Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37606 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Hanifa
"ABSTRAK
Latar Belakang : Lama waktu kembali bekerja penting untuk diperhatikan khususnya pada penyakit yang memiliki kemungkinan terjadinya relaps, salah satunya adalah infark miokard. Namun di Indonesia belum ada referensi untuk lama waktu kembali bekerja setelah infark miokard. Tujuan : Untuk menilai rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard dan faktor-faktor yang berhubungan Metode : Penelitian potong lintang ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. 130 pasien rawat jalan yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap, diikutsertakan dalam penelitian ini dengan metode consecutive sampling. Data yang diperlukan didapatkan dari kuesioner data umum, DASS 42, Job Satisfaction Survey, dan rekam medis. Hasil : Rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard adalah 14 hari. Berdasarkan analisis regresi linear, faktor-faktor yang berhubungan dengan lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard, yaitu yang memperlama waktu tersebut adalah pada jenis pekerjaan yang banyak bergerak, waktu kembali kerja yang ditentukan oleh dokter, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan durasi perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Kesimpulan : Keberhasilan kembali kerja setelah mengalami infark miokard berhubungan dengan faktor pekerjaan dan faktor klinis, oleh karena itu evaluasi terperinci oleh seorang dokter spesialis okupasi serta dokter spesialis jantung dan pembuluh darah sangat diperlukan.

ABSTRACT
Background The duration of return to work because of a disease needs to have the attention of a doctor, especially in a diseases that has probability for a relapse, one of them is myocardial infarction. However, in Indonesia there is no reference yet about the duration of return to work after myocardial infarction. Objective To assess the average time of return to work after myocardial infarction and the associated factors. Methods This cross sectional study was conducted at National Cardiovascular Center Harapan Kita. 130 employed out patients were involved in this study by consecutive sampling method. The required data was gathered from general data questionnaires, DASS 42, Job Satisfaction Survey and medical records. Result The mean duration for return to work after myocardial infarction was 14 days. Based on linear regression analysis, factors related to the duration of return to work after myocardial infarction, which prolonged the time, were the active job, the time that was determined by a doctor, the low left ventricular ejection fraction and longer hospitalization duration. Conclusion The success to return to work after myocardial infarction is related to occupational and clinical factors, thus a precise evaluation by an occupational medicine specialist and cardiologist is very needed. Keywords return to work, duration of return to work, myocardial infarction, occupational medicine specialist, occupational factors"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sri Wariyastuti
"

 

Aktivitas seksual adalah kebutuhan vital bagi manusia yang dapat terganggu setelah Infark Miokard Akut (IMA) sehingga kapan kembali melakukan aktivitas seksual merupakan hal yang harus menjadi perhatian. Namun saat ini, kembali beraktivitas seksual belum menjadi prioritas dalam pelayanan keperawatan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh dari karakteristik responden, farmakologi, komorbiditas, masalah seksual, dukungan pasangan, dukungan tenaga kesehatan, pengetahuan, fungsi fisik dan faktor psikologis (ansietas-depresi) terhadap kembali beraktivitas seksual. Penelitian menggunakan desain survey analitik cross sectional pada 107 responden rawat jalan yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Penelitian menggunakan instrumen Short-Form 12 (SF-12) untuk menilai fungsi fisik, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) untuk mengukur pengetahuan seksual paska IMA dan The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) untuk mengukur ansietas dan depresi. Hasil penelitian yang dianalisa dengan uji chi-square dan fishers exact menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan adalah farmakologi (beta-blocker) (p=0,020), masalah seksual (p=0,017) dan pengetahuan (p=0,038). Responden dengan beta-bloker, mempunyai masalah seksual dan pengetahuan seksual yang kurang cenderung terlambat kembali beraktivitas seksual. Program edukasi seksual dan peningkatan kolaborasi interprofesional diharapkan dapat membantu pasien lebih cepat kembali beraktivitas seksual paska IMA.

 

 


 

Sexual activity is a vital need for humans which can be distrupted due to Acute Myocardial Infarction (AMI) therefore when to resumption of sexual activity is an important matter must be concern. However, return to sexual activity have not been a priority in nursing care nowadays. The study aimed to identify influence of characteristics respondent, pharmacology, comorbidity, sexual problem, partners support, health professional support, sexual knowledge, physical function and psychology factors (anxiety-depression) on returning to sexual activity. The study used analytic survey with cross sectional approach and consecutive sampling involving 107  outpatient. The instruments used were Short Form 12 (SF-12) to assess physical function, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) to measure the post-IMA sexual knowledge and The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) to measure anxiety and depression level. The results were analyzed by fishers exact and chi square test showed a significant relationship between  pharmacological factor (beta-blocker) (p=0,02), sexual problems (p=0,017) and sexual knowledge (0,038) with returning to sexual activity after IMA. Respondents were receiving beta-blocker, having sexual problems and lacking of sexual knowledge tend to be late resuming sexual activity. Sexual education programe and increased interprofessional collaboration are expected to help post-IMA patients regain their sexual activity  faster.

 

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
"Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari.

Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab gagal jantung. Terapi yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya mampu memperbaiki kerusakan otot jantung yang telah terjadi. Terapi sel punca baik injeksi maupun patch juga masih belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Penggunaan patch jantung dihadapkan pada masalah seperti rendahnya viabilitas sel yang dihasilkan. Hipotermia pada suhu 4°C yang digunakan untuk isolasi kardiomiosit selama ini dikaitkan dengan gangguan aktivitas sel yang menyebabkan penurunan jumlah sel viabel yang dihasilkan. Suhu 37°C yang merupakan suhu fisiologis tubuh dinilai mampu menghasilkan viabilitas sel lebih baik.
Metode: Studi ekperimental in vitro dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam periode Desember 2019 hingga November 2020 dengan mengikutsertakan subjek pasien yang menjalani operasi total koreksi tetralogy of Fallot. Jaringan reseksi otot infundibulum jantung diambil kemudian dilakukan isolasi untuk menilai viabilitas sel dan ekspresi genetik.
Hasil: Delapan subjek ((n = 4) ± 95% C.I) kelompok suhu 37°C secara signifikan menghasilkan jumlah sel viabel yang lebih banyak (mean: 2675sel/mg) dibandingkan suhu 4°C (mean: 970 sel/mg) dengan (p <0,05). Ekspresi gen yang mengekspresikan sel kardiomiosit secara flowsitometer terlihat kelompok medium transpor 37°C secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 4°C.
Simpulan: Isolasi kardiomiosit menggunakan medium transpor suhu fisiologis (37⁰C) menghasilkan jumlah sel viable yang lebih banyak dibandingkan medium konvensional (4⁰C).

Background: Coronary heart disease is one of the main causes of death in developing countries, including Indonesia. This disease is one of the causes of heart failure. The therapy that has been implemented has not able to repair the damage of the heart muscles that have occurred. Stem cell therapy, either injection or patch, has not succeeded satisfactorily. The use of the cardiac patch is exposed to many problems such as low viability of the cells produced. Hypothermia at 4°C, which is used for isolation of cardiomyocytes related with activity disturbance which causes a decrease in the number of viable cells produced. The temperature 37°C which is the body's physiological temperature considered can produce better cell viability.
Methods: An experimental invitro study was conducted in the Pelayanan Jantung Terpadu Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) and the Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Faculty of Medicine, University of Indonesia from December 2019 to November 2020 by recruiting patient subjects who underwent total correction of tetralogy of Fallot. The resection of the cardiac infundibulum was taken and then isolated to assess cell viability and gene expression.
Results: A total of eight subjects ((n = 4) ± 95% CI) the 37°C group produced significantly more viable cells (mean: 2675 cells/mg) than at 4°C (mean: 970 cells/mg).)) with (p <0.05). The expression of genes expressing cardiomyocytes by flowcitometer showed that the physiological group (37°C) was significantly higher than the conventional group (4°C).
Conclusion: Isolation of cardiomyocytes using a physiological temperature transport medium (37⁰C) resulted in a higher number of cells than conventional medium (4⁰C).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susanto Kosasih
"ABSTRACT
The incidence of coronary teart disease including acute myocardial infarcticn (AMI) is increasing in Indcnesia. Arrhythmia is the most frequent complication that may cause death. Recent studies revealed a close association between Mg and K levels and tte risk of arrhytrrnia in NWI. This study was ccnducted to determine the patterns of plasma and erythrocytes Mg levels and serum potassium levels of patients with PMI and Fngina Pectoris (PP), within 40 hours after the diagnosis was established, and to find out whether the patterns of those electrolytes in cne group differ from the patterns in the other group of patients. Qnother objective of this study was to elucidate the correlation between the electrolyte levels and the evidence of arrhythmia in PMI. Tre subjects for this study were patients with AMI and patients with P as control group, admitted to the ICCIJ Ciptomangtrukusumo Hospital. The diagnosis of DMI was established according to IA-D criteria, including clinical signs and symptoms, ECB patterns and cardiac enzyme levels. Blood samples were collected for the determination of plasma Mg levels, erythrocytes Mg levels and serum K levels at time of diagnosis (0 hour) and sub-sequently B hours, 16 hours, 24 hours, 32 hours and 40 hours after the establishment of diagnosis. This study included 31 patients with FNI, Consisting of 13 patients without arrhythmia (group II) and 1B patients with arrhythmia (group III). Group II consisted of 12 males and 1 female, aged 37-67 years (Yi = 53,1 years; SD = 6,B). Group III included 14 males and 4 females, aged 35-B5 years Ki = 58,1 years; SD 1O,5). Group I as ccntrol group consisted of 12 patients with symptoms of AP, of which B were males and 4 were females, aged 35-57 years (§= 50,1 years; SD= 6,B). The interval between AMI or AP attack and the time of diagnosis in group I was 3-6 hours (Y = 4,16 I1:urs, SD = O,°20); in group II the interval was 2-6 hours (F= 4,07 rcurs, E.D= 1,1-4), while in group III the interval was 2-6 hours (m?= 4,05 hours, SD = 1,2). Arhythnia in grcnp III was detected between 0 hour (at time of diagnosis) to 24 hours after diagnosis; 6 patients (55,372) at time of diagnosis, 6 other patients (25,314) at 8 hours, 4 patients (22,2A) at 16 hours, and only in 2 patients (11,1Z) at 24 tours after the diagnosis. Plasma Mg, erythrocyte Pkg and serum K levels in patients with PP were relatively constant during the study, showing a plateau pattem. .The mean levels of plasma Mg, erythrocyte Mg and serum K in DP patients were 2,25 mg/dL, 5,136 mg/CL and 3,74 |m|.:1/dL ruspectively in PHI without arrhytrrnia patients, the mean plasma Mg level at O hour (i = 1,96 mg/dL; SD = O,1B) was lower than the levels in AP patients (Y = 2,17 mg/dL; SD = 0,24), but the difference was not significant. The plasma Mg levels showed a si nificant decrease compared to the level at 0 hour, reacted its lowest level at 16 hours (i=1,74 mg/dL)§ SD = 0,2O), followed by an increase of its level starting from 24 to 40 hours, forming a parabolic pattern. In GMI without arrhytrmia patients, the mean erythrocyte Mg level at 0 hour (i = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) was significantly lower than its level in AP patients (Y = 5,36 mg/dL; SD = 0,27). The pattern of erythrocyte Mg levels during 40 hours observation showed a constant increase starting from 8 hour to 40 hour (F = 5,42 mg/dL; SD = 0,34), forming a linear inclination. Erythrocyte Mg levels showed a significant increase compared to the levels at 0 hour, starting from 24 hours to 40 hours after diagnosis. The change in plasma Mg levels in the AMI without arrhythmia group did not run concurrently with the change in erythrocyte Mg levels. In AMI without arrhythmia the mean serum K level group at time of diagnosis (E = 4,33 mmol/dl.; SD = O,34) was significantly higher compared to the mean level in the AP patients (i°= 3,69 mmol/dL; SD I 0,26). The pattern of serum K levels in this group, declined starting at B hours, reached its lowest level at 32 hours (i = 4,03 nrnol/dL; SD 0,32); followed by an increase, but its level at 40 hour is significantly lower compared to its level at time of diagnosis. There was a significant difference between the serum K level at 24 hours and 32 fours and its level at time of diagnosis. This study revealed that in AMI without arrhythmia patients there was a significant decrease in plasma Mg, serum K and erythrocyte Hg levels during 40 hours after diagnosis. There was a significant difference in the electrolyte patterns between AMI and AP patients groups at the same time of observation. The decrease in plasma Mg levels in AMI with arrhythmia patients followed the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but the levels in arrhythmia patients were consistently and significantly lower. The arrhythmia risk in AMI patients tend to be higher in patients showing low plasma Mg levels. Erythrocyte Mg levels in AMI with arrhythmia patients follcned the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but their levels in arrhythmic patients were consistently higher. This study failed to proof the efficacy of erythrocyte Ng level determinations to predict arrhythrmia in AML patients. The pattern of serum K levels in AMI with arrhythmia followed the same pattern as that found in AMI without arrhythmia, but the levels in AMI with arrhythmia were consistently lower. The arrhythmia risk tend to be higher in AMI patients showing low serum K levels. The determination of plasma Ng and serum K levels at time of diagnosis might be used to predict arrhythmia in AMI. The arrhythmia risk increase if plasma Mg level is lower than 2,0 mg/dL and or serum K level is lower than 4,0 mmol/dL at time of diagnosis. The risk tend to be greater for combined hypomagnesemia and hypokalemia compared to one. The frequency of arrhythmia in AMI did not correlate well with the decrease in erythrocyte Mg levels, but there was a good correlation between arrhythmia and the decrease in plasma Mg and serum K levels.

ABSTRAK
Di Indonesia penyakit jantung koroner termasuk infark miokard akut (IMA) cenderung meningkat dari tahun ke tahm dengan komplikasi terbanyak berupa gangguan irama jantung (GIJ) yang dapat menyebabkan kematian. Akhir-akhir ini para peneliti menghubungkan penurunan kadar K dan Mg sebagai salah satu 'faktor' risiko terjadinya GIJ pada IMG. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola perubahan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada penderita infark miokard akut dan angina pectoris (PP) selama 40 jam sejak diagnosis ditegakkan serta hubungan perubahan kadar elektrolit tersebut dengan timbulnya GIJ pada IMG. Subyek penelitian adalah penderita infark miokard akut dan sebagai kontrol diambil penderita angina pectoris, yang dirawat di ICED RSIM. Diagnorsis ditegakkan berdasarkan kriteria N-D, yaitu keadaan klinis, gambaran E16 dan pemeriksaan ensim kardiak. Perneriksaan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum dilakukan secara serial sebanyak 6 kali pengambilan. Pengambilan pertama setelah diagnosis clitegakkan disebut jam ke 0 selanjutnya jam ke 8 jam ke 16, jam ke 24, jam ke 32 dan jam ke 40. Didapatkan 31 penderita IMA kelompok kasus terdiri dari 13 panderita tidak mengalami GIJ (kelompok II) dan 1B penderita mengalami GIJ (kelompok III). Kelompok kontrol (kelompok I) terdiri dari 12 penderita IDP. Kelornpok I terdiri dari B orang pria dan 4 orang wanita dengan usia berkisar- antara 35-57 tahun, E = 50,1 tarun (SD = 6,B). Kelompok II terdiri 12 penderita pria dan 1 penderita wanita dengan usia berkisar' antara 37 - 67 tahun , Y = 53,0 (SD = 6,B). Kelornpok III terdiri dari 14 orang pria dan 4 orang wanita dengan usia ber-kisar' antara 35 - S5 tafun, i = 53,1 tahan (SD = 10,5). Selang waktu terjadinya serangan IVA dan FP sampai diagnosis ditegakkan diruang ICU untuk kelompok I berkisar' antara 3 - 6 jam, Y = 4,16 jam (SD = O,90). Lhtuk kelompok II berkisar antara 2 - 6 jam, a? = 4,07 jam (SD = 1,14), kelcmpok III herkisar' antara 2 - 6 jam, ?R = 4,05 jam (SD = 1,I2). ldaktu terjadinya GIJ pada kelompok III berkisar antara jam ke O sampai jam ke 24 setelah diagnosis ditegakkan. Dar-i 18 penderita yang mengalami EIJ, 6 orang (I5,3 Z) terjadi jam ke 0, 6 orang (BJ Z) terjadi pada jam ke B, pada 4 orang (22,2 Z) terjadi pada jam ke 16 dan hanya 2 orang (11,1 Z) terjadi pada jam ke 24. Pala kadar Pg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada gderita PP salama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan membentuk pola yang mendatar. kadar rata- rata Mg plasma , Vg eritrosit dan K ser-um pada kelornpok AP berturut turut 2,25 mg/dl., 5,56 mg/dL dan 3,74 mmol/L. Kaclar' rata-rata rt; plasma pender-ita IMG tang BL] pada jam ke 0 (x = 1,96 mg/dl.; SD = 0,1B) Iebih rendah dibanding panderita DF? (7 = 2,17 mg/dL; SD = O,24), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Pola kadar Mg plasma pada pendarita IMG tanpa GIJ menunjukkan penurunan dan mencapai kadar- rata-r-ata terendah pada jam ka 16 (52 = 1,74 mg/dI_; SD = 0,2O) yang secara statistik ber-becla ber-makna dibanding jam ke 0, kenudian diikuti peningkatan kambali mulai jam ke 24 dan maningkat tems sampai jam ke 40, sehingga mambentuk pola parabolik. Kadar rata-rata Mg aritrorsit pada penderita IPR tang; GIJ pada jam ka O (YZ = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) lebih rendah secara bermakna dibanding kelmpok PP (7 = 5,86 mg/dL.; SD = 0,27?). Pala kadar' Mg eritrosit selama 40 jam menunjukkan peningkatan yang dimulai pada jam ke B dan terus meningkat sampai jam ke 40 (Y = 5,42 mg/dl.; SD = 0,ZS4), nembentuk pola linier maningkat. Kadar Mg eritrosit meningkat berrnakna mulai jam ke 24 sampai jam ke 40 setelah diagnosis ditegakkaw dibancling jam ke 0. Perubahan kadar' I?q plasma pada kelompok IMA tanpa GIJ tidak paralel dengan pola psrubahan kadar Mg eritrosit. Kadar rata-rata K serum penderita IMA tang BL] pada jam ke 0 (i = 4,33 rmol/L ; SD = O,34) lebih tinggi sscara beramakna ditnanding kelompok »9P ( 5? = 3,69 nmol/L; SD = O,26). Pola kadar' K serum pada penderita IMQ tanpa GIJ menunjukkan penurunan dirrulai pada jam ka B dan mencapai kadar terendah pada jam ke 32 (i = 4,03 mmol/L; SD O,32), kemudian rneningkat kembali pada jam ke 40, tetapi masih lebih randah secara bermakna dibanding jam ke 0. Penurunan kadar pada jam ke 24 dan 32 berbeda bermakna ds-ngan jam ke O. Dari hasil pa1e1itian ini. dapat dibuktikan bahwa pada IMQ gang QQ terjadi penurunan kaclar Mg plasma, K serum dan Mg eritrcrsit secara bermakna selama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan. Didapatkan pula perbedaan antara parubahan pola kadar- elektrolit tersetut salama 40 jam pada penderita dibandingkan dangan kelompok ¢P dalam waktu yang sama. Pala penurunan kadar' Hg plasma pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IFR tanpa GIJ, tetapi kadarnya pada pendarita IMA dengan GIJ selalu lebih rendah secara bermakna. Kadar Mg plasma yang rendah, canderung meningkatkan r-isiko terjaclinya GIJ pada IMQ. Pola kadar mg eritrosit pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IMQ tanpa GIJ, akan tetapi kadarnya pada pender-ita IPR dengan GIJ selalu lebih tinggi. Dari penelitian ini tidak terbukti kadar- M3 aritrosit dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya GIJ. Pola kadar K serum pada penderita IMA dengan GIJ sarna dengan penderita IHA tanpa GLJ, tetapi kadarnya pada penclerita IMQ dengan GIJ selalu lebih rendah. Kadar' l< serum yang rendah, cenderung meningkatkan risiko terjadinya GIJ. Kadar Mg plasma kurang dari 2,0 mg/dl dan K serum kurang dari 4,0 n-mol/L pada jam ke O sa-telah diagnosis ditegakkan, kemmgkinan dapat dipakai untuk memperkirakan akan terjadinya GIJ. Bila penderita IM4 mengalami hipomagrresemia disertai hipokalemia, risiko terjadinya EIJ lebih besar dibandingkan bila hipnmagnesia atau hipmkalemia saja. Persentase GIJ pada penderita INQ tidak menunjukkan perubahan dengan penurunan kadar' Mg eritr-cnsit, tetapi pawurunan parameter Mg plasma dan serum dapat manujukkan hubungan yang cukup baik."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Melati
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi infark miokard juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini selain disebabkan oleh faktor risiko konvensional, juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan. Upaya pengendalian bam ditujukan pada iinktor-faktor risiko konvensional. yang sudah diketahui jelas pengaruhnya, sedangkan faktor pekexjaan yang menimbulkan job strain masih belum diperhatikan, padahal job strain dapat menimbulkan stres kerja yang akan berdampak pada terjadinya infark miokard. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara job strain dan faktor risiko lainnya dengan terjadinya infark miokard pada pekerja.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jivquency matching 1:1 menurut umur. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner data umum yang meliputi karakteristik demografi, faktor risiko konvensional, karakteristik pekerjaan, dan kuesioner demand- control (ICQ) untuk mengukur job strain.
Hasil: Job strain, merokok dan dislipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infark miokard. Job sirain meningkatkan risiko infark miokard 6,8 kali lipat (Adj OR 6,80, 95% CI: 2,72 ; l6,98, p = 0,000). Perokok ringan bexisiko I5 kali lipat terhadap teljadinya infark miokard (Adj OR 14,97, 95% CI: 3,17 ; 70,74, p = 0,001), perokok sedang beaisiko 7,7 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 7,72, 95% CI: 273 ; 21,84, p = 0,000), dan perokok berat berisiko 26 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 25,6l, 95% Cl: 5,25 ; 124,88, p = 0,000). Dislipidemia meningkatkan risiko infark miokard 2,8 kali lipat (Adj OR 2,82, 95% CI: 1,07 ; 7,44, p = 0,035). Komponen job strain yang meningkatkan risiko infark miokard adalah job demands yang tinggi (Ad_§ OR 2,44, 95% CI: 1,02 ; 5,85, p = 0,046).
Kesimpulan: Job strain, merokok dan dislipidemia secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian infark miokard.

Background and aim: Coronary heart disease is the most tightening disease and still become a problem in the developed and developing countries. The prevalence of myocard infarction is also increasing fiom year to year. Beside the conventional risk factors, it is also influenced by occupational factors. Although job strain can cause stress which would have impact on the occurrence of myocard infarction, the prevention strategies being implemented are just for conventional risk factors. There is still no concern for occupational factors which can also cause job strain. This study was aimed to assess the relationship between job strain and other risk factors with myocard infarction among workers.
Methods: The study design was case - control with frequency matching 1:1 for age. Data were collected by using general questionnaire which covered demography characteristics, conventional risk factors, job characteristics, and demand - control questionnaire(ICQ) to assess job strain.
Result: Job strain, smoking and dyslipidemia were risk factors which had relationship with myocard infarction Job strain increased myocard infarction risk by 6.8 times (Adj OR 6.80, 95% CI: 2.72 ; 16.98, p = 0.000). Light smokers increased myocard infarction risk by 15 times (Adj OR 14.97, 95% CI: 3.17 ; 70.74, p = 0.001), medium smokers increased myocard infarction risk by 7,7 times (Adj OR 7.72, 95% CI: 2.73 ; 21.84, p = 0.000), and heavy smokers increased myocard infarction risk by 26 times (Adj OR 25.61, 95% CI: 5.25 ; 124.88, p = 0.000)_ Dyslipidemia increased myocard infarction risk by 2.8 times (Adj OR 2.82, 95% CI: 1.07 ; 7.44, p == 0.035). Job strain component which increased myocard infarction risk was high job demand (Adj OR 2-44, 95% CI: 1.02 ; 5.85, p = 0046).
Conclusion: Job strain, smoking and dyslipidemia simultaneously had relationship with myocard infarction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah Noor
"ABSTRAK
Kebarhasilan BPK (Bedah Pintas Koroner) dalam mancapai
revaskularisasi dipengaruhi kekerapan IMP (Infark Miokard
Perioperatif). Dalam penelitian prognostik ini dioari faktor-faktor
yang diduga berperan dalam kekencapan IMP pada BPK dengan tujuan pencegahan. Penelitian bersjiat retrospektji terhadap 171 penderita
yang menjalani BPK di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta antara Maret
1986 sampai dengan Februari 1989. Penderita yang dimasukkan dalam
penelitian ini adalah yang mempunyai data EKG serial, enzim miokard
(CK dan CKMB) pra dan pascabedah. Penderita BPK disertai badah
katup, aneurismektomi dan ventricular venting'tidak diikut
sertakan. Seratus tigapaluh satn penderita (76,6%) memenuhi
persyaratan paenelitian ini terdiri atas 126 lak-1aki dan 5 wanita
dengan usia antara 31-72 tahun (rata-rata 53 (kurang lebih) 7,5 tahun).
Kriteria IMP adalah timbulnya gelombang Q haru atau pelebaran Q lama yang menetap disertai puncak enzim CKMB dalam 24 jam pertama
>/40 IU dan fraksi CKMB > 5%. Perubahan EKG pada segmen ST,
gelombang T atau gangguan kcnilu]»:si menetap enzim
dianggap suatu oedera miokard dan diduga nnmg}'.:i.n IMP. Kekerapan IMP berdasarkan kriteria EKG dan enzim adalah 16 olang (12,2%),
penderita yang diduga IMP adalah 10 orang (T,6%) dan bulgan IMP
adalah 131 orang (80,2%).
Tujuh belas variabel prabedah, 6 variabel bedah dan 5 variabel
pasczabedah diuji secam univariat dengan tabulasi silang untuk
mejihat huhmgan antara variahel tersebut dengan hasil akhjr, yaitu
IMP dan rmmgkin IMP.
Variahal prognostik yang bannalcna secara univariat adalah jumlah 'gra_'Et'(p = 0,003), Jana klein aorta (p = 0,G17),1ama mesin pintas jantnmg-paru (p = 0,032), pemakaian IABP ('intra aortic balloon pump') (p = 0,002) dan parakaian dobutaruin (p = 0012). Variabel prognostiki.ndepende.n prabedah dan intra bedah diuji secara analisis lmnltivariat logistik regresi polikotern dan yang terhadap kejadian IMP adalah usia > 50 tahun (OR 4,26), 'graft' >3 (GR 6.26) dan lama klem aorta )B5 menit (OR 3,03). Satu-satunya varzialzuel yang terbukti palling terhadap kejadian yang diduga IMP adalah 'graft' 3(or 2,28). Analisis multivariat manunjukkan bahwa variabel laina klem aorta (GR 4,52} graft (OR 2,73) dan umur (OR 9.22) be antara penderita IMP bila dibandingkan panderita yang diduga IMP.
Disimpulkan bahwa pada penderita dengan kebutuhan 'graft' yang
lebih dari 3, usia >50 tahun dan lama krem aorta 85 menit, risjko
untuk kejadian IMP menjadi lebih besar. Sehingga penderita yang
demikian perlu perhatian khusus saat intrabedah dan pascabedah.
Penderita yang diduga IMP sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti radionuklid rnaupun ekokardiografi. Karena faktor yang berperan tidak sama seperti halnya IMP, perlu dilakukan penalitian prospektif dengan mengeksplorasi faktor-faktor lain seperti peranan iskemi perioperatif, perubahaan hemodinamik perioperatif, paranan obat anestasi dan teknik pnroteksi miokard."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>