Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194281 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juliani Hanly
"Doktrin volenti non fit injuria adalah salah satu pembelaan dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang berasal dari sistem hukum Common law. Pembelaan ini sendiri memiliki sifat yang berbeda-beda pada setiap negara Common law. Di Negara Inggris, doktrin ini digunakan sebagai pembelaan penuh, sehingga Tergugat terbebas dari segala pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum dikarenakan sifatnya yang menghapus sifat melawan hukum. Doktrin ini kemudian dibandingkan dengan pembelaan perbuatan melawan hukum di Indonesia untuk melihat apakah di Indonesia juga berlaku doktrin dari sistem hukum Common law ini. Hasilnya, ada kemiripan antara doktrin volenti non fit injuria ini dengan pembelaan gugatan perbuatan melawan hukum di Indonesia, yaitu adanya persetujuan atau izin dari korban consent serta perkembangan dari pembelaan consent, yaitu informed consent dalam hal sifat, persetujuan, sementara itu terdapat sedikit perbedaan pada objek yang disetujui serta jenis kasus yang dapat menggunakan pembelaan ini.

Doctrine volenti non fit injuria is one of many defences used in tort cases in Common law system. This defence has different effect on each common law countries. In England, this doctrine used as full defence, therefore defendants are free from any liabilities of tort because of its nature which eliminate the unlawful nature of an action. This doctrine is compared to tort defences in Indonesia in order to find whether this doctrine also applied in Indonesia. The analysis showed some similarities between this doctrine and victim's consent as well as informed consent in Indonesia in terms of nature, and consent. Meanwhile, it also showed some differences in terms of object of consent and type of cases on which this defence can be applied.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhifa Kamilia
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dalam tindakan medis, sebagai salah satu upaya perlindungan hukum yang dapat membela hak dokter dalam kasus dugaan malpraktik. Doktrin ini diterapkan karena sering kali dokter menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan ketika terjadi kegagalan pengobatan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah pengertian dan ruang lingkup dari doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk, penerapan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dalam tindakan medis, dan analisis Putusan No. 417/Pdt.G/2012/Pn.Mdn berdasarkan doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk. Penulisan skripsi ini menggunakan bentuk yuridis-normatif dengan tipe deskriptif dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan yang dicapai ialah penerapan dari doktrin tersebut dibuktikan dengan adanya informed consent dari pasien, sehingga dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas terjadinya kerugian yang timbul dari risiko medis, kecuali dokter terbukti melakukan kelalaian medis. Dalam Putusan No. 417/Pdt.G/2012/Pn.Mdn, doktrin volenti non fit injuria/assumption of risk dapat diterapkan karena adanya informed consent sebagai bukti bahwa pasien telah mengetahui dan menyetujui tindakan dan risiko medis, serta dokter telah tidak melakukan kelalaian medis, dengan telah melakukan langkah-langkah pencegahan dan antisipasi atas risiko medis tersebut sesuai dengan standar prosedur. Berdasarkan permasalahan yang Penulis temukan, dapat terlihat bahwa pemahaman terhadap hukum kesehatan di Indonesia masih kurang. Adapun saran yang disampaikan ialah hukum kesehatan untuk lebih dikenalkan kepada para akademisi, praktisi, dan ahli hukum, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum wajib dalam fakultas hukum, mengadakan workshop atau pelatihan khusus mengenai hukum kesehatan.

This thesis discusses the application of doctrine volenti non fit injuria assumption of risk in medical action, as one of the legal protection that can defend the right of doctor in case of malpractice allegation. It is because, most of the times, doctor would be the only one to blame whenever failure treatment happened. The issues in this thesis are the definition and the scope of volenti non fit injuria assumption of risk doctrine, the implementation of volenti non fit injuria assumption of risk doctrine in medical action, and analysis of Verdict No. 417 Pdt.G 2012 Pn.Mdn based on the volenti non fit injuria assumption of risk doctrine. This thesis uses normative with descriptive data analysis methods so that the conclusion obtained in the form of a qualitative description. From doing this research, it is known that the implementation of doctrine can be proved by the informed consent from the patient, therefore doctors can rsquo t be responsible of damage that comes from medical risk, except except it can be proved that the damage happened because doctors did medical negligence. In verdict No.417 Pdt.G 2012 Pn.Mdn case, doctrine of volenti non fit injuria assumption of risk can be applied because there is informed consent as a proof of acknowledgement and approval of medical risk from the patient. Furthermore, it was not medical negligence case and the doctor has been taken precautionary measures and has anticipated the medical risks in accordance with standard procedures. Based on the problems that the author found, it can be seen that the understanding of health law in Indonesia is still lacking. Therefore, health law is expected to be more introduced to scholars, law enforcers, and lawyers by incorporating it into the curriculum in law school, organizing workshops or special training.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Evan
"Perbuatan melawan hukum dapat diterapkan terhadap banyak perbuatan. Perbuatan melawan hukum dapat dipersamakan dengan tort atau negligence dalam negara yang mengakomodasi sistem common law. Pure economic loss adalah salah satu jenis ganti kerugian dalam rezim negligence. Aplikasi dan aturan mengenai pure economic loss telah dikritik oleh para ahli hukum dan praktisi. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab pertanyaan sederhana, seharusnya seberapa luas perbuatan melawan hukum dapat diterapkan? Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perbandingan. Skripsi ini akan membahas pandangan law and economics terhadap pure economic loss. Terlepas dari itu, akhirnya, penerimaan atau penolakan dari pure economic loss harus disadari dan segera diperbaiki oleh praktisi dan ahli hukum Indonesia. Tujuan dari law and ecomonomics adalah penulis ingin menjelaskan bagaimana mencapai efisiensi dari perbuatan melawan hukum. Mengingat luasnya pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum di Indonesia. Hasil dari skripsi ini adalah dibutuhkan pemaparan informasi kepada praktisi, khususnya hakim, terkait penerimaan pure economic loss secara holistik. Pure economic loss harus dibatasi oleh undang-undang, dan hal ini telah dilakukan di Indonesia.

Perbuatan melawan hukum could be imposed to innumerable action. Perbuatan melawan hukum is equivalent to tort or negligence within the nation which accommodate common law system. Pure economic loss is one of the loss within the negligence regime. Application and regulation regarding pure economic loss has been criticized by jurist and legal practitioner. This thesis purposes shall provide answer on how broad should Perbuatan melawan hukum liabilities applied? The research method used for this thesis is normative juridical research with conceptual and comparative approach. This thesis will further display law and economic approach regarding pure economic loss. Regardless, in the end, acceptance or refusal on pure economic loss shall be noted and immediately repair by practitioner and realized by legal expert in Indonesia. The purpose of using law and economics approach is writer want to further explain and achieving efficiency on perbuatan melawan hukum, considering, the broad applicability of perbuatan melawan hukum in Indonesia. The outcome of this thesis is exposure of information is required to be delivered to legal practitioner, especially judges, regarding the danger if suddenly Indonesia entirely adopted pure economic loss. Pure economic loss shall be restricted by law, which has been done in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Happy Putri Permata Hapsari
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan konsep mengenai perjanjian keagenan yang ada di Indonesia, Inggris, dan Prancis. Landasan penelitian ini adalah dibutuhkannya pengaturan khusus mengenai perjanjian keagenan di Indonesia untuk memberikan perlindungan lebih bagi pihak prinsipal dan agen. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah konsep perjanjian keagenan di Indonesia saat ini, konsep perjanjian keagenan di Inggris dan Prancis, dan apa saja hal-hal yang perlu diatur mengenai perjanjian keagenan di Indonesia pada masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan doktrinal. Belum diaturnya perjanjian keagenan di Indonesia secara khusus membuat para pihak dalam perjanjian keagenan yang diputus perjanjiannya secara sepihak mengalami kerugian. Penelitian ini menemukan bahwa terlepas dari adanya asas kebebasan berkontrak dan dengan adanya asas iktikad baik dalam hukum perdata di Indonesia, maka diperlukan pengaturan khusus mengenai perjanjian keagenan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan lebih bagi para pihak yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu minimal pemberitahuan penghentian perjanjian keagenan, alasan-alasan yang bisa digunakan untuk menghentikan perjanjian keagenan, good-will sebagai ganti rugi pemutusan perjanjian keagenan secara sepihak.

This thesis discusses the comparison of the concept of agency agreements in Indonesia, England and France. The foundation of this research is the need for special arrangements regarding agency agreements in Indonesia to provide more protection for principals and agents. Thus, the formulation of the problem raised in this research is the current concept of agency agreements in Indonesia, the concept of agency agreements in England and France, and what matters need to be regulated regarding agency agreements in Indonesia in the future. This research is doctrinal. The lack of specific regulation of agency agreements in Indonesia has made the parties to agency agreements that are terminated unilaterally suffer losses. This research finds that despite the existence of the principle of freedom of contract and the existence of the principle of good faith in Indonesian civil law, it is necessary to regulate specifically the agency agreement to provide legal certainty and more protection for the parties which regulates the rights and obligations of the parties, the minimum period of notification of termination of the agency agreement, the reasons that can be used to terminate the agency agreement, good-will as compensation for unilateral termination of the agency agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Talitha Azaria
"ABSTRAK
Hukum kontrak di Indonesia mengenal asas itikad baik, terutama dalam tahap pelaksanaan kontrak. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, asas itikad baik juga dikenal dalam tahap pra kontrak sehingga dalam suatu proses negosiasi atau perundingan pun juga harus diterapkan. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum common law, yaitu mengenai itikad baik pada tahap pra kontrak dengan doktrin promissory estoppel dan Pasal 1359 ayat 1 KUH Perdata dengan doktrin unjust enrichment. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan deskriptif komparatif. Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan doktrin promissory estoppel pada kondisi dimana salah satu pihak percaya bahwa sudah lahir perjanjian diantara keduanya sehingga pihak tersebut melakukan tindakan demi tercapainya janji-janji pihak lawan, dan juga doktrin unjust enrichment dalam kondisi apabila salah satu pihak memperkaya diri sendiri secara tidak sah dari pengeluaran yang dilakukan pihak lain. Asas itikad baik juga harus dijunjung tinggi mengingat tidak adanya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai pra kontrak secara tersurat.

ABSTRACT
Contract law in Indonesia identify the principle of good faith, especially in the implementation of the contract. Along with the development contract law, the principle of good faith is also known in the pre contractual phase so that in a negotiation process this principle must be applied. This paper compares the law of contracts in Indonesia with a common law system, which is about the good faith in the pre contractual phase with the doctrine of promissory estoppel and Article 1359 paragraph 1 of the Indonesian Civil Code with the doctrine of unjust enrichment. This study is a normative juridical research with comparative descriptive. Results of the study were advised to apply the doctrine of promissory estoppel in circumstances where one party believes that it has been born an agreement between the two so that the parties take action in order to achieve the promises of the opposition, and also the doctrine of unjust enrichment in a state where one party is enriching himself not legitimate expenses incurred from other parties. The principle of good faith must also be upheld because of the absence of any provision in the Civil Code concerning about pre contractual phase."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S63595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haekal Hasan
"Poligami yang sudah ada sejak lama dalam peradaban manusia, telah menjadi kontroversi yang menimbulkan perdebatan panjang di dunia, termasuk di Indonesia dan di Malaysia. Poligami kerap kali disalahpahami dan disalahgunakan dalam pelaksanaannya, sehingga menyebabkan kerugian terhadap para wanita dan anak-anak. Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Malaysia, telah melakukan pengaturan terhadap Poligami, dalam aturan hukum positif masing-masing negara. Penelitian ini berupaya untuk memperbandingkan pengaturan Poligami di kedua negara, sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan Poligami di Indonesia dan di Malaysia meliputi pengaturan mengenai kebolehan melakukan Poligami dengan disertai oleh batasan-batasan tertentu. Terhadap pengaturan batasan-batasan ini, terdapat sejumlah persamaan yang disebabkan oleh kesamaan kebutuhan kedua negara, serta terdapat pula sejumlah perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan cara berfikir dan pandangan hidup masyarakat di kedua negara.

Abstract
Polygamy that has been long existed in the human civilization, has been developed into a controversy that leads to the debates of it in all over the world, including in Indonesia and in Malaysia. Polygamy has been often practiced on the basis of misconception and misuse, so that it then caused disadvantages towards the women and children. Therefore, both Indonesia and Malaysia have enacted a number of provisions on Polygamy, in their respective law. This study attempts to do a comparison between the Polygamy provisions of both countries, so that it would be much easier to be comprehended. The study shows that the Polygamy provisions in Indonesia and in Malaysia comprises of the provisions on the permission to practice Polygamy along with its limitations. Towards these limitations, there are some similarities that were caused by the same needs of both country, and there are also some differences that were caused by the different mindset and worldview of the people in both countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S574
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fakhira
"Pemilikan hak atas tanah di Indonesia memandatkan kepada pemiliknya untuk memiliki tanah secara yuridis dan menguasainya secara fisik. Akan tetapi, pada faktanya pemilikan hak atas tanah dan penguasaan secara fisik dapat dilakukan oleh 2 (dua) subjek yang berbeda. Penguasa fisik dalam hal ini memanfaatkan dan menikmati tanah, padahal ia bukanlah pemilik hak atas tanah. Secara normatif, Indonesia tidak mengenal pemisahan pemilikan hak atas tanah secara yuridis dan penguasaan secara fisik. Hal ini berbeda dengan di Inggris yang mengakui pemilikan secara yuridis dan secara fisik tersebut. Inggris menerapkan konsep trust yang membuat pemilikan tanah dapat dipisah, yaitu pemilikan secara hukum (legal right) yang dipegang oleh trustee dan pemilikan manfaat (equitable right) yang dipegang oleh beneficial owner. Hak penguasaan secara fisik oleh beneficial owner ini tidak didaftarkan, namun tetap dilindungi oleh hukum dan equity apabila tanah yang dihuni hendak dijual atau dialihkan. Selain itu, pembeli tanah yang hendak membeli tanah yang di atasnya terdapat beneficial owner pun juga terlindungi melalui konsep overreaching. Skripsi ini membahas 2 (dua) hal, yaitu: (1) pengaturan beneficial owner dalam konteks pertanahan di Indonesia; dan (2) fisibilitas penerapan overreaching untuk melindungi kepentingan pembeli tanah dan penguasa fisik tanah. Penelitian terhadap 2 (dua) masalah tersebut dianalisis menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal konsep beneficial owner dalam konteks pertanahan. Akan tetapi, nuansanya dapat dilihat dari beberapa pengaturan hak terhadap tanah. Terakhir, konsep overreaching dari Inggris dapat diterapkan di Indonesia mengingat diaturnya pranata serupa trust dalam KUHPerdata dan dianutnya asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel). Perlu adanya penyesuaian apabila konsep overreaching ini diadopsi ke dalam hukum Indonesia sehingga esensi dan semangat perlindungan overreaching dapat tercipta

Land ownership in Indonesia mandates the owner to own the land juridically and possess it physically. However, in fact the ownership of land rights and physical possession can be vested in 2 (two) different subjects. The subject who is vested the physical right utilizes, benefits, and enjoys the land, notwithstanding s/he is not the legal owner of the land. By law, Indonesia does not recognize the separation of the land ownership which is different in the UK that is recognized the land ownership legally and physically. The UK applies the concept of trust that makes land ownership separateable, i.e. legal rights held by trustees and equitable rights held by beneficial owners. The right of physical possession by the beneficial owner is not registered but is still protected by law and equity if the land occupied is to be sold or transferred. In addition, land buyers who want to buy land on which there is a beneficial owner are also protected through the concept of overreaching. This thesis discusses 2 (two) things, namely: (1) beneficial owner arrangements in the context of land in Indonesia; and (2) the feasibility overreaching to protect the interests of land buyers and physical landlords. Research on these 2 (two) problems was analyzed using normative juridical methods with a comparative legal approach. Indonesia basically does not recognize the concept of beneficial owner in the context of land. However, the nuances can be seen from several arrangements for land rights, considering that Indonesia adheres to the principle of horizontal separation (horizontale scheiding beginsel). Lastly, the concept of overreaching from the UK can be applied in Indonesia taking into account the regulation of trust-like is stipulated in the Civil Code. An adjustment is needed if the concept of overreaching is adopted into Indonesian law so that the essence and spirit of overreaching protection can be created."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Sekar Rizky
"Skripsi ini berisi membahas mengenai perbandingan peraturan pendirian bank di negara Indonesia, Belanda, Singapura dan Inggris dengan maksud untuk melihat adanya perbedaan dan persamaan dari peraturan di negara berkembang dan negara maju, yang dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Skripsi ini terdiri dari dua rumusan masalah, yang pertama adalah bagaimana perbandingan peraturan mengenai persyaratan dan yang kedua adalah perbandingan peraturan mengenai prosedur. Skripsi ini akan membahas dua hal, hal pertama yang dibahas di dalam skripsi ini adalah persamaan dan perbedaan mengenai persyaratan pendirian bank umum di dalam peraturan di setiap negara. Yang kedua adalah persamaan dan perbedaan mengenai prosedur pendirian bank umum di dalam peraturan di setiap negara. Terdapat beberapa perbedaan antara keempat negara ini, pertama adanya perbedaan dalam persyaratan modal dalam bank umum dan adanya perbedaan prosedur antara negara Indonesia, Belanda, dan Singapura dengan negara Inggris. Skripsi ini menyarankan Indonesia untuk beradaptasi dengan Basel III global capital standards dan agar Otoritas Jasa Keuangan bisa memberikan informasi kepada publik mengenai tahap konsultasi yang dapat dilakukan sebelum mendirikan bank umum.

This thesis talks about comparison of bank establishment for Indonesia, the Netherlands, Singapore, and United Kingdom which are done to find a differences and similarities in the developing and developed countries, which is done with normative juridical research method. This thesis consists of two research questions, the first is the requirements comparison and the second is procedures comparison. This thesis will have discussed about two main things, the first is the comparison concerning commercial bank establishment requirements in the provisions in each country. The second would be the comparison concerning commercial bank establishment procedures in the provisions in each country. There are several differences between these 4 countries, the first is the difference in the initial capital needed in establishing a commercial bank and also difference in procedure between Indonesia, the Netherlands, Singapore with the United Kingdom. This thesis suggests Indonesia to adapt with the Basel III global capital standards and also it is suggested so Otoritas Jasa Keuangan to give information to public concerning the consultation phase that can be done before establishing a commercial bank.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Faramutia Riyanto
"Skripsi ini membahas erosinya doktrin consideration di common law. Walaupun consideration adalah salah satu syarat sah perjanjian di common law, consideration bukanlah suatu syarat sah perjanjian di civil law. Consideration dibandingkan dengan hukum Indonesia sebagai representasi dari sistem civil law. Konsep consideration itu sendiri di common law telah ditemukan sebagai problematik dan tidak tetap. Isu utama dari consideration sebagai syarat sah perjanjian adalah consideration mencegah pelaksanaan janji tanpanya. Sebagai cara menghindari permasalahan ini, hakim-hakim di common law mengupayakan berbagai pengecualian dan alternatif dari consideration. Seiring dengan peningkatan penggunaan pengecualian dan alternatif untuk consideration, erosi terjadi. Dalam pengertian ini hukum perjanjian di common law menjadi mirip dengan civil law, yang tidak pernah menyaratkan consideration. Penelitian ini menunjukan bahwa ketika menghadapi pilihan hukum antara civil dan common law seseorang harus menyadari perbedaan persyaratan contract.

This research discusses the eroding doctrine of consideration in the common law. Although consideration is one of the requirements of a valid contract in the common law, it is not required in civil law contracts. Therefore the concept of consideration in common law is compared to Indonesian law, which is a representative of the civil law system. In fact, the very concept of consideration in the common law has been found to be problematic and non-rigid. The main issue with consideration, as a requirement of contract, is that it halts the enforcement of promises lacking consideration. As a way around this problem, judges in common law often resort to various exemptions and alternatives to consideration. Along with the increased usage of exemptions and alternatives to consideration, the doctrine of consideration has eroded. In this sense contract law in common law has become somewhat similar to that of civil law, which never required consideration for contracts in the first place. This research suggest that when facing a choice of legal system between common and civil law, one must be aware of the differences in the contractual requirements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.

The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>