regents/Mayors are responsible for the negligence or irregularities in emergency care that cause harm to patients as the implementation of vicarious liability and the "respondent superior" doctrine. This study suggests that local governments and related agencies carry out supervision and guidance on primary health care on a regular basis to prevent irregularities in the implementation of emergency services."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Suryani
"Profesi Bidan merupakan salah satu profesi tertua di dunia, yang dikenal sejak adanya peradaban umat manusia. Pelayanan kebidanan di Indonesia pada masa V.O.C sampai awal masa pemerintah Hindia Belanda dilakukan oleh dukun (paraji) yang memberikan pelayanan kebidanan secara tradisional. Kondisi ini yang membuat pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan untuk mendidik wanita pribumi · menjadi Bidan, guna menanggulangi angka kematian ibu dan anak yang pada masa itu sangat tinggi. Meskipun pendidikan Bidan banyak mengalami pasang surut, tetapi pendidikan Bidan tetap berlangsung sampai sekarang, karena keberadaan Bidan dianggap berguna bagi pelayanan kesehatan khususnya di pedesaan yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan, dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak. Akan tetapi dalam menjalankan tugas sesuai wewenangnya, seorang Bidan tidak luput dari kesalahan atau kelalaian, sehingga ia harus bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakannya yang menimbulkan kerugian kepada pesiennya. Tanggung jawab Bidan di dalam hukum perdata dapat terjadi karena "perbuatan melanggar hukum (PMH). atau karena "wanprestasi. Sehingga Bidan perlu mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya, arena Bidan dalam menjalankan tugas dapat bertanggung jawab secara pribadi dalam wewenang umum, dan di bawah tanggung jawab dokter dalam wewenang khusus. Oleh karena itu, pembahasannya meliputi tanggung jawab ditinjau dari aspek perdata (tanggung jawab karena PMH dan karena wanprestasi), tentang malapraktek medik, tanggung jawab Bidan karena PMH dan tanggung jawab Bidan karena wanprestasi, serta perlindungan hukum bagi Bidan, sehingga Bidan memperoleh kepastian dan ketenangan dalam menlaksanakan tugasnya. Pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan lapangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fandy Mulyawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu tanggung jawab hukum klinik kecantikan dalam peredaran sediaan kosmetik yang tidak memiliki izin edar lalu perlu diketahui pula mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mana lembaga ini berperan sebagai pengawas dan penegak hukum dalam hal peredaran sediaan kosmetik. Terlebih lagi dikarenakan adanya kasus yang terjadi di dalam Putusan Nomor 2008 K/Pid.Sus/2018. Penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif yang mana dilakukan dengan pendekatan berdasarkan bahan hukum, kepustakaan, serta perundang-undangan yang berlaku terkait topik penelitian ini. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, suatu keadaan, atau gejala lainya dan dalam hal ini adalah mengenai tanggung jawab hukum klinik kecantikan serta pengawasan dan penegakan hukum dalam kasus kosmetik yang tidak memiliki izin edar. Dari penelitian ini menunjukan bahwa tanggung jawab hukum klinik kecantikan berada pada pihak yang mendirikan klinik kecantikan tersebut, pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah dengan upaya non pro justitia dan pro justitia. penulis menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk membuat suatu peraturan yang khusus terkait klinik kecantikan yakni Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik Kecantikan agar konsumen yang menggunakan jasa klinik kecantikan ini dapat terlindungi hak-haknya.

ABSTRACT
This research aims to find out about legal responsibilites of a beauty clinic in regards of cosmetic product distribution that do not have a distribution authorization. Furthermore, it rsquo s also necessary to find out about supervision and law enforcement which conducted by Badan Pengawas Obat dan Makan in this matter. Particularly because of the case that happened in Case Decision Number 2008 K Pid.Sus 2018, it is important to know how Mahkamah Agung conducts examinations in such cases where a beauty clinic is involved in the distribution of cosmetic products that do not have a disribution authorization. This research is in the form of yuridis normatif which is done with approach based on legal material, bibliography, and applicable legislation related to this research topic. The type of this research is descriptive research, which aims to provide as much data as possible about humans, a condition, or other symptoms which in this case is about the legal responsibilities of beauty clinics as well as supervision and law enforcement in cases of cosmetics that do not have distribution authorization. From this research, it shows that the legal responsibility of beauty clinic is possesed by the party who establish the beauty clinic itself, supervision and law enforcement by Badan Pengawas Obat dan Makan is done by doing non pro justitia effort and pro justitia effort. Although it can be inferred from some existing legislation, the authors suggest to the Government of Indonesia to make a regulation specifically related to beauty clinics such as Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik Kecantikan so that consumers who use the services of this beauty clinic can be more protected. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Widyasari S.
"Dengan semakin berkembangnya praktek pelayanan medis dan berkembangnya ilmu teknologi serta industri peralatan medis maka semakin meningkat pula risiko penggunaannya , dimama disamping hubungan hukum diantara pasien dengan dokter semakin berkembang dan luas warga masyarakatpun kewajibannya semakin sadar pula akan hak-hak dan kewajibannya sehingga memungkinkan terjadinya banyak tuntutan atau gugatan oleh pasien terhadap dokter apabila dokter melakukan kesalahan di dalamm menjalankan profesinya atau disebut Malpractice. Lahirnya tanggung jawab dokter terhadap pasien atas/dalam hal terjadinya. Malpractice adalah apa bila seorang pasien mengajukan gugatan terhadap dokter yang bersangkutan untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita pasiennya, misalnya: akibat kelalaian dokter, si pasien menjadi lumpuh atau meninggal dunia. Untuk menemukan bahwa seorang dokter dapat dituntut oleh pasien apabila ia melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, penulis menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan. Tanggung Jawab Dokter atas Malpractice medis ini menurut bidang hukum perdata, dapat digugat untuk mengganti kerugian baik secara langsung atau tidak langsung. Pada prakteknya masih banyak kasus Malpractice yang tidak sampai kepengadilan , sehingga tidak memuaskan pada pasien yang dirugikan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu disarankan agar ada kerjasama yang baik antara pihak aparat hukum dengan aparat ke dokteran agar kasus Malpractic dapat ditangani demi menjamin kepastian hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20549
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raihan
"Suntik filler merupakan salah satu perawatan kecantikan non bedah yang memasukkan sejenis cairan atau zat ke dalam kulit dengan menggunakan jarum dan bertujuan untuk menyamarkan akibat penuaan atau mempercantik penampilan seseorang. Pemulihan tindakan suntik filler tidak memerlukan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan bedah plastik estetika, membuat lonjakan terhadap penggunaan suntik filler oleh berbagai kalangan terus meningkat setiap tahunnya. Pastinya tindakan ini memiliki risiko dan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi. Maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter akibat tidak adanya pemberian persetujuan tindakan kedokteran dalam melakukan tindakan medis perlu dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan kedokteran harus memberikan persetujuan tindakan kedokteran dengan terlebih dahulu dokter menjelaskan kepada pasiennya secara rinci dan lengkap, karena persetujuan tindakan medis termasuk ke dalam bagian etik profesi kedokteran. Hal ini bertujuan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter sebagaimana penelitian ini yang tidak memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis dalam memberikan tindakan suntik filler berdasarkan Putusan Nomor 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bahan data sekunder sebagai pendukung. Data ini diperoleh dari studi dokumen maupun wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian persetujuan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dengan melakukan suntik filler untuk kecantikan belum diterapkan secara maksimal sesuai dengan hukum kesehatan.

Filler injections are one of the non-surgical beauty treatments that involve injecting a substance or fluid into the skin using a needle, with the aim of minimizing signs of aging or enhancing a person's appearance. As opposed to aesthetic plastic surgery, filler injections have a shorter recovery period, which has resulted in an annual rise in the number of individuals who use them. However, it is important to acknowledge that such procedures carry risks and potential complications. The prevalence of violations committed by doctors due to the lack of informed consent in medical procedures needs to be further discussed. Therefore, it is necessary for every medical procedure to obtain the patient's informed consent, wherein the doctor provides a detailed and comprehensive explanation beforehand, as obtaining informed consent is an ethical requirement in the medical profession. This is aimed at preventing violations committed by doctors, such as the case discussed in this research, where written informed consent was not obtained for administering filler injections based on Court Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This research employs a normative juridical approach with secondary data as supporting evidence. The data was obtained from document studies and interviews conducted with pertinent sources, and it was then analyzed using qualitative analysis methods. Based on the findings of this research, it is evident that the practice of obtaining informed consent from patients for filler injections in aesthetic procedures has not been maximally implemented in accordance with health laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Jatmiko
"Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1963 Tentang Tenaga Kesehatan, maka apoteker adalah tenaga kesehatan sarjana. Dalam kategori ini juga termasuk dokter-dokter gigi dan sarjana kesehatan lainnya. Seorang tenaga profesional di bidang kesehatan seperti apoteker, adalah seorang yang telah mempereleh pendidikan formal tertentu, yang menyebabkan bahwa yang bersangkutan cakap untuk memberi bantuan kepada masyarakat yang memerlukannya. Bantuan tersebut adalah dalam bentuk jasa profesional kepada warga masyarakat yang awam di bidang farmasi. Ironisnya kedudukan warga masyarakat yang memerlukan bantuan jasa profesional khususnya di bidang kesehatan sangat lemah sehingga jika terjadi kasus, masyarakat sering dirugikan. Lemahnya kedudukan masyarakat disebabkan oleh ketidaktahuan tentang hak-hak mereka jika berhadapan dengan tenaga kesehatan, di samping itu juga disebabkan karena peranan tenaga profesional bersifat rahasia dan didasarkan atas kepercayaan, justru karena kedudukannya lebih kuat. Karena lemahnya kedudukan masyarakat tersebut maka diperlukan hukum yang baik bagi masyarakat dalam berhubungan dengan para tenaga kesehatan. Perlindungan hukum ini tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup para tenaga kesehatan, tetapi untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara masyarakat dan tenaga kesehatan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20564
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>