Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 222771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shofiah Sari
"Tuba Eustachius berfungsi mengatur dan memodulasi status pneumatik dari telinga tengah dan mastoid untuk menjaga lingkungan yang sesuai untuk transmisi suara optimal oleh membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Fungsi TE merupakan faktor penting dalam patogenensis otitis media dan pembersihan ruang telinga tengah serta penting dalam keberhasilan operasi telinga tengah. Otitis media supuratif kronik OMSK adalah inflamasi kronik telinga tengah dan kavum mastoid dengan gambaran klinis adanya keluar cairan telinga berulang atau otorea melalui perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian ini ingin mengetahui sebaran dan kesesuaian hasil pemeriksaan fungsi ventilasi TE menggunakan sonotubometri dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee pada subjek OMSK tipe aman. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada 51 subyek yang diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini didapatkan proporsi hasil pemeriksaan ventilasi TE dengan sonotubometri normal sebanyak 35,5 dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee normal sebesar 5,9 . Uji kesesuaian dengan Kappa antara kedua alat didapatkan kesesuaian yang lemah namun secara statistik bermakna. Perhitungan kesesuaian dengan proporsi confounding didapatkan hasil yang sesuai antara kedua alat sebesar 70,6 .

Eustachian Tube ET function is to regulate and modulate pneumatic status of middle ear and mastoid cavity for maintenance of appropiate environment for optimal noise transmision by the tympanic membrane and ossicular chain. ET function is the important factor in otitis media pathogenesis and clereance of middle ear cavity also for middle ear surgery prognosis. Chronic suppurative otitis media CSOM is chronic inflamation of middle ear and mastoid cavity with reccurent ear discharge or otorrhoea through tympanic membrane perforation which occurs more than 3 months.This study is intended to investigate the proportion and association of examination on ET ventilation function with sonotubometry and impedance audiometry using automatic Toynbee on CSOM benign type subject. This study is a cross sectional descriptive research in 51 subjecst which were taken by consecutive sampling. The results is that the normal proportion of ET ventilation function with sonotubometry is 35,5 and with impedance audiometri using automatic Toynbee is 5,9 . The correlation test with Kappa from the two devices is weak but is statistically significant. Another correlation test with confounding proportion indicates that the two devices match at 70,6 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55688
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhwan
"ABSTRAK
Latar belakang: Fungsi dari tuba Eustachius (TE) adalah ventilasi, proteksi, dan pembersihan telinga tengah. Disfungsi TE berperan penting pada patogenesis terjadinya kasus otitis media, sehingga hasil pengobatan dan prognosis kasus ini sangat bergantung pada fungsi TE yang adekuat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi angka keberhasilan rekonstruksi telinga tengah. Data penelitian mengenai fungsi ventilasi TE masih sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi dan operasi pada kasus OMSK. Tujuan : Mendapatkan gambaran fungsional ventilasi TE pada pasien OMSK tipe aman dan subjek non otitis media serta mendapatkan modalitas lain untuk mengukur fungsi ventilasi TE pada pasien dengan membran timpani utuh maupun perforasi. Metode: Penelitian comparative cross sectional pada 36 subjek telinga OMSK tipe aman dan 80 telinga subjek non otitis media dengan sonotubometri dan dinilai parameter jumlah frekuensi pembukaan, peningkatan amplitudo, dan durasi pembukaan. Hasil : Gangguan fungsi ventilasi TE lebih banyak didapatkan pada kelompok OMSK tipe aman (47%) dibandingkan kelompok non otitis media (18,75%). Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) antara fungsi ventilasi TE subjek OMSK tipe aman dengan subjek non otitis media, dimana subjek OMSK tipe aman dapat mengalami gangguan fungsi ventilasi TE 3,88 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek non otitis media. Kesimpulan : Pasien OMSK tipe aman lebih berpotensi mengalami gangguan fungsi ventilasi TE dibandingkan subjek non otitis media

ABSTRACT
Background : The function of the Eustachian tube (ET) is ventilation, protection and cleaning of the middle ear. TE dysfunction plays an important role in the pathogenesis of otitis media cases, so that the treatment and prognosis of these cases is very dependent on adequate TE function that can ultimately affect the success rate of middle ear reconstruction. Data research on ventilation ET function is needed for the success of the therapy and surgery in the case of chronic suppurative otitis media (CSOM) Objective : To determine ventilation ET function on benign type chronic suppurative otitis media and non otitis media subject and get another modality to measure ventilation function TE in patients with intact and perforated tympanic membrane. Methods : Comparative Cross-sectional study in 36 subjects benign type CSOM and 80 non otitis media subjects with sonotubometry and rated parameter number of frequencies opening, increasing the amplitude and duration of the opening ET. Results : Malfunctioning ventilation ET function more obtained at benign type CSOM (47%) than among non otitis media subjects (18.75%). There is a significant difference (p = 0.002) ventilation ET function between benign type CSOM subject and non otitis media subject, where the benign type CSOM subject may be malfunctioning ventilation ET function 3.88 times larger than the non otitis media subjects. Conclusion : Patients with benign type potentially have malfunctioning ventilation ET function than non otitis media subjects."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Cahyania Intani
"Latar Belakang: Faktor predisposisi utama pada otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah gangguan fungsi tuba eustachius (TE). Adanya gangguan fungsi TE memungkinkan terjadinya OMSK berulang walaupun telah diterapi. Variasi anatomi dari telinga berupa ukuran TE berkaitan dengan perbedaan fungsi fisiologis  TE. 
Tujuan: Membantu memperkirakan status gangguan fungsi TE berdasarkan pemeriksaan HRCT mastoid. 
Metode: Data sekunder status fungsi TE berdasarkan pemeriksaan timpanometri automatic Toynbee Eustachian Tube Function Test 2 (ETF2) terdiri dari tanpa gangguan fungsi TE dan dengan gangguan fungsi TE, kemudian dilakukan pengukuran panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus pada pemeriksaan High Resolution Computed Tomography (HRCT) mastoid tebal irisan 1 mm potongan sagital oblik dan aksial berdasarkan bidang Ku-Copson dari sistem Picture Archiving and Communication System (PACS). Pasien dengan kolesteatoma dieksklusi. Rerata panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus dengan gangguan fungsi TE dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE dianalisis menggunakan uji-T tidak berpasangan. 
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus pada gangguan fungsi TE dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (p<0,001), dimana nilai rerata panjang TE dengan gangguan fungsi TE lebih pendek (35,2 ± 1,5 mm) dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (37,4 ± 1,7 mm) dan diameter pre-timpani serta diameter isthmus TE lebih kecil pada pasien dengan gangguan fungsi TE (diameter pretimpani: 3,5 ± 0,1 mm; diameter isthmus: 0,89 ± 0,09 mm) dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (diameter pretimpani: 3,9 ± 0,1 mm; diameter isthmus: 1,08 ± 0,07 mm). 
Simpulan: Ukuran TE dengan gangguan fungsi TE lebih kecil dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE pada pasien OMSK tipe aman. 

Background: The main predisposing factor in chronic suppurative otitis media (CSOM) is dysfunction of the eustachian tube (ET). The presence of ET function disorders allows CSOM to recur even though it has been treated. Anatomical variations of the ear in the form of ET size are related to differences in ET physiological function. 
Objectives: To estimate the status of impaired ET function based on mastoid HRCT examination. 
Methods: Secondary data on ET function status based on the Toynbee ETF2 automatic tympanometry examination consisted of without ET function disorder and with ET function disorder, then ET length, pre-tympanic ET diameter, and isthmus region were measured on HRCT mastoid examination with 1 mm thick slice of the mastoid oblique sagittal section and axial based on the Ku-Copson plane of the Picture Archiving and Communication System (PACS). Patients with cholesteatoma were excluded. The mean ET length, pre-tympanic ET diameter, and isthmus region with impaired ET function compared to those without impaired ET function were analysis using an unpaired T-test. 
Results: There were significant differences in the mean ET length, ET diameter in the pre-tympani region, and isthmus region in ET function disorders compared to those without ET function disorders (p<0.001), where the mean ET length with ET function disorders was shorter (35.2 ± 1 .5 mm) compared to those without ET function disorder (37.4 ± 1.7 mm) and the pre-tympani diameter and ET isthmus diameter were smaller in patients with ET function disorder (pre-tympanic diameter: 3.5 ± 0.1 mm; isthmus diameter : 0.89 ± 0.09 mm) compared to no ET function disorder (pre-tympanic diameter: 3.9 ± 0.1 mm; isthmus diameter: 1.08 ± 0.07 mm). 
Conclusion: ET size with impaired ET function is smaller than without impaired ET function in CSOM patients with benign type.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Samuel Dominggus Chandra
"Latar Belakang: Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah kondisi infeksi telinga tengah dan mastoid kronik yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah struktur tuba Eustachius. Morfometri tuba Eustachius dengan bidang referensi pada modalitas CT-scan memberikan pilihan non-invasif penilaian struktur tuba. Bidang Ku-Copson adalah bidang referensi baru morfometri tuba yang sebelumnya lebih umum menggunakan bidang Reid. Tujuan: Menilai pengaruh besar sudut kemiringan tuba Eustachius berdasarkan bidang Ku-Copson terhadap kejadian OMSK. Metode: Sebanyak 128 sampel telinga, 64 telinga kelompok normal dan 64 telinga kelompok OMSK diinklusi dalam penelitian ini. Pengelompokkan dilakukan berdasarkan diagnosis akhir berdasarkan rekam medis. Pengukuran sudut dilakukan dengan multiplanar reconstruction (MPR) pada HRCT kepala-leher. Analisis bivariat dengan menggunakan uji student T dilakukan untuk menilai perbedaan rerata kedua kelompok dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. Hasil: Terdapat perbedaan rerata yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok (p = 0,005). Rerata besar sudut pada kelompok telinga normal sebesar 27,20 ± 4,8 (SD) dan pada kelompok telinga OMSK sebesar 29,20 ± 3,2 (SD). Nilai AUC dari ROC besar sudut tuba Eustachius dalam diferensiasi kelompok telinga normal dan OMSK sebesar 0,62 (0,523 – 0,718), dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas pada nilai titik potong 28,50 adalah 56,3% dan 56,3%. Kesimpulan: Besar sudut kemiringan tuba Eustachius berdasarkan bidang referensi Ku-Copson pada kelompok telinga normal lebih besar dibandingkan pada kelompok telinga OMSK, dengan perbedaan sekitar 2 derajat antara kedua kelompok.

Background: Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a chronic infection of middle ear and mastoid caused by various factors, one of which is the Eustachian tube. Eustachian tube morphometry based on reference plane on CT-scan provides a non-invasive option for assessing tube structure. The Ku-Copson plane is a new reference plane for tubal morphometry which previously used the Reid plane more commonly. Objective: To assess the influence of Eustachian tube angle based on the Ku-Copson plane on the presence of CSOM. Methods: A total of 128 ear samples, 64 ears on normal group and 64 ears on CSOM group, were included in this study. Grouping was based on the final diagnosis according to medical records. Angle measurements were carried out with multiplanar reconstruction (MPR) on head and neck HRCT. Student T test was used to analyse the mean difference of the two groups with a 95% Confidence Interval (CI). Results: There was a statistically significant mean difference between the two groups (p = 0.005). Mean tube angle in the normal ear group was 27.2 ± 4.8 (SD) and in the CSOM ear group was 29.2 ± 3.2 (SD). The AUC value of the of Eustachian tube angle ROC in discriminating normal ear and CSOM groups was 0.62 (0.523 – 0.718), with sensitivity and specificity at cutoff of 28.5 being 56.3% and 56.3%. Conclusion: The Eustachian tube angle based on the Ku-Copson plane in the normal ear group is greater than in the CSOM ear group, with a difference of around 20."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rossa Martiastini Ajiati
"ABSTRAK
Latar belakang. Sonotubometri merupakan tes fungsi ventilasi TE berdasarkan
prinsip kerjanya merupakan tes fungsi ventilasi tuba Eustachius yang paling
fisiologis, mudah dikerjakan, tidak memerlukan tekanan udara yang ekstrim,
tidak invasif, dapat dikerjakan pada membran timpani yang perforasi maupun
intak dapat dikerjakan. Dalam menilai fungsi ventilasi TE, terdapat 3 parameter
yang menjadi acuan yaitu amplitudo peningkatan suara yang terekam, frekuensi
dan durasi pembukaan lumen TE. Sedangkan timpanometri menilai fungsi
ventilasi TE berdasarkan perubahan pada tekanan telinga tengah. Tujuan:
Mengetahui kesesuaian sonotubometri dan timpanometri sebagai pemeriksaan
fungsi ventilasi tuba Eustachius pada subjek dewasa pendengaran normal.
Metode: Penelitian cross sectional ini dilakukan di Poliklinik Neurootologi dan
Rinologi THT pada bulan Desember 2015-Januari 2016 pada 40 subjek dewasa
pendengaran normal dilakukan pemeriksaan fungsi ventilasi tuba menggunakan
sonotubometri dengan perasat menelan air selama 10 detik dan menggunakan
timpanometri setelah perasat Toynbee dan Valsalva dengan timpanometri. Hasil:
Dilakukan analisa perbandingan dengan uji Mc Nemar dan kesesuaian dengan uji
Kappa. Didapatkan perbedaan proporsi serta kesesuaian yang lemah antara nilai
fungsi ventilasi TE yang diperiksa dengan sonotubometri dan timpanometri
Kesimpulan: Sonotubometri dapat menjadi metode pilihan dalam menilai fungsi
ventilasi TE karena mekanisme kerja yang menilai fungsi ventilasi TE secara
langsung dan paling fisiologis

ABSTRACT
Background: Sonotubometry is ventilation function test of Eustahian tube that
has the most functional mechanism, non invasif, easy-performed, no extreme of
air pressure and can be performed in intact or perforation timpanic membran.
For ventilation function of Eustachian tube evaluation, there are 3 komponen
measurement as parameter. These are increase of acoustik intensity so called
amplitudo, frequency and the duration of Eustachian tube opening. While
tympanometry measure the ventilation function of Eustachian tube based on the
change of middle ear pressure Objective: to examine the conformity between
sonotubometri and tympanometry as a test tool of Eustachian tube ventilation
function in adult subject with normal hearing. Methods: This cross sectional
research was performed on 40 subject who has normal hearing and then
performed sonotubometri using 10 seconds wet swallong and timpanometri
examination after Toynbee-Valsava manuver. The result of examination was
statistically analyzed by Mc Nemar and Kappa.Results: Tthere was statistically
significant of different proportion and weak conformity between Eustahian tube
ventilation function based on sonotubometri and tympanometry.Conclusion:
Sonotubometry can be an option for evaluation of eustahian tube ventilation
function according to the physiologically and directly evaluation of the
mechanisme."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Supit
"Latar belakang: Botol susu saat ini sudah rutin digunakan, terutama pada ibu yang aktif dan bekerja. Penggunaan botol susu secara global mencapai 56%, sedangkan di Indonesia mencapai 37,9%. Penggunaan botol susu yang tidak tepat dapat mengakibatkan locking phenomenonkarena peningkatan tekanan negatif secara berlebih pada rongga nasofaring, yang berujung pada kejadian disfungsi tuba Eustachius. Penelitian ini menilai faktor yang berkaitan dan pengaruhnya terhadap disfungsi tuba Eustachius pada anak-anak yang menggunakan botol susu.Tujuan : mengetahui pengaruh dan hubungan faktor yang dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius pada penggunaan botol susu. Metode :Penelitian ini melibatkan 160 subjek berusia 24 – 48 bulan yang menggunakan botol susu. Fungsi tuba Eustachius setiap subjek dievaluasi menggunakan alat sonotubometer untuk menentukan ada tidaknya disfungsi tuba Eustachius. Pengolahan data dilakukan dengan uji chi square, menggunakan Pvalue <0,25 untuk melihat hubungan antar faktor dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius. Faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius dianalisis dengan uji regresi logistik untuk menentukan faktor determinan terhadap kejadian disfungsi tuba Eustachius.Hasil : Penelitian ini mendapatkan gambaran penggunaan botol susu yang baik dapat mencegah kejadian disfungsi TE hingga 6,8 kali. Hipertrofi adenoid memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE hingga 10,5 kali. Jenis susu memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE 4,1 kali. Kesimpulan : Cara penggunaan botol susu, hipertrofi adenoid dan jenis susu sebagai faktor determinan terhadap disfungsi tuba Eustachius.

Backgroud: Bottle feeding has been considered normal and widely used, preferably by active and working mother. Numbers of bottle feeding globally reach 56% of total population, while the Indonesian use of bottle feeding up to 37,9%. Improper use of bottle feeding may lead to locking phenomenon due to excessive pressure changes in nasopharynx area. This study aims to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Aims : to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Methods : This study involved 160 subjects 24 – 48 months old children with bottle feeding. We evaluated their Eustachian tube using a sonotubometer to determine the presence of Eustachian tube dysfunction. Data analysis was done using chi square method to determine the significant factors with Pvalue<0,25. Significant factors then analyzed by logistic regretion in order to determine determinan factors. Result : This study found that proper used of bottle feeding protect children from Eustachian tube dysfunction up to 6,8 times. Adenoid hypertrophy 10,5 times effected the Eustachian Tube, Type of milk consumed contributed up 4,1 times toward Eustachian tube dysfunction.Conclusion : Proper used of bottle feeding, adenoid hypertrophy and milk type are the determinant factors on Eustachian tube dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Bunardi
"Asupan kebutuhan nutrisi dan obat yang cukup, berperan penting dalam tercapainya kesembuhan pasien. Namun, hal ini seringkali menjadi kendala bagi pasien yang secara fisik mengalami hambatan untuk diberikan asupan secara oral. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dalam mengatasi kendala ini adalah dengan menggunakan Enteral Feeding Tube (EFT). Salah satu contoh dari EFT sendiri adalah Nasogastric Tube (NGT) dimana selang dimasukkan melalui saluran orofaring posterior dan esofagus untuk tujuan akhir pemberian obat/nutrisi di lambung. Sediaan obat harus melewati tahap preparasi untuk disesuaikan sediaannya agar dapat disalurkan melalui NGT dan tetap dipertahankan karakteristik fisikokimia, biofarmasetik, dan faramkologis obat. Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik oleh apoteker yang dapat dilakukan di rumah sakit. PIO dapat disalurkan dalam beberapa jenis, salah satunya adalah pembuatan buku pedoman. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo membuat buku pedoman daftar obat yang dapat diadministrasikan melalui NGT dalam rangka membantu memberikan informasi terkait jenis dan nama obat yang kompatibel untuk diadministrasikan menggunakan selang NGT. Buku pedoman tersebut terkahir diperbarui pada tahun 2018. Laporan ini menyajikan pembaruan buku pedoman yang memuat informasi terbaru terhadap beberapa obat yang tercantum dalam daftar obat yang digunakan dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2022 beserta tahapan pemberiannya untuk mencapai keberhasilan pengobatan yang tepat.

Adequate intake of nutritional and drug needs, plays an important role in achieving patient’s recovery. However, it is often be an obstacle for patients who physically experience difficulties in taking oral medicine. One way that can be used by health workers in hospitals to overcome this problem is to use an Enteral Feeding Tube (EFT). One of the example is Nasogastric Tube (NGT), where a tube is inserted through the posterior oropharynx and esophagus for the ultimate goal of administering drugs/nutrition to the stomach. The drug preparation will go through the preparation stage where it will be adjusted so that it can be channeled through the NGT hence still maintaining the physicochemical, biopharmaceutical and pharmacological characteristics of the drug. Drug Information Service (DIS) is one of the clinical pharmaceutical practice by pharmacists that can be performed in hospitals. DIS can be carried out in several types, including the manufacturing of guidebook. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo involved in helping to provide information regarding the types and names of drugs that are compatible to be administered via NGT by creating a guidebook for the list of drugs that can be administered through the NGT. The guidebook itself was last updated in 2018. This report presents an updated guidebook that contains the latest information on several drugs from the list of drugs used in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2022 along with the steps of administration to achieve the success of proper treatment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfrina Irene
"Nasogastric Tube atau disingkat NGT adalah selang khusus yang membawa makanan dan obat ke perut melalui nasofaring yang biasanya digunakan untuk pasien rawat inap yang tidak sadarkan diri atau memiliki kesulitan menelan. Terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dan persiapan obat yang akan diberikan melalui NGT karena dapat berpotensi membahayakan pasien atau tenaga kesehatan yang bersangkutan. Laporan ini dibuat untuk menghasilkan Panduan Pemberian Obat Melalui NGT pada RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai kegiatan Pemberian Informasi Obat (PIO) aktif oleh apoteker. Metode yang digunakan dalam laporan ini adalah dengan studi literatur melalui Formularium RSCM 2022 serta referensi penyiapan obat untuk NGT pada Handbook of Drug Administration Via Enteral Feeding Tubes Third Edition dan The NEWT Guidelines for administration of medication to patients with enteral feeding tubes or swallowing difficulties, NIOSH List of Antineoplastic and Other Hazardous Drugs in Healthcare Settings, dan Oral Dosage Forms That Should Not Be Crushed. Kesimpulan laporan ini adalah bahwa pembuatan Panduan Pemberian Obat Melalui NGT dilakukan dengan beberapa tahap yaitu mencari referensi pemberian obat melalui NGT, memilah daftar obat oral Formularium RSCM, mempelajari informasi sediaan, dan menyusun panduan.

Nasogastric Tube or abbreviated as NGT is a special tube that carries food and medicine to the stomach through the nasopharynx which is usually used for inpatients who are unconscious or have difficulty swallowing. There are many factors that need to be considered in selecting and preparing drugs to be given via NGT because they can potentially harm the patient or health worker concerned. This report was created to produce a guide for administering medication via NGT at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo as an active Providing Drug Information (PIO) activity by pharmacists. The method used in this report is literature study through the 2022 RSCM Formulary as well as references for drug preparation for NGT in the Handbook of Drug Administration Via Enteral Feeding Tubes Third Edition and The NEWT Guidelines for administration of medication to patients with enteral feeding tubes or swallowing difficulties, NIOSH List of Antineoplastic and Other Hazardous Drugs in Healthcare Settings, and Oral Dosage Forms That Should Not Be Crushed. The conclusion of this report is that the creation of a Guide for Giving Medication via NGT was carried out in several stages, namely looking for references for administering medication through NGT, sorting the list Universitas Indonesia of oral drugs in the RSCM Formulary, studying preparation information, and compiling the guide."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Khairan Wibowo
"Latar Belakang Kelainan bawaan bertanggung jawab atas 11,3% kematian bayi di dunia. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, neural tube defect merupakan jenis kelainan bawaan yang berperan penting dalam kecacatan dan kematian neonatus, yaitu sekitar 17% hingga 70% dari seluruh kematian akibat kelainan bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil karakteristik klinis dan tata laksana anak dengan neural tube defect di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada tahun 2018–2022. Metode Desain penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode penelitian potong lintang. Hasil Jenis kelamin yang paling banyak ditemukan adalah perempuan (51,7%). Jaminan kesehatan yang paling banyak digunakan adalah BPJS (94,8%) dengan rujukan paling banyak berasal dari fasilitas kesehatan di wilayah Jabodetabek (65,5%). Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele (25,9%), lipomyelomeningocele (24,1%), dan encephalocele occipital (20,7%). Faktor risiko maternal yang teridentifikasi adalah usia maternal > 35 tahun (12,1%). Proporsi ibu yang rutin mengonsumsi vitamin hamil sejak prekonsepsi sangat rendah (1,7%). Riwayat infeksi saat hamil ditemukan pada sebagian kecil kasus (3,4%) sedangkan riwayat kontak ibu dengan unggas atau hewan peliharaan cukup banyak ditemukan (22,4%). Waktu tahu hamil paling banyak saat usia kehamilan < 5 minggu (55,2%). Riwayat keluarga dengan NTD, riwayat diabetes pregestasional, dan riwayat konsumsi obat antiepilepsi maternal tidak ditemukan. Jenis operasi yang paling banyak dilakukan adalah rekonstruksi tutup defek. Sebagian besar operasi untuk NTD bersifat elektif (89,7%). Kesimpulan Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele, lipomyelomeningocele, dan encephalocele occipital dengan jenis operasi tersering berupa rekonstruksi tutup defek.

Introduction Birth defects are responsible for 11.3% of infant deaths worldwide. In low- and middle-income countries, neural tube defect are a type of birth defect that plays an important role in neonatal disability and death, accounting for around 17% to 70% of all deaths due to birth defect. This study aims to determine the clinical and therapeutic profile of children with neural tube defects in the Department of Neurosurgery at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, period 2018–2022. Method The design used in this research is descriptive observational with cross-sectional research method. Results The most common gender found was female (51.7%). The most widely used health insurance was BPJS (94.8%) with most referrals coming from health facilities in the Jabodetabek area (65.5%). The most common types of NTD were myelomeningocele (25.9%), lipomyelomeningocele (24.1%), and occipital encephalocele (20.7%). The maternal risk factor identified was maternal age > 35 years (12.1%). The proportion of mothers who regularly take pregnancy vitamins since preconception was very low (1.7%). A history of infection during pregnancy was found in a small number of cases (3.4%) while a history of maternal contact with poultry or pets was quite common (22.4%). The most common time the mothers knew that they’re pregnant was when the gestational age was < 5 weeks (55.2%). Family history of NTDs, history of pregestational diabetes, and history of maternal antiepileptic drug consumption were not found. The most common type of surgery performed was repair of the defect. Most operations for NTDs were elective (89.7%). Conclusion The most common types of NTD found were myelomeningocele, lipomyelomeningocele, and occipital encephalocele while the type of surgery most frequently performed was repair of the defect."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>