Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158786 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartini Kusuma Putri
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pembatalan perkawinan, pembatalan perkawinan
merupakan tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan itu tidak sah sehingga dianggap tidak perna ada.
Pembatalan perkawinan dilakukan dengan suatu alasan tertentu dan hanya orang
tertentu saja yang dapat melakukannya. Dengan adanya pembatalan perkawinan,
maka akan timbul suatu akibat hukum terutama bagi para pihak. Penulis
menggunakan metode penelitian normatif dengan mempelajari putusan pengadilan
negeri Jakarta Timur dan mencari referensi dari bahan hukum lainnya. Dari hasil
penelitian, penulis dapat menyimpulkan bahwa terhadap status suami istri
mengakibatkan seolah-olah tidak pernah terjadi perkawinan antara mereka yang
perkawinannya dibatalkan. Selain itu, terhadap harta bersama dapat diselesaikan
secara musyawarah antara mantan suami dan mantan istri, guna menghindari
sengketa hak milik antara mereka

ABSTRACT
This thesis discusses marriage annulment, which is a legal declaration by the court
that rules a marriage null and void. Marriage annulment is done with certain
reasons and only specific parties are allowed to perform it. The annulment of a
marriage causes certain legal consequences especially for the parties taking part in
the marriage. This subject is researched using normative research method which is
done by analyzing a court ruling from East Jakarta District Court and by
researching various legal research materials. The results of the research conclude
that a marriage annulment causes a marriage to be treated as if it never happened
in the first place. Also, any changes regarding marital property left from the
annulled marriage can be negotiated by the parties together to prevent unwanted
disputes on the ownership of the property."
2016
S65082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Dengan adanya pembatalan perkawinan menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kedudukan hukum perjanjian perkawinan terhadap pembatalan perkawinan di Indonesia serta akibat yang ditimbulkan terhadap para pihak dan pihak ketiga. Akibat pembatalan perkawinan yang mengakibatkan dibatalkannya perjanjian perkawinan di antara para pihak dalam perjanjian perkawinan pisah harta sama sekali adalah harta tetap menjadi milik masing-masing, dalam perjanjian perkawinan persekutuan untung dan rugi adalah pembagian untung dan rugi di antara para pihak berakhir, sedangkan dalam perjanjian perkawinan persekutuan hasil dan pendapatan adalah pembagian untung atau hasil dan pendapatan di antara para pihak berakhir. Apabila selama perkawinan dengan perjanjian perkawinan persekutuan untung dan rugi atau perjanjian perkawinan persekutuan hasil dan pendapatan terdapat harta yang dibuat atau dibeli atas nama bersama, maka pembagiannya dibagi dua di antara para pihak sesuai kesepakatan. Pihak ketiga tidak menanggung konsekuensi dari dibatalkannya perkawinan yang turut serta membatalkan perjanjian perkawinan di antara para pihak, sehingga perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak ketiga masih tetap berlaku. Terhadap harta yang dibeli atas nama bersama, setelah putusan pembatalan perkawinan dijatuhkan dengan alasan pembatalan perkawinan itu bukan karena masih ada perkawinan terdahulu (bukan karena suami melangsungkan perkawinan lagi dengan wanita lain tanpa adanya persetujuan istri atau istri-istri), sebaiknya para pihak atas kesepakatan bersama langsung menentukan siapa pihak yang akan bertanggung jawab atas harta tersebut (dijadikan harta atas nama salah satu pihak). Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak ketiga terkait siapa pihak yang harus dimintakan pertanggungjawabannya berkenaan dengan status kepemilikan harta tersebut.

With the existence of marriage annulment, it raises questions about the legal position of the prenuptial agreement on the annulment of marriage in Indonesia along with the consequences it has on the spouses and third parties involved. Consequences of the marriage annulment which results in the cancellation of the prenuptial agreement: in a full separation of property, properties remains as the property of each spouse; in a profit and loss partnership, the profit and loss sharing between the parties ends; whereas in a result and income partnership, the distribution of profits or income between the parties ends. During a marriage which has a profit and loss partnership prenuptial agreement or an income and profit partnership agreement, if there are assets made or purchased in a joint name, then the distribution is divided between the parties according to the agreement. The third party does not bear the consequences of the annulment of the marriage which also involves canceling the prenuptial agreement between the parties, so that the previously made agreement with the third party are still valid. To assets purchased in a joint name, after the court decision to annul the marriage on the grounds that it was not because there was still a previous marriage (not because the husband had remarried with another woman without the consent of the wife or the wives), it is best if the parties have a mutual agreement in regard to directly determine the party responsible for the assets (made assets on behalf of one of the parties). This aims to provide legal security to third parties regarding who the party should be held accountable for regarding the ownership status of the property."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Helida
"Perkawinan poligami harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu syaratnya adalah harus adanya izin dari isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka isteri pertama mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan tersebut. Dari uraian tersebut timbul permasalahan diantaranya apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah cukup mengatur perlindungan hukum terhadap isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami, bagaimana aturan perundang-undangan berkaitan dengan pembatalan perkawinan dikaitkan dengan perkawinan poligami dan bagaimana kedudukan (status) isteri dan anak-anak yang terlanjur dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban permasalahan ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada narasumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk telah dilakukan pembatalan perkawinan. Pembatalan tersebut terjadi karena adanya pelaksanaan perkawinan poligami yang dilakukan tanpa seizin isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dikatakan bahwa Undang-undang Perkawinan sudah cukup melindungi isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami. Poligami yang dilakukan tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang, maka isteri sah dari perkawinan sebelumnya yang tidak setuju dengan adanya perkawinan poligami diberikan hak oleh Undang-undang untuk membatalkan perkawinan. Suami yang melakukan perkawinan poligami tanpa adanya izin dari pengadilan agama dapat menyebabkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Adanya keputusan pembatalan perkawinan dari pengadilan, segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada dan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, kedudukan status) adalah tetap sebagai anak sah. Dalam hal ini harus dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat oleh universitas-universitas atau lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung dalam bidang perkawinan mengenai prosedur perkawinan termasuk mengenai penyebab terjadinya pembatalan perkawinan.

Polygamy marriages should be conducted in accordance with the legislation in force. One of the conditions have the permission of first wife and permission from the Religious Courts. If conditions are not met, then the first wife the right to cancel the marriage. From the description of which raised the question whether Law No. 1 Year 1974 on Marriage is enough to set the legal protection of the first wife as a result of polygamy marriages, how the rules of the legislation relating to the cancellation of marriage is associated with polygamy marriages and how the position wife and children already born from the marriage canceled. To be able to find answers to these problems, the author uses the method of juridical normative study using secondary data is data obtained from literature and supported by an interview to the informant. Religious Court in Decision No. 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk has done annulment. Cancellation is due to implementation of polygamous marriages are performed without first wife's permission and consent of the Religious Courts. Based on research by saying that Marriage Act is sufficient to protect the first wife as a result of polygamy marriages. Polygamy is conducted without complying with the requirements stipulated by the Act without the permission of the first wife and the permission of religious courts, then lawful wife from a previous marriage who does not agree with the existence of polygamy marriages are granted the right by law to annul the marriage of her husband. Marriage can be canceled if there are terms are not being met in the hold of marriage. Husbands who do polygamous marriages without the permission of the court religion then it can lead to marriage be reversed. With the annulment of the court decision, all the rights and obligations between husband and wife become non-existent and the decision is retroactive annulment of the children born within marriage, the position as as his rights are fixed as a legitimate child. Should also be made to the community legal education by universities or non-governmental organizations engaged in the field of marriage about marriage procedures, including the cause of cancellation of marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28874
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Herma Desfira
"Perkawinan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi, perkawinan tidak hanya sekedar suatu hubungan badan, melainkan pula merupakan suatu hubungan perikatan antara suami dan isteri. Dengan adanya hubungan perjanjian perikatan tersebut, maka perkawinan menimbulkan segala akibat hukum di dalamnya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, melainkan sebagai kewajiban administratif. Meskipun pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, tetapi kedudukan pencatatan perkawinan di sini memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan kejelasan pada peristiwa perkawinan yang terjadi. Selain itu, pencatatan perkawinan tersebut juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang sempurna di hadapan pengadilan. Undang-undang kita memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penelitian ini, Penulis hendak meneliti apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dijadikan dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan jenis data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahan hukum primer, yaitu KUH Perdata, UU Perkawinan, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait; dan bahan hukum sekunder, yaitu bukubuku hukum, serta jurnal ilmiah.

Marriage is one way for humans to continue their offspring. However, marriage is not just a physical relationship, but also an engagement relationship between husband and wife. With the engagement agreement, the marriage has all the legal consequences in it. According to article 2 paragraph (1) of Law no. 1, a marriage is valid if it is carried out according to the laws of their respective religions and beliefs. Then, in Article 2 paragraph (2) of Law no. 1 of 1974, it is determined that each of these marriages must be registered in accordance with the applicable laws and regulations. According to the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, but as an administrative obligation. Although marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, marriage registration has a very important role in determining a marriage event that occurs. In addition, the registration of the marriage also serves as a perfect means of proof before the court. Our law supports marriage for certain reasons. Based on Article 22 of Law no. 1 of 1974, a marriage can be annulled if the parties do not meet the requirements to enter into a marriage. In this study, the author wants to examine whether unregistered marriages can be used as the basis for submitting a marriage application. The research method used is juridical-normative with secondary data types. The types of secondary data used in this study are primary legal materials, namely the Civil Code, Marriage Law, and several related laws and regulations; and secondary legal materials, namely books
law, and scientific journals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Ananda Arnita
"Pembatalan Perkawinan merupakan keputusan pengadilan yang menyatakan sebuah perkawinan adalah tidak sah dan mengakibatkan perkawinan tersebut dianggap tak pernah terjadi. Skripsi ini hendak membahas mengenai sebuah permohonan pembatalan perkawinan yang dikabulkan atas dasar adanya poligami tanpa disertai dengan izin dari istri sah namun cenderung mengesampingkan ketentuan terkait daluwarsa pembatalan perkawinan yang didasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Agama Lolak Nomor 438/Pdt.G/2021/PA.Llk. Faktanya, pembatalan perkawinan memiliki daluwarsa, yakni selama 6 (enam) bulan setelah ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, namun pasangan suami istri tersebut tetap mempertahankan hubungannya. Dalam pembahasan skripsi ini, ditemukan fakta bahwasanya terdapat unsur ancaman di dalam perkawinan tersebut serta permohonan pembatalan perkawinan yang baru diajukan kurang lebih 20 (dua puluh) tahun sejak ancaman yang dimaksud terjadi. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan dari permasalahan tersebut ialah, daluwarsa dalam pembatalan perkawinan hanya berlaku karena 2 (dua) alasan, yakni apabila terdapat ancaman atau salah sangka sehingga diluar daripada alasan tersebut, termasuk adanya poligami, tidak dapat diberlakukan aturan terkait daluwarsa pembatalan perkawinan. Akan tetapi, dalam Putusan Pengadilan Agama Lolak Nomor 438/Pdt.G/2021/PA.Llk., Majelis Hakim kurang tepat dalam mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan Pemohon. Sebab, ditemukan fakta bahwa terdapat unsur ancaman dalam perkawinan tersebut, sehingga seharusnya ketentuan mengenai daluwarsa pembatalan perkawinan itu haruslah diberlakukan. Maka dari itu, permohonan pembatalan perkawinan ini seharusnya ditolak karena telah melewati daluwarsa yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Marriage annulment is a court decision that declares a marriage invalid and causes the marriage to be considered never to have occurred. This thesis will discuss a request for annulment of marriage that was granted on the basis of polygamy without the permission of the legal wife but tends to ignore the provisions related to the expiration of marriage annulment based on the case in the Lolak Religious Court Decision Number 438/Pdt.G/2021/PA.Llk. In fact, the annulment of marriage has an expiration date, which is 6 (six) months after the threat has ceased or the guilty person realizes the situation, but the married couple continues to maintain their relationship. In the discussion of this thesis, it is found that there is an element of threat in the marriage as well as a new marriage annulment application filed approximately 20 (twenty) years after the threat in question occurred. This thesis was prepared using the research method of literature study and interviews. Based on the research that has been conducted, the conclusion of the problem is that the expiration in the annulment of marriage only applies for 2 (two) reasons, namely if there is a threat or misconception so that outside of these reasons, including polygamy, the rules related to the expiration of marriage annulment cannot be applied. However, in the Lolak Religious Court Decision Number 438/Pdt.G/2021/PA.Llk, the Panel of Judges was incorrect in granting the petition for annulment of marriage filed by the Petitioner. Because, it was found that there was an element of threat in the marriage, so that the provisions regarding the expiration of the marriage annulment should be applied. Therefore, the application for annulment of this marriage should be rejected because it has passed the expiration date regulated in Article 27 paragraph (3) of Law Number 1 Year 1974 concerning Marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak
negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hak haknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic marriage certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama
menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini
mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau
perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas
peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara
agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hakhaknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who
wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and
asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a
negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners
with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special
provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased
thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic
marriage certificate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husin
"Pembauran budaya antar suku bangsa, kebudayaan agama, dan negara yang menyebabkan perubahan pandangan terutama pada ikatan antar individu seperti ikatan perkawinan antar orang yang berbeda agama. Perbedaan agama ini sebelumya tidak menjadi masalah hingga timbul pengaturan terbaru dalam hukum positif di Indonesia, yakni adanya definisi perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kemudian pada tahun 2006 keluar Undang-Undang Adminduk yang menyatakan perkawinan beda agama dapat dicatat berdasarkan penetapan pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan menganalisis Penetapan Pengadilan Negeri No. 112/Pdt.P/2008/PN.Ska yang akan dikaitkan dengan peraturan terkait seperti UU No.1 tahun 1974, UU No. 23 tahun 2006. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini ialah yuridis normatif dengan sumber data melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini bahwa UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan kemudian diubah menjadi UU No. 24 tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan saat ini yang dijadikan sebagai dasar permohonan perkawinan beda agama.

The assimilation of cultures between ethnic, religious, cultural and country changes the views of individual especially for their relation such as different religion marriage. In the beginning there isn’t problem with the different of the religion, but after arising arrangement until recent positive law in Indonesia is a existence of the definition of marriage in article 1 of the law Number 1/ 1974 about Marriage that stating “marriage was born inner ties between a man with a woman as husband and wife with the aim of forming a family (of a household) happy and eternal based on God". Based on that, the writer will analyze the determination of District Court Number 112/Pdt.P/2008/PN.Ska will be associated with the regulations such as Act Number 1 of 1974, Act Number 23 of 2006. The methodology in this study use juridical normative with data source through the study of librarianship. The results of this research is that law Number 23 of 2006 about the Residency and Changed to Administration of Act No. 24-2013 about changes of Act Number 23 of 2006 about the Administration of the Population here, currently used to have the marriage of difference religious request."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Budisarwono
"Putusnya perkawinan karena perceraian dapat dianggap tidak pernah terjadi apabila salinan putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap tetapi tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi ketentuan pasal 34 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dari putusan Mahkamah Agung No. 2307 K/Pdt/2007 timbul masalah yang perlu dikaji yaitu mengenai akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukannya.
Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan diatas adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif yang mengolah data primer maupun sekunder dengan mempergunakan analisis data kualitatif dan akhirnya dapat diambil kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya salinan putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap tetapi tidak dicatatkan yang mengakibatkan perkawinan tetap berlangsung sehingga tuntutan terhadap pemberian nafkah istri tidak dapat dipenuhi. Diperlukan upaya hukum memohon putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap untuk dicatatkan kembali di Kantor Catatan Sipil.
Disarankan para pihak sudah seharusnya di informasikan oleh pihak yang terkait mengenai tata cara perceraian di Pengadilan sehingga memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

The marriage divorce may be considered never occurred if the copy of divorce decision which has a permanent legal powered decision but not registered at the Department of Population. The importance of this registration is to fulfill the provision of Article 34 paragraph 2 of Government Regulation Number 9 Year 1975. Based on the decision of Supreme Court Number 2307 K/Pdt/2007, there is a problem should be analyzed related to the legal consequence and legal effort to overcome the decision.
The method of the research approach used in analyzing the above problem is descriptive, normative jurisdiction which processes primary and secondary data using qualitative data analysis so that can be drawn a conclusion.
The result of the research shows that the copy of divorce decision which has a permanent legal powered decision but not registered is the reason that the marriage considered still occurred legally, so that the prosecution of alimony for the wife can not be undertaken. It is needed to take a legal effort to propose a divorce decision which has a permanent legal powered decision to be re-registered at the Department of Population.
It is suggested that all parties should be informed and socialized by the related parties concerning the divorce procedures at the Court so it will give a legal security to the related parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21814
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Awlia Ghea Kartika
"Dalam suatu perkawinan seringkali terdapat permasalahan hukum mengenai harta kekayaan. Hal ini terutama terjadi saat perkawinan tersebut putus karena perceraian. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3149 K/PDT/2012. Dalam kasus ini, terdapat permasalahan mengenai status harta isteri yang diperoleh dari hibah dan di atas-namakan suami dengan cara meminjam nama, setelah bercerai. Terkait dengan hal itu, Penulis melakukan penelitian dengan metode deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian Penulis, harta isteri yang diperoleh dari hibah akan kembali kepada isteri, jika tidak diadakan syirkah atau ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, meskipun atas harta tersebut meminjam nama suami.

In a marriage, there`s often legal issues regarding marital property. These issues can happen particularly after the divorce. Therefore, the author is interested to analyze the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 3149 K/PDT/2012. In this case, there`s a problem regarding the legal status of wife`s assets which is the grant for her which she puts on behalf of the husband after the divorce. The author uses descriptive analysis methods in this research. Based on the research, the wife`s assets that obtained from the grant, will be returned to the wife as long as there`s no syirkah or marriage agreement, although the assets was put on behalf of the husband."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60991
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>