Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43180 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dede Permana
"Tesis ini meneliti mengenai upaya rekonsiliasi politik Libya yang sedang berada dalam keadaan darurat, sehingga sangat perlu dilakukan kesepakatan politik bersama untuk menangani kebuntuan negosiasi antara kedua pemerintahan ?GNC? (General National Congress) di Timur dan HoR (House of Representative) di Barat. Berbagai pihak Libya dengan didukung oleh komunitas Internasional beserta UNSMIL (United Support Mission in Libya) mewujudkan pemerintahan pemersatu Libya (GNA / Government of National Accord) pada Deklarasi Sukhairat 2015.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus dengan pendekatan deskriptif - analitik dan ditulis dengan data yang diperoleh dari dokumentasi, arsip situs - situs, website resmi dan wawancara. Konsep resolusi konflik digunakan untuk menjelaskan dampak dan prospek stabilitas di Libya dan teori Intervensi Mastenbroek digunakan untuk menganalisa upaya GNA dalam menengahi ranah perpolitikan Libya.
Hasil penelitian menyatakan bahwa Deklarasi Sukhairat merupakan sebuah langkah yang penting untuk penyatuan konflik politik di Liyba, dan terhambatnya penerapan kesepakatan politik yang telah dideklarasikan di Sukhairat pada 17 Desember 2015 karena ada butir ke delapan yang memindahkan kekuasaan militer kepada Dewan Presidium dalam pemerintahan GNA.

This thesis examines Libya's political reconciliation efforts after being in a state of an emergency. To overcome this problem, a joint political agreement was needed between the General National Congress (GNC) in the eastern parts of Libya and the House of Representative in the western parts. Through the Declaration of Sukhairat (2015), Libya which was supported by the United Nation Support Mission in Libya (UNSMIL) and International community tried to establish the Government of National Accord (GNA).
This thesis is a case study research with a qualitative approach by emphasizing the study method on descriptive-analytic. The data was obtained from the documentation, archives (books, articles, journals, and websites). The concept of conflict resolution was used to describe the impact and prospects of stability in Libya, while Mastenbroek Intervention theory was used to analyze GNA efforts to mediate the political realm in Libya.
The results states that Sukhairat Declaration is an important step for the political unification of Libya. However, the provision about transferring military power into the Presidium Council was hampering the implementation of the political agreement of Sukhairat.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Ulber
"The globalization of information in the early 21 st century has made the country, government and the world community closer and connected quickly. The world has become borderless, so what's happening in the world's first and second world will soon be known to the third world. Moreover globalization of information makes a success of democratization and decentralization in the country and the decentralization encourage democratization in other countries, including indonesia.
This study aims to explain the impact of globalization on the political administration of government informantion post-new order indonesia. the method used is descriptive, qualitative study of literature.
The findings suggest that the globalization of information have changed the political admnistration post-new order indonesia become more democratic and decentralized. Visible indication of democratization elections (precidential and legislative elections as well as representatives) and local elections (local elections and local legislative members) and governance base on good governance, while decentralization seems indicative of an increase of area and district and city up to 69.6 with the details of the province increased 26,9, the district 76,8 , the city government increased 60,3 %.This increase will impact in the improvement of government management,public service management and welfare citizens."
Bandung: Lembaga Pengembangan Administrasi STIALAN Bandung, 2012
JIA 9 : 1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
"Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR.
Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif.

This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law.
The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament.
The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahma Islami
"Tesis ini mengkaji tentang kinerja humas pemerintahan, dengan pendekatan konsep ?agenda building?. Metode yang digunakan ialah analisis kualitatif deskriptif melalui salah satunya ialah dari proses wawancara. Yang melatar belakangi penelitian ini ialah dari fenomena krisis yang terjadi di Wilayah Pemerintahan Provinsi Banten pasca kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah, dengan bertujuan menjelaskan: a. bagaimana suatu ?agenda building? digunakan oleh humas pemerintahan dalam menganalisis krisis, tujuannya bertumpu pada pemulihan citra politik institusi pemerintahan; b. mengapa ?agenda building? yang dilakukan terhadap humas pemerintahan dalam menganalisis krisis, di sini peneliti mengkaji tentang reaksi humas pemerintahan dalam menggunakan hasil analisis krisis tersebut, meliputi: reaksi pada fenomena krisis, komunikasi institusi pemerintahan, sinergitas humas pemerintahan, dan manajemen humas pemerintahan; dan c. ingin mengetahui apakah kinerja humas pemerintahan dapat memulihkan citra politik institusi pemerintahan dengan menggunakan ?agenda building?. Penelitian ini semata-mata untuk kemaslahatan bersama, mengkaji data dengan bertumpu pada konsep-konsep perbaikan citra, mempertahankan prinsip kerja, dan membangunnya dengan kedisiplinan. Humas yang menjadi icon publik, penyambung aksi publik kepada pemerintahan. Apa yang terjadi di publik, maka itu yang dijadikan program humas pemerintahan.

This thesis examines the performance of government public relations, with the approach of the concept of "agenda building". The method used is descriptive qualitative analysis through one of them is from the interview process. The background for this study is from the crisis phenomenon in the post Administrative Region Banten Ratu Atut Chosiyah leadership, with the purpose of explaining: a. how an "agenda building" used by the PR government in analyzing the crisis, the goal of recovery rests on the political image of government institutions; b. why "agenda building" carried out against government in analyzing the crisis public relations, here the researchers evaluated the reaction of the government public relations using the results of the analysis of the crisis, including: a reaction to the phenomenon of the crisis, the government's communications, the synergy of government public relations, public relations management and governance; and c. wanted to know whether the government can recover the performance of public relations the political image of government institutions by using the "agenda building". This study was solely for the benefit together, reviewing the data with the rest on the concepts of image enhancement, maintaining the principle of work, and build it with discipline. Publicist who became a public icon, connecting the public to the government action. What happens in public, then it is used as a public relations program administration."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wyllyan Ichsan Shab Billah
"Tesis ini membahas mengenai konsep konstitusionalisme deklarasi keadaan darurat sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Secara teori, konsep pemberian kewenangan dalam mendeklarasikan keadaan darurat seharusnya tidak ada pada pemerintah daerah. Hal demikian, dikarenakan bentuk negara Indonesia merupakan negara kesatuan. Namun menurut peraturan perundang-undangan yang lain, kewenangan deklarasi keadaan darurat dapat dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota yang menyesuaikan dengan skala kedaruratan yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, Gubernur dan Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari pemerintahan pusat yang berada di wilayah mereka, sehingga dalam hal ini pemerintah daerah tidak memiliki peran layaknya sebagai kepala negara. Dengan kata lain, semestinya kewenangan untuk mendeklarasikan keadaan darurat seharusnya tetap berada ditangan pemerintah pusat dalam hal ini hanya Presiden yang bertanggung jawab penuh terhadap negara ketika dalam kondisi darurat. Namun, secara praktik pelaksanaan deklarasi keadaan darurat dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyesuaikan skala kedaruratan yang terjadi di sebagian wilayah negara Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam UU 24/2007 Penanggulangan Bencana dan UU 7/2012 Penanganan Konflik Sosial. Sehingga, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai deklarasi keadaan darurat di Indonesia saat ini belum memiliki kerangka konsep yang konsisten dan baku, seiring berjalannya waktu peraturan terkait deklarasi keadaan darurat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia akan saling tumpang tindih, dan minimnya pengawasan yang dilakukan oleh legislatif, terlebih lagi tidak adanya pengaturan norma khusus mengenai batasan masa berlakunya keadaan darurat dalam konstitusi Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keadaan darurat. Padahal dalam konteks negara-negara lain, masa berlaku keadaan darurat ditegaskan di dalam konstitusinya, hal ini sangat diperlukan guna untuk menegaskan batasan waktu terhadap berlakunya deklarasi keadaan darurat tersebut.

This thesis discusses the constitutionalism concept of declaring a state of emergency as intended in the provisions of Article 12 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In theory, the concept of granting authority to declare a state of emergency should not exist in regional governments. This is because the form of the Indonesian state is a unitary state. However, according to other laws and regulations, the authority to declare an emergency can be owned by the regional government, in this case the Governor/Regent/Mayor, who adjusts it to the scale of the emergency occurring in the region. In this context, the Governor and Regent/Mayor are heads of regional government which are part of the central government in their region, so that in this case the regional government does not have a role like head of state. In other words, the authority to declare a state of emergency should remain in the hands of the central government, in this case only the President has full responsibility for the country when it is in an emergency. However, in practice the implementation of emergency declarations can be carried out by regional governments by adjusting the scale of emergencies occurring in some regions of Indonesia as intended in Law 24/2007 Disaster Management and Law 7/2012 Handling Social Conflict. Thus, the results of the research show that the provisions regarding the declaration of a state of emergency in Indonesia currently do not have a consistent and standard conceptual framework, as time goes by the regulations regarding the declaration of a state of emergency in the laws and regulations in force in Indonesia will overlap with each other, and there will be minimal supervision. carried out by the legislature, moreover there is no specific norm regulation regarding the validity period of the state of emergency in the Indonesian constitution and the laws and regulations relating to the state of emergency. Even though in the context of other countries, the validity period of a state of emergency is confirmed in their constitution, this is very necessary in order to emphasize the time limit for the entry into force of the declaration of a state of emergency."
2024: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Libasut Taqwa
"Penelitian ini membahas Peran Partai Al-Nahdhah dalam Rekonsiliasi Politik di Tunisia Tahun 2011-2015. Partai Al-Nahdhah merupakan partai Islam pemenang Pemilu pertama di Tunisia pasca revolusi 2011 dan berhasil memainkan peran penting dalam proses transisi politik Tunisia dengan merangkul semua golongan yang berbeda metode perjuangan dengan mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan secara kualitatif fenomena yang diamati. Analisis Deskriptif digunakan untuk menginterpretasi data empiris menjadi kata-kata sebagai gambaran laporan penelitian. Untuk mendapatkan data yang akan dianalisis, penulis menggunakan metode pengumpulan data berupa wawancara, dokumen, dan informasi audio visual. Penelitian ini bertujuan menjelaskan bagaimana peran dan capaian yang berhasil diraih partai Al-Nahdhah dalam rekonsiliasi politik di Tunisia tahun 2011-2015 dengan menerapkan pembuktian teori dan kerangka konsep yang menjelaskan tentang rekonsiliasi politik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi baru mengenai peran partai politik Islam Al-Nahdhah dalam kontestasi politik Tunisia pasca Rezim Ben Ali dan upayanya dalam rekonsiliasi politik. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Al-Nahdhah berhasil memainkan peran penting dalam upaya rekonsiliasi politik di Tunisia pasca revolusi 2011.

This research aims to examine the role of Al Nahdhah Party rsquo in Tunisia rsquo s Political Reconciliation in 2011 2015 period. Al Nahdhah is an Islamic party that has won the first election in post revolutionary Tunisia in 2011 and managed to play an important role in the political transition process to embrace all different classes to have a common goal to struggle with them. In addition, there is no studies yet that have specifically discussed the political reconciliation efforts by a political party as a method to improve relations between the divided political factions in Tunisia rsquo s political context. The analysis of this research uses qualitative methods to explain the observed phenomena qualitatively. Descriptive analysis is used to interpret the empirical data into words and as an overview of the research report. To get the data that will be analyze, the authors used data collection methods such as interviews, documents, and audio visual information. The purpose of this study explain how the role and achievements that were achieved by the Al Nahdhah party in Tunisia rsquo s political reconciliation in 2011 2015 periods by applying the theory and the conceptual framework that explains about political reconciliation. This research is expected to provide a new contribution on the role of Al Nahdhah Islamic political party in Tunisia rsquo s political contestation after Ben Ali regime and its efforts in political reconciliation. The result assumed that Al Nahdhah has an important role in Tunisia rsquo s political reconciliation after the revolution.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luhulima, C.P.F.
Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011
330.959 LUH d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Ihsan Ramadhan
"Konflik selalu meninggalkan luka bagi tiap individu yang mengalaminya. Tidak jarang, individu atas dasar pengalaman luka pasca konfliknya memilih balas dendam sebagai cara melampiaskan kebenciannya. Hal itu membuat konflik menjadi sesuatu yang berulang. Kehangatan kehidupan bersama pasca konflik seringkali juga terkoyak dan memerlukan upaya untuk dapat pulih kembali. Cara yang ditawarkan untuk menyudahi kebencian dan memulihkan kembali kehangatan hidup bersama pasca konflik di dalam tulisan ini adalah melalui upaya rekonsiliasi dengan perjumpaan dan dialog. Melalui perjumpaan dan dialog, individu yang terdampak konflik diberikan kesempatan untuk saling menampilkan pengalaman akan konfliknya masing-masing. Dengan cara itu, tiap individu didorong untuk keluar dari kediriannya-sebagaimana yang diungkapkan oleh Levinas. Hal ini, telah ditunjukan nyata oleh dua individu yang mengalami pahitnya konflik Bom Bali I, yaitu Alif dan Mahendra. Keduanya berhasil keluar dari kekelaman pengalaman pasca konfliknya, saling memaafkan, dan bahkan dapat menjalin persaudaraan kembali.

Conflict always leave a wound to those who affected. Its often to see, those who affected by the conflict choose revenge to vent their hatred from the past conflict experience. It makes conflict into something that repeated. The aftermath of conflict not just affected the individual who experience it but also affected our social life. So, it urging us to take some action to repair it. The solution that this article offer from the aftermath of conflict is through a reconciliation. A reconciliation that brings us an encounter with the other and to have a dialogue with the other-like what levinas said. This idea had been shown succesful by Alif and Mahendra, those who experience closely The Tragedy of Bali Bombing I. Alif and Mahendra shows us that through encountering with the face of the other and have a relation with it, the bitterness of conflict experience can be overcome, forgiveness can be achieved, and they also have a good relationship again."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adelwin Airel Anwar
"Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah.

Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Krisis ekonomi yang menyengsarakan telah melanda perekonomian global pada beberapa dekade yang lalu Berdasarkan krisis tersebut, sektor UMKM telah terbukti memiliki ketahanan nasional yang mampu kontribusi yang positif dan mandiri sehingga sektor tersebut memberikan UMKM di Indonesia mempunyai peran besar dalam ut dikembangkan. Masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Banyaknya lembaga kesejahteraan pemerintah yang terlibat menaungi UMKM UMKM kurang maksimal dan bantuan pembiayaan untuk UMKM pembinaan tidak tepat sasaran serta informasi yang tidak sempurna atau minimalisasi tindakan penyimpangan KKN pada birokrat. Oleh karena itulah, diperlulan penyederhanaan pola ideal debirokratisasi dalam prosedur pengurusannya, integrated one stop menggunakan perizinan dan non perizinan dengan program. Aplikasi dari linkage dan service melalui linkage channeling programs yaitu melakukan kerjasama antarlembaga pemerintah pusat nonkementerian dan dan lembaga pemerintah (kementerian-kementerian pemerintah daerah (dinas-dinas) yang menaungi dalam proses pelaaman publik khusunya UMKM."
JPAN 4:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>