Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182413 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kristina Joy Herlambang
"ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik PGK merupakan penyakit kronik progresif yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan bersifat irreversible. Pasien PGK stadium akhir membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk memertahankan tubuh dari toksisitas uremia. Prosedur dialisis bersifat katabolik, sehingga pasien yang menjalani hemodialisis HD mengalami peningkatan kebutuhan energi dan protein yang penting untuk mencegah terjadinya protein-energy wasting PEW . Empat orang pasien dalam serial kasus ini mengalami PGK stadium akhir dan telah menjalani hemodialisis dengan rentang waktu yang berbeda, 2 orang dalam rawat inap dan dua orang lainnya rawat jalan. Pasien didiagnosis dengan PGK stadium 5 dengan HD, hipertensi, diabetes melitus, dan ensefalopati uremikum. Walaupun saat pemeriksaan status gizi pasien normoweight dan satu orang mengalami malnutrisi ringan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan protein 10 dalam 6 bulan, sehingga dibutuhkan terapi medik gizi yang mencakup penentuan kebutuhan makro dan mikronutrien, nutrien spesifik, sesuai dengan toleransi dan kondisi klinis pasien. Hasil pemantauan menunjukkan pasien mengalami perbaikan klinis, toleransi asupan dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien dapat dipertahankan. Terapi medik gizi berperan penting pada semua pasien PGK yang menjalani HD dengan mencegah PEW, memperbaiki kondisi klinis, serta meningkatkan kapasitas fungsional pasien.Kata kunci: terapi medik gizi, penyakit ginjal kronik, hemodialisis, hipertensi.

ABSTRACT
Chronic kidney disease is a irreversible progressive chronic process that causes worsening renal function. Patients with end stage renal disease needs renal replacement therapy to protect themselves from uremia toxicity. Patients who have to undergo dialysis are in high catabolism state and has an increased energy and protein expenditure. Adequate energy and protein for these patients are needed to prevent protein energy wasting PEW . Four cases from this serial case has ESRD and has been on hemodialysis with different time frames. Two outpatient and two inward patients who have CKD stage V with hypertension, diabetes mellitus, and uremic encephalopathy. Although only one patient I categorized as mildly malnourished, 3 of four patients experienced weigth loss 10 in 6 months. Thus, medical nutritional therapy is needed to determine energy and protein requirements in these patients. Evaluation and monitoring form these cases shows that all patients have better clinical outcome, better nutrition intake, and functional capacity were preserved. Medical nutrition therapy has an important role in all CKD patients with dialysis to prevent PEW, to improve their clinical outcome and to increasetheir functional capacity. Key words medical nutrition therapy, chronic kidney disease, hemodialysis, hipertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Retno Kuntarti Heruyanto
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat pada usia lanjut. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi PGK lebih tinggi pada usia 55-75 tahun dibandingkan usia kurang dari 55 tahun. Pada usia lanjut terjadi perubahan struktur dan fungsi ginjal, serta adanya riwayat penyakit komorbid seperti diabetes
melitus (DM), hipertensi, penyakit jantung dan pembesaran prostat, menjadi faktor risiko yang meningkatkan terjadinya PGK. Komplikasi yang dapat timbul pada penderita PGK antara lain frailty dan protein energy wasting, yang menyebabkan penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi yang adekuat berperan penting untuk mencegah protein energy wasting dan komplikasi lain yang dapat timbul pada PGK.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus PGK pada pasien usia di atas 60 tahun. Dua pasien memiliki penyakit komorbid DM dan hipertensi, dan
dua lainnya hanya hipertensi. Keempat pasien dalam serial kasus ini termasuk PGK derajat IV dan V. Pada dua kasus dilakukan hemodialisis, sementara pada dua lainnya belum dilakukan. Masalah yang timbul pada keempat kasus adalah
terdapat gejala-gejala sindroma uremia yaitu mual, muntah, anoreksia, lemas, sesak, dan anemia sehingga asupan makanan tidak adekuat dan terjadi penurunan
kapasitas fungsional. Kebutuhan energi pasien dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict ditambah faktor stres dan pemberian protein disesuaikan dengan sudah atau belum dilakukan hemodialisis. Komposisi
karbohidrat dan lemak disesuaikan dengan rekomendasi theurapeutic lifestyle changes (TLC) dan American Diabetes Association (ADA). Suplementasi mikronutrien diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Pemantauan pasien
dilakukan setiap hari dengan memperhatikan perubahan gejala klinis, tanda vital, imbang cairan, kapasitas fungsional, analisis dan toleransi terhadap makanan,
serta hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Pemantauan yang dilakukan pada empat pasien selama perawatan di rumah sakit menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis serta peningkatan asupan makanan dan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi dapat mendukung terapi utama pada penderita PGK usia lanjut dalam memperbaiki keadaan klinis dan kapasitas fungsional, serta mencegah komplikasi lebih lanjut

ABSTRACT
Background: The prevalence of chronic kidney disease (CKD) increases in the elderly. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of CKD is higher in the age of 55-75 years old compared to below 55 years of age. In the elderly, there are alterations in kidney structure and function, as well as history of comorbidities include diabetes mellitus, hypertension, heart disease and prostate hypertrophy that increase the factor CKD. Complication that may occur in patients with CKD including frailty and protein energy wasting, which can cause decreased
functional capacity and quality of life, and increased morbidity and mortality. Adequate nutrition therapy plays an important role in preventing protein energy wasting and other complications that may arise in CKD.
Methods: This case series report describes four cases of CKD in patients aged above 60 years old. Two patients have comorbid disease diabetes mellitus and hypertension and the others have only hypertension. The four patients in this case series are in CKD stage IV and V. Two cases with hemodialysis, while in the others has not done yet. Problems arising in all cases are uremic syndrome
symptoms such as nausea, vomiting, anorexia,fatigue, dypsnea, and anemia causing inadequate food intake and decreased functional capacity. Energy requirements of the patients calculated using the Harris-Benedict equation added by stress factor and the amount of protein depends on whether the hemodialysis has or has not been applied. Carbohydrate and fat composition appropriated to the
theurapeutic lifestyle changes (TLC) and the American Diabetes Association (ADA) recommendations. Micronutrients supplementation was given in
accordance to patient's condition. Patient monitoring is carried out every day by observing changes in clinical symptoms, vital signs, fluid balance, functional
capacity, dietary analysis and food tolerance, and laboratory resultsResults: Monitoring conducted in the four patients during treatment at the hospital showed the improvements in clinical symptoms, and increased in food
intake and functional capacity.
"
Ilmu Gizi Klinik, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Liwang, Frans
"Latar Belakang: Variabilitas hemoglobin (var-Hb) merupakan suatu fenomena fluktuasi kadar Hb dalam satuan waktu tertentu yang dialami oleh pasien penyakit ginjal kronikyang menjalani hemodialisis rutin (PGK-HD).Var-Hb telah diketahui sebagai prediktor independen luaran klinis buruk. Namun,faktor-faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Tujuan: Mengetahui besaran proporsi var-Hb pada pasien PGK-HD di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan pasien GGK-HD berusia ≥18 tahun di Unit Hemodialisis RSCM. Faktor-faktor yang dinilai saat awal ialah kadar Hb, reticulocyte-hemoglobin equivalent(RET-He), albumin, fosfatase alkali, dan C-reactive protein (CRP)serum, serta adekuasi dialisis (Kt/V). Adanya perdarahan saluran cerna(termasuk darah samar feses), dosis erythropoietin-stimulating agent(ESA)dan zat besi, serta kejadian transfusi darah akan dicatat. Kadar Hb kemudian diperiksa setiap 4 minggu hingga 24 minggu pengamatan. Var-Hb dinilai dengan standar deviasi residual dan nilai ≥1,0dianggap sebagai var-Hb tinggi. Uji hipotesis dilakukan dengan uji bivariat sesuai jenis data, dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistikmultipel. Hasil: Sejumlah 127 subyek (rerata[SD]usia 49,06[15,1], perempuan 52%, rerata[SD]kadar Hb 9,75[1,00]g/dL) diikutsertakan dalam analisis. Proporsi subyek dengan var-Hb tinggi ialah 47,24%. Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat, faktor yang mempengaruhi var-Hb adalah kadar RET-He(p=0,004), dosis ESA (p=0,032), dan kejadian transfusi darah (adjustedOR6,967, IK95% 2,74-17,71;p<0,001). Kesimpulan: Proporsi pasien PGK-HD di Indonesia yang memiliki var-Hb tinggi ialah 47,24%(IK95% 38,3-56,3%). Faktor-faktor yang mempengaruhi var-Hb ialah kadar RET-He,dosis ESA, dan kejadian transfusi darah.

Background: Hemoglobinvariability(Hb-var) is a phenomenon of Hb fluctuation during a course of time that is frequently observed in chronic kidney disease on hemodialysis (CKD-HD)patients. Hb-varis now recognized asapredictor of poor clinical outcomes. However, factors that influence the Hb-var are not well understood.Objectives.This study was aimedto measure the proportion of Hb-var in CKD-HD patients in Indonesia and identify factors associated. Methods: This was a prospective cohort study involving CKD-HD patients aged ≥18 years old in Hemodialysis Unit in RSCM. Factors identified at baseline were serum levels of Hb,reticulocyte-hemoglobin equivalent (RET-He), albumin,alkalinephosphatase, C-reactive protein (CRP), and dialysis adequacy (Kt/V). Hb level was measured every 4 weeks until 24weeks of follow up. Any evidence of gastrointestinal bleeding (including occult blood feces), erythropoietin-stimulating agent (ESA) dosage, and blood transfusion werealsonoted. Hb-var was calculatedas the residual standardofdeviation, and value ≥1.0 was considered as high.Hypothesis testing was performed by bivariate analysis, thencontinued with multivariateanalysis using multiple regression logistic test. Results: As 127 subjects (mean[SD]of age 49.06[15.1], female 52%, mean[SD]of Hb 9.75[1.00]g/dL) were included in the analysis. The proportion of subjects with high Hb-var were 47.24%. According to bivariate and multivariate analysis, factors that determined Hb-var were RET-Helevels (p=0.004), ESA dosage (p=0.032), and blood transfusion (adjustedOR 6.967, 95%CI2.74-17.71,p<0.001). Conclusion: Theproportion of CKD-HD patients in Indonesia with high Hb-var was47.24% (95%CI 38.3-56.3%). Factors that determined Hb-var wereRET-Helevels, ESA dosage, and blood transfusion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusmirna Ulfa
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo.
Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.
Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD

Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs.
Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm.
Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI.
Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sebayang, Agnes Natalia
"Jumlah klien gagal ginjal kronis terus meningkat setiap tahunnya dan banyak dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan yang yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Masalah dalam studi kasus ini meliputi kelebihan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan pola napas, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dan intoleransi aktifitas. Setelah dilakukan asuhan keperawatan, hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua masalah keperawatan yang dialami oleh pasien GGK yang mengalami hemodialisis terselesaikan sepenuhnya. Karya tulis ini dapat dijadikan acuan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien dengan gagal ginjal kronis.

The number of chronic kidney disease have been increase every year, especially in urban area. The aims of this paper is to describe the nursing care that given to patients with chronic kidney kidney disease undergoing the hemodialysis. Various nursing problem common in Chronic kidney disease on hemodialysis, such us fluid volume excess, altered nutrition: less than body requirements, ineffective self care, and intolerancy activity. The result of this paper shows that not all of the nursing problem in chronic kidney disease patient who undergoing the hemodialysis is fully resolved. This paper could be as a recommendation for the other to give nursing care in chronic kidney disease pastient.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sevrima Anggraini
"Penyakit Gagal Ginjal Kronik GGK merupakan suatu keadaan dimana ginjal mengalami kelainan struktural atau gangguan fungsi yang sudah berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronik bersifat progresif dan irreversible, pada tahap lanjut tidak dapat pulih kembali. Diperlukan terapi pengganti ginjal untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengatur keseimbangan cairan tubuh. Terdapat beberapa risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti hipertensi, diabetes mellitus, pertambahan usia, pernikahan, pekerjaan dan IMT. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan terapi hemodialis dan peritonial dialisis terhadap ketahanan hidup pasien gagal ginjal kronik di RSCM tahun 2012-2017. Desain studi dalam penelitian ini adalah kohort retrospektif. Jumlah total sampel penelitian ini adalah 110. Dari studi ini diketahui sebanyak 49 pasien yang menjalani hemodialisis meninggal dan 29 pasien yang menjalani CAPD meninggal. Pengaruh jenis terapi terhadap ketahanan hidup pasien GGK setelah dikontrol variabel kovariat didapatkan bahwa variabel umur berinteraksi dengan jenis terapi dimana pasien hemodialis yang berumur ge;60 tahun berisiko untuk lebih cepat meninggal sebesar 4 kali dibandingkan pasien yang menjalani CAPD 95 CI 1,3-13. Disarankan kepada pasien GGK yang berumur ge;60 untuk mempertimbangkan menggunakan CAPD sebagai alternatif dialisis.

Chronic Kidney Disease CKD is a condition in which the kidneys have structural abnormalities or functional disorders that have lasted more than 3 months. CKD is progressive and irreversible, in the later stages can not be recovered. Kidney replacement therapy is needed to remove metabolic waste products and regulate body fluid balance. There are several risks that can cause CKD such as hypertension, DM, age, , marriage, BMI ,work. The purpose of this study was to determine the relationship between hemodialis therapy and dialysis peritoneal on the survival of patients with CKD at RSCM 2012 2017. The study design in this study was a retrospective cohort. The total sample of this study was 110. From this study it was found that 49 of patients undergoing hemodialysis died and 29 of patients who underwent CAPD died. The effect of this type of therapy on survival of CKD patients after controlled by covariate variables found that the age variable interacted with the type of therapy where hemodialis patients aged ge 60 years are at risk for more rapid death 4 times than patients CAPD 95 CI 1.3 13 . It is recommended to patients aged ge 60 to consider using CAPD as an alternative to dialysis."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Henni
"Prevalensi gagal ginjal kronis di masyarakat perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pasien dengan gagal ginjal kronik harus mampu melakukan manajemen cairan meskipun menjalani terapi hemodialisis agar tidak mengalami komplikasi penyakit. Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan untuk menggambarkan kepatuhan klien gagal ginjal kronis dengan terapi hemodialisis terhadap manajemen cairan dengan desain studi kasus.
Hasilnya menunjukkan bahwa klien gagal ginjal kronis menerapkan manajemen cairan setelah diberikan edukasi secara rutin dan berkelanjutan oleh perawat. Penerapan manajemen cairan terhadap klien dengan gagal ginjal kronis baik dengan atau tanpa terapi hemodialisis harus diberikan oleh perawat secara rutin dan berkelanjutan khususnya di perkotaan untuk menekan terulang kembalinya klien di rawat inap dan klien siap untuk bergabung dengan masyarakat.

Prevalence of chronic kidney disease in the urban community in Indonesia has increased from year to year. Patients with chronic kidney disease should be capable of performing fluid management despite undergoing hemodialysis therapy in order not to experience complications of the disease. Writing scientific papers is done to illustrate the client's compliance with chronic kidney disease therapy fluid management with hemodialysis the case study design.
The results show that patients of chronic kidney disease apply fluid management after being given regularly and continuing education by a nurse. Application of fluid management to patients with chronic kidney disease with or without hemodialysis therapy should be administered by nurses on a regular basis and especially in urban sustainable to be repeatedly pressed patients in inpatient and patients are ready to join the society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claresta Diella
"Pasien kanker laring memiliki risiko terjadinya malnutrisi hingga kaheksia yang disebabkan oleh lokasi tumor dan sitokin inflamasi. Angka kejadian kanker laring dengan malnutrisi meningkat pada geriatri. Laringektomi total merupakan salah satu tatalaksana kanker laring dengan komplikasi pasca operasi tersering berupa pharyngocutaneous fistula (PCF). Tatalaksana nutrisi yang adekuat (makronutrien dan mikronutrien) perlu diberikan dengan menyesuaikan toleransi dan kondisi klinis setiap pasien. Keempat pasien pada serial kasus merupakan pasien karsinoma sel skuamosa laring pasca laringektomi total. Semua jenis kelamin pasien adalah laki-laki. Dua dari empat pasien adalah geriatri. Faktor risiko terbanyak adalah merokok. Semua pasien memiliki status gizi malnutrisi sedang berdasarkan ASPEN dan tiga pasien dengan kaheksia kanker. Sarkopenia didapatkan pada satu pasien non geriatri dan satu pasien geriatri. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi asupan melalui jalur enteral per NGT. Suplementasi mikronutrien dengan dosis penyembuhan luka diberikan pada semua pasien. Tiga pasien tanpa komplikasi mendapatkan suplementasi omega-3. Komplikasi PCF didapatkan pada satu pasien non geriatri dengan status gizi berat badan berlebih berdasarkan IMT, hipoalbuminemia, anemia, dan riwayat pemasangan NGT dan trakeostomi. Asupan energi dan protein pada pasien yang mengalami PCF tidak mencapai target. Pemberian makanan oral pada pasien yang tidak mengalami PCF dilakukan pada hari ke 7-12 pasca operasi. Pasien dengan PCF pulang dengan NGT. Keempat pasien pulang dengan keadaan klinis yang membaik. Skor indeks Barthel dan Karnofsky Performance Scale (KPS) mengalami perbaikan pada akhir masa perawatan. Kesimpulan yang didapatkan yaitu status gizi malnutrisi yang mendapatkan terapi nutrisi optimal akan mengurangi terjadinya komplikasi. Adanya komplikasi pasca operasi berperan dalam terjadinya PCF.

Patients with laryngeal cancer are at risk of malnutrition and cancer cachexia that is induced by tumor location and cytokine inflammatory. Incidence of malnutrition related to laryngeal cancer increases on geriatric patients. Total laryngectomy is one of the surgical procedures for laryngeal cancer with the most postoperative complications, such as pharyngocutaneous fistula (PCF). Adequate nutrition therapy (macronutrient and micronutrient) must be provided by adjusting to the clinical tolerance and condition of every patient. Patients in the case series are four patients with laryngeal squamous cell carcinoma after total laryngectomy. The gender of all patients is male. Two patients are geriatric patients. Smoking is the major risk factor in this case series. All patients were moderately malnourished based on ASPEN criteria, and three patients had cancer cachexia. Sarcopenia was identified in one non-geriatric patient and one geriatric patient. Medical nutrition therapy was provided through enteral NGT according to clinical condition and tolerance intake of the patient. Micronutrient supplementation with dose for wound healing was given to all patients. Three patients without complication received omega-3 supplementation. PCF complication was identified in one non-geriatric patient with overweight status based on BMI, hypoalbuminemia, anemia, and history of tracheostimy dan used NGT. Energy and protein intake did not reach target in this patient. All four patients were discharged with improved clinical condition. There are improved in Barthel index and Karnofsky Performance Scale (KPS). Conclusion of the case series is that adequate medical nutrition therapy provided in malnutrition patient can decrease the risk of complications after surgery. Complication after surgery with comorbid has a role in the development of PCF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>