Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164885 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcel Prasetyo
"Latar belakang: Evaluasi sendi pada penyandang hemofilia memerlukan metode yang objektif dan terukur. USG sebagai metode yang relatif baru untuk artropati hemofilik AH belum memiliki konsensus sistem skor, sementara MRI telah memiliki sistem skor International Prophylaxis Study Group dari World Federation of Hemophilia IPSG-WFH . Penelitian ini mengembangkan sistem skor USG baru untuk artropati hemofilik lutut tahap dini, dan menilai keselarasannya dengan skor MRI IPSG-WFH dan kadar CTX-II urin.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Formulasi skor USG berdasarkan pada studi pustaka terhadap 25 publikasi terkait sejak tahun 1999 - 2015 dan peer review. Terdapat 27 anak penyandang hemofilia A berat yang dipilih secara konsekutif. AH lutut tahap dini ditetapkan berdasarkan klasifikasi radiografi Arnold-Hilgartner derajat 0 - II. USG dan MRI lutut dilakukan dengan penilaian skor MRI IPSG-WFH dan skor USG yang baru. Kadar CTX-II urin ditetapkan dengan pemeriksaan ELISA. Data dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil: Sistem skor USG baru meliputi komponen efusi sendi, hipertrofi sinovium, hipervaskularisasi sinovium dengan Power Doppler, deposisi hemosiderin, dan kerusakan kartilago pada troklea femoris. Terdapat korelasi sedang antara skor USG dengan skor MRI. Tidak ada korelasi skor USG dengan CTX-II urin.
Kesimpulan: Skor US baru ini dapat digunakan sebagai alternatif MRI pada AH lutut tahap dini.

Introduction Assessment of knee haemophilic arthropathy HA required an objective measures. There was no consensus on preferrable US scoring system, while MRI already had a scoring system developed by the International Prophylaxis Study Group of the World Federation of Hemophilia IPSG WFH. This study developed a new US scoring system for early knee HA and its association with MRI scoring system and urinary CTX II level.
Method The study was cross sectional. US scoring system was developed based on literature studies of 25 publications between 1999 - 2015 and peer review. Twenty seven children with severe haemophilia A was recruited consecutively. Early HA was confirmed by radiography as Arnold Hilgartner stage 0 - II. Knee MRI and US were scored using MRI IPSG WFH scoring system and the new US scoring system, while urinary CTX II level was measured using ELISA. Correlation was analyzed using Spearman test.
Results US scoring system included joint effusion, synovial hypertrophy, synovial hypervascularization using Power Doppler, hemosiderin deposition, and cartilage damage. Moderate correlation was found between US score and MRI score. There was no correlation between US score and urinary CTX II level.
Conclusion The new US score can be used as an alternative for MRI in the assessment of early knee HA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Amelia Chozie
"ABSTRAK
Hemartrosis berulang dan artropati merupakan morbiditas utama pada hemofilia A berat. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, terapi profilaksis dosis standar tidak terjangkau karena memerlukan biaya yang sangat mahal. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-demand pada anak hemofilia A berat.
Uji klinis acak terbuka selama 24 minggu telah dilakukan pada anak hemofilia A berat berusia 4?18 tahun dengan riwayat perdarahan sendi berulang, di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Subjek dialokasikan secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok profilaksis dan on-demand. Kelompok profilaksis mendapat terapi faktor VIII 10 IU/kgBB 2 kali seminggu, sedangkan kelompok on-demand mendapat terapi sesuai protokol standar. Luaran primer adalah kekerapan perdarahan sendi dan luaran sekunder adalah skor HJHS) dan skor ultrasonografi (HEAD-US). Penelitian ini juga membandingkan kadar CTX-II urin dan inhibitor faktor VIII (Bethesda Assay) pada kedua kelompok.
Sejak bulan Juni 2015?Februari 2016 didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kekerapan perdarahan sendi pada kelompok profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik dari pada kelompok on-demand (8 (3?30)), IK95% 0.9?6.99; p = 0,009. Perubahan skor HJHS pada kedua kelompok menunjukkan perbaikan klinis pada kelompok profilaksis dan perburukan pada kelompok on-demand, walaupun tidak bermakna secara statistik (IK95% -0.99?3; p = 0,320). Skor HEAD-US kelompok profilaksis lebih baik dibandingkan kelompok on-demand (IK95% 2? 8,81; p = 0,003). Perubahan kadar CTX-II urin pada kedua kelompok berbeda bermakna (IK95% 2.777?16.742; p < 0,001). Tidak didapatkan subjek yang terbentuk inhibitor faktor VIII pada kedua kelompok selama penelitian.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terapi profilaksis sekunder dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi, memperbaiki skor HEAD-US dan kadar CTX-II urin, dibandingkan terapi on-demand.

ABSTRACT
Repeated joint bleeds leading to irreversible progressive joint damage (hemophilic arthropathy) is the main problem in children with hemophilia. Current standard prophylacytic treatment in developed countries is beyond our capability as Indonesia has constraint resources. This study aimed to investigate the efficacy and safety of low dose secondary prophylaxis compare to on-demand treatment in children with severe hemophilia A.
An open, randomized controlled trial was conducted on severe hemophilia A children aged 4?18 years in Pediatric Hematology-Oncology Division Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital for 24 weeks. Eligible subjects were randomized into 2 groups: prophylaxis and on-demand group. All subjects were evaluated at week-0 and week-24 for inhibitor factor VIII (Bethesda Assay), ultrasonography (HEADUS scores) of six index joints (bilateral knees, ankles and elbows), HJHS (version 2.1, 2011) and urinary CTX-II (EIA). Subjects in prophylaxis group received factor VIII 10 IU/kgBW 2 times per week for 24 weeks. Any bleeding episodes in both groups were treated according to standard treatment (on-demand).
During June 2015?February 2016 there were 50 subjects enrolled in the study. Mean age in prophylaxis group was 12 ± 3.5 years and median age in on-demand group was 11.9 (6.518.2) years. Mean frequency of joint bleeds in prophylaxis group was 5 ± 4.3 compare to 8 (3?30) in on-demand group (95%CI 0.9?6.99; p = 0.009). Mean difference of HJHS between two groups was not significant (95% CI -0.99?3; p = 0.320). HEAD-US scores and urinary CTX-II in prophylaxis group was significantly better compare to on-demand group (95%CI 2?8.81; p = 0.003 and 95%CI 2,777?16,742; p < 0.001 respectively). No subjects showed showed inhibitor factor VIII in both groups.
We conclude that secondary low dose prophylaxis was effective to decrease joint bleeding episodes and improved HJHS scores, HEAD-US scores and urinary CTX-II, compared to on-demand treatment."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Moniqa
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Artropati hemofilia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada penyandang hemofilia dengan predileksi pada sendi siku, lutut dan pergelangan kaki. Deteksi dini artropati hemofilia dapat memperbaiki evaluasi dan tatalaksana. Ultrasonografi metode HEAD-US merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kelainan sendi penyandang hemofilia menggunakan sistem skoring yang cepat dan relatif mudah. Evaluasi sendi secara klinis pada artropati hemofilia dilakukan dengan pemeriksaan skor HJHS. Ultrasonografi metode HEAD-US dapat menjadi penunjang evaluasi artropati hemofilia .Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada skor ultrasonografi metode HEAD-US dengan skor HJHS. Kedua pemeriksaan dilakukan pada 120 sendi penyandang hemofilia yaitu siku, lutut dan pergelangan kaki. Pemeriksaan HEAD-US dan HJHS dilakukan pada hari yang sama. Hasil : Rerata umur subyek penelitian adalah 9,3 tahun sebaran 5-14 tahun . Pemeriksaan HEAD-US memiliki median 8 dengan sebaran 1-28 dan mayoritas kelainan pada pergelangan kaki. Pemeriksaan HJHS memiliki sebaran skor 0-35 dengan median 3, mayoritas kelainan pada lutut.Kesimpulan : Terdapat korelasi positif kuat antara pemeriksaan ultrasonografi metode HEAD-US dengan pemeriksaan HJHS. p = 0,002, r= 0,65 . Didapatkan formula regresi linear yaitu : skor HJHS = = ndash; 3,74 0,86 x skor HEAD-US. Untuk memperkirakan skor HJHS setelah diketahui skor HEAD-US.

ABSTRACT
Background and objective Hemophilic artropathy is one of complication of hemophilia. The elbows, knees and ankles are the most affected joints. Detection of early blood induced joint changes may improve monitoring of treatment. HEAD US scanning protocol is a quick and simple method that can be used to detect hemophilic arthropathy. Clinically, hemophilic arthropathy was assessed using HJHS. The aim of this study was to explore the value HEAD US scanning protocol on evaluating hemophilic arthropathy. Methods Cross sectional correlation study between HEAD US and HJHS. Both were done on 120 hemophilic elbow, knee and ankle joints . HEAD US and HJHS were done on the same day. Results Mean age was 9,3 years range 5 14 years . Median score of HEAD US was 8 range 1 28 , mostly on ankles. Median score of HJHS was 3 range 0 35 , mostly on knees. . Conclusion There is strong correlation between HEAD US with HJHS. p 0,002, r 0,65 . Linear regression formula was HJHS score ndash 3,74 0,86 x HEAD US score. This formula can be used to predict HJHS score. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Mohammad Shofwan
"

Spesialisasi cabang olahraga didefinisikan sebagai latihan yang intensif sepanjang tahun dan banyak dilakukan pada anak dan remaja. Latihan intensif dengan jumlah jam latihan yang tinggi akan meningkatkan risiko cedera. Salah satu cedera di lutut pada atlet remaja adalah Tibial Tubercle Apophysitis (TTA). Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 168 atlet remaja berusia 10-15 tahun (rata-rata usia 14,5 ± 1,10) yang melakukan spesialisasi pada 18 cabang olahraga di Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) di Jakarta. Akan dicatat usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), lama berlatih di PPOP, jumlah jam latihan/minggu yang melibatkan sendi lutut dan pemeriksaan kebugaran (fleksibilitas otot kuadrisep, hamstring, dan kekuatan otot tungkai) untuk kemudian dianalis dengan kejadian TTA. Didapatkan 22 dari 168 subjek dengan TTA pada 11 dari 18 cabang olahraga dengan Prevalensi 13,1%. Terdapat hubungan jumlah jam latihan per minggu dan TTA dengan nilai median 20 jam. Selain itu  juga terdapat hubungan fleksibilitas yang kurang dengan TTA. Tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, IMT, lama berlatih, dan kekuatan otot tungkai dengan TTA. Selama program latihan, jumlah jam latihan/minggu lebih dari 20 jam dan adanya fleksibilitas kuadrisep yang kurang perlu dipantau serta dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya TTA pada atlet remaja yang melakukan spesialisasi cabang olahraga.

 

 


Sports specialization is defined as intense and year-round training in children and adolescents and widely adopted as a process to form elite athletes. Intense training with a high number of weekly training hours can increased risk of injury. One of the injuries in adolescent athlete is Tibial Tubercle Apophysitis (TTA). A cross-sectional study was conducted in 168 adolescent athletes specializing in sports with age ranged between 10 and 15 years (mean 14,5 ± 1,10). from 18 sports in Student Sports Training Center (PPOP) in Jakarta. Age, sex, Body Mass Index (BMI), period of training in PPOP, weekly training hours involving the knee joint, flexibility (quadriceps & hamstring) and leg muscle strength are recorded for later analysis. From 168 subjects, 22 were found with TTA in 11 sports with a prevalence of 13.1%. There is association between weekly training hours and TTA with a median value of 20 hours. There is also association of poor quadriceps muscle flexibility with TTA. There was no association between age, sex, BMI, period of training, and leg muscle strength with TTA. More than 20 hours of weekly training and poor quadriceps flexibility during periodization needs to be monitored and evaluated for the possibility of TTA occurrence in adolescent athletes who specialize in single sports.

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
A.B. Mulyanto
"Efek pemberian metilprednisolon asetat (MPA),intra-artikular (IA) pad a kartilago artikularis normal, evaluasi pada 30 kelinei. Metode penelitan prospektif deskriptif. Kelinei kelompok I (N=5), sebagai "kontrol", masing-masing diberikan injeksi, IA normal saline 0.2 ml pada lutut kanan. Kelinei kelompok dua sampai enam (masing-masing N=5) sebagai "perlakuan", masing-masing diberikan injeksi MPA, IA pad a lutut kanan dengan dosis: kelompok II = 8 mg, kelompok 111=16 mg, kelompok IV=24 mg, kelompok V = 32 mg, dan kelompok VI=40 mg. Pemberian injeksi IA dilakukan satu kali per minggu selama lima minggu berturutan. Pada minggu ke enam dilakukan pemeriksaan histopatologi kartilago artikularis distal femur, dengan pengecatan hematoksilin dan eosin (H & E).
Hasil : tidak ditemukan gambaran histopatologi yang abnormal pada kartilago artikularis baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Namun ditemukan infiltrasi sel neutrofil dan bakteri pad a ruang sendi kelinei kelompok I, II, III dan IV.
Kesimpulan : pemberian injeksi MPA, IA sampai dosis 40 mg selama enam minggu belum menunjukkan adanya gambaran histopatologi yang abnormal pada kartilago artikularis kelinei."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T59011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Dialetta Injo
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Artropati hemofilik merupakan faktor utama peningkatan morbiditas dan besarnya biaya pengobatan penderita hemofilia. Radiografi berperan dalam mengevaluasi progresifitas kelainan dan efek terapi yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah proyeksi dalam evaluasi artropati hemofilik lutut sehingga dapat mengurangi radiasi yang diterima pasien, sesuai dengan prinsip ldquo;As Low As Reasonably Achievable rdquo;.Metode: Uji korelatif dan asosiatif menggunakan desain potong lintang terhadap radiogram 100 lutut penderita hemofilia proyeksi AP dan lateral dengan kalsifikasi Arnold Hilgartner dan skor Pettersson.Hasil: Terdapat hubungan evaluasi artropati hemofilik lutut menggunakan kalsifikasi Arnold Hilgartner antara proyeksi AP dan AP-lateral dengan R=0,52 dan nilai

ABSTRACT
Background and Objective Hemophilic arthropathy is a main factor which causes morbidity and is the main contributor to cost in treatment of hemophilic patients. Radiography has a role in monitoring progressivity and follow up after therapy. The aim of the study is to reduce radiography proections to minimize radiation dose in accordance with ldquo As Low As Reasonably Achievable rdquo radiology principle. Methods A correlative and associative research using cross sectional study from 100 knees radiogram of hemophilic arthropathy patients in AP and lateral view using Arnold Hilgartner and Petterson score. Results There is association between assessment of hemophilic arthropathy using Arnold Hilgartner in AP view and Ap lateral view with R 0.52 and p 0.001. There is positive correlation between evaluation of hemophilic arthropathy using Petterson score using AP and AP lateral with R 0.58 and p"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Fakhrazi
"Anterior knee pain (AKP) sering disamakan dengan nyeri patellofemoral, merupakan keluhan yang sering dirasakan dari individu yang aktif secara fisik. Pada militer kejadian AKP sering tidak terlaporkan sehingga diperlukan instrumen evaluasi luaran klinis khususnya pada populasi militer. Anterior knee pain scale (AKPS) atau Skor Kujala, dalam Bahasa Indonesia merupakan instrumen yang sudah terbukti sahih dan andal mengevaluasi keterbatasan fungsional pada pasien umum dengan diagnosis patellofemoral pain syndrome. Tesis ini bertujuan untuk menguji kesahihan dan keandalan kuesioner AKPS versi Bahasa Indonesia pada prajurit militer khususnya Kostrad dengan nyeri lutut anterior. Metode penelitian adalah studi potong lintang dengan jumlah subjek 34 orang yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek kemudian dilakukan inform consent, pemeriksaan fisik, pengisian kuesioner, dan dilakukan test-retest kuesioner pada hari ke tiga sejak pengisian pertama. Hasil penelitian didapatkan koefisien korelasi antara 0,423-0,779, dan Cronbach’s alpha keseluruhan adalah 0,806. Nilai ICC 0,993 dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan nilai korelasi dan konsistensi internal diatas nilai minimal yang berarti sahih dan andal dengan tingkat signifikansi p<0.05. Kesimpulannya, AKPS versi Bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal digunakan sebagai alat ukur keterbatasan fungsional penderita nyeri lutut anterior pada prajurit militer.

Anterior knee pain (AKP) is often referred to as patellofemoral pain and is often felt in physically active individuals. The incidence of AKP often goes unreported in the military, so clinical outcome evaluation instruments are needed, especially in the military population. Anterior knee pain scale (AKPS) or Kujala Score in the Indonesian version, is an instrument that has been proven valid and reliable to evaluate functional limitations in patients with a diagnosis of patellofemoral pain syndrome. This study aims to test the validity and reliability of the Indonesian version of the AKPS questionnaire on military soldiers, especially Kostrad with anterior knee pain. Study design is cross sectional with the total of subject are 34 that met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were then given informed consent, physical examination, filling out the questionnaire, and a test-retest was conducted for filling out the questionnaire on the third day after the first filling. The results showed that the correlation coefficient was between 0.423-0.779, and the overall Cronbach's alpha was 0.806. The ICC value is 0.993 with a 95% confidence level. The results of the analysis show that the correlation and internal consistency values are above the minimum value, which means they are valid and reliable with a significance level of p<0.05. In conclusion, the Indonesian version of the AKPS proved valid and reliable to measure functional limitations in patients with anterior knee pain in military soldiers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Natanel Nelwan
"Teknik rekonstruksi double bundle ACL (DBACL) atau single bundle ACL (SBACL) adalah cara operasi untuk memperbaiki putusnya anterior cruciate ligament (ACL), namun teknik rekonstruksi terbaik masih menjadi perdebatan. Tes Lachman, tes Pivot, dan rolimeter memberikan gambaran stabilitas anterior dan rotasi sendi lutut sedangkan biomarker cartilage oligomeric matrix protein cairan sinovium lutut (sfCOMP) dan MRI T2-map dapat menggambarkan integritas kartilago sendi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis stabilitas sendi dan integritas kartilago untuk mengetahui teknik rekonstruksi ACL yang terbaik, DBACL atau SBACL.
Dilakukan uji klinis acak tersamar tunggal pada pasien Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta yang menjalani operasi rekonstruksi ACL pada Januari 2019– Januari 2022. Pada kedua kelompok dilakukan tes Lachman, tes pivot, dan rolimeter, serta penilaian sfCOMP dan p MRI T2-map. Uji statistik beda dua kelompok dilakukan setelah uji normalitas pada karakteristik subjek penelitian, luaran stabilitas dan integritas sendi pada saat sebelum operasi, setelah tiga dan enam bulan operasi. Seluruh data diuji normalitas sebarannya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk atau Kolmogorov-Smirnov. Analisis bivariat dilakukan dengan uji T tidak berpasangan atau Mann-Whitney, analisis data kategorik menggunakan uji Chi square, analisis berpasangan dengan menggunakan Friedman dan tes Wilcoxon. Uji korelasi menggunakan Spearman. Batas kemaknaan yang dianggap bermakna adalah p < 0,05.
Dari 43 pasien yang dianalisis, sebanyak 22 pasien masuk kelompok SBACL dan 21 pasien kelompok DBACL. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tes Lachman (p = 0,849, p = 0,126, dan p = 0,466), tes pivot (p = 0,877, p = 0,678, p = 0,904), rolimeter (p = 0,395, p = 0,566, p = 0,455), sfCOMP (p = 0,375, p = 0,990, p = 0,409), MRI T2-map (p = 0,846, p = 0,106, p >0,999), dan MRI T2-map semikuantitatif (p = 0,970, p = 0,643, p = 0,190) pada kedua kelompok sebelum operasi serta setelah tiga bulan dan enam bulan operasi. Rerata pemeriksan stabilitas sendi setiap kelompok mengalami perbaikan dari sebelum operasi, setelah tiga bulan dan enam bulan operasi (p < 0,05). Kelompok SBACL dan DBACL tidak memiliki perbedaan bermakna pada nilai sfCOMP (SBACL, p = 0,58; DBACL, p = 0,084), MRI T2-map (SBACL, p = 0,055; DBACL, p = 0,717) dan MRI T2-map semikuantitatif (SBACL, p = 0,05; DBACL, p = 0,06) saat setelah tiga bulan dan enam bulan operasi. Biomarker sfCOMP menurun setelah tiga bulan dan tidak menunjukkan perbaikan setelah enam bulan pada kedua kelompok. Pemeriksaan rolimeter tidak memiliki perbedaan bermakna dengan penanda integritas kartilago sfCOMP dan MRI T2-map. Disimpulkan rekonstruksi DBACL memberikan luaran klinis, biokimia, dan radiologis setara dengan SBACL ditinjau dari tes Lachman, tes pivot, rolimeter, serta pengukuran sfCOMP dan penilaian MRI T2-map. Tidak ada perbedaan bermakna antara stabilitas sendi dengan kadar sfCOMP dan MRI T2-map, setelah operasi rekonstruksi SBACL dan DBACL.

The double bundle ACL (DBACL) or single bundle ACL (SBACL) reconstruction technique is a surgical technique to repair the ruptured anterior cruciate ligament (ACL). Examination of the Lachman test, Pivot test, and rolimeter represent the anterior and rotational stability of the knee joint. In addition, the biomarker cartilage oligomeric matrix protein in synovial fluid of the knee (sfCOMP) and MRI T2-map can be used to provide an overview of joint cartilage integrity. Therefore, the best ACL reconstruction technique, DBACL or SBACL, can be identified by analyzing changes in joint stability and cartilage integrity.
A single-blind randomized clinical trial was conducted to determine whether DBACL reconstruction surgery is superior to SBACL reconstruction in terms of subclinical measurements of joint stability and cartilage integrity. Lachman test, pivot test, and rolimeter, as well as the sfCOMP measurement and the MRI T2-map assessment, were evaluated on both groups. In addition, normality tests on the characteristics of the study subjects on each outcome of joint stability and joint integrity were conducted, followed by paired and unpaired statistical tests of both groups.
Of the 43 patients analyzed, 22 were allocated to the SBACL group and 21 to the DBACL group. No significant difference was found on the Lachman test (p = 0.849, p = 0.126, and p = 0.466), pivot test (p = 0.877, p = 0.678, p = 0.904), and rolimeter (p = 0.395, p = 0.566, p = 0.455), as well as sfCOMP (p = 0.375, p = 0.990, p = 0.409), MRI T2-map (p = 0.846, p = 0.106, p > 0.999), and MRI T2-map semiquantitative (p = 0.970, p = 0.643, p = 0.190) in both groups before surgery, after three months and after six months postoperative. The mean value of the joint stability examination for each group improved from before surgery, after three months, and after six months postoperative (p < 0.05). The SBACL and DBACL groups had no significant difference in sfCOMP (SBACL, p = 0.58; DBACL, p = 0.084), MRI T2-map (SBACL, p = 0.055; DBACL, p = 0.717) and MRI T2-map semiquantitative (SBACL, p = 0.05; DBACL, p = 0.06) at three months and six months. The sfCOMP biomarker showed a decrease in values after three months and did not show further improvement after six months in both groups. Rolimeter examination did not significantly correlate with the cartilage integrity marker sfCOMP and MRI T2-map. DBACL reconstruction provides results that are equivalent to SBACL in terms of Lachman tests, pivot tests, and rolimeters, as well as sfCOMP measurements and MRI T2-map assessments. No significant relationship between joint stability and sfCOMP levels and MRI T2-map, both after SBACL and DBACL reconstructive surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryo Anggoro K. Wibowo
"Latar Belakang. Hemofilia selama ini diketahui menimbulkan komplikasi muskuloskeletal dan penurunan densitas tulang adalah salah satunya. Faktor risiko penurunan densitas tulang pada hemofilia belum diketahui secara pasti. Profil pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang di Indonesia juga belum diketahui.
Tujuan. Mengetahui proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia dan karakteristik pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang.
Metode. Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan pada bulan Juni-November 2012. Subyek penelitian adalah pasien hemofilia dewasa berusia 19-50 tahun yang berobat ke Poliklinik Hematologi Onkologi Medik RS Cipto Mangunkusumo atau yang terdaftar di Tim Hemofilia Terpadu berdomisili di area Jabodetabek. Variabel yang dinilai adalah densitas massa tulang, usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, artropati, penggunaan terapi substitusi, infeksi HIV dan HCV. Densitas tulang diukur dengan Lunar GE Scan. Penurunan densitas tulang didefinisikan sebagai Z-score -2 atau kurang. Aktivitas fisik dinilai dengan kuesioner Hemophilia Activities List. Artropati secara klinis dinilai dengan Hemophilia Joint Health Score. Artropati secara radiologis dinilai pada sendi lutut menggunakan Skor Arnold-Hilgartner. Data numerik dinyatakan dalam mean + SD atau median. Data kategorik dinyatakan dalam n dan persentase.
Hasil. Sejumlah 63 subyek hemofilia dewasa berusia 19-46 tahun mengikuti studi ini dengan median usia 26 tahun. Proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia didapatkan sebesar 6,3%. Fraktur terjadi pada 14,3% subyek. Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki usia lebih muda (19 tahun vs 26 tahun). Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki IMT lebih rendah (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subyek dengan densitas tulang menurun menggunakan terapi substitusi lebih banyak daripada subyek dengan densitas tulang normal (4047 IU/bulan vs 2000 IU/bulan). Infeksi HCV terjadi pada 25% subyek dengan densitas tulang menurun sedangkan pada densitas tulang normal sebesar 55,9%. Infeksi HIV hanya terjadi pada 1,6% subyek. Skor aktivitas ditemukan sama antara subyek dengan densitas tulang normal dan menurun. Skor artropati klinis ditemukan lebih baik pada subyek dengan densitas tulang menurun (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Simpulan. Penurunan densitas tulang pada subyek hemofilia ditemukan sebesar 6,3%. Subyek dengan densitas tulang menurun berusia lebih muda, memiliki IMT lebih rendah, skor sendi lebih baik, lebih sedikit mengalami infeksi transfusi, dan mengalami perdarahan lebih banyak dibandingkan subyek dengan densitas tulang normal.

Background. Haemophilia can result in musculoskeletal complications and reduced bone density is one of the recently known musculoskeletal complications in haemophilia patients. Risk factors of reduced bone density in haemophilia have not been completely known yet. Moreover, profile of hemophilia patient with reduced bone density in Indonesia have not been studied.
Objectives. To know the proportion of reduced bone density and characteristics of hemophilia patient with reduced bone density.
Methods. A cross-sectional study on haemophilia patients aged 19-50 years old was conducted ini Haematology-Medical Oncology Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from June-November 2012. Bone density, age, body mass index, physical activity, arthropathy, amount of replacement therapy, HIV and HCV infection are analyzed variables. Bone density was measured with GE Lunar Scan. Reduced bone density was defined as Z-score -2 or less. Physical activity was measured with Haemophilia Activities List questionnaire. Joint involvement was measured clinically with Haemophilia Joint Health Score. Joint involvement of the knee was measured radiologically with plain X-ray and graded according to Arnold-Hilgartner Score. Numerical data will be presented in mean + SD or median. Categorical data will be presented as n and percentage.
Results. Sixty three haemophilia subjects aged 19-46 years old joined the study with median age 26 years old. Reduced bone density was found in 6,3% of the subjects. History of fractures was found in 14,3% patient. Subjects with reduced bone density have younger age (19 vs 26 years). Subjects with reduced bone density have lower BMI (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subjects with reduced bone density used replacement therapy more than their normal counterparts (4047 IU/month vs 2000 IU/month). HCV infection happened in 25% of subjects with reduced bone density while only found in 55% of normal bone density subjects. HIV infection was only found in 1,6% patient. Activity score between normal and reduced bone density was about the same. Clinical arthropathy score was better in reduced bone density subjects (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Conclusion. Reduced bone density was found in 6,3% subjects. Subjects with reduced bone density have younger age, lower BMI, better joint score, less infection, and experienced more bleeding than subjects with normal bone density."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tresna Priyana Soemardi
"ABSTRAK
Laporan Akhir tahap-II Penelitian Rekayasa Sendi Lutut Suatan ini merupakan kelanjutan Penelitian Tahap-I. Dalam Tahap-I dilaporkan Perancangan, Simulasi Siomekanik dan Prototyping melalui Rapid Prototyping. Pada tahap-ll dilaporkan Perancangan Proses Manufaktur dan Pembuatan Prototip Manufaktur.
Perancangan proses manufaktur yang baik didefinisikan sebagai implementasi perancangan proses (pabrikasi), yang dapat menghasilkan produk (sendi lutut buatan) yang sesuai dengan rancangan yang diharapkan (geometri, material dan finishing nya) serta fenomena dalam proses manufaktur, seperti faktor penyusutan material untuk suatu proses manufaktur. Perancangan proses manufaktur juga harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti: sifat mekanik, keakuratan dimensi dan kehalusan permukaan produk yang dihasilkan. Selain kriteria tersebut, faktor fungsi dan persyaratan khusus terhadap material yang digunakan seperti tidak mengandung racun dan tidak menimbulkan efek alergi terhadap tubuh juga harus dipertimbangkan dalam pemilihan material untuk sendi lutut buatan.
Pada implementasinya proses manufaktur yang digunakan untuk memproduksi komponen sendi lutut buatan adalah pengecoran invesmen (investment casting). Pengecoran invesmen adalah salah satu proses pengecoran presisi yang mampu menghasilkan produk dengan toleransi + 0,002 in setiap 1 in, dan + 0,004 in setiap 6 in, kehalusan permukaan yang bisa dicapai sekilar 63 - 25 mikro in dan kandungan karbon 0,03 %.
Setelah proses pengecoran selesai, spesimen produk diuji dengan beberapa pengujian diantaranya: uji komposisi, uji tarik, uji tekan dan uji kekerasan dengan tujuan untuk memastikan bahwa sifat makanik dari produk sesuai dengan sifat mekanik dari spek material standar yang digunakan yaitu stainless steel 316 L

ABSTRACT
A good manufacturing process design defined as an implementation of process design (fabrication), which able to produce knee joint prostheses product that meet previous product design (geometry, material and product finish) manufacturing process phenomenon such as material shrinkage factor in relation with a selected process. Design of manufacturing process should consider the following factors: mechanical properties, dimensional accuracy, and surface roughness of the product. In addition to the above mentioned criteria's, function factor and special requirements(toxic and allergy) should be also considered in selecting the material for knee joint prostheses.
Manufacturing process applied for the implementation process of knee joint prostheses is investment casting. Investment casting is one of precision casting processes which could produce castings that have tolerance ± 0.002 inch per 1 inch, and ± 0.004 inch per 6 inch, surface roughness about 63 up to 25 pinch and carbon content 0.03 In.
After completion the casting process, the product specimen is subject to several testing procedures as follow: composition test, tensile test, compression test, and hardness test to ensure that the mechanical properties of the product meet all the mechanical properties required for stainless steel 316 L.
"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>