Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80923 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yurianatama, Author
"ABSTRAK
Hukum mengatur berbagai aspek dalam kegiatan usaha. Oleh sebab itu hokum yang berlaku di suatu negara merupakan salah satu faktor penting bagi suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya. Salah satu aspek hukum yang perlu menjadi perhatian pelaku usaha di Indonesia adalah Hukum Kepailitan yang diatur dalam Undang-undang Kepailitan.
Undang-undang Kepailitan baik Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, keduanya memberikan persyaratan yang sama bahwa debitor yang patut dipailitkan adalah debitor yang memiliki utang lebih dari satu dan salah satu utangnya telah jatuh waktu dan belum dibayar.
Undang-undang Kepailitan juga menuntut agar pembuktian dari syarat pengajuan permohonan pailit dilakukan secara sederhana. Yang dimaksud dengan "fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besamya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Selama persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Kepailitan telah dipenuhi dan dibuktikan secara sederhana maka debitor menjadi layak atau patut dipailitkan.
PT Prudential Life Assurance (PLA) adalah perusahaan asuransi yang berasal dari lnggris, mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 1995. Pada tanggal 23 April 2004 PT Prudential Life Assurance dinyatakan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Ketika dinyatakan pailit, kekayaan (harta) PLA berjumlah Rp 1.567.658.000.000 (satu trilyun lima ratus enam puluh tujuh milyar enam ratus lima puluh delapan juta rupiah). Sedangkan kewajibannya (utangnya) adalah Rp 1.373.000.000 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh tiga milyar rupiah). Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) PLA ketika dinyatakan pailit adalah 255% atau 155% lebih tinggi dari yang diwajibkan Pemerintah dalam KMK Nomor 424 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Putusan pailit yang diberikan Pengadilan Niaga bertentangan dengan kenyataan yang ada. PLA tidak berada dalam keadaan insolven sehingga patut dinyatakan pailit. sebaliknya PLA berada dalam keadaan yang sangat sehat (sangat solven) berdasarkan pencapaian Batas Tingkat Solvabilitas Minimum yang diatur Menteri Keuangan.
Dalam penulisan ini akan dibahas mengapa perusahaan yang secara keuangan sehat (salven) dapat dinyatakan pailit oleh Undang-undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data-data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi peraturan perundang-undangan dan berbagai bahan bacaan yang berasal dari buku, jurnal, harian termasuk internet.
Aspek yang dianalisis adalah konsep insolvensi (ketidakmampuan membayar) menurut Undang-undang Kepailitan dan konsep insolvensi (ketidakmampuan membayar) menurut Teori keuangan. Pemenuhan syarat "insolvensi (tidak mampu membayar)" berdampak pada patut atau tidaknya perusahaan dinyatakan pailit.
Penelitian menunjukkan bahwa menurut Undang-undang Kepailitan debitor yang memiliki utang yang jatuh waktu dan belum dibayar menempatkannya pada posisi debitor yang tidak mampu membayar (insolven). Untuk itu permohonan pailit atas Debitor yang demikian akan dikabulkan.
Penelitian menunjukkan bahwa Teori Keuangan memberikan persyaratan yang berbeda. Tidak dibayarnya suatu utang yang telah jatuh waktu, tidak menempatkan perusahaan dalam posisi tidak mampu membayar (insolven). Perlu diselidiki lebih lanjut konsisi harta (kekayaan) debitor terhadap kewajibannya. Debitor yang memiliki nilai perusahaan positif yaitu nilai harta (kekayaanlaset) lebih besar daripada kewajibannya (utang/liability), adalah debitor yang salven yang tidak patut dinyatakan pailit. Hanya jika nilai bersih perusahaan menjadi negatif yaitu nilai
kewajiban. (utang/libility) lebih besar daripada harta (kekayaanlasetnya), debitor tersebut menjadi patut dinyatakan pailit.
Undang-undang Kepailitan memiliki indikator ketidakmampuan membayar (insolvensi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh Teori Keuangan. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang secara keuangan sehat (salven) dapat dinyatakan pailit menurut Undang-undang Kepailitan.
Pernyataan pailit atas perusahaan yang sehat menimbulkan kerugian baik bagi debitor maupun bagi masyarakat. Scbab kepailitan mcmiliki biaya, baik biaya langsung (direct cost) maupun biaya tak langsung (indirect cost). Untuk itu perbedaan indikator ketidakmampuan membayar antara Undang-undang Kepailitan dan Teori Keuangan perlu dijembatani. Beberapa hal dapat dilakukan yaitu, mengamandemen Undang-undang Kepailitan, menghimbau agar Hakim Pengadilan Niaga tidak menerapkan Undang-undang Kepailitan secara mekanistis melainkan melakukan tafsiran yang bedandaskan filosofi Undang-undang Kepailitan itu sendiri, dan memberikan pelatihan kepada Hakim Pengadilan Niaga tentang perspektif teori keuangan terhadap kepailitan
"
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Putri Arini
"ABSTRAK
Setiap investor pasti ingin memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi dari investasi yang dilakukannya. Untuk itu mereka akan berhati-hati dalam memilih suatu keputusan mengenai dimana investasi akan ditempatkan. Semakin baik kinerja dari perusahaan maka diharapkan perusahaan tersebut akan lebih baik dalam usaha untuk meningkatkan kekayaan pemegang sahamnya. Tetapi bagaimana cara untuk mengukur kinerja suatu perusahaan kembali kepada investor masing-masing untuk memilih salah satu dari sekian banyak metode penilaian perusahaan.
Dalam karya akhir ini, penilaian kinerja perusahaan dilakukan dengan menggunakan metode Price Earnings Ratio (PER), Economic Value Added (EVA), dan Market Value Added (MVA). Studi kasus untuk perhitungan ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Adapun jumlah perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di BEJ sebanyak tiga perusahaan yaitu PT. Infoasia Teknologi Global, Tbk, PT. Indosat, Tbk, dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Namun karena penelitian dilakukan untuk periode 1999-2004 sementara PT. Infoasia Teknologi Global, Tbk baru terdaftar di BEJ sejak 15 November 2001 maka penelitian hanya dilakukan pada dua perusahaan saja, yakni Telkom dan Indosat.
Dari hasil perhitungan PER diperoleh bahwa untuk tahun 1999-2001, nilai PER Telkom berada di atas nilai PER Indosat. Sementara untuk tahun 2002 dan 2004, nilai PER Indosat berada di atas nilai PER Telkom, dan untuk tahun 2004 nilai PER Telkom kembali naik sedikit di atas nilai PER Indosat.
Dari basil perhitungan EVA, maka secara umum kinerja Telkom terlihat lebih baik daripada Indosat. Hal ini bisa dilihat dari perhitungan EVA yang positif untuk tahun. 2000-2004 dan nilai EVA yang negatif hanya pada tahun 1999. Sementara EVA lndosat hanya bernilai positif pada 1999-2001, semen tara peri ode 2002-2004 nilai EVA-nya negatif.
Dari hasil perhitungan MV A juga terlihat bahwa kinerja Telkom lebih baik dibandingkan Indosat dengan nilai MV A yang negatif hanya untuk tahun 2000 dan 2002 serta nilai MVA positif diperoleh untuk tahun 1999, 2001, 2003, dan 2004. Sedangkan MVA Indosat terns bernilai negatif untuk tahun 1999-2002. Nilai MVA Indosat baru berjumlah positif pada tahun 2003 dan 2004 setelah pihak manajemen Indosat memutuskan untuk melakukan stock-split menjadi lima lembar atas setiap lembar saham yang beredar.
Dari metode-metode yang digunakan, metode PER mernpakan metode yang paling mudah untuk digunakan, akan tetapi penyebut yang digunakan yaitu laba per saham dianggap kurang reliable karena masih banyak dipengaruhi oleh distorsi akuntansi.
Metode EVA dan MVA lebih bagus untuk digunakan dalam mengukur kinerja suatu pernsahaan karena bebas dari distorsi akuntansi dan memang fokus terhadap nilai tambah yang diciptakan untu menghasilkan kekayaan bagi pemegang saham. Akan tetapi perhitungannya tidak mudah, terntama untuk EVA yang memiliki beberapa langkah perhitungan. Terutama dalam menghitung biaya modal yang membutuhkan estimasi - estimasi yang bisa diandalkan. Selain itu hasil dari EVA dan MVA dalam satuan nilai mata uang sehingga sulit untuk dijadikan alat perbandingan kinerja secara langsung antar perusahaan yang berbeda size. Untuk itu dalam karya akhir ini nilai EVA dan MVA hasil perhitungan dibandingkan lagi dengan invested capital agar terlihat perbandingan yang lebih fair atas nilai tambah yang diciptakan masing-masing perusahaan atas total capital yang diinvestasikannya."
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anderson
"ABSTRAK
Sebelum krisis ekonomi melanda kawasan Asia dan Indonesia tahun 1997, salah satu lokomotif perekonomian Indonesia selain sektor perbankan adalah sektor properti, baik property untuk usaha maupun tempat tinggal. Namun, seperti sektor perbankan Indonesia yang pada waktu itu mengalami keterpurukan, sektor properti juga termasuk yang mengalami dampak paling parah akibat gejolak perekonomian regional Asia. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat Indonesia secani signifikan serta mahalnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan properti. Faktor yang terakhir ini timbul akibat jatuhnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap beberapa mata uang asing, terutama dollar Amerika Serikat. Di lain pihak, perusahaan-perusahaan properti tersebut telah banyak menggalang dana pinjaman dari dalam maupun luar negeri dengan berbagai mata uang asing, sehingga jumlah hutang mereka meningkat secara signifikan akibat melcmahnya kurs rupiah dan terancam default.
PT ABC Tbk sebagai salah satu grup perusahaan pengembang properti yang telah go public di Indonesia juga melakukan pinjaman pada bank dan lembaga keuangan dalam dan luar negeri untuk ekspansi usahanya. Proyek pembangunan perumahan, lapangan golf dan pusat perbelanjaan serta pemiagaan terus dikembangkan oleh grup ini di beberapa kota besar Indonesia.
Namun karena pinjaman untuk ekspansi usaha tersebut sebagian besar diperoleh dalam mata uang dollar Amerika Serikat dan tidak dilindung nilai (hedging) secara memadai, perusahaan mengalami kesulitan ketika nilai tukar rupiah mengalarni penurunan yang sangat drastis terhadap dollar. Jumlah hutang yang tercatat pada laporan keuangan PT ABC Tbk menjadi sangat besar karena selisih kurs mata uang yang digunakan. Dengan penghasilan dari penjualan properti di dalam negeri yang sebagian besar menggunakan mata uang rupiah, perusahaan berpotensi untuk tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pinjaman yang telah diperoleh tersebut, yang sebagian besar jatuh tempo antara tahun 1998 dan 1999.
Sejak tahun 1999, pinjaman yang diperoleh PT ABC Tbk dari bank-bank dalam negeri telah
dialihkan kepada Badari Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk direstrukturisasi. Demikian pula halnya dengan pinjaman yang diperoleh dari bank dan lembaga keuangan asing,
sedang dilakukan negosiasi dengan para kreditur untuk direstrukturisasi. Altematif yang digunakan untuk restrukturisasi dengan BPPN maupun kreditur asing ini antara lain dengan
penerbitan convertible bond, perpanjangan waktu pembayaran pokok pinjaman maupun haircut
atas bunga pinjaman.
Penulisan karya akhir ini mencoba menganalisa skema restrukturisasi hutang yang sebagian besar telah disepakati dengan para kreditur dan mulai dilaksanakan oleh PT ABC Tbk pada tahun 2002 serta melihat pengaruhnya terhadap nilai Perusahaan. Dengan menggunakan metode discounted cash flow dan berbagai asumsi yang menyertainya terlihat bahwa nilai Perusahaan pada akhir tahun 2002 adalah sebesar Rp 290,08 per lembar saham, lebih tinggi dibandingkan harga saham PT ABC Tbk di Bursa Efek Jakarta pada saat yang sama yaitu Rp 80 per lembar saham.
Penulisan karya akhir ini juga mencoba untuk memberikan altematif skema restrukturisasi
hutang melalui perpanjangan masa jatuh tempo pembayaran dengan tujuan untuk melihat apakah
dapat memberi dampak yang lebih baik terhadap aktivitas Perusahaan tanpa mengabaikan
kepentingan para pemegang saham. Dengan menggunakan metode penilaian yang sama dan
berbagai asumsi yang menyertainya, diperoleh nilai Perusahaan yang tidak jauh berbeda dengan
hasil penilaian sebelumnya, yaitu Rp 289,24 per lembar saham. Meskipun demikian, secara
kualitatif altematif restrukturisasi hutang ini diyakini akan memberi nilai lebih bagi Perusahaan karena lebih menjamin ketersediaan kas bagi Perusahaan untuk berekspansi lebih lanjut. Hal ini
mengingat bahwa di awal tahun 2003, seperii banyak diprediksi oleh para pengamat ekonomi dan
prope1ii, merupakan laagkah awal kebangkitan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, PT ABC
Tbk tetap memiliki kekuatan secara finansial, yang tercermin dari ketersediaan kas Perusahaan,
untuk menangkap peluang usaha pada ekonomi Indonesia yang mulai bangkit ini.
"
2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maghfiroh Aulia Rahmah
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara indeks tata kelola perusahaan dengan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA dan Tobin’s Q. Penelitian ini menggunakan sampel dari 200 perusahaan non-financial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2017-2021 dengan kapitalisasi pasar tertinggi. Indeks tersebut terdiri dari 14 sub-indeks dalam mengukur kepatuhan tata kelola perusahaan merujuk kepada penelitian Tanjung (2020). Dengan menggunakan metode estimasi GMM (Generalized Method of Moments), hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa indeks tata kelola perusahaan memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap Tobin’s Q, namun memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROA.

The purpose of this study is to determine the relationship between the corporate governance index and financial performance using ROA and Tobin's Q. This study using sample of 200 non-financial companies listed on the Indonesia Stock Exchange for the 2017-2021 period with the highest market capitalization. The index consist of 14 sub-indexes to measure corporate governance compliance referring to Tanjung (2020). Using the GMM (Generalized Method of Moments) estimation method, the results of this study indicate that the corporate governance index has a significant negative effect on Tobin's Q, but has an insignificant negative effect on ROA."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Setiawan
"PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan famasi terkemuka di tanah air. Namun karena badai krisis moneter disertai melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dollar US (dari Rp. 2.000,- per dollar US, menjadi Rp. 16.000,- per dollar US) meuyebabkan perusahaan kesulitan memenuhi kewajibannya kepada para kreditur, khususnya pada bank. Kesulitan yang dialami PT. XYZ adalah karena dua hal, pertama meningkatnya exposure hutang yang hams ditanggung, dan kedua adalah membengkaknya biaya produksi mengingat bahan baku yang sebagian besar masih harus diimpor. Sementara hasil penjualan PT. XYZ adalah kombinasi dari penjualan domestik dan ekspor.
Restrukturisasi hutang PT. XYZ pertama kali dilakukan pada bulan Januari 2000, saat itu alasan yang digunakan PT. XYZ adalah karena kondisi keuangan yang begitu memburuk sehubungan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar US. Saat itu PT. XYZ mendapatkan persetujuan untuk memperpanjan pembayaran hutangnya hingga tahun 2005. Awalnya pembayaran hutang berjalan lancar, namun sejak Bulan April 2002, PT. XYZ kembali meminta perpanjangan jangka waktu selama 7 tahun (efektif berlaku dari tahun 2003 sehingga 2010), dengan masa tenggang (grace period) selama 2 tahun. Alasan yang diajukan oleh PT. XYZ kali ini adalah kebutuhan untuk melakukan investasi yaitu pembangunan pabrik susu dan obat kanker untuk masa 5 tahun ke depan, dengan nilai investasi sebesar Rp. 450.000.000.000,-.
Pengajuan restrukturisasi ulang ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai kelayakan proposal yang diajukan, terutama dalam hal jangka waktu pinjaman yang diperpanjang, masih ditambah pula dengan adanya masa tenggang (grace period). Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi di dalam negeri dan membaiknya kondisi pasar farmasi di Indonesia, penulis menduga tidak perlu dilakukan perpanjangan jangka waktu apalagi ditambah grace period. Sementara keinginan PT. XYZ untuk melakukan investasi yaitu pembangunan pabrik susu dan obat kanker masih layak untuk didukung, mengingat pasar yang sangat besar di Indonesia akan memberikan keuntungan tersendiri bagi PT. XYZ.
Analisis pertama yang dilakukan adalah melihat prospek usaha farmasi dan pertumbuhannya di Indonesia. Jika industri atau usahanya sudah tidak memiliki prospek, maka tidak perlu dilakukan restrukturisasi hutang, melainkan perlu dilakukan penyelesaian kredit. Berdasarkan kajian literatur, terutama dari situs web PT. XYZ, diperoleh kesimpulan bahwa usaha ini masih memiliki prospek sehubungan dengan jumlah pasar yang besar di Indonesia.
Analisis kedua yang dilakukan adalah mempelajari kondisi keuangan PT. XYZ, berdasarkan past performance selama beberapa tahun terakhir. Hasil analisis menunjukkan bahwa prestasi keuangan yang dicatat PT. XYZ cukup baik dan memiliki prospek peningkatan kedepan.
Analisis ketiga yang dilakukan adalah mempelajari strategi pengembangan usaha PT. XYZ, termasuk di dalarnnya strategi manajemen yang diterapkan perusahaan. Hasil analisa menemukan bahwa perusahaan telah menjalankan strategi pengembangan usaha dan penjualan dengan baik (terutama jika dibandingkan dengan industri farmasi di dalam negeri). Lebih dari itu, ternyata PT. XYZ memiliki reputasi yang baik sejak didirikan pada tahun 1970-an.
Berdasarkan kondisi keuangan masa lalu, maka penulis membuat 3 model scenario untuk menyusun Proforma Financial Statement, yaitu: Neraca, Laba Rugi dan Arus Kas. Ada pun ketiga model tcrsebut ada!ah model : Best Case, Most Likely Case dan Worse Case. Penyusunan ini dilakukan dengan memperhatikan trend penjualan dan komposisi biaya - biaya yang ada pada Laporan rugi Laba. Asumsi kondisi Best Case diawali dengan keberhasilan Pemilu 2004 dan masuknya aliran dana/modal asing sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai angka yang signifikan. Kesadaran masyarakat pada kesehatan meningkat sehingga pertumbuhan penjualan mencapai 31,03% (tertinggi dari pertumbuhan dalam 4 tahun terakhir). Cost of Good Sold ('COGS') sebesar 47,65% dari total nilai sales, sementara asumsi lainnya diperkirakan sama dengan struktur biaya rata-rata selama: 4 tahun sebelumya, yaitu untuk selling expense sebesar 4, 76% dari total nilai sales dan pertumbuhan biaya General & Adminsitrative sebesar 20% per tahun dari total nilai Sales.
Asumsi kondisi Most Likelv Case juga ditandai dengan keberhasilan Pemilu 2004 dan masuknya aliran dana/modal asing, namun pertumbuhan ekonomi tidak mencapai angka yang signifikan. Di sisi lain kesadaran masyarakat pada kesehatan tetap meningkat. Pada kondisi ini perturnbuhan penjualan mencapai 23,01% (rata - rata pertumbuhan Sales dalam 4 tahun terakhir), Sementara persentase Cost of Good Sold, selling expense dan perturnbuhan biaya General & Adminsitrative sarna dengan pada skenario Best Case. Asurnsi kondisi Worse Case dilandasi tersendatnya Pernilu 2004, namun pada akhimya Pemilu tetap berhasil dilaksanakan. Akibatnya kepercayaan asing belum pulih seperti sedia kala. Kesadaran rnasyarakat pada kesehatan meningkat, namun tidak diikuti dengan kemarnpuan daya beli yang meningkat signifikan. Pada kondisi ini pertumbuhan penjualan diperkirakan rnencapai 12,83% (perturnbuhan Sales terendah da:lam 4 tahun terakhir), sementara persentase COGS adalah sebesar 45,22% yang rnerupakan angka persentase COGS selama triwulan ketiga (Januari - September) 2003, untuk persentase selling expense dan pertumbuhan biaya General & Administrative sarna dengan kedua scenario lainnya.
Berdasarkan analisa yang dilakukan, diperoleh basil bahwa dengan kondisi yang paling buruk (worse case) sekali pun, perusahaan tetap dapat melunasi pinjaman dalam jangka waktu 5 tahun tanpa perlu mendapat grace period, dan PT. XYZ masih dapat melakukan investasi pembangunan pabrik susu dan obat kanker.
Negosiasi pinjaman yang berlarut - larut disebabkan karena tidak adanya pihak ketiga yang menjembatani kepentingan antara PT. XYZ dan para kreditumya. Pihak ketiga ini seharusnya bertugas meneliti, menilai sekaligus menyampaikan proposal restrukturisasi yang layak sehingga tidak merugikan bagi kreditur maupan PT. XYZ. Untuk mengatasi hal ini, maka penulis menyarankan agar ditempatkan seorang Financial Controller atau Financial Advisor yang berfungsi sebagai mediator dan sekaligus pengawas yang memastikan bahwa PT. XYZ akan memenuhi kewajiban- kewajiban yang telah disepakati. Selain itu belum adanya tindakan yang tegas dari para kreditur akan menyebabkan PT. XYZ memiliki bargaining power yang besar terhadap proses negosiasi restrukturisasi pinjaman, sehingga sebagai persyaratan tambahan penulis menyarankan agar kreditur memintajaminan tambahan berupa aset yang solid dan likuid. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Amri
"Sebagai salah satu perusahaan minyak tertua di Indonesia, PT.X terus menerus melakukan pencarian-pencarian sumber minyak bam serta menggunakan teknologi-teknologi mutakhir untuk meningkatkan produksinya. PT. X merupakan produsen minyak mentah terbesar saat ini di Indonesia dengan jumlah produksinya sekitar 680,000 barrel per hari.
Setelah didapatkannya minyak mentah dari hasil penambangan minyak tersebut, dan hasilnya disimpan dalam tangki penyimpan, selanjutnya PT. X dihadapkan kepada suatu proses lifting atau pengangkatan minyak untuk dijual kepada pembeli akhir, yaitu dengan menggunakan kapal tanker atau melalui pipa. Proses lifting ini dilakukan oleh para offtakers atau fihak-fihak yang mempunyai hak (entitlement) dalam rangka kontrak bagi hasil antara kontraktor dengan Pertamina / Pemerintah. Untuk mencapai hasil lifting yang maksimal, perusahaan harus menerapkan strategi maksimisasi lifting untuk jumlah minyak yang dikangkat atau dikapalkan, agar didapatkan jumlah revenue yang maksimal pula sehingga bisa meningkatkan pendapatan perusahaan.
Untuk mendapatkan angka lifting yang maksimal tersebut, PT. X dihadapkan kepada beberapa batasan yang harus digunakan dalam menghitung perkiraan entitlement / lifting, antara lain jumlah produksi yang diperkirakan per hari, jumlah cost recoverable yang akan digunakan dan berapa harga minyak mentah yang akan dipakai dalam perhitungan.
Kemungkinan-kemungkinan untuk bisa mendapatkan angka maksimal untuk lifting yang menjadi hak bagi PT. X, yang dalam hal ini adalah sebagai kontraktor, bisa dilihat dari asumsi-asumsi yang dipakai dalam perhitungan. Sebagai perhitungan dasar (base-case) dalam tahun 2001 - 2005, penulis memakai perkiraan produksi, cost recoverable dari harga minyak mentah sama seperti yang dipakai oleh PT. X dalam perhitungan untuk periode tahun 2001 - 2005, seperti yang terlihat pada Lampiran 2-6. Sedangkan untuk perkiraan harga minyak yang aktual adalah seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Dengan mengganti harga pada perhitungan awal dengan perkiraan harga rainyak yang aktual ini, untuk kontraktor akan didapatkan angka entitlement / lifting yang baru yang jumlahnya lebih kecil dari angka entitlement /lifting sebelumnya. Hal ini mengakibatkan kontraktor akan berada pada posisi overlift. Kalau overlift tetap terjadi selama satu triwulan, hal ini akan mengakibatkan kontraktor harus membayar jumlah overlift ini dikalikan dengan harga yang terjadi pada bulan ketiga, kepada Pertamina / Pemerintah. Pembayaran ini akan mengurangi revenue perusahaan dan dengan sendirinya akan mengurangi pendapatan perusahaan. Untuk tahun 2001 - 2005 penulis akan menghitung jumlah pembayaran overlift setiap triwulannya, dan dihitung nilai sekarangnya (present value) pada tahun 2000. Discount factor yang dipakai adalah 6.99% per tahun yang merupakan biaya modal rata-rata (weighted average cost of capital) dari PT.X, dan dihitung secara triwulanan.
Pada simulasi kedua dalam perhitungan perkiraan entitlement / lifting untuk tahun 2001 - 2005, penulis merubah harga minyak mentah dari US$ 23 (SLC) dan US$ 21 (DC) menjadi US$26 (SLC) dan US$24 (DC). Sedangkan angka produksi dan cost recoverable sama dengan perhitungan awal (base-case). Besaran harga ini masih dibawah harga yang terjadi pada tahun 2000 dan dianggap cukup konservatip. Dari sini didapatkan angka entitlement I lifting buat kontraktor. Kemudian dengan mengganti harga minyak mentah dengan perkiraan harga aktual, akan didapatkan angka entitlement / lifting yang baru yang ternyata juga lebih kecil dari angka semula. Hal ini juga mengakibatkan kontraktor akan berada dalam posisi overlift. Jumlah pembayaran overlift selama tahun 2001 - 2005 akan dihitung nilai sekarangnya pada tahun 2000.
Pada simulasi ketiga aalam perhitungan perkiraiin entitlement I lifting untuk tahun 2001 - 2005, penulis menggunakan cost recoverable yang diturunkan sebesar US$ IV periode tahun 2001 - 2005, seperti yang terlihat pada Lampiran 2-6. Sedangkan untuk perkiraan harga minyak yang aktual adalah seperti yang terlihat pada Tabet 1.2. Dengan mengganti harga pada perhitungan awal dengan perkiraan harga minyak yang aktual ini, untuk kontraktor akan didapatkan angka entitlement / lifting yang baru yang jumlahnya lebih kecil dari angka entitlement /lifting sebelumnya. Hal ini mengakibatkan kontraktor akan berada pada posisi overlift. Kalau overlift tetap terjadi selama satu triwulan, hal ini akan mengakibatkan kontraktor hams membayar jumlah overlift ini dikalikan dengan harga yang terjadi pada bulan ketiga, kepada Pertamina / Pemerintah. Pembayaran ini akan mengurangi revenue perusahaan dan dengan sendirinya akan mengurangi pendapatan perusahaan. Untuk tahun 2001 - 2005 penulis akan menghitung jumlah pembayaran overlift setiap triwulannya, dan dihitung nilai sekarangnya (present value) pada tahun 2000. Discount factor yang dipakai adalah 6.99% per tahun yang merupakan biaya modal rata-rata (weighted average cost of capital) dari PT.X, dan dihitung secara triwulanan.
Pada simulasi kedua dalam perhitungan perkiraan entitlement / lifting untuk tahun 2001 - 2005, penulis merubah harga minyak mentah dari US$ 23 (SLC) dan US$ 21 (DC) menjadi US$26 (SLC) dan US$24 (DC). Sedangkan angka produksi dan cost recoverable sama dengan perhitungan awal (base-case). Besaran harga ini masih dibawab harga yang terjadi pada tahun 2000 dan dianggap cukup konservatip. Dari sini didapatkan angka entitlement I lifting buat kontraktor. Kemudian dengan mengganti harga minyak mentah dengan perkiraan harga aktuaf, akan didapatkan angka entitlement / lifting yang baru yang ternyata juga lebih kecil dari angka semula. Hal ini juga mengakibatkan kontraktor akan berada dalam posisi overlift. Jumlah pembayaran overlift selama tahun 2001 - 2005 akan dihitung nilai sekarangnya pada tahun 2000.
Pada simulasi ketiga aalam pe^hitungan perkiiaar* entitlement I lifting untuk tahun 2001 - 2005, penulis menggunakan cost recoverable yang diturunkan sebesar US$ 1,500,000 per bulan. Angka ini diambil dan perbedaan rata-rata antara angka perkiraan dengan angka aktual dari cost recoverable pada tahun 1999 dan 2000. Sedangkan angka produksi dan harga minyak mentah sama dengan perhitungan awal (base-case). Dari sini didapatkan angka entitlement I lifting buat kontraktor. Kemudian dengan mengganti harga minyak mentah dengan perkiraan harga aktual, dan mengembalikan cost recoverable kepada posisi semula, maka akan didapatkan angka entitlement / lifting yang baru yang ternyata lebih kecil dari angka semula. Hal ini juga mengakibatkan kontraktor akan berada dalam posisi overlift. Jumlah pembayaran overlift selama tahun 2001 - 2005 akan dihitung nilai sekarangnya pada tahun 2000.
Dari ketiga simulasi diatas maka nilai sekarang yang paling kecil untuk nilai overlift adalah pada simulasi kedua dimana harga perhitungan awal entitlement I lifting menggunakan harga US$26 (SLC) dan US$24 (DC). Simulasi yang kedua ini adalah sebagai alternatif cara perhitungan yang paling tepat bagi PT. X dalam menentukan strategi lifting untuk tahun 2001 -2005 dibanding kedua cara yang lain, dimana dicapainya nilai revenue yang maksimal, sehingga pendapatan perusahaan juga akan menjadi maksimal."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vela Alhena
"Krisis moneter yang meianda Indonesia muiai pertengahan iahun 19S7 menyebabkan berbagai aktivitas usaha mengaiami kesulitan, termasuk sektor pariwisata. Sektor pariwisata sangat berganiung kepada perubahan kondisi sosiai poiitik dan kearuanan daiaffi negen, ha! rnt yang menyebabkan pada tahun - tahun 1397 - 1936, perusahaan - perusahaan yang bergerak pada sektor pyriwisata mengaiami penurunan unjuk kerja keuangan.
Kondisi perekonomian iahun 2000 menunjukkan perubahan yang rnenggembirakan, diiambah dengan usaha pernenntah untuk rneiTiulihkan sektor panwisaia dengan rnencanangkan visi bahwa Fariwisata dan Kesenian rnenjadi saiah satu andaian pembangunan, membuat harapan baru uniuk mulai stabiinya aktivitas usaha pada sektor ini. Perusahaan yang diamati pada sektor ini adaiah PT. Sona Topas Tourism industry, Tbk. Hasii pengamatan iahun - tahun yang ialu, termasuk pada masa krisis, unjuk kerja keuangan PT. Sona Topas Tourism industry, Tbk menunjukkan kecenderungan semakin menurun.
Hasil proyeksi unjuk kerja keuangan perusahaan untuk tahun 2000 - 2005 menunjukkan perbaikan dan unjuk kerja keuangan tersebui dengan tetap rnempernatikan kebijakan ? kebijakan perusahaan serta pengalarnn dari iahun - tahun yang iaiu, seningga sesuai dengan karakieristik internal perusahaan. Kewajiban perusahaan menurun ierus sesuai dengan program restrukturisasi hutangnya dan perusahaan tidak rnengalarfii kesulitan keuangan daiarn pembayarannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Astuti
"ABSTRAK
Karya akhir ini mempunyai tujuan untuk menganalisis pemilihan investasi (capital budgeting) mesin produksi yang paling layak untuk dilakukan. Investasi yang dianalisis adalah berupa pembelian mesin produksi produk Face Powder atau produk Face Cleanser baru oleh PT Kosmetika X. Kedua produk ini merupakan pengcmbangan varian dari produk existing yang saat ini menjadi backbone penjualan PT Kosmetika X. Investasi ini diperlukan oleh PT Kosmetika X untuk menambah pangsa pasamya selama ini. Dengan asumsi bahwa kapasitas mesin produksi existing sudah penuh, maka untuk memproduksi produk baru ini diperlukan tambahan investasi mesin baru. Namun, PT Kosmetika X harus membuat prioritas mesin manakah yang harus dibeli terlebih dahulu karena keterbatasan dana yang ada.
Studi karya akhir ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur Net Present Value, IRR, dan Payback Period. Sedangkan langkah-langkah penelitian yang dilakukan secara garis besar adalah mencarifree cash flow dengan adanya mesin baru ini. Free cash flow yang dimaksud adalah berasal dari pendapatan karena penjualan dikurangi dengan COGS, ditambahkan net working capital dan net capital expenditure. Setelah free cash flow teridentifikasi, kemudian dicari discount rate-nya. Discount rate yang dipakai adalah cost of equity karena seluruh pendanaan yang dibutuhkan adalah berasal dari equity.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam studi karya akhir ini antara lain yaitu: jangka wak'iu perhitungan selama 5 tahun dengan pertimbangan umur efektif mesin, jangka waktu pembayaran AR adalah selama 30 hari dan AP selama 45 hari. Selain itu, mengingat karakteristik fungsi produk baru ini serupa dengan produk existing, maka akan ada pangsa pasar produk existing yang terserap. Dengan demikian diasumsikan kapasitas mesin yang digunakan untuk memproduksi produk existing ada yang tidak terpakai sehingga sebagian permintaan produk baru yang berasal dari penyerapan produk existing dapat diproduksi pada mesin yang sudah ada. Penentuan jumlah permintaan dari hasil serapan produk existing dilakukan dengan pembobotan. Setelah free cash flow diidentifikasi, analisis NPV, IRR, dan Payback Period dilakukan. NPV dan IRR tertinggi serta Payback period investasi tercepat adalah yang dipilih.
Hasil yang diperoleh dalam studi karya akhir ini adalah bahwa NPY dan IRR untuk produk Face Powder lebih tinggi dan Payback period lebih ccpat dibandingkan dengan produk Face Cleanser. IRR dan payback yang diperokh lebih besar dibandingkan dengan benchmark yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen. Nilai NPV dan IRR yang sangat besar diperoleh karena PT Kosmetika X adalah perusahaan manufacturing yang menjual produknya kepada sister company-nya yaitu PT Kosmetika Y yang merupakan perusahaan marketing untuk didistribusi melalui sister company yang lain yaitu PT Kosmetika Z. Dalam hal ini tidak ada biaya transportasi, distribusi, dan promosi yang harus dikeluarkan oleh PT Kosmetika X.
"
2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damar Latri Setiawan
"ABSTRAK
Perkembangan Pegadaian ditandai dengan meningkatnya penyaluran pinjaman kepada masyarakat dan ekspansi dengan cara membuka cabang baru yang kesemuanya menuntut adanya tambahan sumber dana. Bertambahnya sumber dana membawa konsekuensi biaya modal yang meningkat. Agar peningkatan biaya modal ini tidak menambah resiko/beban keuangan perusahaan, maka dimungkinkan adanya perbaikan struktur keuangan Perum Pegadaian.
Penelitian ini menganalisis Kinerja Perum Pegadaian sebelum dan sesudah penerbitan obligasi terhadap. Tools yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio-rasio yang menyangkut kinerja perusahaan dan perhitungan WACC ( Weighted Average Cost of Capital).
Secara umum kinerja perusahaan setelah penerbitan obligasi cenderung membaik hila dibandingkan kinerja sebelum penerbitan obligasi . Kenaikan pada WACC selalu diimbangi dengan kemampuan dari Perum Pegadaian untuk tetap menghasilkan laba bersih, baik dari ukuran ROE (Return On Equity) maupun ROA (Return On Assets), sehingga kinerja dari perusahaan selalu terjaga dalam kondisi yang baik.
Salah satu resiko yang dihadapi Perum Pegadaian adalah Resiko Pendanaan, yaitu dalam memberikan pinjaman kepada nasabah, perusahaan menghadapi resiko berkurangnya sumber dana, sehingga kemampuan untuk memberikan pinjaman menjadi berkurang. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan pendapatan dan akhirnya menurunkan pertumbuhan tingkat keuntungan Pegadaian. Sehingga menurut penulis Perum Pegadaian perlu melakukan pengkajian untuk mencari altematif sumber pendanaan lain. Sumber pendanaan tersebut dapat berbentuk surat berharga Saham. Untuk bisa menerbitkan saham, Perum Pegadaian harus berubah status dari Perum menjadi PT (Perseroaan). Perum Pegadaian juga bisa bekerjasama dengan pihak lain untuk masalah pendanaan , misal perbankan dengan membantu menyalurkan Kredit Usaha Mikronya.
"
2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Muhammad Rasyid
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor internal perusahaan terhadap perubahan struktur modal perusahaan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinary least square da random-effect model. Penelitian ini menggunakan data panel dari 55 perusahaan pada sektor properti, real estate, dan konstruksi dan consumer good dari tahun 2014 hingga tahun 2018. Hasil penelitian menujukkan bahwa profitabilitas memberikan pengaruh signifikan dengan koefisien yang negatif terhadap perubahan struktur modal perusahaan, yang mana sesuai dengan teori Pecking-Order. Kemudian antara sektor usaha jugaterdapat perbedaan dalam mempengaruhi perubahan struktur modal.

This study aims to analyze the influence of internal company factors on changes in the company's capital structure. The method used in this research is ordinary least square and random-effect models. This study uses panel data from 55 companies in the property, real estate, and construction and consumer good sectors from 2014 to 2018. The results showed that profitability had a significant effect with a negative coefficient on changes in the company's capital structure, which is in accordance with the Pecking-Order theory. Then between business sectors there are also differences in influencing changes in capital structure."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>