Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21311 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadjar I. Thufail
"Perdebatan tentang multikulturalisme di Indonesia dipicu oleh kecanggungan teori-teori kebudayaan menghadapi munculnya ledakan ruang publik dengan berbagai macam artikulasi kepentingan etnis, religius, dan sejarah. Oleh karena itu, perbincangan tentang multikulturalisme di Indonesia tak dapat dilepaskan dari percakapan dan perdebatan yang berkembang sejalan dengan makin beragamnya ruang-ruang publik di Indonesia. Dengan kata lain, multikulturalisme sebenarnya harus dilihat sebagai sebuah proses yang terjadi pada ruang-ruang publik, bukan sekedar sebuah kondisi yang menentukan suatu, dan satu-satunya, ruang publik. Sebagai sebuah proses, multikulturalisme bersandar pada negosiasi antar berbagai macam praktik sosial (social practices); sebuah proses politik kebudayaan yang tak selalu-bagi saya, justru tak mungkin-menghasilkan sebuah ruang publik homogeny dan setara seperti yang dibayangkan oleh Will Kymlicka. Berangkat dari pandangan tersebut di atas, tulisan ini mencoba menguraikan satu bentuk praktik sosial yang seringkali dipakai sebagai sebuah wahana artikulasi kepentingan etnis dan religius akhir-akhir ini. Praktik tersebut adalah penuturan kisah (story telling). Takseperti pendekatan konvensional dalam antropologi yang melihat kisah/cerita (story) sebagai wadah simbol dan struktur (a symbolic and structural repository), tulisan ini akan memperlakukan cerita sebagai sebuah media material yang dipakai oleh berbagai aktor sosial untuk meramaikan perdebatan politik kebudayaan dalam bermacam-macam ruang publik. Di pihak lain, sering kali cerita juga menjadi wahana untuk mengartikulasikan, atau membentuk, ruang publik itu sendiri. Secara etnografis, paper ini akan membicarakan sebuah tipe cerita, yaitu narasi tentang kekerasan, lebih khusus lagi yaitu narasi tentang kerusuhan yang pernah meledak di Jakarta. Diharapkan kajian etnografis ini dapat memberikan sebuah contoh tentang kompleksitas yang ada dalam pengertian multikulturalisme sebagai sebuah proses politik (multi) kultural, dan tentang perlunya etnografi mengambil jarak kritis terhadap pandangan multikulturalisme yang sekedar bersandarkan pada bentukan (form) etnisitas dan religious."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Sjahrir
"In the context of Indonesia's recent elections, money politics is generally seen in a negative light. The author discusses this issue from the standpoint of economic anthropology, and provides as historical explanation of how monetary system entered the local economic system and to what extent it influences the sociopolitical system. Added to the discussion are comparisons with other systems. She continues to show how political systems are viewed from the anthropological perspective, and ends by explaining the meaning of money politics and its practice in political activities."
1999
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ariel Heryanto
"Kajian kebudayaan dan aliran ilmu sosial dan humaniora konvensional sering digambarkan secara negatif. Dalam artikel ini, penulis membahas suatu paradok. Meski tidak bisa disebut sebagai 'syarat', tradisi kuat dalam ilmu sosial dan humaniora merupakan dasar terbentuknya dan berkembangnya kajian kebudayaan, dan sekaligus menjadi pengkritik utama kajian kebudayaan itu sendiri. Disiplin-disiplin ilmu konvensional tersebut merupakan pihak lainyang signifikan bagi kajian ini; mitra yang menantang dan sekaligus berlawanan yang membantu. Untuk menunjukkan pentingnya paradok tersebut di Indonesia, penulis menggarisbawahi kekhasan yang muncul saat melakukan kajian kebudayaan di Indonesia dibandingkan di "Barat". Penulis juga mengidentifikasi bidang-bidang khusus di mana kajian ini di Indonesia dapat memberikan sumbangan berarti pada usaha-usaha intelektual sejenisnya. Seraya menunggu istilah yang lebih pas, kajian ini memusatkan perhatian pada isu-isu kekerasan politik secara nasional, kaitan politik dan agama yang semakin erat, dan pertumbuhan generasi baru budaya populer yang pesat."
2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Rössler
"Selama 4 dasawarsa kehidupan penduduk Sulawei Selatan mengalami perubahan-perubahan yang radikal karena pengaruh pemerintah kolonial maupun perubahan administratif. Seperti terlihat pada komunitas desa yang diteliti penulis di daerah dataran tinggi Gowa, masuknya Islam setelah 1910 turut mengubah kehidupan keagamaan dan paling penting adalah pemukiman kembali seluruh penduduk desa dari lembah sungai ke jalan utama pada sekitar tahun 1970. Penulis mengkaji tentang prinsip organisasi sosial dan keagamaan setempat, serta berbagai perubahan sosial pada tingkat makro dan mikro. Struktur normatif yang fundamental dari masyarakat setempat dapat dipahami sebagai model abstrak yang didasarkan atas beragam hubungan simbolis antara organisasi sosial dan dunia gaib (supernatural). Model apapun dari suatu komunitas sosial - apakah di formulasikan oleh antropolog atau informan lokal - dalam kenyataan merupakan sutau konstruksi yang didasarkan atas pengamatan dan panafsiran serta diekspresikan dalam bentuk verbal atau tulisan. Model budaya seperti itu dapat tidak sesuai dengan realitas sosial karena kehidupan sosial untuk sebagian besar ditentukan oleh norma-norma yang berbeda, konflik kepentingan dan ketidaksamaan pengetahuan yang dimiliki anggota masyarakat. Penulis berpendapat perlunya mengganti model yang dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat dengan suatu model yang lebih terbuka sebagai titik tolak analisis bagi etnografer, yaitu apa yang disebutnya "open cultural model"."
1991
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bubandt, Nils
"The intention of this article is to discuss the relationship between the processes of fiscal and political decentralization, the outbreak of communal violence, and what I call 'the new politics of tradition' in Indonesia. In 1999 under the President Jusuf Habibie, the Indonesian parliament (DPR) voted in favour of two laws, No. 22 and 25 of 1999, which promised to leave a significant share of state revenues in the hands of the regional governments. Strongly supported by the liberal ideologues of the IMF and the World Bank, the two laws were envisaged within Indonesia as a necessary step towards devolving the centralized power of New Order patrimonialism and as a way of curbing separatism and demands for autonomy by giving the regional governments the constitutional and financial wherewithal to maintain a considerable degree of self-determination. Decentralization was in other words touted as the anti-dote to communal violence and separatist tendencies-an anti-dote administered or at least prescribed by multi-national development agencies in most conflict-prone areas of the world. This paper wishes to probe this idea by looking at the conflict and post-conflict situation in North Maluku. The conflict illustrates how local elites began jockeying for political control in anticipation of decentralization. The process of decentralization is in other words not merely an anti-dote but in some cases an implicated part in the production of violence. One reason for this is simply that the decentralization of financial and political control after three decades of centralization entails a significant shift in the parameters of hegemony-a shift towards which local political entrepreneurs in the regions are bound to react. The new 'politics of tradition' currently emerging in Indonesia is the combined result of changes in global forms of governance, a strong political focus on ethnic and religious identity in the 'era reformasi' and a local willingness to employ these identities to garner support in the new political landscape of decentralization."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leontine Visser
"Walau belum dilaksanakan, pengaruh dari perubahan administrasi pemerintahan di tahun 1999 telah mempengaruhi pemerintah daerah di Papua dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan dampaknya pada perkembangan sosial-ekonomi di tingkat desa. Penelitian di Kabupaten Sorong menunjukkan bagaimana keputusan politik, seperti aturan-aturan pengelolaan hutan disertai dengan kebebasan politik yang lebih besar, menyajikan kesempatan-kesempatan baru bagi pemimpin-pemimpin lokal yang seringkali berasal dari keturunan raja atau bobot/nakohok untuk mengembangkan ketrampilan ekonomi dan kewirausahaannya. Tetapi, hal itu jelas bukan untuk kepentingan 'umum Papua'...[...] Kesenjangan terjadi di antara sesama elit,dan di antara elit dan penduduk. Sebagian besar penduduk pun semakin terpinggirkan. Kesenjangan ini dikategorikan mereka sebagai pelanggaran HAM yang ditujukan pada 'biropatologi' dari aparat pemerintahan propinsi. Bertolak dari hal ini, masa depan tanah Papua yang 'berkelanjutan' merupakan hal yang patut disimak secara seksama."
2001
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
MacDougall, John M.
"Sejak berakhirnya masa kepemimpinan Suharto di Indonesia, pada bulan Mei 1998, media massa dan pemerintah memberikan perlakuan khusus kepada Bali. Di tengah konflik-konflik yang terjadi, Pulau Bali menjadi simbol keamanan dan kerukunan antarumat beragamadi Indonesia. Selama kurun waktu beberapa tahun selanjutnya yang penuh dengan konflik dan konspirasi, kelompok elit dari Ambon, orang-orang Kristen dari Lombok, orang-orang keturunan Cina dari Jakarta, para aktivis Timor Timur, dan puluhan ribu penggangguran dari Jawa mencoba mencari perlindungan di tanah Bali. Campur tangan para partisan partai di tingkat nasional memainkan peran yang penting dan tidak terhindarkan dalam mendefinisi ulang cara orang Bali merekonstruksi identitas budayanya yang amat kuat ditunjang oleh pariwisata dan strategi pembangunan selama Orde Baru. Sayangnya, proses rekonstruksi budaya ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Saat kesempatan untuk reformasi daerah atau partai politik muncul sebagai alternatif yang memungkinkan, eksklusivisme kedaerahan yang justru muncul."
2003
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Goh, Beng Lan
"Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan yang melakukan kajian ulang tentang hubungan-hubungan antara pusat dan periferi, memunculkan pandangan baru yang melihat hubungan keduanya sebagai hubungan yang saling terkait dan tergantung. Pandangan yang mematahkan pemikiran tentang hubungan keduanya sebagai hubungan bersifat hirarkis dan satu arah itu memungkinkan berkembangnya konseptualisasi global dan lokal sebagai proses yang berkelanjutan, tanpa mengutamakan yang satu di atas yang lain. Perkembangan ini memiliki implikasi yang signifikan pada studi tentang masyarakat-masyarakat nonbarat, karena pemikiran-pemikiran itu membuka ruang teoretis yang mengakui nonbarat sebagai pencipta teori dan pengetahuan, daripada hanya sebagai perangkat-perangkat respons terhadap bentuk-bentuk universal. Dalam usaha untuk bertumpu pada orientasi itu, berbagai penelitian masa kini pada masyarakat dan kebudayaan di Asia Tenggara telah mengemukakan perlunya meninggalkan perspektif berorientasi barat dan kapitalisme. Sebaliknya, fokus perhatian ditujukan pada hal-hal khusus tentang ekonomi, kebudayaan, dan kebutuhan-kebutuhan nasional yang menjadi prioritas masyarakat dan kebudayaan itu sendiri. Berkembang minat perhatian yang semakin besar pada sejarah lokal, kebudayaan, dan struktur-struktur sosial, serta kaitannya dengan kekuatan-kekuatan nasional dan global. Kajian ini bertujuan untuk memahami pandangan yang berbeda tentang rasionalitas dan kapitalisme dalam upaya mereproduksi, menerjemahkan, dan mengubah bentuk-bentuk barat/eksternal. Tulisan ini mendiskusikan debat yang muncul dari pendekatan-pendekatan baru tersebut untuk mengkaji ulang lokal dan global sebagai kategori-kategori yang simultan dan saling terkait, yang menjadikan apa yang lokal dan spesifik itu juga sebagai yang global dan komparatif."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2002
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Dzulvan Amir
"
Trust (kepercayaan) adalah konsep dalam ilmu sosial yang sedang naik daun, terutama dengan meningkatnya berbagai identitas kelompok di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya. Apakah hal itu berarti tingkat kepercayaan masyarakat akan institusi berskala besar seperti negara, agama dan ideologi sudah digantikan oleh tingkat yang lebih lokalatau spesifik? Tulisan ini selain bertujuan untuk menjelaskan hubungan konsep trust dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik, juga akan mengaitkannya dengan proses pembentukan identitas kelompok. Dalam tulisan ini diungkapkan bahwa trust adalah sesuatu hal yang dinamis dan historis, yang sangat tergantung pada kondisi, baik sistem normatif maupun struktural. Kedua hal ini perlu diperhatikan dalam perumusan sistem trust dalam kelompok masyarakat mana pun."
1999
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arlette Otino
"
Tulisan ini membahas implikasi dari ikatan-ikatan ritual sebagai suatu sarana kultural yang khusus untuk menjadi bagian dari masyarakat Bali. Dengan menggunakan contoh kasus suatu kelompok asal-mula (origin group) Bali Aga yang memiliki derajat tinggi, yakni Kabayan dari Wangaya Gede di Gunung Batukau, penulis berargumentasi bahwa sebagai suatu dimensi yang melengkapi atau yang menjadi alternatif dari keanggotaan dalam suatu kelompok asal-mula (origin group), subordinasi-ritual (ritual subordination) kepada para pemimpin kelompok itu menghasilkan suatu struktur hirarkhis yang bertentangan dengan ideologi egaliter yang selalu diasosiasikan dengan Bali Aga pada umumnya. Keunikan dari kelompok asal-mula Kabayan ini ialah terstrukturnya kelompok itu seputar suatu garis pusat (garis purusa). Dalam struktur itu, garis keturunan langsung dengan suatu kelompok kekerabatan berdasarkan satu garis keturunan (lineage) dari para pemimpin masa lalu yang memiliki prestige, merupakan hal yang amat penting. Keberadaan warga biasa (warga) yang melaksanakan subordinasi-ritual dalam bentuk masiwa ke garis purusa (memohon air suci yang diperlukan untuk ritualnya) merupakan kriteria yang relevan bagi keanggotaan dalam kelompok. Berdasarkan latar belakang etnografis tersebut, tulisan ini menunjukkan bahwa jauh dari kenyataan sebagai sub-kategori masyarakat Bali yang tidak memiliki penampilan hierarkhis kelompok asal-mula Bali Aga itu justru mewujudkan penampilan yang mirip dengan kelompok-kelompok bangsawan dalam masyarakat Bali umumnya. "
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>