Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175312 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Icut Diki Adestia Putri
"Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi telah menggunakan seftriakson baik generik maupun bermerek dagang sebagai lini pertama terapi demam tifoid sejak tahun 2012 berdasarkan pola kepekaan antibiotik RS tersebut. Perbedaan harga yang signifikan antara kedua jenis seftriakson mendorong berlangsungnya penelitian ini. Analisis efektivitas-biaya AEB dilakukan untuk mengukur dan membandingkan efektivitas serta biaya antara kedua jenis pengobatan sehingga dapat menentukan jenis pengobatan yang lebih cost-effective. Penelitian berupa penelitian analitik cross-sectional secara retrospektif yaitu data penggunaan seftriakson sebagai terapi untuk pasien anak demam tifoid pada tahun 2016 dengan metode total sampling. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data peresepan dan data keuangan dari sistem informasi manajemen rumah sakit. Sampel yang dilibatkan dalam analisis adalah sebanyak 63 pasien, yaitu 43 pasien kelompok seftriakson generik dan 20 pasien kelompok seftriakson bermerek dagang. Efektivitas pengobatan diukur berdasarkan lama hari rawat. Biaya didapatkan dari median total biaya pengobatan, meliputi biaya obat, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan, biaya pelayanan dan biaya rawat inap. Berdasarkan hasil penelitian, efektivitas seftriakson generik setara dengan seftriakson bermerek dagang dengan median lama hari rawat sebesar 4 hari. Hasil penelitian yang dinyatakan dalam rasio efektifitas biaya REB menunjukkan bahwa seftriakson generik REB: Rp.575.937,25/hari lebih cost-effective dibandingkan seftriakson bermerek dagang REB: Rp.888.601,75/hari.

Karya Bhakti Pratiwi Hospital has been using generic ceftriaxone and branded ceftriaxone for typhoid fever first line therapy in pediatric patients since 2012. The significant difference in the cost of both ceftriaxone type encouraged researcher to perform Cost effectiveness analysis CEA . CEA was performed to measure and compare the effectivity and the cost of the two kinds of therapy so the more cost effective therapy can be determined. The study design was a cross sectional ndash analytical study. Data were collected retrospectively with total sampling method. The data consisted of prescribing data and administrative financial data. The number of samples were 63 patients, consisted of 43 patients with generics ceftriaxone and 20 patients with branded ceftriaxone. The effectiveness of the therapy were measured as length of stay of the patients. The total cost of therapy was the median of summed calculation of cost of drugs, cost of laborartory examination, cost of medical devices usage, cost of physician service, and cost of hospitalization. The results of this study shows that the effectiveness of both generics and branded ceftriaxone was 4 days of stay. The analysis result as cost effectiveness ratio showed that generics ceftriaxone CER Rp.575,937.25 day is more cost effective than branded ceftriaxone CER Rp.888,601.75 day."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Sari Purbandini
"ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pilihan terapi demam tifoid yang bisa digunakan antara lain adalah antibiotik seftriakson, siprofloksasin, dan sefoperazon. Evaluasi penggunaan obat tersebut tidak hanya dilihat secara klinis, tapi juga secara farmakoekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas-biaya seftriakson dan non-seftriakson dalam pengobatan demam tifoid. Metode penelitian ini menggunakan metode analisis efektivitas-biaya AEB . Data diambil secara retrospektif dan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dengan melihat catatan rekam medik dan sistem informasi rumah sakit. Pasien yang menjadi sampel penelitian adalah pasien murni demam tifoid dan menggunakan antibiotik seftriakson atau non-seftriakson pada tahun 2016 di RSUD Cengkareng. Sampel yang dilibatkan dalam analisis sebanyak 15 pasien, yaitu 10 pasien kelompok seftriakson dan 5 pasien kelompok non-seftriakson. Efektivitas pengobatan diukur dalam efektivitas persentase pasien dengan lama hari rawat kurang dari sama dengan 5 hari . Biaya didapatkan dari median total biaya pengobatan, meliputi biaya obat, biaya alat kesehatan, biaya obat lain, biaya cek laboratorium, biaya tindakan, biaya jasa dokter, serta biaya kamar rawat. Berdasarkan hasil penelitian, efektivitas seftriakson 66,67 lebih besar dibandingkan efektivitas non-seftriakson 33,33 . Total biaya pengobatan seftriakson lebih rendah Rp 1.929.355,00 dibandingkan non-seftriakson Rp 2.787.003,00 . Nilai rasio efektivitas-biaya REB seftriakson lebih rendah Rp 28.938,88/ efektivitas dibandingkan non-seftriakson Rp 83.618,45/ efektivitas . Hasil akhir menunjukkan bahwa seftriakson lebih cost-effective dibandingkan non-seftriakson.

ABSTRAK
Typhoid fever is caused by bacterial infection Salmonella typhi or Salmonella paratyphi. Typhoid fever treatment which can be used such as ceftriaxone, ciprofloxacin, and cefoperazone. The evaluation of drugs not only seen by clinical aspect but also from economic aspect. The study aimed to evaluate the cost effectiveness of ceftriaxone and non ceftriaxone for typhoid fever patients. Cost effectiveness analysis CEA was chosen to be the method of this study. Data were taken retrospectively and sampling was done using total sampling based on medical records and hospital information systems. Patients who become the samples are patients diagnosed typhoid fever only and use ceftriaxone or non ceftriaxone as the antibiotics. The number of samples were 15 patients, which included 10 patients used ceftriaxone and 5 patients used non ceftriaxone. The effectiveness is measured by effectiveness percentage of LOS less than or equal to 5 days . The cost is median of total cost, summed from the cost of drug, other drugs, medical devices, laboratory tests, physician, healthcare services, and hospitalization. Based on result study, the effectiveness of ceftriaxone 66.67 is greater than non ceftriaxone 33.33 . Total cost of ceftriaxone Rp 1,929,355.00 is less expensive than non ceftriaxone Rp 2,787,003.00 . Average cost effectiveness ratio ACER of ceftriaxone Rp 28,938.88 effectiveness is lower than non ceftriaxone Rp 83,618.45 effectiveness . The final result showed that ceftriaxone is more cost effective than non ceftriaxone. "
2017
S69258
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Putri
"Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi menggunakan seftriakson dan levofloksasin sebagai pilihan terapi utama berdasarkan pengalaman klinis pada pasien pneumonia komunitas dewasa rawat inap. Perbedaan biaya antara kedua obat ini menjadi alasan berlangsungnya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis efektivitas-biaya AEB dari seftriakson dan levofloksasin sehingga diperoleh pengobatan yang lebih efektif-biaya. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan data sekunder berupa data peresepan dan data administrasi biaya pasien pneumonia rawat inap tahun 2017 yang berasal dari Sistem Informasi Rumah Sakit. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Sampel yang dilibatkan pada penelitian ini sebanyak 33 pasien, yaitu 23 pasien menggunakan seftriakson dan 10 pasien menggunakan levofloksasin.
Efektivitas pengobatan diukur berdasarkan lama hari rawat. Biaya diperoleh dari median total biaya pengbatan yang berasal dari biaya obat utama, biaya obat lain, biaya obat penyakit penyerta, biaya alat kesehatan, biaya laboratorium, biaya radiologi, biaya fisioterapi, biaya pelayanan, biaya administrasi, dan biaya rawat inap. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata lama hari rawat pasien yang menggunakan seftriakson adalah 3,43 hari dan levofloksasin 3,50 hari dan tidak terdapat perbedaan signifikan pada analisis Mann-Whitney p=0,440. Median total baya pengobatan seftriakson sebesar Rp2.183.356,54 lebih murah dibandingkan levofloksasin Rp2.819.895,56. Seftriakson secara umum memiliki nilai REB sebesar Rp636.547,10/hari lebih efektif-biaya dibandingkan levofloksasin dengan nilai REB: Rp805.684,40/hari.

Karya Bhakti Pratiwi Hospital has been using ceftriaxone and levofloxacin as the empirical therapy option in community acquired pneumonia in adult patients. The difference in the cost between these two drugs encouraged researcher to perform Cost effectiveness analysis CEA to obtain more cost effective treatment. The study design was a cross sectional, data were collected retrospectively with total sampling method using data from the prescribing data and administrative financial data of inpatient pneumonia in 2017 from Hospital Information System. The number of samples were 33 patients, consisted of 23 patients using ceftriaxone and 10 patients using levofloxacin.
The effectiveness of treatment has measured by the length of stay. The total costs therapy were obtained from the median total cost from major drug costs, other drug costs, medical equipment costs, laboratory costs, radiology costs, physiotherapy costs, service fees cost, administrative costs, and hospitalization costs. Based on the results of the study, the efficacy of ceftriaxone with an average length of stay was 3.43 days and levofloxacin 3.50 days. The median total costs therapy of ceftriaxone was cheaper Rp2,183,356.54 than levofloxacin Rp2,819,895.56. The result shows that ceftriaxone generally REB Rp 636.547,10 day more cost effective than levofloxacin REB Rp805,684.40 day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mitani Nur Alfaini
"Demam tifoid menduduki peringkat ke-2 sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2014 sebanyak 81.116 (3,15%). Prinsip penatalaksaan demam tifoid di Indonesia meliputi istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suporatif), serta pemberian antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah kloramfenikol injeksi (lini pertama) dan seftriakson injeksi (lini kedua). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya terapi kloramfenikol injeksi dan seftriakson injeksi pada pasien anak demam tifoid rawat inap di RSUD Ciawi tahun 2019-2021. Penelitiaan ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi cross-sectional menggunakan teknik pengambilan data secara retrospektif. Populasi penelitian ini adalah 957 pasien rawat inap yang terdiagnosis demam tifoid di RSUD Ciawi pada Tahun 2019-2021. Sampel penelitian ini adalah 66 pasien dengan terapi seftriakson injeksi dan 66 pasien dengan terapi kloramfenikol injeksi sesuai dengan jumlah minimum sampel. Data diambil dari rekam medis pasien berupa usia, jenis kelamin dan durasi rawat inap pasien. Biaya dilihat dari perspektif rumah sakit menggunakan total biaya medis langsung yang meliputi biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan, biaya jasa tenaga kesehatan, biaya kamar, dan biaya administrasi. Berdasarkan perhitungan REB, kelompok terapi kloramfenikol injeksi memiliki rasio efektivitas biaya lebih tinggi sebesar Rp 2.710.452,15 / lama rawat inap dibandingkan kelompok terapi seftriakson injeksi sebesar 2.029.402,12 / lama rawat inap. Berdasarkan perhitungan RIEB, pemilihan terapi seftriakson injeksi akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 3.239,6281 untuk peningkatan 1 unit efektivitas.

Typhoid fever is occupied on the second rank as the most common disease found in hospitalized patients with a total of 81,116 cases (3.15%) in 2014. Typhoid fever management principle includes the rest and treatment, diet and supportive therapy (both symptomatic and supportive), and administration of antibiotics. The antibiotics used were chloramphenicol (first line) and ceftriaxone (second line) injection. This study aims to analyze the cost-effectiveness of chloramphenicol and ceftriaxone injection therapy in typhoid fever patients hospitalized at Ciawi Hospital in 2019-2021. This research is an observational study with a cross-sectional design using retrospective data collection techniques. The population of this study was 957 inpatients diagnosed with typhoid fever at Ciawi Hospital in 2019-2021. The sample of this study were 66 patients with injection ceftriaxone therapy and 66 patients with chloramphenicol injection therapy according to the minimum number of samples. The data collected the medical records of pediatric typhoid fever inpatients consist of age, gender, and length of stay (LoS). Costs with a hospital perspective using total direct medical costs which include drug costs, other drug costs, laboratory costs, medical equipment costs, health worker service fees, room costs, and administrative costs. Based on REB calculations, the chloramphenicol injection therapy group had a higher cost-effectiveness ratio IDR2,710,452.15 / unit effectiveness compared to the ceftriaxone injection therapy group IDR2,029,402.12 / unit effectiveness. Based on the RIEB calculation, the selection of injection ceftriaxone therapy will require an additional cost of Rp. 323,962.81 to increase 1 unit effectiveness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jade Nugrahaningtyas Liswono
"Kejadian infeksi pasca pembedahan dan pasca kemoterapi pada pasien kanker payudara dapat memperpanjang lama rawat inap sehingga meningkatkan biaya kesehatan. Meningkatnya biaya pengeluaran kesehatan mendorong adanya evaluasi ekonomi. Analisis efektivitas-biaya (AEB) sebagai salah metode farmakoekonomi penting dilakukan untuk membandingkan antibiotik yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan total biaya penggunaan, efektivitas seftriakson generik A dan B, dan menentukan seftriakson yang lebih cost-effective untuk pasien kanker payudara di RS Kanker Dharmais tahun 2012.
Desain penelitian ini adalah non eksperimental dengan studi perbandingan dan pengambilan data secara retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis dan Sistem Informasi Rumah Sakit RS Kanker Dharmais. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Jumlah sampel sebanyak 16 pasien untuk seftriakson generik A dan 8 pasien untuk generik B.Efektivitas seftriakson pada indikasi pasca pembedahan untuk generik A sebesar 2,5 hari dan untuk generik B sebesar 1,0 hari, sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi untuk generik sebesar 4,0 hari dan untuk generik B sebesar 9,5 hari.
Total biaya penggunaan seftriakson pada indikasi pasca pembedahan untuk generik A sebesar Rp 4.384.448,00 dan untuk generik B sebesar Rp 3.397.952,00,sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi untuk generik A sebesar Rp2.284.655,00 dan untuk generik B sebesar Rp 11.195.270,00. Berdasarkan AEB,pada indikasi pasca pembedahan diperoleh hasil seftriakson generik B lebih costeffective daripada generik A, sedangkan pada indikasi pasca kemoterapi diperoleh hasil seftriakson generik A lebih cost-effective daripada generik B.

The incidence of post-surgery and post-chemotherapy infections in breast cancer patients prolonged the hospitalization days leading to the increase of health costs.The increasing health expenditure demanded the use of economic evaluation.Cost-effectiveness analysis (CEA) as one of pharmacoeconomics methods was important to compare the usage of antibiotics. The purposes of this research were to compare total cost and effectiveness of using generic ceftriaxone A and B, and to decide which ceftriaxone that was more cost-effective in breast cancer patients in Dharmais Cancer Hospital during 2012. Effectiveness was measured as ceftriaxone-using days, meanwhile cost was measured as total direct medical cost.
The research design was non experimental with comparative study and retrospective data were collected from medical records and hospital information systems of Dharmais Cancer Hospital. Samples were taken by using total sampling method. There were 6 patients using generic ceftriaxone A and 8 generic ceftriaxone B. Effectiveness of ceftriaxone for post-surgery indication in generic ceftriaxone A was 2,5 days and in generic B was 1,0 days, meanwhile for postchemotherapy indication in generic A was used 4,0 days and in generic B was 9,5 days.
Total direct medical cost of ceftriaxone for post-surgery indication in generic A and B, respectively Rp 4.384.448,00 and Rp 3.397.952,00, meanwhile for post-chemotherapy indication in generic A and B, respectively Rp 2.284.655,00 and Rp 11.195.270,00. According to CEA result, it could be concluded that generic ceftriaxone B was more cost-effective than A for postsurgery indication, meanwhile generic ceftriaxone A was more cost-effective than B for post-chemotherapy indication.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46690
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Icang Khairani
"Penyakit pneumonia adalah salah satu penyebab utama kematian pada anak di dunia. Kasus kematian anak di Indonesia yang diakibat oleh pneumonia diperkirakan mencapai 23,6 . Antibiotik memiliki peran penting dalam terapi pengobatan pneumonia. Pemberian ampisilin dan seftriakson direkomendasikan untuk pasien pneumonia anak. Analisis Efektivitas Biaya AEB merupakan salah satu metode farmakoekonomi untuk mengetahui obat yang efektif dengan biaya terkecil. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan total biaya medis langsung dan efektivitas yang ditinjau dari lama hari rawat pasien yang menggunakan ampisilin dan seftriakson. Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan studi penelitian cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap data sekunder pasien dan data keuangan pasien pneumonia anak di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta Tahun 2016. Pengambilan sampel dilkakukan secara total sampling. Jumlah pasien dalam analisis sebanyak 21 pasien, yaitu 8 pasien menggunakan ampisilin dan 13 pasien menggunakan seftriakson. Median total biaya medis antara ampisilin dan seftriakson berturut-turut sebesar Rp 2.717.075,00 dan. Rp 3.333.750,00. Median lama hari rawat ampisilin dan seftriakson berturut-turut 5,5 hari dan 6 hari. Berdasarkan AEB menunjukkan bahwa ampisilin lebih cost-effective dibandingkan seftriakson.

Pneumonia is one of the leading causes of death in children in the world. The case of child mortality in Indonesia caused by pneumonia is estimated at 23.6 . Antibiotics have an important role in the treatment of pneumonia therapy. Provision of ampicillin and ceftriaxone is recommended for pediatric pneumonia patients. Cost Effectiveness Analysis AEB is one of the pharmacoeconomic methods to find out the effective drug with the smallest cost. This study was conducted to compare the total direct medical cost and effectiveness, which was measured from length of stay LOS , of ampicillin and ceftriaxone usage. The research design used was non experimental with cross sectional study. Retrospective data retrieval was performed on patient secondary data and financial data of child pneumonia patient at Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta in 2016. Samples were taken by using total sampling method. The number of patients in the analysis were 21 patients, which included 8 patients with ampicillin and 13 patients with ceftriaxone. Median total medical costs between ampicillin and ceftriaxone were respectively Rp 2,717,075.00 and. Rp 3,333,750.00. Median duration of day of ampicillin and ceftriaxone consecutive 5.5 days and 6 days. An AEB shows that ampicillin is more cost effective than ceftriaxone.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afi Fauziyah Darajat
"Angiotensin Converting Enzyme ACE Inhibitor merupakan salah satu golongan obat hipertensi sehingga perlu dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, selain itu adanya kemungkinan pasien memiliki komorbiditas juga tinggi sehingga terdapat kemungkinan meningkatnya potensi interaksi obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi obat golongan ACE Inhibitor pada pasien hipertensi di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi periode Juli ndash; Desember 2016. Jenis penelitian ini adalah deskriptif-analitik dengan metode cross sectional pada data resep dan rekam medis pasien rawat inap periode Juli ndash; Desember 2016 yang mendapat obat hipertensi golongan ACE Inhibitor dengan satu atau lebih item obat lain, termasuk antihipertensi lainnya yang dipilih dengan metode purposive sampling. Analisis dilakukan terhadap 120 lembar resep dari 71 pasien.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa obat-obat ACE Inhibitor memiliki potensi interaksi dengan obat lain pada 75 lembar resep 53,96 dengan total kasus interaksi sebanyak 139 kasus terdiri dari 52 kasus interaksi mayor dan 87 kasus interaksi moderat. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan adanya hubungan antara polifarmasi dengan potensi interaksi obat p < 0,05 dan tidak ada hubungan antara jenis kelamin serta patofisiologi dengan potensi interaksi obat p > 0,05 dari uji Chi-Square. Hubungan usia dengan potensi interaksi obat juga tidak bermakna signifikan berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis p > 0,05.

Angiotensin Converting Enzyme ACE Inhibitor as an antihypertensive drugs need to be consumed for long periods of time and there might be comorbidities among the patients so that increased the risk of drug interaction. This study aimed to analyse the drug interaction of ACE Inhibitor in hypertensive patients at Karya Bhakti Pratiwi period of July ndash December 2016. This was an analytical descriptive cross sectional study on prescriptions and medical records of hospitalized patients period July ndash December 2016 who got ACE Inhibitor with one or more other drugs, include other antihypertensive drugs, which were selected by purposive sampling method. The analysis was conducted on 120 prescriptions from 71 patients.
This study concluded that ACE Inhibitor had a potential drug interactions with other drugs on 75 prescriptions 53,96, with total of 139 cases, consisiting of 52 cases of major interaction and 87 cases of moderate interaction. Mann Whitney test showed that there was a significant relationship between polypharmacy with potential drug interactions p 0,05 and there was no significant relationship between gender and patofisiology with potential drug interactions p 0,05 on Chi Square test. There was no significant relationship between age with potential drug interactions based on Kruskal Wallis test p 0,05.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S69308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adzkia Dhiarahma
"Diare merupakan peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan konsistensi tinja yang cair dibandingkan dengan kondisi normalnya. Diare salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Penggunaan obat diare harus secara rasional dan komprehensif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan obat diare pada pasien anak di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien rawat jalan dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit SIMRS.
Analisis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan metode Anatomical Therapeutical Chemical/ Defined Daily Dose ATC/DDD. Sampel adalah pasien anak yang diresepkan obat diare periode Januari hingga Desember 2016.
Berdasarkan hasil analisis, karakteristik pasien diare terbanyak berjenis kelamin laki - laki dan usia yang paling banyak terinfeksi adalah usia 1 hingga 3 tahun. Kuantitas obat diare yang digunakan yaitu zink 0,83 DDD/1000 pasien/hari, sefiksim 0,41 DDD/1000 pasien/hari, kotrimoksazol 0,19 DDD/1000 pasien/ hari, loperamid 0,09 DDD/1000 pasien/hari, dan metronidazol 0,02 DDD/1000 pasien/hari. Obat diare yang menyusun segmen DU90 yaitu zink 53,74, sefiksim 26,69, dan kotrimoksazol 12,1. Penggunaan obat diare di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi tahun 2016 sesuai dengan formularium rumah sakit 100.

Diarrhea is excessively frequent passage of stools at least three time per day and decreased consistency of fecal discharge as compared with an individual rsquo s normal bowel pattern. Diarrhea is one of the main cause of morbility and mortility of child in developing country. Drug utilization of diarrhea should be rational and comprehensive.
This research aimed to evaluate the usage of diarrhea medicine in pediatric outpatient Karya Bhakti Pratiwi Hospital in 2016. The study design was cross sectional and data was collected retrospectively from outpatient prescriptions and Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit SIMRS.
The analysis was done through quantitative and qualitative using ATC DDD Anatomical Therapeutical Chemical Defined Daily Dose method. Samples were pediatric patients who prescribed diarrhea drugs for period January to December 2016.
Based on the analysis, the characteristics of diarrhea patients were mostly in male and the most infected patient was in age of 1 to 3 years. Quantity of drug utilization of diarrhea drugs are zinc 0,83 DDD 1000 patients days, cefixime 0,41 DDD 1000 patients days, cotrimoxazole 0,19 DDD 1000 patients days, loperamid 0,09 DDD 1000 patients days, and metronidazole 0,02 DDD 1000 patients days. Diarrhea drugs made up the DU90 were zinc 53,74, cefixime 26,69, and cotrimoxazole 12,1. The uses of diarrhea drugs in Karya Bhakti Pratiwi Hospital 2016 is compliance with Hospital Formulary 10.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68800
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nur Fa'izah
"Pneumonia komunitas merupakan peradangan akut pada parenkim paru yang bersumber dari masyarakat dengan tingkat mortalitas, morbiditas, dan beban biaya yang tinggi terutama pada pasien rawat inap. Rata-rata biaya yang dibutuhkan bagi pasien pneumonia komunitas di Indonesia dalam satu periode rawat inap kurang-lebih mencapai Rp11.877.120. Pemilihan antibiotik empiris yang tepat penting dalam mengendalikan infeksi dan mengurangi beban total biaya pengobatan. Studi farmakoekonomi digunakan untuk mengetahui intervensi antibiotik yang paling unggul dari aspek efektivitas-biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas-biaya levofloksasin monoterapi dibandingkan dengan kombinasi seftriakson-azitromisin pada pasien pneumonia komunitas rawat inap non-ICU di RSUD Tangerang Selatan. Desain studi yang digunakan merupakan cross-sectional dengan metode pengumpulan data secara retrospektif terhadap data rekam medis, data penggunaan obat, dan data billing. Efektivitas terapi dinilai sebagai proporsi pasien yang mencapai kestabilan klinis setelah 72 jam penggunaan antibiotik. Data biaya yang digunakan berupa data biaya medis langsung berdasarkan perspektif rumah sakit. Sampel pada penelitian ini berjumlah 86 pasien yang merupakan 43 pasien dari masing-masing kelompok terapi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara efektivitas kelompok levofloksasin dan kombinasi seftriakson-azitromisin (p < 0,05). Berdasarkan perhitungan REB (rasio efektivitas-biaya), kelompok levofloksasin memiliki nilai sebesar Rp78.028,22/% efektivitas dan kelompok kombinasi seftriakson-azitromisin Rp107.666,91/% efektivitas.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the lung parenchyma that originates from the community and carries a high mortality, morbidity, and cost burden, particularly in hospitalized patients. The average cost of treating CAP patients in Indonesia during a single hospitalization period is Rp11,877,120. Selecting the appropriate empiric antibiotic is crucial in controlling the infection and reducing the overall treatment costs. Pharmacoeconomic studies are conducted to determine the most effective and cost-efficient antibiotic intervention. This study aims to analyze the cost-effectiveness of levofloxacin monotherapy compared to the combination of ceftriaxone-azithromycin in non-ICU inpatient CAP cases at RSUD Tangerang Selatan. The study design was cross-sectional, utilizing a retrospective data collection method that involved medical records, drug usage data, and billing information. The therapy's effectiveness was assessed by the proportion of patients who achieved clinical stability after 72 hours of antibiotic use. The cost data utilized represents direct medical costs from the hospital's perspective. The study sample consisted of 86 patients, with 43 patients in each treatment group. The results indicated a significant difference in the effectiveness of the levofloxacin group compared to the ceftriaxone-azithromycin combination (p < 0.05). Calculation of the Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) revealed that the levofloxacin group had a value of Rp78,028.22 per % effectiveness, while the ceftriaxone-azithromycin combination group had a value of Rp107,666.91 per % effectiveness. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursyafrisda
"Hingga saat ini Angka Kesakitan dan Angka Kematian di Indnonesia yang disebabkan oleh Pneumonia masih tinggi terutama pada usia balita. Pneumonia termasuk sepuluh penyakit terbanyak di Rawat inap RSU Kabupaten Tangerang yang membutuhkan antibiotika untuk infeksinya menggunakan Ceftriaxone atau Cefotaxime. Efektifitas biaya penggunaan obat tersebut perlu diteliti untuk mengetahui antibiotika yang lebih efektif biaya. Penelitian menggunakan data sekunder, diambil secara cross sectional selama Januari - Desember 2010 di Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang. Analisa biaya Investasi disetahunkan (Annual Investment Cost), menggunakan metoda ABC (Activity Based Costing) untuk analisis biaya.
Hasil Penelitian didapat bahwa komponen biaya terbesar pada pengobatan Pneumonia Balita adalah Biaya Operasional, yaitu sekitar 99 % dari Biaya Total, diikuti biaya Pemeliharaan 0,02 % dan kemudian biaya Investasi 0,01 %. Biaya Obat dan Bahan Habis Pakai merupakan komponen terbesar dari biaya operasional. Pada Ceftriaxone biaya operasional Rp 39.053.526,- dan pada Cefotaxime sebesar Rp. 124.228.339,-. Efektifitas pada Ceftriaxone 29 pasien dan Cefotaxime 85 pasien dengan CER Cefotaxime lebih kecil dari Ceftriaxone berdasarkan hilangnya sesak, frekuensi nafas dan leukosit normal, hilangnya demam dan hari rawat maka disimpulkan bahwa Cefotaxime lebih cost effective dari Ceftriaxone. Disarankan x Universitas Indonesia pengobatan Pneumonia Balita menggunakan Cefotaxime yang bertujuan untuk efektifitas, efesiensi dan pengendalian biaya dapat terwujud.

Until now the Morbidity Rate and Mortality Rate due to pneumonia in Indonesia would remain high, especially under 5 years old. Pneumonia disease into ten largest in Hospitalizations RSU Tangerang Regency, they need antibiotics to cure infections, such as Ceftriaxone or cefotaxime. Cost effectiveness of theme need to be investigated to find out and determine the effective and efficience. Research conducted using secondary data in crosssectional taken during January to December 2010 in the Tangerang Regency Hospital Inpatient. Annualized investment cost analysis, methods of analysis using the method of the cost calculation ABC (Activity Based Costing).
Research results indicate that the largest cost component in the treatment of Pneumonia Toddlers are Operating Costs, which is about 99% of the total cost, followed by a maintenance cost of 0.02% and then 0.01% of the investment cost. Cost of Drugs and consumables is the largest component of operating costs. At the operational costs of Rp 39.053.526,- Ceftriaxone, - and on cefotaxime at Rp 124.228.339,-. Effectiveness on Ceftriaxone was 29 patients and 85 patients on cefotaxime. CER Ceftriaxone smaller than Cefotaxime values obtained by the loss of tightness, breathing frequency and leukocyte return to normal values, fever and loss of day care is also concluded that the use of Cefotaxime more cost effective than Ceftriaxone. Thus in the treatment of Pneumocystis Toddlers xii Universitas Indonesia are expected to use cefotaxime aiming for effectiveness, efficiency and cost control can be realized.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T30311
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>