Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176027 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 ? Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 - Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elena Maliani
"Tujuan: Menentukan hubungan antara volume lemak perikardial dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada pasien yang menjalani pemeriksaan dual-source CT jantung di RSCM, sehingga dapat dilakukan penentuan titik potong volume lemak perikardial yang dapat digunakan untuk mendeteksi derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria hanya dengan menghitung volume lemak perikardial saja.
Metode: Analisa retrospektif hasil CT jantung dari 53 pasien yang diambil secara consecutive, meliputi penilaian derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria dan penghitungan volume lemak perikardial. Derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria dikelompokkan menjadi tidak ada stenosis, ringan, sedang dan berat, berdasarkan metode indeks prognosis Duke. Volume lemak perikardial dihitung dalam satuan cm3 dengan menggunakan perangkat lunak analisa volume pada cardiac workstation (Siemens, Leonardo), lemak perikardial adalah gabungan antara lemak epikardial dengan lemak parakardial. Analisa statistik penelitian ini menggunakan uji Anova.
Hasil: Terdapat hubungan positif antara volume lemak perikardial dengan stenosis arteri koronaria derajat sedang pada pasien di RSCM yang menjalani pemeriksaan DSCT jantung. Titik potong volume lemak perikardial untuk mendeteksi stenosis arteri koronaria derajat sedang adalah 185 cm3 (≥ 185 cm3 dan < 185 cm3), dengan nilai sensitifitas 81,8 %, spesifisitas 63,15 %, akurasi 70 % dan OR 7,71 pada 95 % interval kepercayaan 1,03 - 72,06.
Kesimpulan: Volume lemak perikardial dapat digunakan untuk menentukan stenosis arteri koronaria derajat sedang, sehingga dapat dipakai sebagai suatu acuan deteksi dini stenosis arteri koronaria bagi pasien yang beresiko terhadap kejadian PJK.

Purpose: to determine the correlation between pericardial fat volume and stenosis grade of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital and cut off point of pericardial fat volume that can be used to determine stenosis grade of atherosclerotic coronary artery.
Methods : Retrospective analysis of 53 consecutive patients who underwent dualsource cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital, the assessment was include stenosis grade of atherosclerotic coronary artery and pericardial fat volume. Stenosis grade were classified as no stenosis, mild, moderate and severe based on prognostic index Duke. Pericardial fat volume was measured in cm3 using the Volume Analysis software tool of our cardiac workstation (Siemens, Leonardo), pericardial fat defined as epicardial fat plus paracardial fat. Statisticall analysis were performed with Anova test.
Results : There was positive correlation between pericardial fat volume and moderate stenosis of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital. A cut-off value of 185 cm3 (≥ 185 cm3 and <185 cm3) determined a sensitivity and specivicity to detect moderate stenosis of 81,8% and 63,15%, with accuracy of 70% and OR 7,71 in 95% confident interval 1,03 - 72,06.
Conclusions : Pericardial fat volume can be use to determine moderate stenosis of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital due to early detection for coronary stenotic condition in patient who have higher risk for CAD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ponisih
"ABSTRAK
Nama : Ponisih Program Studi : EpidemiologiJudul : Determinan Mediastinitis Pascabedah Pintas Arteri KoronerDi RSUPN Dr.Cipto MangunkusumoPembimbing : Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Tujuan: Mediastinitis pascabedah BPAK adalah komplikasi yang jarang namunmematikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui determinan dan sistem skoringmediastinitis pascabedah BPAK.Metode: Studi kohort retrospektif yang melibatkan 706 pasien operasi BPAK di RSUPNDr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2011 hingga Desember 2017. Definisimediastinitis disesuaikan dengan definisi CDC infeksi kasus spesifik, yangmelatarbelakangi resternotomi debridement. Terdapat delapan faktor risiko yangberpotensi mediastinitis dalam analisa univariate.Hasil: Dari 706 pasien BPAK, terjadi insiden mediastinitis sebanyak 35 pasien. Lima daridelapan variable tersebut bertahan dalam analisa multivariate yaitu diabetes mellitusdengan OR sebesar 4.46 IK95 = 2,01-9,89 , IMT ge; 26,5 kg/m2 dengan OR 3,34 IK95 =1,61-6,97 dan lama operasi ge; 300 menit dengan OR 3,43 IK95=1,67-7,04 , usia ge;60 tahun dengan OR 2,01 IK 95 =0,97-4,19 , dan pemedahan ulang karena perdarahandengan OR sebesar 3,10 IK 95 = 0,94-10,27 .Kesimpulan: Determinan utama yaitu diabetes mellitus, obesitas, usia, lama operasi danpembedahan ulang karena perdarahan.Kata kunci: bedah pintas arteri koroner; determinan mediastinitis.

ABSTRACT
Name PonisihStudy Program Magister EpidemiologyTitle Deteminants MediastinitisPost Coronary Artery Bypass Graft CABG SurgeryIn Cipto Mangunkusumo HospitalCounsellor Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Objective Mediastinitis post CABG is a rare but serious complication. This studiobjective is to asses determinants and scoring system of mediastinitis post CABG.Methode A retrospective cohort study of 706 patients from January 2011 until December2017 in Cipto Mangunkusumo Hospital. The definition of mediastinitis according toCenter Disease Control Surveylance and patient had a resternotomy debridement surgeryfor the infections. There are eight factors potential as a determinants from univariateanalysis age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery, surgical reintervention,delay sternal closure, valve surgery involves and ventilatory day , where necessaryfollowed in multivariate analysis.Result 35 out of 706 patients develop mediastinitis. Five variable were identifed as aindependent predictor of mediastinitis diabetes mellitus OR 4.46 95 CI 2.01 9.89 ,body mass index ge 26.5 kg m2 OR 3,34 95 CI 1.61 6.97 duration surgery ge 300minutes OR 3,43 95 CI 1.67 7.04 , age ge 60 years OR 2.01 95 CI 0.97 4.19 , andsurgical reintervention OR 3.10 95 CI 0.94 10.27 Conclusion Determinants of mediastinitis post CABG in Cipto Mangunkusumo Hospitalwere age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery and surgical reintervention.Key words coronary artery bypass graft surgery determinants mediastinitis"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Trisetyo Nugroho
"

Latar belakang : Konduit vena lebih rentan mengalami trombosis dini dalam satu tahun pertama pasca bedah pintas arteri koroner sehingga meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti ada tidaknya perbedaan kejadian trombosis dini konduit vena pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan teknik on-pump dan off-pump pada pasien non-resisten aspirin.

Metode : Dilakukan suatu studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani operasi BPAK elektif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari bulan September 2019 hingga September 2020. Penelitan ini membandingkan kejadian trombosis pada satu bulan pascabedah pada kelompok on-pump dan off-pump dengan menggunakan pemeriksaan MSCT, serta membandingkan nilai MGF dan PI pada kedua kelompok tersebut.

Hasil : Sebanyak 60 konduit vena dari 28 pasien yang menjalani BPAK dilibatkan dalam penelitian ini. Sebanyak masing-masing 30 konduit pada kelompok off-pump dan on-pump.  Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara kedua kelompok. Kejadian trombosis dini pada BPAK on-pump sebanyak 13,3% dan pada BPAK off-pump 13,3% (p=1). Evaluasi nilai MGF dan PI juga menunjukan hasil tidak berbeda bermakna antara kedua teknik operasi maupun pada kelompok konduit yang paten atau oklusi.

Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian trombosis dini antara BPAK baik secara on pump maupun off pump.


Introduction : Early thrombosis is more common in vein grafts and may occur within the first year after coronary artery bypass graft surgery and can increase morbidity and mortality rate. This study aims to establish whether there is a difference of the incidence of early thrombosis after on-pump and off-pump CABG in non-aspirin resistant patient population.

Method : Patients who undergone elective CABG surgery from September 2019 to September 2020 in single center was included in this prospective cohort study. This study compares the incidence of vein graft thrombosis at one month postoperative in both groups on pump and off pump using MSCT, and compares MGF and PI value of in on pump and off pump group also in patent and occluded vein grafts.

Results : A total of 60 vein grafts (30 on-pump and 30 off-pump) from 28 patients were analyzed in this study. There was no significant difference on the incidence of early vein graft thrombosis between two groups (13,3% in on pump vs 13,3% in off pump, p:1). MGF and PI value showed no difference in both techniques also no difference in patent group and occluded group

Conclusion : There is no significant difference in early vein graft thrombosis after on-pump or off-pump CABG.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pasien dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PPHNA). Pengukuran controlled attenuation parameter (CAP) menilai derajat steatosis hati secara non-invasif dan terukur, sementara skor SYNTAX dapat menggambarkan derajat aterosklerosis koroner dan membantu pemilihan modalitas revaskularisasi koroner (PCI atau CABG). Hingga saat ini, belum diketahui korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifikan. Tujuan: Mengetahui korelasi antara nilai CAP steatosis hati dengan skor SYNTAX lesi koroner pada pasien PJK signifikan. Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan angiografi koroner di ruang cathlab Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli hingga Oktober 2023 dan terbukti menderita PJK signifikan. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, penilaian CAP dengan elastografi transien, dan penghitungan skor SYNTAX. Analisis data dilakukan untuk mencari koefisien korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX. Hasil: Didapatkan 124 subjek penelitian dengan dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 5:1 dan rerata usia 59,8 ± 11,1 tahun. Rerata IMT 25,6 ± 3,5 kg/m2, dengan 54,8% subjek tergolong obesitas. Sebanyak 94,4% dan 55,6% subjek menderita hipertensi dan DM, dengan tekanan darah dan parameter glikemik relatif terkontrol. Rerata HDL 38,8 ± 10,8 mg/dL dengan 55,6% subjek memiliki HDL rendah, dan median LDL 109,5 mg/dL dengan 89,5% subjek belum mencapai target LDL. Rerata nilai CAP 256,5 ± 47,3 dB/m, dengan 52,5% subjek (IK 95%: 43,3% - 61,5%) menderita steatosis signifikan (nilai CAP ≥ 248 dB/m), Median skor SYNTAX 22. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif dan signifikan antara nilai CAP dengan skor SYNTAX (r = 0,245, p < 0,0001). Kesimpulan: Diantara pasien dengan PJK signifikan, 52,5% diantaranya memiliki steatosis hati non-alkoholik signifikan. Terdapat korelasi positif dan bermakna antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifika.

Background: Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), is the leading cause of death in patients with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). The controlled attenuation parameter (CAP) measurement assesses the degree of liver steatosis in a non-invasive and measurable manner, while the SYNTAX score depicts the degree of coronary atherosclerosis and aids in the selection of coronary revascularization modalities (PCI or CABG). To date, the correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD remains unknown. Objective: To determine the correlation between controlled attenuation parameter (CAP) value of liver steatosis and SYNTAX score of coronary lesions in patients with significant CAD. Methods: This cross-sectional study was conducted on an accessible population of adult patients who underwent coronary angiography at Cipto Mangunkusumo Hospital catheterization laboratory from July to October 2023, and were proven to have significant CAD. Anamnesis, physical examination, blood tests, CAP assessment with transient elastography, and SYNTAX score calculation were performed. Data analysis was conducted to find the correlation coefficient between CAP values and SYNTAX scores. Results: A total of 124 patients were included in this study, with a mean age of 59.8 ± 11.1 years and 5:1 of male to female ratio. The mean BMI was 25.6 ± 3.5 kg/m2, with 54.8% subjects classified as obese. A total of 94.4% and 55.6% subjects were hypertensive and diabetic with relatively controlled blood pressure and glycemic parameters. The mean HDL was 38.8 ± 10.8 mg/dL with 55.6% of the subjects having low HDL, and a median LDL of 109.5 mg/dL, with 89.5% of the subjects yet to achieve the optimal LDL target. The mean CAP value was 256.5 ± 47.3 dB/m, with 52.5% of the subjects having significant steatosis (CAP value ≥ 248 dB/m). The median SYNTAX score was 22. The Spearman correlation test showed a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX score (r = 0.245, p < 0.0001). Conclusion: Among patients with significant CAD, 52.5% have significant non-alcoholic hepatic steatosis. There is a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutarobin
"Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah akibat adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional dan kenyamanan. Rehabilitasi jantung merupakan program pencegahan, pengobatan, pemulihan yang aman serta efektif untuk menilai kapasitas fungsional jantung, hemat biaya, mudah diterapkan pada kelompok besar, dan dapat ditoleransi dengan baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh 6-MWT terhadap kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan pada pasien PJK. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment, dengan desain pre-post with control group. Teknik consecutive sampling digunakan untuk merekrut 57 responden yang terbagi menjadi 29 responden kelompok kontrol dan 28 responden kelompok intervensi. Pengumpulan data kapasitas fungsional jantung dilakukan dengan VO2 max dan kenyamanan menggunakan Short General Comfort Questionnaire (SGCQ).
Hasil pengukuran menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas fungsional dan kenyamanan sebelum dan setelah perlakuan pada kedua kelompok dengan p-value < 0,001. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 6-MWT dapat digunakan sebagai modalitas keperawatan bagi pasien PJK. 6-MWT hendaknya dijadikan bagian integral dari manajemen rehabilitasi fase 3 pada pasien PJK.

Coronary Heart Disease (CHD) is a disorder of cardiac function caused a deficiency of blood supply to a myocardial muscle. This condition may result in changes various aspects of physical, psychological, and social that will a decrease of functional capacity of the heart and patients comfort. Heart rehabilitation is a safe, effective and effective prevention, treatment, recovery program to assess cardiac functional capacity, cost-effective, easy to apply to large groups, and well tolerated.
The purpose of this study was to identify the impact of 6-MWT on the heart functional capacity and comfort of CHD patients. This study was a quasiexperiment, with a pre and post with control group design. The consecutive sampling technique was used recruited 57 respondent divided into 29 respondent in the control group and 28 respondent in the intervention group. A VO2 max of functional capacity and Short General Comfort Questionnaire (SGCQ).
There were significant differences in functional capacity and comfort before and after treatment in control and intervention groups with the p-value < 0,001. This study suggests that the 6-MWT can be used as a nursing modality for patients with CHD Post. 6-MWT should be made an integral part of phase 3 rehabilitation management in CHD patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>