Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143288 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Belinda Gunawan
"ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan permasalahan-permasalahan tentang keberadaan dan fungsi dari wakil kepala daerah di Indonesia karena tidak mengatur secara tegas mengenai tata cara pengisian jabatan dan jumlah wakil kepala daerah yang dapat dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Tesis ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber datanya, serta bersifat preskriptif, yaitu memberikan saran, penyelesaian dan saran terhadap penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa akibat karena tidak tegasnya pengaturan tentang wakil kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu ketidakpastian hukum untuk mengadakan jabatan wakil kepala daerah karena pengaturannya mudah berubah-ubah dan tergantung pada undang-undang lain. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan atas undang-undang tentang pemerintahan daerah, khususnya mengenai keberadaan dan jumlah wakil kepala daerah harus diatur secara eksplisit di dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

ABSTRACT
Law number 23 on 2014 of Regional Governance which has been amended by Law Number 2 of 2015 on Amendment of Law Number 23 on 2014 and Law Number 9 of 2015 on Second Amendment of Law Number 23 on 2014 Law of Regional Governance caused problems about Deputy Head of Regional Government 39 s existence and functions in Indonesia because Law Number 23 on 2014 did not regulate the mechanism to fill the deputy head position and also did not determine the possible number of deputy heads that can be appointed by each regions. This is a prescriptive and juridical normative thesis that used secondary data as it source and intended to give solutions and recommendations. The result is, there are implications that caused by unclear norms in Law of Regional Governance in Indonesia. The implication is, the rule about legal standing of deputy head of regional governance becomes uncertain, because the norm is easy to be changed and depends on another regulation outside the Law of Regional Governance. Therefore, the norms in Law of Regional Governance needs to be revised, especially the norms about number and existence about deputy head of regional governance."
Depok: 2017
T49645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The restructuring of relationship between central government and governor as representative of central government,besides avoides avoids misunderstanding which can emerge conflict,makes clear the linkages between central government and province,and also can secure effectivuness the inplimentation of government tasks at regional level,which up till now tends to be left in an unfinished state...."
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Prahesti Sekar Kumandhani
"Dalam negara kesatuan, peraturan daerah sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan sekaligus wujud aktualisasi penyelenggaraan otonomi daerah perlu diawasi oleh pemerintah pusat. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah semakin ketat dan bervariasi bahkan melibatkan 3 (tiga) cabang kekuasaan di tingkat pusat. Berbagai macam pengaturan yang tidak sinkron pada tingkat pusat menjadi persoalan utama pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah dan menghambat perwujudan suatu peraturan daerah yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab ketepatan sporadis pengaturan pengawasan peraturan daerah, menganalisis keterlibatan antar lembaga yang mengawasi peraturan daerah, serta menemukan desain pengawasan peraturan daerah yang komprehensif. Secara normatif, berbagai pengaturan dalam pengawasan peraturan daerah ditemukan problem inkonsistensi hukum yang saling tumpang tindih bahkan melampaui kewenangan. Secara kelembagaan, ego sektoral antar kementerian masih tinggi sehingga koordinasi sulit dijalankan, keterlibatan DPD selaku lembaga legsilatif tingkat pusat dalam mengawasi peraturan daerah tidak tepat, dan kewenangan antara Mahkamah Agung dan pemerintah pusat tidak seharusnya dipertentangkan karena memiliki ranah yang berbeda. Menjawab persoalan tersebut, diperlukan kesatuan pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah dalam bentuk Undang-Undang, pentingnya menegaskan fungsi pengaturan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dengan membentuk suatu pusat pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menertibkan peraturan perundang-undangan dari pusat hingga daerah, serta perlu dipertegas tujuan penyelenggaraan negara untuk kepentingan nasional bukan untuk kepentingan daerah atau terbatas untuk kepentingan pusat. Dengan demikan, bandul desentralisasi dan sentralisasi dapat berayun setimbang saling mendukung dan melengkapi sehingga kedua hal tersebut tidak harus dipertentangkan satu sama lain.
.....In a unitary state, regional regulations as part of the hierarchy of laws and regulations as well as the actualization of the implementation of regional autonomy need to be supervised by the central government. After the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government, the regulation regarding the supervision of regional regulations has become more stringent and varied, even involving 3 (three) branches of power at the central level. Various kinds of arrangements that are not synchronized at the central level are the main problems for local governments in carrying out regional autonomy and hinder the realization of a quality regional regulation in accordance with the needs of the community. This research is intended to answer the sporadic accuracy of the regulation or supervision of regional regulations, analyze the involvement of institutions that oversee regional regulations, and find a comprehensive design of supervision of regional regulations. Normatively, various arrangements in the supervision of regional regulations are found to be inconsistent in the law that overlaps and even exceeds the authority. Institutionally, the sectoral ego between ministries is still high so that coordination is difficult to carry out, the involvement of the DPD as a legislative institution at the central level in supervising regional regulations is inappropriate, and the authority between the Supreme Court and the central government should not be contested because they have different domains. Responding to this problem, it is necessary to have a unified regulation regarding the supervision of regional regulations in the form of a law, the importance of affirming the regulatory function of the President as the holder of the highest government power by establishing a center for the formation of laws and regulations to regulate laws and regulations from the center to the regions and needs to be emphasized. the purpose of state administration is for the national interest, not for the regional interest or limited to the central interest. Thus, the pendulum of decentralization and centralization can swing in balance to support and complement each other so that the two things do not have to be contradicted with each other."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Sonia Ivana
"Nama : SONIA IVANA BARUSNPM : 160 693 4613Program Studi : Ilmu Hukum-Hukum KenegaraanJudul : ldquo;Kewenangan Pembatalan Peratuan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri sebagai Executive Control terhadap Pemerintah Daerah rdquo; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri dengan instrumen berupa Peraturan Menteri, diberikan kewenangan untuk membatalakan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan, adanya dualisme pandangan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan perda juga memunculkan persoalan tersendiri. Belumselesai perdebatan mengenai keabsahan penggunaan Peraturan Menteri untuk membatalkan peraturan daerah, Putusan Mahkamah MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2016 yang telah mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah perda menibulkan permasalahan baru seputar eksistensi lembaga eksekutif pusat dalam hal membatalkan suatu peraturan daerah. Penulisan ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data-data skunder sebagai sumber datanya dan bersifat presfiktif yakni untuk memberikan saran penyelesaian terhadap topik yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada dasarnya, penggunaan peraturan menteri untuk membatalakan peraturan daerah kurang tepat, hal itu dikarenakan Menteri dengan Pemerintah Daerah tidak memiliki hubungan secara struktural, meskipun secara hiearki pearaturan menteri bisa saja berada diatas pearturan daerah, sehingga penggunaan instrumen hukum berupa Peraturan Presiden dianggap sebagai solusi paling ideal seperti yang digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, Putusan MK yang kini menghilangkan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah, dianggap perlu dikaji lebih lanjut. Pasalnya, secara tidak langsung MK sudah menghilangkan kewenangan pusat eksekutif untuk melakukan kontrol terhadap daerahnya, padahal Indonesia adalah negara kesatuan dimana campur tangan pemerintah pusat kepada daerahnya adalah hal yang wajar dan bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi. Kata Kunci : Kewenangan, Peraturan Daerah, executive control

Name SONIA IVANA BARUSNPM 160 693 4613Study Program Ilmu Hukum Hukum KenegaraanTitle ldquo Regional Regulation Annulment by Minister Of Internal Affairs as Executive Control for Regional Government rdquo Law of Republic Indonesia Number 23 of 2014 about Regional government state that Minister of Internal Affairs with Ministerial Regulation, have an authority for annuling Regional regulation which is contradict higer rule of law provisions, public interest and or decency. Meanwhile, the duality of views about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation creates contentions. Beside the contention about validity of Ministerial Regulation for annul Regional regulation, verdict of Constitutional Court number 137 PUU XIII 2015 and number 56 PUU XIII 2016 which has been revoked Minister of Internal Affairs authority for annul Regional regulation caused problem about the existance of executive in terms of annuling Regional regulation.This researchis in the form of juridical normative which is used secondary data as the resources and prespective point of view with the intention of providing solution towards the topic.The result of this research shows, basicly, the utilization of Ministerial Regulation for annul Regional regulation is not proper, because the Minister and Regional government are not related in a structural scheme, in despite of, Ministerial Regulation maybe higher than Regional regulation, with the result of that the most ideal solution is to use Presidential Regulation as in Law No. 32 of 2004.Moreover, verdict of Constitutional Court which is revoked the authority of Minister of Internal Affairs for annul Regional regulation, need to be reviewed. Because of that verdict, Contitutional Court undirectly revoked the authority of executive for controlling its region, considering Indonesia is an unitary state the central government intervention to the region is reasonable and not violating the constitution. Key Words Authority, Regional regulation, Executive Control"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ficky Utomo
"Penelitian ini membahas mengenai Kegagalan Upaya Pemekaran Daerah di Indonesia (Studi Kasus Gerakan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon Dalam Upaya Pemekaran Provinsi Cirebon Periode Tahun 2000-2018). Penelitian ini menggunakan Teori Gerakan Sosial, Teori Political opportunity structure, Teori Resources mobilization theory, dan Teori Collective Action Frames di dalam membedah persoalan penelitian yang diajukan perihal apa penyebab gerakan pemekaran Provinsi Cirebon ini mengalami kegagalan. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan studi pustaka dan mengumpulkan data melalui wawancara mendalam. Peneliti beragumen bahwa gerakan pemekaran Provinsi Cirebon ini memenuhi semua prasyarat untuk diakui sebagai sebuah gerakan sosio-politik. Peneliti juga berargumen bahwa di dalam kesempatan struktur politik, organisasi Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) mengalami keadaan yang disebut sebagai kurvalinier dalam hubungannya dengan struktur politik dan kemunculan gerakan sosial. Peneliti juga berargumen bahwa terjadi instabilitas jejaring elit di dalam pengupayaan pemekaran Provinsi Cirebon ini. Karena disatu sisi gerakan ini disupport oleh beberapa pihak elit, namun di sisi yang lain beberapa elit dilain pihak menolak atau membiarkan gerakan ini dalam situasi yang tidak jelas, dan elit yang membantu pun tidak terlalu signifikan membantu. Dan di dalam pengupayaan pemekaran Provinsi Cirebon, peneliti berargumen bahwa para aktivis penggerak tidak mengalami represi dari negara. Sedangkan di dalam upaya memobilisasi sumberdaya, organisasi P3C dan para elit keraton Cirebon terhalang oleh kondisi finansial yang tidak cukup namun di dalam pengelolaan organisasinya berjalan dengan cukup baik dan tidak menjadi halangan. Dan terkahir, dari sisi framing, peneliti berargumen bahwa aktivitas agitasi dan framing di dalam organisasi ini dapat berjalan dengan baik, baik itu dengan media seminar, demonstrasi, maupun lewat berbagai terbitan tulisan di media.

This study discusses the Failure of Regional Expansion Efforts in Indonesia (Case Study of the Presidium Movement for the Establishment of the Province of Cirebon in the Efforts to Expand Cirebon Province for the Period of 2000-2018). This research uses Social Movement Theory, Political Opportunity Structure Theory, Resource Mobilization Theory Theory, and Collective Action Frames Theory in dissecting the research problems raised regarding what causes the Cirebon Province regional divergence movement to fail. By using a qualitative method that is by library research and collecting data through in-depth interviews. The researcher argues that the Cirebon Province regional divergence movement fulfills all the prerequisites to be recognized as a socio-political movement. The researcher also argues that on the occasion of political structure, the organization of the Presidium for the Establishment of the Province of Cirebon (P3C) experienced a condition called curvalinier in relation to political structure and the emergence of social movements. Researchers also argue that there is instability in elite networks in the efforts to expand the Cirebon Province. Because on the one hand this movement is supported by some elite parties, but on the other hand some elites on the other hand reject or leave this movement in unclear situations, and the elite who help is not too significant to help. And in seeking the expansion of the Cirebon Province, researchers argued that activist activists did not experience repression from the state. Whereas in the effort to mobilize resources, the P3C organization and the elite of the Cirebon palace were hindered by inadequate financial conditions but in managing their organizations well and did not become a hindrance. And finally, in terms of framing, researchers have argued that agitation and framing activities within this organization can run well, be it through media seminars, demonstrations, or through various writing publications in the media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T55233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rd. Kaleh Putro Setio Kusumo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai implementasi kebijakan peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 Tentang perangkat daerah di dua Kabupaten yakni Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis bagaimana implementasi penataan kelembangaan yang didasarkan melalui amanat PP No 18 Tahun 2016 dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penataan perangkat daerah. Adapun pendekatan penelitian menggunakan kualitatif dengan menggunakan paradigma Post Positivism. Hasil temuan penulis menunjukan bahwa implementasi kebijakan PP No 18 Tahun 2016 pada dua kabupaten yakni Kabupaten Banyuwangi dan Hulu Sungai Utara telah berhasil dilakukan namun masih bersifat prosedural. Hal ini terlihat dari adanya tipologi perangkat daerah berdasarkan beban kerja. Namun PP tersebut belum bisa menghasilkan perangkat daerah yang tepat fungsi dan ukuran secara objektif yang dapat meningakatkan kinerja pemerintah daerah. Kemudian faktor yang mempengaruhi implementasi penataan perangkat daerah di dua Kabupaten ini adalah dari isi kebijakan adalah faktor kepentingan yang dipengaruhi kebijakan dan derajat perubahan yang diharapkan. Sedangkan untuk faktor konteks kebijakan yang mempengaruhi adalah kekuasan, kepentingan dan aktor yakni jabatan kepala daerah yang bersifat jabatan administratif dan jabatan politik serta karakteristik lembaga dan penguasa yang dipengaruhi oleh kepemimpinan. Kemudian kontribusi sisi akademis, penelitian ini menguatkan teori Grindle bahwa isi dan konteks kebijakan mempengaruhi implementasi kebijakan namun penelitian ini penulis menyarankan untuk menambahkan faktor standar kebijakan dalam faktor yang mempengaruhi isi kebijakan

ABSTRACT
This thesis discusses  the implementation of regional government agency on 18/2016 in Banyuwangi regency in east java and Hulu Sungai regency in south borneo. The purpose of this study is to analyze how the implementation of institutional arrangements is based on the mandate of Government Regulation No. 18 of 2016 and to know the factors that influence the implementation of regional device arrangement policies. The research approach uses qualitative by using the Post Positivism paradigm. The findings of the authors indicate that the implementation of the PP No 18 of 2016 policy in two districts namely Banyuwangi and Hulu Sungai Utara Districts has been successfully carried out but is still procedural. This can be seen from the typology of regional devices based on workload. However, the PP has not been able to produce objective regional functions and measures objectively which can improve local government performance. Then the factors that influence the implementation of regional government agency in the two districts are the contents of the policy are the factors of interest that are influenced by policy and the degree of change expected. As for the policy context factors that influence are power, interests and actors, namely the position of regional head in the form of administrative positions and political positions and the characteristics of institutions and authorities influenced by leadership. Then the contribution of the academic side, this study corroborates Grindle's theory that content and policy context influence policy implementation, but this study suggests that the authors add standard policy factors to factors that influence policy content."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Dwi Astuti
"Pemilukada langsung menghasilkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan beragam latar belakang dan profesi yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kurangnya kemampuan kepala daerah dalam melaksanakan fungsinya berdampak pada kinerja pemerintahan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa fungsi kepala daerah dalam kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah. Dipilihnya Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya dikarenakan latar belakang Bupati Tangerang dan Wali Kota Tasikmalaya yang non birokrat sehingga kedua kepala daerah tersebut memiliki strategi tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, pemilihan didasarkan pada peringkat dan status kinerja Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya Tahun 2012-2013. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah yang terdiri dari 4 kuadran. Dengan menggunakan teori ini dapat dipetakan fungsi kepala daerah yang mendominasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan metode pemilihan kasus most different cases. Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui fungsi Bupati Tangerang yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kabupaten Tangerang terletak pada kuadran 1 dimana bupati berfungsi dalam koordinasi dan komunikasi serta mengajak masyarakat berpartisipasi aktif. Selain itu, fungsi lain yang mendominasi terletak pada kuadran 3 dimana bupati berfungsi dalam perubahan budaya organisasi dan pola pikir pegawai. Selanjutnya pada kuadran 4 dimana bupati dapat melaksanakan fungsinya dalam pembentukan sistem pelayanan dan kepatuhan terhadap prosedur hukum. Fungsi Wali Kota Tasikmalaya yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kota Tasikmalaya berada pada kuadran 1 dimana wali kota dapat membina hubungan yang baik dengan masyarakat, pegawai, dan stakeholders lainnya. Kemudian fungsi lain terletak pada kuadran 2 dimana wali kota dapa tmelakukan perencanaan dan penganggaran dengan strategi yang baik.

Direct election generates regional head and deputy regional head with diverse backgrounds and professions who influence the regional administration. The lack of ability to carry out the regional head's function has an impact on the performance of local government. This study aims to analyze the function of regional head in the local government performance management framework. The researcher has chosen Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality because the Tangerang Regent's and Tasikmalaya Mayor's background are non bureaucrats so that both the regional head have its own strategies in local governance. In addition, the selection is based on the ratings and performance status of Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality in 2012-2013. The theory used in this research is the theory of local government performance management framework that consists of four quadrants. By using this theory can be mapped the function that dominates the regional heads in local governance. The method used in this research is qualitative method with a method of case' selection is most different cases. The results of this study are the function that dominates Tangerang Regent within the performance management framework of Tangerang Regency located in quadrant 1 where the regent's function in coordination and communication, and invites the public to participate actively. In addition, other functions that dominate located in quadrant 3 where the regent's function in changing organizational culture and employee mindset. Later in the fourth quadrant where the regent can carry out its function in establishing the service system and compliance with legal procedures. The Tasikmalaya Mayor's function that dominates in the performance management framework are in quadrant 1 where the mayor can establish a good relationship with the community, employees, and other stakeholders. Then other functions located in quadrant 2 where the mayor is able to make planning and budgeting with a good strategy"
2015
T43988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azhary Arramadhani
"Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan akan mengakibatkan hilangnya status Ibu Kota Negara yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana rumusan otonomi yang akan diterapkan di Provinsi Jakarta setelah tidak lagi mengemban status Ibu Kota Negara. Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Berasal dari penerapan desentralisasi tersebut,  Indonesia juga menerapkan desentralisasi asimetris yang penerapannya berupa daerah khusus seperti yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta. Kekhususan yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah penekanan otonomi di tingkat Provinsi. Setelah tidak lagi mengemban status daerah khusus, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk memberlakukan otonomi reguler atau otonomi asimetris. Otonomi reguler akan mengembalikan rumusan otonomi Provinsi Jakarta mengikuti rumusan di UU No. 23 Tahun 2014. Di sisi lain, penerapan asimetris membuka kemungkinan untuk model-model otonomi lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis-normatif dengan metode analisis secara kualitatif. Model otonomi yang diterapkan di Provinsi Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota Negara harus mempertimbangkan berbagai aspek yang terjadi di Provinsi Jakarta. Rumusan otonomi di Provinsi Jakarta sepatutnya mengakomodasi perkembangan lewat batas administrasinya sehingga dapat terbentuk otonomi daerah yang terintegrasi antar wilayah. Selain itu, penting untuk menekankan partisipasi lokal dalam mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan semangat otonomi daerah pasca reformasi.

The capital city relocation to Kalimantan would result in the lost of capital city status which is held by Special Capital Region of Jakarta. This will also raises questions about how autonomy will be implemented in Jakarta Province after it no longer holds the status as capital city. Regional autonomy in Indonesia is implemented with principles of decentralization, deconcentration, and co-administration. Derived from the implementation of decentralization, Indonesia has also implemented asymmetric decentralization, which is implemented in the form of special region such as held by the Special Capital Region of Jakarta. One of the specialities of Special Capital Region of Jakarta is the emphasis on autonomy at the provincial level. The Central Government has the authority to impose regular autonomy or asymmetric autonomy over Jakarta Province after capital city relocation. Regular autonomy will restore the autonomy formula for Jakarta Province following the formulation in Law No. 23 of 2014. Asymmetric decentralization will opens the possibility for other models of autonomy. The method used in this research is juridical- normative  with qualitative analysis methods. The autonomy model applied in the Jakarta Province after the relocation of the capital city should consider various aspects that occur in the Province of Jakarta. The design of autonomy in the Province of Jakarta should accommodate developments beyond its administrative boundaries so that an integrated regional autonomy can be formed between regions. In addition, it is important to emphasize local participation in managing their own regions in accordance with the spirit of regional autonomy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yudistira
"Dalam pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU) Dalam Penyediaan Infrastruktur, pemerintah dapat memberikan jaminan pemerintah dalam bentuk jaminan infrastruktur. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan kredit dari proyek KPBU yang dilaksanakan oleh badan usaha pelaksana sebagai mitra pemerintah. Jaminan infrastruktur tersebut diberikan oleh pemerintah melalui badan usaha milik negara yang dibentuk khusus untuk memberikan penjaminan infrastruktur, yaitu PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Dalam pelaksanaan pemberian jaminan infrastruktur kepada badan usaha pelaksana, PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) memiliki hak regres kepada pemerintah daerah selaku penanggung jawab proyek kerjasama. Penyelesaian hak regres tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian penyelesaian regres antara PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan Pemerintah Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama. Tesis ini membahas mengenai mekanisme pembayaran perjanjian penyelesaian regres dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara/daerah. Penelitian ini bersifat preskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya pembayaran regres tidak dapat dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hal ini dikarenakan tidak terdapat jenis/kelompok pengeluaran/belanja yang dapat digunakan untuk mengalokasikan pembayaran regres sehingga berakibat skema perjanjian penyelesaian regres tidak dapat terlaksana dengan baik.

In the implementation of the Cooperation Beetwen Government and Business Entities (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha - KPBU) in the Provision of Infrastructure, the government can provide government guarantees. It is intended to improve the creditworthiness of the KPBU projects as implemented by Special Purpose Company (SPC) as a government‟s partner. The infrastructure guarantees given by the government through the state-owned enterprise whom set up specifically to provide assurance infrastructure, namely PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund ? IIGF). In the implementation of the provision of guarantees to SPC, IIGF has recourse to local authorities as the person in charge of the project cooperation. Completion of recourse is expressed in the form of a recourse settlement agreement between IIGF and Local Government as the Contracting Agency. This thesis discusses the payment mechanism of the settlement agreement Recourse in the Local Budget (APBD) under State/Regional Monetary Regulations. This study prescriptive using normative juridical method. The results showed that the implementation of payment Recourse can not be budgeted in the Local Budget. This is because there are no types / groups of expenditures that can be used to allocate payments resulting Recourse Recourse settlement agreement scheme can not be implemented properly."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>