Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alwyn Christanto
"ABSTRAK
Rencana Pitalebar Indonesia RPI 2014-2019 melalui PP. Nomor 96 Tahun 2014 merupakan cita-cita pemerintah mewujudkan Indonesia yang terkoneksi ke jaringan internet dengan target penetrasi 100 urban dan 52 rural terhadap rumah tangga untuk mobile broadband pada tahun 2019. Pengembangan broadband di Indonesia masih terfokus pada daerah padat konsumen, sedangkan daerah yang kurang berkembang tidak diperhatikan oleh operator karena biaya dan resiko investasiyang dinilai tidak seimbang dengan potensi pemasukan. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemanfaatan program seperti Palapa Ring dan penggunaan jaringan secara bersama. Tantangan dalam implementasinya adalah belum adanya model bisnis yang dapat diterapkan oleh operator dan pemerintah.Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap model penyelenggaraan wireless broadband yang dibangun berdasarkan skenario pendanaan broadband menggunakan kajian tekno ekonomi dan analisis risiko. Analisis dilakukan dari sudut pandang Operator Company Operator , Network Company Network company , dan Pemerintah selaku stakeholder pada daerah penelitian Batam sub-urban , Sambas rural , dan Morotai rural .Kajian kelayakan penyelenggaraan wireless broadband menunjukkan bahwa untuk operator dapat menggunakan skenario sewa komponen pasif kepada Network company dan melakukan investasi pada perangkat aktif saja. Sedangkan, Network company dapat menggunakan skenario sharing cost antara Network company, subsidi pemerintah, atau gabungan dari kedua skenario untuk mereduksi biaya investasi. Agar dapat mendatangkan manfaat bagi Pemerintah Daerah, kontribusi subsidi yang dilakukan tidak hanya dibebankan pada Pemerintah Daerah.

ABSTRACT
Indonesia Broadband Plan IBP 2014 2019 through PP. No. 96 Year 2014 is to realize the government 39 s goal that Indonesia are connected to the Internet with network penetration target of 100 urban and 52 rural compared to households for mobile broadband in 2019. The development of broadband in Indonesia is still focused on dense consumer areas, while operators are reluctant to develop services in less densed areas because of high cost and risk of investation, while revenue is not guaranteed. There are some possible solutions, such as the integration of Palapa Ring and network infrastructure sharing. However, no business model available have been implemented by the government and the operators.In this research, analysis of the implementation models of wireless broadband is built based on broadband funding scheme using techno economic assessment and risk analysis. The analysis is done from several point of view Operator Company Operator , Network Company Network company , and the Government as stakeholders in the research area Batam sub urban , Sambas rural , and Morotai rural .Feasibility studies showed that the implementation of fixed broadband from Operator rsquo s view can use the lease passive components scenario at Network company and investing in active devices only. Meanwhile, Network company can use cost sharing between them, government grant, or a combination of both scenarios to reduce investment costs. In order to bring benefits to the Local Government, the contribution of grant do not only charged on Local Government."
2017
T48627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franke Ann Hirt
"ABSTRAK
Kondisi infrastruktur telekomunikasi di Indonesia adalah belum merata. Terbitnya perpres no 96 tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia menjadi kesempatan untuk bisa membangun infrastruktur telekomunikasi dengan menekankan pada coverage dan kualitas. Daerah rural menjadi tujuan utama pembangunan broadband. Metode yang digunakan adalah subsidi beberapa komponen jaringan pada pembangunan BTS dan Ran Sharing dalam tesis ini berfokus pada tower sharing. Dimana model subsidi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditambah dengan metode tower sharing, bias menghasilkan nilan NPV yang layak pada pembangunan BTS di tahun kelima di Kabupaten Buton sudah memungkinkan untuk dicabut subsidinya karena profit cummulative sudah sangat layak secara bisnis. Sementara pembangunan BTS di Kabupaten Morotai, semua scenario pembangunan bernilai positif, sehingga bias disimpulkan bahwa operator tidak perlu subsidi untuk membangun BTS di wilayah Kabupaten Morotai.

ABSTRACT
The condition of the telecommunications infrastructure in Indonesia is not evenly distributed. The isuuance of Presidential Regulation No. 96 of 2014 concerning Indonesian Broadband Plan could be an opportunity to build a telecommunication infrastructure with emphasis on coverage and quality. Rural areas became the main objective of development of broadband. The method used is subsidizing several network components in the construction of BTS and Ran Sharing in this thesis focuses on tower sharing. Where a model of subsidies from the Central Government and Local government coupled with tower sharing method, can generate NPV decent value and on the construction site i the fifth year in Buton already allows for subsidies revoked because cumulative profit already very viable business. As for the construction of base stations in the District of Morotai, all development scenario is positive, so that it can be concluded that operator does not need subsidies to build base station in the district of Morotai.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
T45250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sarah
"Abstrak
Penelitian ini menawarkan solusi untuk akses broadband futuristik di daerah terpencil dan pedesaan dengan pilihan: optimasi LTE; dan perkembangan jaringan pita lebar yang diasumsikan sebagai 5G. Teknologi yang digunakan pada sistem 5G masa depan ialah pemanfaatan frekuensi tinggi, UE-Specific Beamforming, dan Skema Carrier Agregation (CA). Lima klasifikasi dalam implementasi jaringan futuristik: Skenario 1, Single Carrier (SC) LTE 1,8 GHz; Skenario 2, CA LTE 1,8 GHz + 2,6 GHz; Skenario 3, SC 5G 15 GHz; Skenario 4, SC 5G 28 GHz; Skenario 5, CA LTE 1,8 GHz + 5G 15 GHz. Redaman hujan diperhitungkan demi mendapat hasil realistis. Pada wilayah Leuwidamar, Skenario 5 memiliki jumlah BS paling sedikit. Sedangkan di Panimbang, Skenario 3 dan 5 memiliki jumlah BS yang paling sedikit. Namun, jika performansi energi diperhitungkan, Skenario 3 merupakan solusi terbaik. Selanjutnya, jika kita mengimplementasikan Discontinues Transmission (DTX), Skenario 3 dapat memberi kita penghematan energi yang mengesankan, dengan masing-masing penghematan sebesar 97% dan 94% pada daerah Leuwidamar dan Panimbang. Maka, hasil studi menyarankan untuk menggunakan jaringan SC 15 GHz sebagai optimisasi jaringan prospektif masa depan di Leuwidamar dan Panimbang, menimbang tercapainya salah satu target teknis teknologi 5G, yaitu ketersediaan 50 Mbps dimana saja dan kapan saja."
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan SDPPPI Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2018
302 BPT 16:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Afid Kurnia Akbar
"Sebelum melakukan implementasi teknologi, forecasting sebaiknya dilakukan karena merupakan salah satu langkah penting. LTE adalah teknologi yang belum diimplementasikan di Indonesia, namun beberapa operator telah melakukan uji coba. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keadaan-keadaan dalam pengimplementasian teknologi baru ini perlu dilakukan forecasting dengan sebuah perangkat lunak yang dibangun dengan basis Gompertz Curve. Skenario pertumbuhan cepat, sedang, dan lambat telah diujikan dan dianalisis sebagai representasi kemungkinan keadaan yang akan terjadi. Total biaya pembangunan yang didapat untuk skenario cepat periode simulasi 25 tahun masing-masing, USD 1,715,852,847.55 untuk sites 2x2, USD 1,570,136,994.19 untuk sites 4x2, dan USD 1,101,845,586.65 untuk sites 4x4. Total biaya pembangunan yang didapat untuk skenario sedang periode simulasi 25 tahun masing-masing, USD 1,1778,140,595.37 untuk sites 2x2, USD 1,621,703,101.00 untuk sites 4x2, dan USD 1,137,435,839.71 untuk sites 4x4. Total biaya pembangunan yang didapat untuk skenario lambat periode simulasi 25 tahun masing-masing, USD 4,420,105,731.71 untuk sites 2x2, USD 4,028,953,412.22 untuk sites 4x2, dan USD 2,825,590,450.28 untuk sites 4x4.

Forecasting is an essentially recommended steps prior to technological implementation. Trials of LTE technology in Indonesia had been done by some operators upon its implementation. Therefore, a software utilizing Gompertz curve had been developed to anticipate possible conditions for this upcoming technology. Skenarios of rapid, moderate, and slow growth are tested as a representative of possible future conditions. Total development cost for rapid growth rate showed values as USD 1,715,852,847.55 for MIMO 2x2 sites, USD 1,570,136,994.19 for MIMO 4x2 sites, 1,101,845,586.65 for MIMO 4x4 sites. Total development cost for moderate growth rate showed values as USD 1,1778,140,595.37 for MIMO 2x2 sites, USD 1,621,703,101.00 for MIMO 4x2 sites, 1,137,435,839.71 for MIMO 4x4 sites. Total development cost for slow growth rate showed values as USD 4,420,105,731.71 for MIMO 2x2 sites, USD 4,028,953,412.22 for MIMO 4x2 sites, 2,825,590,450.28 for MIMO 4x4 sites."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44681
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdi Arfa
"Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) 2014-2019 melalui PP. Nomor 96 Tahun 2014 merupakan cita-cita pemerintah mewujudkan Indonesia yang terkoneksi ke jaringan internet dengan target penetrasi 71% (urban) dan 49% (rural) terhadap rumah tangga untuk fixed broadband pada tahun 2019. Pengembangan broadband di Indonesia masih terfokus pada mobile broadband, padahal kecepatan broadband ditopang oleh fixed broadband. Salah satu solusi teknologi masa depan fixed broadband yaitu Fiber to The Home (FTTH). Namun, tantangan dalam implementasi fixed broadband adalah tingginya biaya komponen pasif sehingga meningkatkan risiko investasi.
Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap model penyelenggaraan fixed broadband yang dibangun berdasarkan skenario pendanaan broadband menggunakan kajian tekno ekonomi dan analisis risiko. Analisis dilakukan dari sudut pandang Operator Company (OpCo), Network Company (NetCo), dan Pemerintah selaku stakeholder pada daerah penelitian Balikpapan (sub-urban), Denpasar (urban), dan Tangerang Selatan (dense-urban).
Kajian kelayakan penyelenggaraan fixed broadband menunjukkan bahwa untuk OpCo dapat menggunakan skenario sewa komponen pasif kepada NetCo dan melakukan investasi pada perangkat aktif saja. Sedangkan, NetCo dapat menggunakan skenario sharing cost antara NetCo, subsidi pemerintah, atau gabungan dari kedua skenario untuk mereduksi biaya investasi. Agar dapat mendatangkan manfaat bagi Pemerintah Daerah, kontribusi subsidi yang dilakukan tidak hanya dibebankan pada Pemerintah Daerah.

Indonesia Broadband Plan (IBP) 2014-2019 through PP. No. 96 Year 2014 is to realize the government's goal that Indonesia are connected to the Internet with network penetration target of 71% (urban) and 49% (rural) compared to households for fixed broadband in 2019. The development of broadband in Indonesia is still focused on mobile broadband. Actually, broadband speeds is supported by fixed broadband. One of fixed broadband future-proof solution technology is Fiber to The Home (FTTH). However, the challenges in the implementation of fixed broadband is the high cost of passive components that increase the risk of investment.
In this research, analysis of the implementation models of fixed broadband is built based on broadband funding scheme using techno economic assessment and risk analysis. The analysis is done from point of view: Operator Company (OpCo), Network Company (NetCo), and the Government as stakeholders in the research area; Balikpapan (sub-urban), Denpasar (urban), and Tangerang Selatan (dense-urban).
Feasibility studies showed that the implementation of fixed broadband from OpCo?s view can use the lease passive components scenario at NetCo and investing in active devices only. Meanwhile, NetCo can use cost sharing between them, government grant, or a combination of both scenarios to reduce investment costs. In order to bring benefits to the Local Government, the contribution of grant do not only charged on Local Government.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
T45747
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Darmawan Sidik
"ABSTRAK
Implementasi LTE yang menjanjikan dapat memberikan layanan dengan
kecepatan yang lebih baik dari pada teknologi sebelumnya, menuntut
penyelenggara untuk lebih memperhatikan kualitas layanan. Pelanggan
menginginkan adanya jaminan kualitas layanan agar aplikasi yang digunakan
dapat berjalan dengan baik. Disisi lain penyelenggara membutuhkan pendapatan
yang tidak sedikit agar dapat mengembangkan jaringannya dengan kualitas yang
baik. Tarif mempunyai peran yang penting untuk mengoptimalkan pendapatan
penyelenggara dan mengelola sumber daya jaringan. Penyelenggara perlu strategi
pentarifan agar memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk biaya
penyelenggaraan, dan pelanggan mendapatkan kualitas layanan yang baik sesuai
kebutuhan. Model pentarifan dengan pendekatan kualitas layanan akan
memberikan manfaat bagi penyelenggara dan pelanggan. Model pentarifan
dibangun dengan memperhatikan biaya elemen jaringan dan biaya aktivitas
layanan retail yang dikeluarkan oleh penyelenggara, serta pembagian kategori
pelanggan berdasarkan QCI (QoS Class Identifier) yang terdapat pada sistem
LTE. Diharapkan dengan model pentarifan tersebut dapat digunakan menjadi
dasar dalam strategi pentarifan bagi penyelenggara dan sebagai masukan dalam
pengambilan keputusan bagi penyelenggara dan masyarakat.

ABSTRACT
Implementation of LTE that promises to provide services at a better speed than
the previous technology, requires operators to pay more attention to quality of
service. Users want the guarantee of quality of service in order to use
applications that can run well. On the other hand the operators require revenue in
order to develop its network with good quality. Pricing have an important role to
optimize operator?s revenue and manage network resources. The operators need
the pricing strategy in order to get enough revenue to costs, and users get good
quality of service as needed. Pricing models with approach the quality of service
will provide benefits for the operators and users. The pricing models are built
with attention to the network elements cost and retail services activity cost
incurred by the operators, as well as the distribution of categories of customers
based on QCI (QoS Class Identifier) in the LTE system. The pricing model can be
used as pricing strategy for the operators and as an input in the decision making
for operators and the public."
2015
T47148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yacob Sapan Panggau
"

Infrastruktur akses broadband belum dapat menjangkau 100% wilayah Indonesia. Pembangunan infrastruktur akses,  khususnya fixed broadband belum merata dan belum dapat menjangkau pelosok terpencil sepenuhnya. Pembangunan akses infrastruktur broadband menggunakan teknologi serat optik, teresterial, maupun seluler tidak dapat dilaksanakan karena tidak layak secara bisnis, terlebih untuk kondisi daerah rural dengan kepadatan pelanggan rendah dan lokasi tersebar. Teknologi High throughput satellite (HTS) dan subsidi merupakan solusi bagi negara-negara Uni Eropa dalam menjangkau 100% wilayahnya. High throughput satellite dan subsidi merupakan hal baru dan berisiko bagi Pemerintah Indonesia, Operator, dan Service Provider. Pemerintah Indonesia berinisiatif menyelenggarakan layanan akses satelit menggunakan HTS melalui model Kerjasama Pemerintah Badan Usaha. Bentuk-bentuk Kerjasama Pemerintah Badan Usaha perlu disepakati antara Pemerintah, Operator dan Service Provider. Tesis ini menilai dampak biaya bagi Pemerintah dan kelayakan bisnis dari sudut pandang Operator, Service Provider dan Konsorsium dalam membangun HTS pada orbit plan band (7 Gbps) dan orbit asumsi Ka band (65 Gbps) pada Skenario Availability Payment dan Skenario Forecasting. Dampak biaya dan kelayakan bisnis akan dihitung menggunakan metode tekno ekonomi. Hasil penelitan menunjukkan bahwa dengan pelunasan VSAT selama 5 tahun semua skenario, baik Skenario Availability Payment maupun Skenario Forecasting akan bernilai layak. Skenario yang paling menguntungkan Operator untuk pembayaran pembangunan satelit adalah Skenario Availability Payment Decline. Sementara, skenario yang paling optimal bagi Service Provider dan Pemerintah untuk pembayaran layanan satelit didukung subsidi adalah Skenario Forecasting dengan pelunasan instalasi VSAT maksimal 5 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan jaringan akses satelit setiap tahunnya mencapai Rp 1,65 trilliun - Rp 2,81 trilliun untuk satelit 7 Gbps, dan Rp 4,88 trilliun – Rp 9,59 trilliun untuk satelit 65 Gbps untuk satelit 65 Gbps


Broadband access infrastructure in Indonesia cannot cover 100% of its territory. The development of access infrastructure, especially fixed broadband has not been evenly distributed and able to reach remote areas completely. Development of broadband infrastructure access using fiber optic, terrestrial and cellular technology cannot be implemented because it is not feasible on business basis, especially for rural conditions with low customer density and scattered locations. High throughput satellite (HTS) technology and subsidies are a solution for EU countries to reach 100% of their territory.  The development of High throughput satellite and subsidies are a new thing and risky for the Government of Indonesia, Operator and Service Provider. The Indonesian government took the initiative to organize satellite access services using HTS through Joint Venture Public private patnership. The forms of Joint Venture Public private patnership need to be agreed upon between the Government, Operators and Service Providers. This thesis assesses the impact of costs for the Government and business feasibility from the point of view of Operators, Service Providers and Consortiums in building HTS on plan band orbit (7 Gbps) and orbit assumptions on Ka band (65 Gbps) in  Availability Payment and Forecasting Skenarios. The cost effects and business feasibility will be assessed using techno-economic method. The results of the study show that with the rePayment of VSAT for 5 years, all skenarios, both the Availability Payment and Forecasting Skenarios will be worthy. The most favorable skenario for the operator to get pay for satellite construction is Decline Availability Payment Skenario. Meanwhile, the most optimal skenario for Service Providers and the Government,  to get pay for satellite services supported by subsidies is the Forecasting Skenario with a maximum rePayment of VSAT installation for 5 years. The costs required to conduct satellite access networks each year reach Rp 1.65 trillion - Rp 2.81 trillion for 7 Gbps satellites, and Rp 4.88 trillion - Rp 9.59 trillion for 65 Gbps satellites.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T51901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, May Hendra
"Fixed Wireless Access (FWA) adalah salah satu kasus penggunaan populer di 5G, yang diharapkan dapat menggantikan layanan internet konvensional. Namun, implementasi jaringan telekomunikasi membutuhkan modal besar, sehingga harus dilakukan secara hati-hati untuk meminimalkan resiko. Secara umum, investasi jaringan dinilai dengan metode Net Present Value (NPV) standar. Ketika NPV positif, maka infrastruktur tersebut menguntungkan. Namun, NPV mungkin tidak akan seperti yang diharapkan karena ketidakpastian di masa depan. Salah satunya adalah jumlah pelanggan. Penelitian ini mengusulkan penggunaan Real Option (RO) dengan metode decision tree dan model Black Scholes untuk menganalisis implementasi jaringan FWA di kawasan urban. Dari hasil penelitian, metode NPV standar menghasilkan Expected NPV positif sebesar IDR 2.297.625.000. Namun, terdapat resiko sebesar 33% bahwa NPV akan menjadi IDR -6.093.690.000. Dengan menggunakan decision tree, memiliki pilihan untuk menunda pembangunan FWA selama satu sampai tiga tahun pembangunan FWA dapat dibatalkan apabila menghasilkan NPV negatif dan semua nilai ENPV yang lebih besar daripada tanpa pilihan untuk menunda pembangunan dimana penundaan pembaangunan FWA paling baik dengan pilihan menunda selama satu tahun. Nilai ENPV apabila terdapat pilihan untuk menunda pembangunan FWA yakni IDR 3.750.570.000 ketika menunda selama satu tahun, IDR 3.252.630.000 ketika menunda selama dua tahun, dan IDR 2.825.565.000 ketika menunda selama tiga tahun. Hasil dari metode model Black Scholes juga memiliki nilai ENPV yang lebih besar dari pada tidak memiliki pilihan untuk menunda pembangunan FWA dimana nilai ENPV paling besar apabila pembangunan dapat ditunda selama tiga tahun. Nilai ENPV dari model Black Scholes yakni: IDR 3.310.020.000 untuk penundaan pembangunan selama satu tahun, IDR 3.191.115.150 untuk penundaan pembangunan selama dua tahun, dan IDR 4.654.239.750 untuk penundaan pembangunan selama tiga tahun

Fixed Wireless Access (FWA) is one of the popular use cases in 5G, which is expected to replace conventional internet services. However, the implementation of telecommunications networks requires large capital, so it must be done carefully to minimize risks. In general, network investments are valued by the standard Net Present Value (NPV) method. When the NPV is positive, the infrastructure is profitable. However, the NPV may not be as expected due to future uncertainties. One of them is the number of customers. This study proposes the use of Real Option (RO) with the decision tree method and the Black Scholes model to analyze the implementation of the FWA network in urban areas. From the research results, the standard NPV method produces a positive Expected NPV of IDR 2,297,625,000. However, there is a 33% risk that the NPV will be IDR -6,093,690,000. By using the decision tree, having the option to delay the construction of the FWA for one to three years, the construction of the FWA can be canceled if it produces a negative NPV and still result all ENPV values are greater than without the option to postpone the construction where delaying the construction of the FWA is best with the option of delaying for one year. The ENPV value if there is an option to postpone the construction of the FWA is IDR 3,750,570,000 when delaying for one year, IDR 3,252,630,000 when delaying for two years, and IDR 2,825,565,000 when delaying for three years. The results of the Black Scholes model method also have a greater ENPV value than not having the option of delaying the construction of the FWA where the ENPV value is greatest if the construction can be delayed for three years. The ENPV values of the Black Scholes model are: IDR 3,310,020,000 for a one-year implementation delay, IDR 3,191,115,150 for a two-year implementation delay, and IDR 4,654,239,750 for a three-year implementation delay."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Rizkyutami Witjaksono
"Di era digital, internet sudah menjadi komoditas hidup bagi manusia, hingga PBB memutuskan bahwa konektivitas internet merupakan bagian dari hak asasi manusia, namun hingga saat ini, sekitar setengah dari penduduk dunia masih belum terhubung dengan koneksi internet, dan mereka yang belum terhubung ternyata tinggal di daerah rural, dimana penyelenggaraan internet konvensional membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Teknologi TV Whitespace merupakan salah satu teknologi alternatif untuk menyediakan internet di daerah rural, dimana internet ditransmisikan pada spektrum frekuensi yang tidak dipakai. Skripsi ini membahas tentang teknologi TV Whitespace, standar yang digunakan yaitu standar IEEE 802.22 dan kebijakan dari FCC beserta analisisnya berdasarkan simulasi yang dilakukan di Indonesia. Analisis teknologi TV Whitespace pada skripsi ini dibagi menjadi dua, yaitu dari ketersediaan kanal maksimum dan analisis interferensi WSD terhadap DTT. Simulasi dilakukan di Pulau Bali yang sebagian dari kabupatennya masih merupakan daerah rural. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketersediaan kanal maksimum terbesar di Bali berada pada bagian barat dan WSD yang didesain di suatu area sampel di Bali tidak menginterferensi cakupan dari DTT yang sudah ada.

In the digital era, internet has become humanity rsquo s necessity, to the point where UN stated that internet connectivity is the right of human being. Unfortunately, half of the world population have not been connected to the internet yet, and studies found that those who haven rsquo t live in rural area, where traditional internet service will be very costly. TV Whitespace technology is one of the alternative to provide internet in rural areas, where internet is transmitted with unused frequency spectrum. This thesis explains about TV Whitespace rsquo s technology itself, existing standards, that is IEEE 802.22 standard and FCC rsquo s policy along with its analysis based on the simulation conducted in Indonesia. The TV Whitespace technology analysis in this thesis is divided into two the maximum channel availability and WSD interference toward DTT analysis. The simulation is conducted in Bali Island where some of its regencies are still categorized as rural areas. Simulation results show that the maximum channel availability in Bali is located at its western side and the WSDs designed in a certain sample area in Bali don rsquo t interfere with the already existing DTT rsquo s coverage.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priambada Aryaguna
"ABSTRAK
Spektrum frekuensi 700 MHz merupakan salah satu kandidat spektrum untuk layanan LTE di Indonesia. Pada awalnya spektrum ini digunakan untuk siaran televisi analog. Setelah periode peralihan digital, ada potensi 108 MHz bandwith yang dapat digunakan akibat transformasi penyiaran TV digital dan kemudian disebut digital dividen. Pada penelitian ini, sebuah model pertumbuhan digunakan untuk memperkirakan kebutuhan spektrum frekuensi untuk LTE. Makalah ini membahas perhitungan kebutuhan spektrum frekuensi untuk layanan LTE dalam parameter seperti kepadatan penduduk, jenis area dimana LTE digunakan, dan penetrasi pelanggan. Kami menggunakan model difusi Bass untuk menghitung kebutuhan spektrum di jaringan LTE. Dalam penelitian ini ada dua kandidat spektrum frekuensi yang dapat digunakan, namun dengan karakteristik dan permasalahannya sendiri. Untuk spektrum dibawah 1 GHz, ada bandwith 25 MHz di kisaran spektrum frekuensi 800 MHz yang masih digunakan untuk layanan CDMA sampai saat ini. Spektrum 900 MHz juga memiliki bandwith 25 MHz, namun tetap digunakan untuk layanan GSM. Spektrum frekuensi lainnya, 1900 MHz dan 2100 MHz masing-masing lebar 26 dan 60 MHz, masih digunakan untuk teknologi WCDMA dan penggunaannya masih sangat tinggi."
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan SDPPPI Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2017
302 BPT 15:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>