Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188900 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yaldiera Utami
"Latar Belakang. Depresi pasca SKA memiliki prevalensi sebesar 20-37 , yaitu sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Pasien pasca SKA yang mengalami depresi dalam waktu 2 tahun pertama memiliki risiko mortalitas sebesar 2.5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami depresi. Meskipun prevalensinya cukup tinggi, namun kondisi ini seringkali tidak terdeteksi sehingga sulit untuk ditatalaksana. Kuesioner CDS telah terbukti andal dan sahih untuk mendeteksi depresi pasca SKA di beberapa negara, namun belum ada penelitian yang menguji keandalan dan kesahihan kuesioner tersebut di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keandalan dan kesahihan kuesioner CDS berbahasa Indonesia sebagai alat ukur untuk mendeteksi depresi pasca SKA di Indonesia. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap adaptasi lintas bahasa dan budaya serta tahap uji keandalan dan kesahihan. Subjek penelitian terdiri atas pasien rawat jalan pasca SKA yang berobat di Polikilinik Kardiologi PJT RSCM pada bulan Juli-September 2017. Uji keandalan dilakukan dengan menilai Intraclass Correlation Coefficient ICC melalui metode test-retest dan menilai Cronbach-alpha untuk mengetahui konsistensi internal. Uji kesahihan dilakukan dengan menilai kesahihan konstruksi melalui multitrait multimethod analysis dan kesahihan eksternal dengan cara membandingkan CDS dengan kuesioner BDI-II sebagai alat ukur standar untuk menilai depresi. Hasil. Penelitian ini diikuti oleh 56 subjek dengan rerata usia 58.39 8.38 tahun. Sebagian besar subjek berjenis kelamin laki-laki 64.3 dan sudah menikah 80.4 . Uji keandalan memberikan hasil yang baik, terbukti dengan nilai ICC r 0.944; p

Background. Prevalence of post Acute Coronary Syndrome ACS depression reached 20 37 which is three times higher than in general population. Depressed post ACS patients have 2.5 times higher risk of mortality within 2 years after ACS compared with non depressed patients. Despite the high prevalence, this condition often go unrecognized and untreated. Cardiac Depression Scale CDS has been demonstrated to be valid and reliable in detecting post ACS depression in other countries. However it has not been validated in Indonesian population. This study was designed to evaluate the validity and reliability of Indonesian version CDS as a screening tool for post ACS depression in Indonesia. Method. A cross sectional study was conducted in two phases a the language and cultural adaptation phase and b the validity and reliability test. The study participants were recruited from post ACS outpatients attending Cardiology Clinic in PJT RSCM between July September 2017. Reliability of the CDS was evaluated by calculating Intraclass Correlation Coefficient ICC using test retest method and by calculating Cronbach alpha to determine internal consistency.Validity of the CDS was evaluated by examining construct validity using multitrait multimethod analysis and by comparing CDS with BDI II as gold standard measurement to determine external validity. Result. Fifty six patients were included in this study. The mean age was 58.39 8.38 years. Of these patients, 64.3 were male and 80.4 were married. Indonesian CDS demonstrated good result for test retest reliability r 0.944 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana Hannani Adina Putri
"Pada pasien dengan penyakit jantung terutama pada pasien pasca Intervensi Koroner Perkutan (IKP) penting dilakukan perawatan lanjutan yaitu rehabilitasi jantung. Data menunjukkan bahwa jumlah partisipasi pada rehabilitasi jantung menurun, terutama pada fase II. Padahal banyak manfaat yang didapatkan dari mengikuti rehabilitasi jantung salah satunya adalah mengurangi tingkat mortalitas dan meningkatkan kesehatan jantung. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Desain penelitian menggunakan cross sectional study. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 84 responden yang telah melakukan IKP dan sudah mengikuti rehabilitasi jantung Fase I. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi rehabilitasi jantung fase II dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, riwayat merokok, efikasi diri, dan dukungan keluarga dengan efikasi diri menjadi faktor dominan. Penelitian ini merekomendasikan untuk dilakukan pengkajian keperawatan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rehabilitasi jantung fase II dan melakukan edukasi serta memberi pilihan untuk melakukan rehabilitasi jantung di rumah.

Cardiac Rehabilitation was important for patient with cardiac disease especially patient post Percutaneous Coronary Intervention. Data shows that participation of cardiac rehabilitation in Phase II was decreasing, whereas a lot of benefit from cardiac rehabilitation, including decrease mortality rate and increase the cardiac health. Aim of this study was to identify factors that Affecting Participation of Cardiac Rehabilitation phase II at Patient Post Percutaneous Coronary Intervention. The research configuration utilized a cross sectional review. The example in this study added up to 84 individuals who had percutaneous coronary intervention and already participate in cardiac rehabilitation phase I. Result shows that participation of cardiac rehabilitation phase II was affected by age, education level, smoking history, self efficacy and family support. The dominant factor was self efficacy. This research recommend to do nursing assesment to know the factors that affecting participation of cardiac rehabilitation phase II and made health education for patient and give them choises to do cardiac rehabilitation at home."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Ariyanto Sani
"Latar Belakang: Terdapat perdebatan mengenai strategi operasi modified Fontan/TCPC pada PJB univentrikel yaitu pendekatan primer atau bertahap pada pasien yang memenuhi kriteria operasi untuk memperoleh luaran pascaoperasi yang paling baik.
Tujuan: Tinjauan sistematik ini disusun untuk membuktikan bahwa operasi modified Fontan secara bertahap pada pasien PJB dengan fisiologi jantung univentrikel dan memenuhi kriteria operasi memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan secara primer.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Identifikasi terhadap penelitian yang relevan terhadap tujuan studi dilakukan melalui pencarian literatur pada Cochrane Library, PubMed, dan CINAHL (EBSCO) database. Setiap penelitian dinilai sesuai dengan tingkat bukti klinis sesuai dengan kriteria National Health and Medical Research Council (NHMRC).
Hasil: Tiga puluh artikel diikutsertakan dalam tinjauan sistematik ini. Morfologi ventrikel yang dilaporkan dari kelainan jantung univentrikel menunjukkan proporsi malformasi yang lebih besar dengan ventrikel sistemik kiri di sebagian besar studi yang disertakan. Data hemodinamik yang dilaporkan sebelum operasi Fontan menunjukkan distribusi yang hampir sama pada rerata tekanan arteri pulmonal (mean pulmonary arteriolar pressure, mPAP), tekanan diastolik akhir ventrikel sistemik (systemic ventricular end-diastolic pressure, EDPSV), dan tekanan transpulmonal (transpulmonary pressure gradient, TPG). Pendekatan operasi primer telah banyak ditinggalkan. Dijumpai mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi primer dengan kesintasan jangka panjang yang cukup sebanding. Tromboemboli lebih sering terjadi pada strategi operasi primer dengan insiden sebanyak 5,6% vs. 4,8% dibandingkan dengan operasi secara bertahap
Simpulan: Prosedur modified Fontan secara bertahap memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibanding dengan pendekatan primer

Background: Definitive palliation for univentricular heart usually involves different modifications of Fontan surgery / total cavopulmonary connection (TCPC). However, whether it should be done as a primary or staged procedure with an initial bidirectional Glenn shunt remains an area of debate.
Objective: This systematic review has been undertaken to prove that staged TCPC in Fontan candidates delivers better post-surgical results than the primary approach.
Method: This study was carried out according to the PRISMA-P protocol. Systematic searches identified studies in the Cochrane Library, PubMed, and CINAHL (EBSCO) database. According to the National Health and Medical Research Council (NHMRC) guideline, each study was critically appraised.
Results: A total of 30 studies were included in this systematic review. In most of the included studies, the reported ventricular morphology of univentricular heart defects showed a more significant proportion of the left systemic ventricle malformations. The hemodynamic data before Fontan surgery showed almost the same distribution of mean pulmonary arteriolar pressure (mPAP), systemic ventricular end-diastolic pressure (EDPSV), and transpulmonary pressure gradient (TPG). The primary surgical approach has mostly been abandoned because of its higher mortality rate than staged surgery. Long term survival has been comparable in both strategies. Thromboembolism was more common in the primary approach than in the staged surgery, with an incidence of 5.6% vs. 4.8%, respectively.
Conclusion: Staged modified Fontan procedure results in better post-surgical outcomes than the primary approach.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Percutaneous and coronary interventions, used to treat narrow arteries of the heart caused by/found in those with coronary heart disease. This book is a detailed guide for performing percutaneous procedures and it covers in-depth the procedures that cardiologists and interested specialists must be aware of in order to use the devices proficiently."
London : Springer Healthcare, 2011
e20426457
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Auricchio, Angelo, editor
"Cardiac arrhythmias are a major cause of death (7 million cases annually worldwide; 400,000 in the U.S. alone) and disability. Yet, a noninvasive imaging modality to identify patients at risk, provide accurate diagnosis and guide therapy is not yet available in clinical practice. Nevertheless, there are various applications of electrophysiologic imaging in humans from ECG/CT reconstructions, MRI to tissue Doppler investigations that provide supplimentary diagnostic data to the cardiologist. EP laboratories are experiencing an increase in volume, for both diagnostic and interventional electrophysiology studies, including mapping, ablation, and pacemaker implants. The equipment requirements for these procedures are stringent, include positioning capabilities, and dose management. This book is designed to review all of the current imaging methodologies that assist in diagnosis within the electrophysiology department."
London : Springer, 2012
e20425868
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Agoes Kooshartoro
"Latar Belakang : Indonesia memiliki angka kematian karena penyakit kardiovaskular yang semakin meningkat, dengan angka kematian diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian. Mengingat tingkat mortalitas yang sangat tinggi pada pasien dengan sindrom koroner akut SKA, maka diperlukan sebuah prediktor Major Adverse Cardiac Event MACE yang objektif dan terukur untuk manajemen pasien SKA dalam jangka panjang. Pada SKA dapat ditemukan heterogenitas repolarisasi ventrikel yang dapat dilihat pada elektrokardiografi EKG sebagai QTmax-QTmin, atau dapat disebut sebagai QTD.QTD disinyalir dapat dijadikan penanda untuk risiko MACE pada pasien SKA.
Tujuan : Mengetahui peran dispersi QT dan QTcD sebagai prediktor MACE pada pasien sindrom koroner akut SKA.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 230 rekam medis pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM dalam rentang waktu Januari 2016 hingga November 2017. EKG standar 12 sadapan saat serangan dianalisis dan dilakukan pengukuran interval QTmax dan QTmin yang kemudian dihitung QTd. Selanjutnya dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett QTcD.
Hasil : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet dapat menjadi prediktor MACE pada pasien dengan SKA OR 1,25 IK95 0,17 ndash; 2,71 . Setelah dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett, pemanjangan QTcD juga dapat menjadi prediktor MACE pada pasien SKA 1,89 IK95 0,05 ndash; 67,37.
Kesimpulan : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet atau QTcD lebih dari 12,72mdet dapat menjadi prediktor MACE.

Background: In Indonesia, the number of death due to cardiovascular disease is rapidly rising and it was approximated to have resulted in 17,3 million deaths. Due to this steadily increasing cases, it is necessary to find a predictor for Major Adverse Cardiac Event MACE that is objective and standardized for long term care of patients with acute coronary syndrome ACS. In ACS, one of the underlying mechanisms is the presence of heterogeneity in ventricle repolarization that is seen on ECG machine as QTmax ndash QTmin, or what is identified as QTD. QTD is hypothesized to have role as marker in patients with MACE in ACS.
Aim: Identify the role of QTD and QTcD as MACE predictor in patients with acute coronary syndrome.
Methods: This study is a retrospective cohort with the subject of 230 ACS patients that was hospitalised on RSCM ICCU among January 2016 to November 2017. Data was taken from medical record and 12 lead ECG during attack were taken and analysed manually to calculate QTmax and QTmin and substraction of both into QTD. Followed by correction using the heart rate with Bazett formula QTcD.
Result: QTD prolongation of more than 100ms in patients with ACS may lead to MACE OR 1,25 IK95 0,17 ndash 2,71 . Following correction with Bazett formula, QTcD prolongation is also predictor 1,89 IK95 0,05 ndash 67,37.
Conclusion: QTD prolongation of more than 100ms or QTcD of more than 12.72ms might lead to MACE
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T59198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reby Kusumajaya
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan PJB merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada anak dibandingkan dengan kelainan kongenital lainnya. Upaya memperbaiki struktur anatomi PJB mengharuskan dilakukannya bedah jantung korektif. Di balik perkembangan pintas jantung paru dan tata laksana pasca-bedah, sindrom curah jantung rendah low cardiac output syndrome, LCOS masih menjadi komplikasi mayor, sehingga diperlukan parameter untuk membantu diagnosis LCOS secara dini. Kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 dilaporkan berkorelasi terhadap penurunan curah jantung, morbiditas dan mortalitas pasca-bedah jantung.
Tujuan. Mengetahui peran kadar laktat, gap pCO2 arteri-vena dan SvO2 dalam deteksi dini sindrom curah jantung rendah pasca-bedah jantung terbuka pada anak.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dilaksanakan dari 1 Agustus hingga 30 Oktober 2017 di ICU Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Subyek adalah pasien anak yang menjalani bedah jantung terbuka. Pasca-bedah saat perawatan di ICU pasien dimonitor waktu terjadinya tanda-tanda klinis sindrom curah jantung rendah, serta dilakukan pemeriksaan kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 pada 15 menit, 4 jam dan 8 jam pasca-bedah. Analisis perbedaaan dilakukan menggunakan uji indepent T-test dan alternatifnya Mann-Whitney dengan nilai kemaknaan P

Background. Congenital heart disease CHD is the most common congenital disorder in children compared with other congenital abnormalities. To fix CHD requires corrective cardiac surgery. Behind the development of cardiopulmonary bypass surgery and post surgical intensive care, low cardiac output syndrome LCOS still become a major complication that require parameter to diagnose LCOS early lactate level, pCO2 gap and SvO2 were reported have correlation with decreasing of cardiac output, morbidity and post cardiac surgery mortality.
Objective. To find out the role of lactate levels, pCO2 gap arterial vein and SvO2 in early detection of low cardiac output syndrome in post open heart surgery in children.
Method. This study used a prospective cohort design. From 1 August until 30 October 2017 in ICU of Integrated Cardiac Centre Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were pediatric patients who underwent cardiac surgery. Post surgery procedure the patient's was monitored in ICU for clinical signs of low cardiac output syndrome and examined for lactate levels, gap pCO2 and SvO2 at 15 minutes, 4 hours and 8 hours. The difference analysis was performed using indepent T test and Mann Whitney as alternative with significance value P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djallalluddin
"Latar belakang: Major adverse cardiac events MACE merupakan masalah yang besar yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita sindrom koroner akut. Belum banyak data MACE pada penderita sindrom koroner akut SKA pasca intervensi koroner perkutan IKP .
Tujuan penelitian: mengetahui faktor faktor yang menjadi prediktor MACE 7 hari penderita SKA yang dilakukan IKP.
Metode: Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi prediktor terjadinya major adverse cardiac events pada penderita sindrom koroner akut yang dilakukan intervensi koroner perkutan dilakukan dengan metode kasus kontrol tanpa penyetaraan. Penelitian melibatkan 461 pasien SKA yang dirawat di unit perawatan intensif jantung RSCM dari tanggal 1 Januari 2015 sampai 30 November 2017. Umur, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hipertensi, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal, renjatan kardiogenik, fraksi ejeksi le; 40 , stenosis di left main, aritmia, stenosis 3 arteri koronaria, stenosis di left anterior descending artery LAD dan stenosis di left main LM dilakukan penelitian prediktor terjadinya MACE.
Hasil: Renjatan kardiogenik OR=10,65 p=0,001 , stenosis LAD OR=15,23 p=0,02 , fraksi ejeksi le; 40 OR=10,8 p=0,00 , faktor stenosis 3 arteri koroner atau lebih OR= 3,47 p=0,01 , gagal jantung OR=3,1 p=0,02 dan gangguan fungsi ginjal OR=4,76 p=0,00 terbukti sebagai prediktor terjadinya MACE 7 hari pada penderita SKA yang dilakukan IKP. Faktor jenis kelamin wanita, renjatan kardiogenik, stenosis LAD dan fraksi ejeksi le; 40 secara independen berhubungan dengam kejadian MACE pada pasien SKA yang dilakukan IKP, secara berturut-turut OR 95 CI 6.33 1.32-30.50 , 17.56 1.85-167.06 , 26.61 1,38-513,81 , dan 7.6 1.86-31.09.
Kesimpulan: Renjatan kardiogenik, stenosis LAD, fraksi ejeksi le; 40 , faktor stenosis 3 arteri koroner atau lebih, gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal merupakan prediktor terjadinya MACE 7 hari penderita SKA pasca IKP. Renjatan kardiogenik, stenosis LAD, wanita dan fraksi ejeksi le; 40 merupakan prediktor independen terjadinya MACE 7 hari penderita SKA pasca IKP.

Introduction: Major Adverse Cardiac Events MACE are a big problem increasing morbidity and mortality to acute coronary syndrome patients. There is not much MACE data of acute coronary syndrome ACS patients who underwent percutaneous coronary intervention PCI . Therefore, the researcher investigated predictors factors of major adverse cardiac events.
Objective: To investigate the predictors factors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI.
Method: To investigate the predictors factors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI, unmatched case control was conducted. The research involved 461 ACS patients who were hospitalized in intensive coronary care unit ICCU RSCM from 1 January 2015 to 30 November 2017. Age, female gender, diabetes mellitus, hypertension, heart failure, renal dysfunction, cardiogenic shock, ejection fraction le 40, left main LM disease, arrhythmia, 3 vessel diseases, and left anterior descending artery LAD stenosis were investigate as the predictors of MACE.
Results: Cardiogenic shock OR 10.65 p 0.001, LAD stenosis OR 15.23 p 0.02 , ejection fraction le 40 OR 10.8 p 0.00 , 3 vessel diseases OR 3.47 p 0.01 , heart failure OR 3.1 p 0.02 and renal dysfunction OR 4.76 p 0.00 had been as the predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. Factors of female gender, cardiogenic shock, LAD stenosis and ejection fraction le 40 were independently predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI OR 95 CI 6.33 1.32 30.50, 17.56 1.85 167.06, 26.61 1.38 513.81, and 7.6 1.86 31.09 respectively.
Conclusions: Cardiogenic shock, LAD stenosis, ejection fraction le 40, 3 vessel diseases or more, heart failure and renal dysfunction were the predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. Cardiogenic shock, LAD stenosis, female gender and ejection fraction le 40 were independent predictors of seven day MACE on ACS patients underwent PCI. The other factors were not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T59199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2018
616.12 KAP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Susilawati
"Kateterisasi jantung adalah tindakan diagnostik dan intervensi terhadap penyakit jantung koroner. Nyeri punggung merupakan keluhan yang banyak diungkapkan oleh pasien yang menjalani kateterisasi jantung. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh mobilisasi dini terhadap nyeri punggung pada pasien post kateterisasi jantung.
Desain penelitian adalah randomized controlled trials dengan single blind. Sebanyak 46 responden dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan metode randomisasi blok. Hasil penelitian menyimpulkan rerata nyeri punggung pada kelompok kontrol sesudah diberikan perlakuan lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok intervensi (p value =0,01) dan selisih peningkatan nyeri punggung pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok intervensi (p value =0,042).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah peningkatan nyeri punggung pada pasien yang diberikan mobilisasi dini lebih rendah dibandingkan peningkatan nyeri punggung pada pasien yang tidak diberikan mobilisasi dini. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dapat ditambahkan intervensi massage punggung untuk menurunkan ketegangan otot punggung.

Cardiac catheterization is increasingly used in hospitals in Indonesia as diagnostic and interventional interventions against coronary heart disease. Back pain is a major complaint expressed by many patients who undergoing cardiac catheterization as prolonged bed rest period without any change in the position for more than 6 hours till tomorrow morning is commonly use. The purpose of this study were to determine the effect of early mobilization toward backpain in patients post cardiac catheterization.
The study design was a randomized controlled trials with singleblinded. The sample size was 46 respondents which divided to two groups: control group and intervention group by using block randomization method. The result of this study showed that mean backpain's scale in control group was significantly higher than the intervention group (pvalue = 0.01) after the interventios were given, and the difference in mean backpain’s scale in the control group is higher than the intervention group (p value = 0.042).
This study conclude that backpain’s scale elevated in patients whose given early mobilization is lower than the in backpain's scale in patients whose are not given early mobilization. Recommendations for further research is added another interventions to reduce tension of back muscles such as back massage.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35995
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>