Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124278 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febrini Agasani
"Latar belakang: Hemofilia merupakan salah satu penyakit kronik yang dapat memengaruhi kualitas hidup. Penilaian kualitas hidup merupakan indikator keberhasilan terapi, dasar pengembangan strategi pengobatan dan penilaian pelayanan kesehatan. Belum ada data mengenai kualitas hidup anak dengan hemofilia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo RSCM.
Tujuan: Mengetahui prevalens, gangguan kualitas hidup, kesesuaian kualitas hidup berdasarkan laporan anak dan laporan orangtua serta pengaruh faktor sosiodemografis dan faktor medis terhadap kualitas hidup anak hemofilia di RSCM.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien hemofilia usia 5-18 tahun di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama bulan September-Desember 2016. Pengisian kuesioner PedsQLTM 4.0 modul generik dilakukan dengan metode wawancara. Faktor-faktor risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat.
Hasil: Gangguan kualitas hidup 52,9 rerata 64,37 11,75 menurut laporan anak dan 60,8 rerata 64,37 13,87 menurut laporan orangtua dari total 102 anak hemofilia. Dimensi yang paling terganggu adalah dimensi fisik menurut kelompok 5-7 tahun, sedangkan menurut kelompok 8-18 tahun adalah dimensi fisik dan sekolah. Terdapat ketidaksesuaian antara laporan kualitas hidup anak dan orangtua pada kelompok usia 5-7 tahun. Kekakuan sendi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kualitas hidup menurut laporan anak p=0,005, RP 4,335, IK 95 1,550-12,126 dan orangtua p=0,04, RP 2,902, IK 95 1,052-8,007.
Simpulan: Terdapat 52,9 laporan anak dan 60,8 laporan orangtua anak hemofilia yang kualitas hidupnya terganggu. Kekakuan sendi merupakan faktor yang paling memengaruhi kualitas hidup anak dengan hemofilia. Untuk menilai kualitas hidup anak usia 5-7 tahun diperlukan laporan anak dan orangtuanya, sedangkan untuk anak usia 8-18 tahun cukup laporan anak atau orangtua saja.

Background Hemophilia is a chronic disease that can affect quality of life QoL . Assessment of QoL is an indicator of therapeutic success, base for development of the treatment strategy, and assessment of health services. There are no data for QoL of children with hemophilia in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH.
Aim To evaluate the prevalence, QoL, congruence of QoL based on self report and parents proxy report as well as the influence of sociodemographic and medical factors on the QoL of children with hemophilia in CMH. Method A cross sectional study was conducted in patients with hemophilia aged 5 18 years old who visited the outpatient clinic of Pediatric Hematology Division of CMH from September to December 2016. Data questionnaire PedsQLTM 4.0 generic scale were collected by interviewing children and their parents. Risk factors were analyzed with multivariate analysis.
Result From a total of 102 children with hemophilia, there were 52.9 self report and 60.8 parent proxy report of children with impairment of QoL with mean score 64.37 11.75 and 64.37 13.87, respectively. The most impaired dimension were the physical dimension for age group 5 7 years whereas for age group 8 18 years, there was impairment on the physical and school dimensions. There is a discrepancy report the QoL of children and parents in the age group 5 7 years. Joint stiffness is a risk factor for impaired QoL according to the self report p 0.005, PR 4.335, 95 CI 1.550 to 12.126 and parent proxy report p 0.04, PR 2.902, 95 CI 1.052 to 8.007.
Conclusion There were 52.9 self report and 60.8 parent proxy report of children with hemophilia who had impaired QoL. Joint stiffness is a factor that mostly affect the QoL of children with hemophilia. Assessment of QoL for children aged 5 7 years required reports from both children and parents, while for aged 8 18 years required either child report or the parents report alone."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniasti Evitasari
"Latar belakang: Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang bersifat herediter yang disebabkan oleh kekurangan faktor VIII. Pada kadar faktor koagulasi yang sama dapat menunjukkan karakteristik klinis yang berbeda.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi pada anak hemofilia A.
Metode: Penelitian kohort retrospektif pada anak le;18 tahun. Data diambil dari rekam medis Januari 2014 ndash; Juni 2016 meliputi data usia awitan perdarahan sendi, usia saat didiagnosis, kekerapan perdarahan, lokasi perdarahan, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi yang dialami.
Hasil: Terdapat 109 subjek anak lelaki terdiri dari 2,8 subjek hemofilia A ringan, 27,5 hemofilia A sedang, dan 69,7 hemofilia A berat. Perdarahan paling sering ditemukan pada sendi 60,6 terutama pada lutut 37,2 . Anak hemofilia A berat menunjukkan usia awitan perdarahan sendi yang lebih dini median 12,5 4 - 120 bulan , kekerapan perdarahan sendi yang lebih sering median 8 1-44 kali/tahun , menggunakan konsentrat faktor VIII yang lebih banyak median 712 131 - 1913 IU/kg/tahun . Komplikasi yang ditemukan adalah hemofilik artropati dan sinovitis 46,8 , terbentuknya inhibitor faktor VIII 7,3 , anemia akibat perdarahan 2,6 , pseudotumor 0,9 , dan fraktur 0,9 . Terdapat 15,5 subjek hemofilia A berat yang menunjukkan karakteristik klinis yang lebih ringan.
Simpulan: Usia awitan perdarahan sendi berhubungan dengan kekerapan perdarahan sendi, kebutuhan faktor VIII, dan artropati. Artropati dan sinovitis merupakan komplikasi yang paling banyak ditemukan.

Background: Hemophilia A is a congenital bleeding disorder caused by deficiency of factor VIII. Phenotypic differences between patients with hemophilia is well known from clinical practice.
Aim: To identify clinical characteristics, factor VIII usage for on demand therapy, and complications of children with hemophilia A.
Method: A retrospective cohort study on children aged le 18 years. Data was obtained from medical record January 2014 ndash June 2016 including age of diagnosis, age of first joint bleed, number of bleeding, site of bleeding, treatment requirement, and complications.
Result: We found a total of 109 boys with hemophilia A consisted of 2.8 mild, 27.5 moderate, and 69.7 severe hemophilia. The most common bleeding was hemarthrosis 60.6 of the knee 37.2 . Severe hemophilia children showed earlier age of first joint bleed median 12,5 4 to 120 months , higher number of joint bleeds median 8 1 44 times year , and higher consumptions of clotting factor median 712 131 to 1913 IU kg year compared to mild and moderate hemophilia. Complications commonly found in severe hemophilia were haemophilic arthropathy and sinovitis 46.8 , followed by factor VIII inhibitors 7.3 , anaemia due to bleeding 2.6 , pseudotumour 0.9 , and fracture 0.9 . This study showed that 15.5 of patients with severe hemophilia A have mild clinical characteristics.
Conclusion: The onset of joint bleeding is related with number of joint bleeds, treatment requirement, and arthropathy and may serve as an indicator of clinical phenotype.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55602
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aniza Winanda
"Pendahuluan: Luka bakar adalah cedera berat akibat kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber panas serta berpengaruh pada seluruh fungsi sistem tubuh. Pada luka bakar, cedera mengakibatkan kerusakan pada penampilan seseorang dan citra tubuhnya sehingga perasaan negatif yang dialami juga dapat diikuti masalah lainnya yang menyebabkan psikopatologi atau gejala masalah kejiwaan.
Metode: Studi potong lintang dengan metode pengambilan sampel secara konsekutif yang melibatkan pasien luka bakar di poliklinik Bedah Plastik serta Unit Luka Bakar RSCM, Jakarta dilakukan antara April-Mei 2017. Responden mengisi kuesioner self-report berupa Kuesioner Biodata untuk mendapat profil demografi, SRQ-20 titik potong ge;6 untuk melihat gejala psikopatologi, Kuesioner WHOQoL-BREF untuk melihat skor kualitas yang meliputi domain fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan. Data yang didapat diolah menggunakan analisis korelasi Spearman.
Hasil: 56 pasien luka bakar berpartisipasi dalam penelitian ini. 30.4 pasien tidak bekerja serta 48.2 memiliki penghasilan sangat rendah per bulannya. 67.9 pasien mengalami luka bakar akibat api dengan 44.6 mengalami luas luka bakar 10-30 TBSA dan mayoritas individu 80.4 mengalami luka bakar kombinasi derajat 2 3. Berdasarkan analisis yang dilakukan, 57.1 pasien mengalami psikopatologi dan rerata penilaian kualitas hidup yang rendah domain fisik 48.1, domain psikologis 51.5 . Didapatkan korelasi negatif yang bermakna p le; 0.05 antara domain psikologis dengan gejala depresi, cemas, dan penurunan energi; domain fisik dengan gejala penurunan energi, serta domain sosial dengan gejala cemas.
Pembahasan: Penelitian yang dilakukan mendapatkan berbagai hasil yang bermakna untuk membuktikan adanya korelasi antara psikopatologi dengan berbagai domain kualitas hidup yang terpengaruh.

Introduction: Burns result in severe injuries that cause damage or loss of tissue due to contact with sources of heat resulting in injuries to all body systems. Injuries of the skin, which functions as a barrier to protect internal organs, may cause patients to experience damage to one's physical appearance and body image causing negative feelings that may lead to other problems such as psychopathology and symptoms of mental illness.
Method: A cross sectional study with consecutive sampling method of burn patients who were treated at the Plastic Surgery Outpatient Clinic and Burn Unit of RSCM was conducted between April May 2017. Subjects were asked to fill in self report questionnaires including patient identity form, SRQ 20 cutoff point ge 6 for presence of psychopathology, and WHOQoL BREF to obtain mean scores of quality of life that include four domains of physical, psychological, social, and environment assessment. Data collected was analyzed using correlation analysis.
Result: 56 burn patients were included in the study. 30.4 did not work and 48.2 had very low income per month. 67.9 patients experienced burns due to fire and 44,6 had burns 10 30 of the TBSA with a majority of patients 80.4 experiencing a combination of second third degree burns. Based on the analysis, 57.1 of patients had a form of psychopathology and low mean scores of quality life physical domain 48.1, psychological domain 51.5. Significant negative correlations p le 0.05 were obtained between the psychological domain and symptoms of depression, anxiety, low energy physical domain and low energy and social domain with anxiety.
Discussion: This study obtained significant results to identify the correlation between psychopathology and various domains of quality of life affected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Herlan
"Latar Belakang: Gastrektomi, baik proksimal, gastrektomi distal dan gastrektomi total kerap diterapkan di RSUPN dr. Cpto Mangunkusumo, Jakarta untuk kanker, ulkus peptikum, nekrosis pada lambung dan kelainan-kelainan lainnya. Namun, sejauh ini belum pernah ada evaluasi gastrektomi dan etiologi penyakit terhadap kualitas hidup. Kami melakukan evaluasi pascagastrektomi melalui survei menggunakan kuesioner untuk tujuan evalausi.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain kohort restropektif mengambil data rekam medis. Pasien pascagastrektomi proksimal, distal, dan total atas indikasi tumor ataupun non-tumor (infeksi, kelainan bawaan dan lain-lain) pada periode Juli–September 2020 diikutsertakan dalam penelitian. Uji hipotesis dilakukan untuk melihat pengaruh jenis gastrektomi dan etiologi penyakit terhadap kualitas hidup yang dinilai berdasarkan kuesioner (World Health Organization Quality of Life questionnaire abbreviated version (WHOQOL-BREF).
Hasil: Enam puluh enam subjeck dengan rerata usia 47,12±14,5 tahun, diikutsertakan dalam studi. Ditemukan perbedaan signifikan antara kelompok proksimal, distal, dan total, hanya pada domain lingkungan dan nilai total WHOQOL-BREF. Median skor untuk domain lingkungan adalah sebesar 63 (50–88), 69 (50–88), 56 (50–75), secara berturut-turut untuk kelompok proksimal, distal, dan total. Rerata skor total WHOQOL-BREF untuk kelompok dengan gastrektomi proksimal, distal, dan total adalah sebesar 64,42±9,34, 67,19±9,44, dan 59,12±8,04. Subjek dengan etiologi keganasan memilki median skor WHOQOL-BREF yang cenderung lebih rendah pada sebagian besar domain. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan skor WHOQOL-BREF antara kelompok non-tumor dengan kelompok tumor.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup subjek pascagastrektomi total dengan distal dan proksimal, pada domain lingkungan dan nilai total WHOQOL-BREF. Tidak terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup subjek pascagastrektomi dengan etiologi tumor dan non-tumor, pada seluruh domain WHOQOL-BREF.

Background: Gastrectomy of proximal–, distal–and total gastrectomy referred to procedures indicated for cancer, peptic ulcer, gastric necrosis, and another disorder that frequently carried out in dr Cipto Mangunkusumo General Hospital. However, no evaluation was carried out before. Thus, we run a survey evaluating the quality–of–life following gastrectomy.
Method: The study was conducted using a retrospective cohort based on medical record. Those who underwent proximal, distal, or total gastrectomy for a tumor or any non-tumor indications were included in the research. A quality-of-life evaluate using the WHOQOL-BREF questionnaire and subjected to analysis.
Result: Sixty-six subjects with a mean age of 47.12 ± 14.5 years, were enrolled in the study. Significant differences were found between the proximal, distal, and total groups, only in the environmental domain and the WHOQOL-BREF total values. The median scores for the environmental domain were 63 (50–88), 69 (50–88), 56 (50–75) for the proximal, distal, and total groups, respectively. The mean WHOQOL-BREF total score for proximal, distal, and total gastrectomy group was 64.42 ± 9.34, 67.19 ± 9.44, and 59.12 ± 8.04. Subjects with an etiology of malignancy had a median WHOQOL-BREF score that tended to be lower in most domains. However, there was no significant difference in WHOQOL-BREF scores between the non–tumor and tumor group.
Conclusion: There are significant differences in patients quality-of-life after total gastrectomy with distal and proximal, in the environmental domain and the total WHOQOL-BREF values. There was no significant difference in postgastrectomy patients quality-of-life between non-tumor and tumor groups in all WHOQOL-BREF domains.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Santoso
"Analisis gelombang bekuan dapat mengevaluasi profil reaksi pembentukan bekuan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gelombang bekuan ini didapatkan dari pemeriksaan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) tanpa menambah biaya pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola gelombang bekuan dan mengetahui nilai max velocity (Min1), max acceleration (Min2), dan max deceleration (Max2) pada pasien hemostasis normal dan hemofilia; serta mengetahui korelasi antara parameter tersebut dengan aktivitas F.VIII/F.IX. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan 160 sampel pasien hemostasis normal dan 145 sampel pasien hemofilia di Laboratorium Pusat Departemen Patologi Klinik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus-Desember 2019. Pada penelitian ini didapatkan titik awal koagulasi pada pasien normal adalah ±30-40 detik dengan fase prekoagulasi pendek dan slope yang lebih curam. Pada pasien hemofilia didapatkan fase prekoagulasi yang lebih panjang dan slope yang lebih landai dengan titik awal koagulasi yang lebih panjang dan bervariasi. Nilai median Min1, Min2, dan Max2 dewasa hemostasis normal didapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pasien anak. Nilai Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemofilia A dan B juga didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan pasien hemostasis normal dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara parameter Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemostasis normal dengan pasien hemofilia. Korelasi antara parameter Min1, Min2, dan Max2 dengan aktivitas F.VIII didapatkan korelasi sedang (p<0,001), dan Analisis gelombang bekuan dapat bermanfaat untuk skrining pasien hemofilia di fasilitas kesehatan yang memiliki keterbatasan pemeriksan F.VIII dan memberikan gambaran yang lebih lanjut terhadap pasien hemofilia A berat yang memiliki aktivitas F.VIII <1% dan pasien hemofilia A yang dengan atau tanpa inhibitor.

Clot waveform analysis can be used to evaluate clot formation profile both qualitatively and quantitatively. This waveform may be obtained from activated partial thrombolpastin time (APTT) assay without additional cost. This study aims to determine the clot wave pattern as well as the value of max velocity (Min1), max acceleration (Min2), and max deceleration (Max2) in patients with normal hemostasis and hemophilia; and to determine the correlation between these parameters with F.VIII/F.IX activities. The study was conducted with a cross-sectional design using 160 samples of normal hemostasis patients and 145 samples of hemophilia patients in the Central Laboratory of the Department of Clinical Pathology of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital which takes place in August-December 2019. In this study, the starting point of coagulation in normal patients is ± 30-40 seconds with shorter precocagulation phase and steeper slope. In hemophilia patients, longer precoagulation phase and flatter slope was seen with longer and more variable starting point for coagulation. The min1, min2, and max2 value of adult with normal hemostasis are higher than that of children. The min1, min2 and max2 value of hemophilia A and B are also lower than the patients with normal hemostasis. There is a significant difference between min1, min2, and max2 parameters of patients with normal hemostasis and hemophilia patients. Moderate correlation was found between Min1, Min2, and Max2 parameters with F.VIII activity (p <0.001). Clot wave analysis is a very useful tool for screening hemophilia patients in health facilities with limited F.VIII examination and may provides much detailed information of severe hemophilia A patients who have F.VIII activity <1% as well as hemophilia A patients with or without inhibitors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Ali Alamudi
"Latar Belakang: Hemofilia A adalah gangguan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor VIII (FVIII). Scientific and Standardization Committee (SSC), pada tahun 2021, mengeluarkan nomenklatur baru yang membagi perempuan menjadi lima kategori: hemofilia ringan, sedang, berat, serta pembawa sifat simptomatik dan asimptomatik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proporsi pasien dan pembawa sifat hemofilia A perempuan di RSCM, serta manifestasi dan derajat keparahan menggunakan kuesioner International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT).
Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan di RSCM selama Agustus-September 2024. Subjek penelitian adalah kerabat perempuan dari pasien hemofilia A berusia ≤18 tahun. Pemeriksaan FVIII dilakukan. Kuesioner ISTH-BAT yang telah diterjemahkan digunakan sebagai alat skrining untuk mengevaluasi manifestasi perdarahan.
Hasil: Berdasarkan 74 subjek yang diteliti, 5 orang terdiagnosis hemofilia A, terdiri dari 4 hemofilia ringan dan 1 hemofilia berat. 69 subjek yang diidentifikasi sebagai pembawa sifat, 62 orang merupakan pembawa sifat asimptomatik, sementara 7 orang adalah pembawa sifat simptomatik. Manifestasi perdarahan pada pasien hemofilia A perempuan bervariasi antara kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak, manifestasi paling umum adalah memar pada kulit, sedangkan pada kelompok dewasa, menoragia menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan. Pada pembawa sifat simptomatik, baik anak maupun dewasa, manifestasi perdarahan yang dominan adalah memar pada kulit dan menoragia. Skor ISTH-BAT pembawa sifat asimptomatik, simptomatik, dan pasien hemofilia berturut-turut adalah 0,83 ± 1,7; 6,2 ± 1,2 dan 3,25 ± 2,9.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi pasien hemofilia A perempuan di RSCM masih relatif rendah, dengan sebagian besar pembawa sifat bersifat asimptomatik. Manifestasi perdarahan tersering pada pasien dan pembawa sifat simptomatik hemofilia A perempuan adalah menoragia dan memar pada kulit.

Background: Hemophilia A is a hereditary bleeding disorder caused by factor VIII (FVIII) deficiency. In 2021, the Scientific and Standardization Committee (SSC) introduced a new nomenclature categorizing women into five groups: mild, moderate, and severe hemophilia, as well as symptomatic and asymptomatic carriers. This study aimed to identify the proportion of female patients and carriers of hemophilia A at RSCM, along with their manifestations and severity levels, using the International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT) questionnaire.
Methods: A cross-sectional analytical study was conducted at RSCM from August to September 2024. The study subjects were female relatives of hemophilia A patients aged ≤18 years. FVIII levels were measured, and the translated ISTH-BAT questionnaire was used as a screening tool to evaluate bleeding manifestations.
Results: Among the 74 subjects studied, 5 were diagnosed with hemophilia A, comprising 4 cases of mild hemophilia and 1 case of severe hemophilia. Of the 69 subjects identified as carriers, 62 were asymptomatic carriers, while 7 were symptomatic carriers. Bleeding manifestations in female hemophilia A patients varied between children and adults. In children, the most common manifestation was skin bruising, whereas in adults, menorrhagia was the most frequently observed manifestation. Among symptomatic carriers, both children and adults predominantly experienced skin bruising and menorrhagia. The ISTH-BAT scores for asymptomatic carriers, symptomatic carriers, and hemophilia patients were 0.83 ± 1.7, 6.2 ± 1.2, and 3.25 ± 2.9, respectively.
Conclusion: Results of this study indicate that the proportion of female hemophilia A patients at RSCM remains relatively low, with the majority of carriers being asymptomatic. The most common bleeding manifestations in symptomatic female hemophilia A patients and carriers are menorrhagia and skin bruising.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Megawati
"Transplantasi ginjal TG merupakan salah satu terapi pilihan utama pada pasien Gagal Ginjal Terminal GGT . TG dapat meningkatkan kualitas hidup pasien GGT. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor fisik, psikologis dan mental.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien TG. Desain Penelitian menggunakan Cross Sectional Study, Sampel dalam penelitian ini berjumlah 110 pasien TG dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Instrumen penelitan menggunakan kuesioner kualitas hidup WHOQoL ndash; BREF, yaitu kuesioner yang telah banyak digunakan dalam mengukur kualitas hidup di dunia dan secara validitas dan reabilitas merupakan kuesioner yang valid dan reliabel. Analisi data menggunakan: proporsi, chi- square dan regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien TG di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah baik 71, 8 . Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien adalah: usia p = 0,002 , pendidikan p = 0,001 pekerjaan p = 0,010 , dukungan keluarga p = 0,024 , dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat immunosupressant p = 0,009 , faktor yang dominan mempengaruhi kualitas hidup adalah: pendidikan OR= 11, 490 dan kepatuhan dalam mengkonsumsi obat immunosuppressant OR= 10, 530.
Kesimpulan: Kualitas hidup pasien TG dipengaruhi oleh, usia, pendidikan, pekerjaan, dukungan keluarga dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat immunosupressant Rekomendasi: Penelitian lebih lanjut terkait dimensi kualitas hidup: dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan dan pemberian intervensi keperawatan berupa edukasi sebelum dan sesudah TG.

Kidney transplantation KT is one of the major therapies in terminal renal failure. KT can increase Quality of Life QoL of the patients with terminal renal failure. QoL can be affected by several factors, such as physical, psychological and mental factors.
The aim of this research is to identify the factors that affects QoL of KT patients. The research design used Cross Sectional Study, with purposive sampling. The samples of study is 110 KT patients. The research instrument uses WHOQoL ndash BREF, instrument WHOQoL ndash BREF has been widely used in measuring the QoL in the world and the validity and reliability is a valid and reliable questionnaire. Data analysis uses proportion, chi square and multiple logistic regression.
The results of this research showed that the QoL of KT patients at General Hospital Cipto Mangunkusumo is good 71, 8 . The Factors influencing of the QoL of the patients were age, p 0,002, education p 0,001 occupation p 0,010 , family p 0,024 , and patient adherence to taking immunosuppressant drugs p 0,009.
Conclusions The QoL of patients affected by age, education, occupation, family and patient adherence to taking immunosuppressant drugs. Recommendations Further research related to the dimensions of the Qol with are physical, psychological, social and environmental dimensions and Intervention of Nursing through prre and post opertif education of KT."
Depok: Fakultas Ilmu Kperawatan Universitas Indonesia, 2018
T51501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryo Anggoro K. Wibowo
"Latar Belakang. Hemofilia selama ini diketahui menimbulkan komplikasi muskuloskeletal dan penurunan densitas tulang adalah salah satunya. Faktor risiko penurunan densitas tulang pada hemofilia belum diketahui secara pasti. Profil pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang di Indonesia juga belum diketahui.
Tujuan. Mengetahui proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia dan karakteristik pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang.
Metode. Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan pada bulan Juni-November 2012. Subyek penelitian adalah pasien hemofilia dewasa berusia 19-50 tahun yang berobat ke Poliklinik Hematologi Onkologi Medik RS Cipto Mangunkusumo atau yang terdaftar di Tim Hemofilia Terpadu berdomisili di area Jabodetabek. Variabel yang dinilai adalah densitas massa tulang, usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, artropati, penggunaan terapi substitusi, infeksi HIV dan HCV. Densitas tulang diukur dengan Lunar GE Scan. Penurunan densitas tulang didefinisikan sebagai Z-score -2 atau kurang. Aktivitas fisik dinilai dengan kuesioner Hemophilia Activities List. Artropati secara klinis dinilai dengan Hemophilia Joint Health Score. Artropati secara radiologis dinilai pada sendi lutut menggunakan Skor Arnold-Hilgartner. Data numerik dinyatakan dalam mean + SD atau median. Data kategorik dinyatakan dalam n dan persentase.
Hasil. Sejumlah 63 subyek hemofilia dewasa berusia 19-46 tahun mengikuti studi ini dengan median usia 26 tahun. Proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia didapatkan sebesar 6,3%. Fraktur terjadi pada 14,3% subyek. Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki usia lebih muda (19 tahun vs 26 tahun). Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki IMT lebih rendah (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subyek dengan densitas tulang menurun menggunakan terapi substitusi lebih banyak daripada subyek dengan densitas tulang normal (4047 IU/bulan vs 2000 IU/bulan). Infeksi HCV terjadi pada 25% subyek dengan densitas tulang menurun sedangkan pada densitas tulang normal sebesar 55,9%. Infeksi HIV hanya terjadi pada 1,6% subyek. Skor aktivitas ditemukan sama antara subyek dengan densitas tulang normal dan menurun. Skor artropati klinis ditemukan lebih baik pada subyek dengan densitas tulang menurun (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Simpulan. Penurunan densitas tulang pada subyek hemofilia ditemukan sebesar 6,3%. Subyek dengan densitas tulang menurun berusia lebih muda, memiliki IMT lebih rendah, skor sendi lebih baik, lebih sedikit mengalami infeksi transfusi, dan mengalami perdarahan lebih banyak dibandingkan subyek dengan densitas tulang normal.

Background. Haemophilia can result in musculoskeletal complications and reduced bone density is one of the recently known musculoskeletal complications in haemophilia patients. Risk factors of reduced bone density in haemophilia have not been completely known yet. Moreover, profile of hemophilia patient with reduced bone density in Indonesia have not been studied.
Objectives. To know the proportion of reduced bone density and characteristics of hemophilia patient with reduced bone density.
Methods. A cross-sectional study on haemophilia patients aged 19-50 years old was conducted ini Haematology-Medical Oncology Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from June-November 2012. Bone density, age, body mass index, physical activity, arthropathy, amount of replacement therapy, HIV and HCV infection are analyzed variables. Bone density was measured with GE Lunar Scan. Reduced bone density was defined as Z-score -2 or less. Physical activity was measured with Haemophilia Activities List questionnaire. Joint involvement was measured clinically with Haemophilia Joint Health Score. Joint involvement of the knee was measured radiologically with plain X-ray and graded according to Arnold-Hilgartner Score. Numerical data will be presented in mean + SD or median. Categorical data will be presented as n and percentage.
Results. Sixty three haemophilia subjects aged 19-46 years old joined the study with median age 26 years old. Reduced bone density was found in 6,3% of the subjects. History of fractures was found in 14,3% patient. Subjects with reduced bone density have younger age (19 vs 26 years). Subjects with reduced bone density have lower BMI (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subjects with reduced bone density used replacement therapy more than their normal counterparts (4047 IU/month vs 2000 IU/month). HCV infection happened in 25% of subjects with reduced bone density while only found in 55% of normal bone density subjects. HIV infection was only found in 1,6% patient. Activity score between normal and reduced bone density was about the same. Clinical arthropathy score was better in reduced bone density subjects (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Conclusion. Reduced bone density was found in 6,3% subjects. Subjects with reduced bone density have younger age, lower BMI, better joint score, less infection, and experienced more bleeding than subjects with normal bone density."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rosariah Ayu
"Latar belakang: Perdarahan sendi berulang merupakan morbiditas utama pada pasien hemofilia karena dapat menimbulkan artropati hemofilik yang menyebabkan keterbatasan gerak dan disabilitas sehingga menurunkan kualitas hidup. Penelitian bertujuan mengetahui korelasi pemeriksaan klinis sendi, penilaian aktivitas fungsional dan kualitas hidup pada anak hemofilia.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang di RSCM pada Agustus−November 2022 pada anak 4−16 tahun, hemofilia A atau B derajat sedang atau berat yang mengalami perdarahan sendi berulang. Penelitian dilakukan dengan menilai HJHS, PedHALshort serta Haemo-QoL dan mencari korelasi skor HJHS dengan skor PedHALshort dan Haemo-QoL.
Hasil: Sebanyak 95 subyek hemofilia, dengan hemofilia A (77,3%) dan 70,1% hemofilia berat. Skor HJHS median 4 (1−9), skor PedHALshort median 74,5 (62,73-89,09), skor Haemo-QoL mean (SD) 74,51 (15,58). Skor HJHS berkorelasi negatif sedang dengan PedHALshort (r= -0,462, p< 0,0001), skor HJHS berkorelasi sedang dengan Haemo-QoL (r= 0,469, p< 0,001).
Simpulan: Semakin tinggi skor HJHS menunjukkan adanya kerusakan pada sendi maka semakin rendah skor PedHALshort dan semakin tinggi skor Haemo-QoL yang menunjukkan semakin terganggu aktivitas fungsional serta kualitas hidupnya.

Background: Recurrent joint bleeding is the major morbidity in patient with hemophilia that can cause hemophilic arthropathy causes limitation of daily activities, disability, and reducing quality of life. Research objective are to determine the relationship between the clinical evaluation of joints, the assessment of functional activity determined and assessment of the quality of life with HJHS, so we can diagnose arthropathy, prevent disability and better management.
Methods: Study with cross-sectional design at RSCM on August-November 2022, children aged 4-16, with moderate or severe hemophilia A and B with recurrent joint bleeding. The study was conducted by assessing HJHS, PedHALshort and Haemo-QoL, determine the relationship between HJHS with PedHALshort and Haemo-QoL score.
Result: A total of 95 hemophilia subjects, with hemophilia A (77.3%) and 70.1% severe hemophilia. HJHS median score 4 (1-9), PedHALshort median score 74.5 (62.73-89.09), Haemo-QoL mean (SD) 74.51 (15.58). The HJHS score had a moderate negative correlation with PedHALshort (r= -0.462, p<0.0001), the HJHS score had a moderate correlation with Haemo-QoL (r= 0.469, p<0.001).
Conclusion: The higher of HJHS score indicates a joint disorder, the lower of PedHALshort and the higher of Haemo-QoL indicates the more impaired functional activity and poorer quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Samira
"Latar Belakang Kanker adalah penyebab kematian secara global dan merupakan penyebab utama kematian pada anak. Dampaknya besar pada anak-anak di negara berpenghasilan rendah dengan tingkat kelangsungan hidup di bawah 30% akibat diagnosis terlambat, pengobatan yang tidak memadai, dan diagnosis tidak tepat. Hingga saat ini, belum ada publikasi terkait epidemiologi kanker anak pada pasien RSCM. Metode Penelitian ini adalah studi deskriptif mengenai epidemiologi kanker pada anak di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2017 sampai dengan 2022. Penelitian ini menggunakan rekam medis dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Hasil Di RSCM, terdapat 1699 kasus kanker anak pada tahun 2017-2022. Sepuluh kasus kanker anak tertinggi adalah leukemia limfositik akut (630 kasus, 39,5%), diikuti oleh leukemia mieloid akut (311 kasus, 19,5%), retinoblastoma (221 kasus, 13,8%), tumor tulang (100 kasus, 6,3%), neuroblastoma (81 kasus, 5,1%), limfoma non-Hodgkin (73 kasus, 4,6%), rhabdomiosarcoma (70 kasus, 4,4%), leukemia mieloid kronik (54 kasus, 3,4%), hepatoblastoma (31 kasus, 2,0%), dan tumor otak (23 kasus, 1,5%). Pasien laki-laki memiliki kemungkinan 1,3 kali lebih tinggi untuk mengalami kanker (971 kasus, 57,1%). Pasien dengan kategori usia 0-5 tahun mempunyai prevelansi kanker paling tinggi (881 kasus, 51,9%), dan kebanyakan berdomisili di DKI Jakarta (552 kasus, 32,5%). Luaran pasien kebanyakan pada tahap loss-to-follow-up (664 kasus, 39,0%), dan 2021 adalah tahun dengan kasus terbanyak (335 kasus, 19,7%). Kesimpulan Dengan mengetahui epidemiologi kanker anak di RSCM, dapat dibuat sebuah strategi untuk prioritas penanganan kasus kanker tertinggi pada anak. Lalu, menjaga database yang terkini dengan melakukan follow-up secara berkala untuk mendapatkan data yang akurat mengenai relaps, kematian, penyembuhan, dan lost-to-follow-up dan dibutuhkan sebuah studi epidemiologi multi-senter yang mencakup prevalensi kanker anak di Indonesia untuk memperbaiki penanganan kanker anak.

Introduction Cancer is a leading global cause of death, particularly among children. Its impact is substantial in low-income countries, where survival rates are below 30% due to delayed diagnosis, inadequate treatment, and misdiagnosis. To date, there have been no publications regarding the epidemiology of childhood cancer in RSCM patients. Method This research is a descriptive study on the Epidemiology of Childhood Cancer at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from 2017 to 2022. This study utilizes medical records from the Department of Pediatrics at RSCM. Results At RSCM, there were 1699 cases of childhood cancer from 2017 to 2022. The top ten childhood cancer cases were acute lymphoblastic leukemia (630 cases, 39.5%), followed by leukemia mieloid akut(311 cases, 19.5%), retinoblastoma (221 cases, 13.8%), bone tumors (100 cases, 6.3%), neuroblastoma (81 cases, 5.1%), non-Hodgkin lymphoma (73 cases, 4.6%), rhabdomyosarcoma (70 cases, 4.4%), chronic myeloid leukemia (54 cases, 3.4%), hepatoblastoma (31 cases, 2.0%), and brain tumors (23 cases, 1.5%). Male patients have a 1,3 times higher likelihood of experiencing cancer (971 cases, 57.1%). Patients in the 0-5 age group have the highest cancer prevalence (881 cases, 51.9%), and most of them reside in Jakarta (552 cases, 32.5%). The majority of patients had an outcome classified as loss-to-follow-up (664 cases, 39.0%), and 2021 had the highest number of cases (335 cases, 19.7%). Conclusion By understanding the epidemiology of childhood cancer at RSCM, a strategy can be developed to prioritize the management of the highest cases of childhood cancer. Maintaining an up-to-date database by conducting regular follow-ups is essential to obtain accurate data on relapses, deaths, recoveries, and cases lost to follow-up. A multicenter epidemiological study that includes the prevalence of childhood cancer in Indonesia is needed to improve the management of childhood cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>