Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Problem occurs when there are some creditors and in fact debtor breaches the contact or goes bankrupt. The holder of mortgage guarantee has a right called "separatis", right given by law to creditor that collateral good encumbered with mortgage is not part of bankrupt asset, so creditor has a right to execute it bassed on self-authority given by mortgage law, however, Bankruptcy Law disobeys the "separatis: right so it raises inconsistency, where right of the mortgage holder disobeyed."
340 JIHAG 13:3 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adis Nur Hayati
"Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai eksistensi atas berhak atau tidaknya debitor pailit mengajukan permohonan renvooi procedure dalam rapat pencocokan piutang suatu sengketa kepailitan. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan disimpulkan bahwa debitor pailit tidaklah berhak mengajukan permohonan renvooi procedure, hal ini karena pada saat proses tersebut berlangsung kewenangan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tidak lagi berada pada debitor melainkan telah berpindah kepada kurator.
Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah sepatutnya memperjelas pengaturan terkait renvooi procedure dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

The subject matter that would be discussed in this paper is about the existence of the right or wrong of the bankrupt debtor to indict a renvooi procedure in verification meeting of debts claims of a bankruptcy dispute. The subject matter will be analyzed by using normative juridical research method which menas the research is based in regulation and library research.
Based on the analysis, it is concluded that the bankrupt debtor is not entitled to indict for renvooi procedure, that is because at the time the process takes place, the authority of the management and or the settlement of bankruptcy assets is no longer on the debtor but has moved to the curator.
The research results suggest that the government should improve the regulation related to the renvooi procedure in Law Number 37 Of 2004 On Bankruptcy And Suspension Of Obligation For Payment Of Debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Gissela Octavianty
"Debitor merupakan salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Untuk dapat dinyatakan pailit terdapat syarat yang harus dipenuhi sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Kepailitan. Setelah diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi Dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan, dalam mengajukan permohonan kepailitan secara sukarela (voluntary petition) terdapat syarat lain yang harus dipenuhi. Tidak dipenuhinya syarat sebagaimana yang diatur dalam SEMA ini akan mengakibatkan permohonan pernyataan pailit akan ditolak oleh Pengadilan. Diterbitkannya SEMA tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap pemenuhan syarat kepailitan dan dengan sistem pembuktian. Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan sistem pembuktian acara kepailitan adalah pembuktian sederhana. Permohonan harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang menunjukan bahwa syarat kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi. Adanya penamban syarat formil dalam SEMA merupakan tambahan syarat kepailitan yang wajib dipenuhi Debitor agar permohonan dapat dikabulkan oleh Hakim. Dalam konteks ini, penambahan syarat dalam SEMA unutk dapat dinyatakan pailit dalam mengajukan voluntary petition telah bertentangan dengan pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan.

Debtor is one of the parties who can file bankruptcy based on Law No. 37 Year 2004. In order to be declared bankrupt there is a requirement that must be fulfilled as stated in the Bankruptcy Act. After the issuance of SEMA No. 2 Year 2016 on Improving Efficiency and Transparency of Bankruptcy Case Handling and Delay of Obligation of Debt Payment at the Court, on the phase of filling voluntary petition there is another requirement that the Debtor must fulfill. The failure fulfillment of the conditions set forth in this SEMA will result in a petition for declaration of bankruptcy to be rejected by the Court. The issuance of such SEMA has a great influence on the fulfillment of bankruptcy requirements and with the evidentiary system. Under the Bankruptcy Act, the bankruptcy procedural evidentiary system is a simple verification. An application must be granted if there is a fact or circumstance indicating that the insolvency requirement in the Bankruptcy Act has been fulfilled. The presence of a formal requirement in SEMA is an additional requirement of bankruptcy that must be fulfilled by the Debtor so that the request can be granted by the Judge. In this context, the addition of a requirement in SEMA to be declared bankrupt in proposing voluntary petition contradicts the simple proof of bankruptcy law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Juan Akbar Indraseno
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S24281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Aprilia Fadhilah
"Skripsi ini membahas mengenai pembebasan sisa utang pailit sebagai upaya perlindungan bagi debitor pailit perseorangan. Di Indonesia ketentuan mengenai pembebasan sisa utang pailit tidak berlaku karena menurut Undang ndash; Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu UU No. 37 Tahun 2004 memyatakan bahwa kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban membayar utang ndash; utangnya. Hal ini yang tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi debitor pailit khususnya debitor pailit perseorangan yang beritikad baik dan memang sudah benar-benar tidak mampu lagi melunasi sisa utang kepailitannya tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membandingkan hal ini dengan ketentuan hukum kepailitan yang berlaku dinegara lainnya yaitu negara Australia dan Negara Jepang sebagai negara pembanding. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian yuridis normatif serta perbandingan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi usulan untuk peraturan yang akan datang sebagai salah satu upaya perlindungan debitor apabila dikemudian hari kreditor memintakan sisa utang yang telah lampau.

This thesis discusses the Discharge of bankruptcy debts as a safeguard for individual bankruptcy debtor. In Indonesia, the provisions concerning the discharge of the remaining debts of bankruptcy are not applicable because according to the Law of Bankruptcy and Resctructuring of Debt Payment, Law No. 37 of 2004, states that the bankruptcy does not release a person who is declared bankrupt from the obligation to pay its debts. This, of course, creates an injustice to the bankrupt debtor, especially the individual bankruptcy debtor with a good faith who is indeed completely unable to pay off the remaining bankruptcy debts. Therefore, the authors will compare this with the provisions of bankruptcy law applicable in other countries, namely Australia and Japan as a comparison country. This research is a qualitative research with normative juridical research method and comparison. This research is expected to be a proposal for the coming regulation as one of the debtor protection efforts if in the future the creditor asks for the rest of the past debt.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Banu Windyasmara
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S23553
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eniyaty
"Krisis moneter di tahun 1997 mengakibatkan beberapa bank yang diniiai tidak sehat diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Negara, selaku badan yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan KeppresNomor 27 Tahun 1998, dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan. Tugas badan ini pada intinya adalah melakukan tindakan untuk melakukan penyelamatan perbankan nasional Indonesia akibat krisis moneter.
Krisis perbankan ini terjadi disebabkan berbagai hal, antara lain karena pada waktu memberikan kredit, sebagian besar bank tidak memperhatikan asas kehati-hatian dan menaati BMPK. Bank-bank memberikan kredit dengan jumlah yang besar kepada grop sendiri.
Aset kredit bank tidak sehat maupun bank likuidasi yang diambil alih oleh pemerintah melaui Badan Penyehatan Perbankan Negara kemudian dijual kepada investor, baik melalui sistem pelelangan atau sistem penawaran langsung. Cara peralihan hak tagih atas debitur eks. Badan Penyehatan Perbankan Negara adalah melalui cessie. Pengalihan cessie ini tercantum dalam pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai pembeli yang beritikad balk, kreditur baru perlu diberikan perlindungan hukum karena seringkali debitur berusaha melakukan perlawanan guna menghindari pembayaran hutang, yaitu dengan mengadakan perlawanan lewat pengadilan. Walaupun dalam teori tercantum jelas bahwa kreditur dapat melaksanakan eksekusi terhadap barang jaminan, namun dalam prakteknya masih ada saja debitur yang mengadakan perlawanan.
Pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan sudah sepantasnya memberikan perlindungan hukum kepada kreditur baru sebagai pembeli yang beritikad baik.
Dalam penulisan ini, akan membahas mengenai perlindungan undangundang yang ada terhadap kreditur dan permasalahan hukum yang timbul dalam praktek."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariq Irsyad Maulana
"

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan data pribadi sebagai kekayaan debitur pailit dan dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat pada Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative, sehingga penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Data pribadi adalah semua data yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diidentifikasi. Dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi dan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang menyimpan data pribadi masyarakat, mengakibatkan data pribadi memiliki nilai ekonomis yang memberikan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan yang menyimpan data. Apalagi saat ini belum terdapat perlindungan terkait data pribadi apabila perusahaan penghimpun dan/atau pengelola data tersebut dinyatakan pailit. Hasil penelitian menyarankan bahwa diperlukan perubahan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau menerbitkan undang-undang terkait perlindungan data pribadi; Membatasi penjualan data hanya sebatas pada data yang telah diolah atau dianalisis tanpa mengungkapkan data pribadi konsumen dan melarang penjualan data pribadi; Mengawal dan membatasi setiap praktik-praktik penjualan data yang dilakukan; Mendirikan ombudsman perlindungan data atau memberikan wewenang pada Ombudsman Republik Indonesia dalam rangka melindungi data pribadi konsumen.

 


The focus of this study discuss about the provisions of personal data as the asset of debtors and compared with the provisions in the United States. This study use normative juridical research methods, and use an approach to the laws and regulations and court decisions. Personal data is all data relating to individuals that are identified and can be identified. Due to the rapid development of technology and the increasing number of technology-based companies that collect personal data, resulting in personal data has an economic value that gave income to companies that collect data. Moreover, currently there are no protection related to personal data if the collecting companies and/or data managers are declared bankrupt. The results of the study suggest that changes to Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment or issuing laws related to personal data protection; Limiting data sales is limited to data that has been processed or analyzed without revealing consumer personal data and prohibits the sale of personal data; Supervise and limit any data sales practices that are carried out; Establish a data protection ombudsman or authorize the Ombudsman of the Republic of Indonesia in order to protect consumers personal data.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>